20 Vol. 15 No. 1, Juli 2023
BERLATAR LUAR NEGERI
Nerfita Primadewi1
1Program Doktoral Seni, Pascasarjana Institut Seni Indonesia Surakarta [email protected] 1
Sri Rochana Widiastutieningrum2 [email protected] 2
Soetarno3 [email protected]3
Ignatius Bambang Sugiharto4 [email protected]4
ABSTRACT
This research wants to see how locations, especially overseas locations are interpreted in scientific articles. The purpose of this study is to see how the meaning of location in Indonesian films is discussed academically outside of its function as an entertainment medium. The methodology used in this research is literary study. This method includes collecting data from various sources such as books, scientific articles, and press releases of Indonesian film using overseas location, and data analysis to determine how cosmopolitanism discourse appears in Indonesian films. This research underscores the importance of considering films as a representation of the desires of Indonesian audiences through the choice of locations chosen and how these locations function in the cinematic narrative.
Keywords: Indonesian Film, Overseas Location, Cosmopolitanism, Literary study ABSTRAK
Penelitian ini ingin melihat bagaimana lokasi, khususnya lokasi luar negeri dimaknai dalam artikel-artikel ilmiah. Tujuan dari penelitian ini adalah melihat bagaimana makna lokasi dalam film Indonesia dibicarakan secara akademik di luar fungsinya sebagai media hiburan. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah studi pustaka. Metode ini meliputi pengumpulan data dari berbagai sumber, seperti buku, artikel ilmiah dan press release yang berkait dengan film berlatar luar negeri, dan analisisi data untuk menentukan bagaimana diskursus kosmopolitanisme muncul dalam film Indonesia. Penelitian ini menggarisbawahi pentingnya mempertimbangkan film sebagai representasi keinginan penonton Indonesia melalui pilihan lokasi yang dipilih dan bagaimana lokasi tersebut berfungsi dalam narasi sinematiknya.
Kata kunci: Film Indonesia, Lokasi luar negeri, Kosmopolitansime, Studi Pustaka
Vol. 15, No. 1, Juli 2023 21 PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Masih sulit menemukan kajian yang fokus pada kemungkinan interpretasi makna lokasi, apa lagi makna lokasi luar negeri pada film Indonesia. Sebagian besar literatur dan karya ilmiah, baik berupa buku, artikel, atau laporan penelitian tentang latar tempat sebuah film, biasanya menerapkan pendekatan film induced tourism yang fokus pada persoalan bagaimana film memengaruhi minat orang untuk mengunjungi sebuah tempat. Di luar kajian turisme, pembahasan secara khusus tentang latar luar negeri dalam film Indonesia, yang menjadi konsep penting kajian ini, sangat menitikberatkan pada aspek ekonomi dan fungsi hiburannya, sehingga mengabaikan analisis yang lebih spesifik dan detail mengenai konsep tersebut.
Film dan aktivitas menonton film bukanlah kegiatan pasif. Ketika menonton film, penonton secara aktif melakukan identifikasi diri pada para tokoh di dalam film tersebut. Dengan demikian, apa yang dialami tokoh di lokasi tersebut juga dialami oleh penonton film, seperti yang dikatakan Amy Corbain, bahwa film adalah sebuah perjalanan virtual bagi penontonnya (Corbin, 2014).
Dengan dilatarbelakangi oleh pemahaman-pemahaman tersebut, penelitian ini kemudian merumuskan beberapa permasalahan dalam sebuah kalimat pertanyaan yang menjadi orientasi pembahasannya, yaitu: sejauh mana dan seperti apa analisis atas diskursus kosmopolitanisme dalam film Indonesia berlatar belakang luar negeri yang telah dilakukan dalam penelitian-penelitian terdahulu?
B. Metode Penelitian
Metode yang diterapkan dalam penelitian ini adalah metode penelitian studi literatur/kepustakaan. Metode penelitian studi literatur/kepustakaan dapat diartikan sebagai serangkaian langkah-langkah empiris yang terdiri dari pengumpulan data literatur, pembacaan yang disertai pencatatan bahan yang diteliti, serta metode pengolahan dari data tersebut (Zed, 2003). Paling tidak, ada empat faktor krusial yang perlu diperhatikan oleh seorang peneliti saat melakukan studi literatur/kepustakaan.
Keempat faktor krusial ini adalah:
22 Vol. 15 No. 1, Juli 2023
Pertama, seorang peneliti harus bekerja secara langsung dengan data tekstual (literatur yang berupa teks) atau numerik (angka) dan tidak berhadapan langsung dengan fenomena yang diteliti di lapangan.
Ke dua, data perpustakaan yang dikumpulkan sifatnya adalah “ready to use”, sehingga peneliti tidak langsung berada di lokasi karena kerja penelitian yang dilakukan berkutat pada ruang-ruang perpustakaan (baik daring maupun luring).
Ke tiga, data pustaka umumnya digolongkan sebagai sumber sekunder yang artinya seorang peneliti memperoleh bahan dan data yang sudah diolah dalam penelitian yang dilakukan peneliti sebelumnya, dan bukan data mentah yang didapatkan langsung dari lapangan.
Ke empat, kondisi dari data perpustakaan yang dikumpulkan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Berdasarkan keempat faktor krusial yang perlu diperhatikan di atas, pengumpulan data dalam penelitian meliputi penelaahan berbagai jurnal, buku, dokumen (baik cetak maupun elektronik), serta data dan, atau, sumber informasi lain yang dianggap relevan atau berkait dengan penelitian; dilakukan dengan mempertimbangkan relevansi dari data perpustakaan tersebut dengan topik penelitian yang sudah dipilih.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam From the Screen to the Field: The Influence of Film on Tourism and Recreation, Sue Beeton (2008) berpendapat bahwa lokasi film membuat penonton ingin mengunjungi lokasi secara langsung. Namun di luar itu, film dapat menciptakan ikatan emosional, terutama ketika latar tempat menjadi bagian tak terpisahkan dari cerita. Meskipun film dan destinasi wisata dapat saling menguatkan, namun perkembangan destinasi wisata, karena efek dari sebuah film, tidak dapat diprediksi sepenuhnya. Studi Beeton (2008) fokus pada bagaimana film memengaruhi perkembangan sebuah tempat menjadi daya tarik wisata, seperti yang terjadi pada Gereja Ayam di kabupaten Magelang, yang naik popularitasnya setelah mejadi salah satu lokasi film Ada Apa Dengan Cinta 2 (2016). Pendekatan Beeton (2008) tentang bagaimana film membangkitkan minat penonton mengunjungi lokasi film tidak
Vol. 15, No. 1, Juli 2023 23 terbatas pada keindahan tempat, tetapi juga ikatan emosional antara penonton dengan plotnya. Pendapat ini memperkuat dasar asumsi bahwa minat penonton tidak hanya pada lanskap dan landmark dari sebuah lokasi yang berbeda dari lingkungan sehari-harinya namun juga pada bagaimana identifikasi diri penonton pada karakter dalam film, sehingga ingin ikut mengalami yang dialami oleh tokoh dalam film.
Iain Borden (2012), dalam bukunya Drive: Journeys through Film, Cities and Landscapes, berbicara mengenai kegembiraan, kecepatan, dan kebebasan yang dimunculkan dalam aktivitas mengemudi. Borden menjelaskan mengapa berkendara, terutama menggunakan mobil, menjadi sangat penting bagi masyarakat Amerika.
Menggunakan contoh film Taxi Driver (1976) dan Thelma and Louise (1991), Borden melihat jalan raya, aktivitas mengemudi, dan kekuatan mesin menjadi teks untuk mengeksplorasi bagaimana mobil, melalui penggambaran artistiknya dalam film, membentuk cara orang Amerika melihat identitas dirinya. Mobil (lebih khususnya berkendara) menjadi penggambaran akan kebebasan, penemuan jati diri dan pelanggaran yang dapat digunakan penonton untuk menangkap asosiasi tersebut dan menjadikannya pemahaman pribadi tentang mobilitas berbasis mobil. Buku Borden (2012) ini menarik karena menggabungkan kritik film dengan penjelajahan sebuah konsep (dalam buku Drive, konsep yang dieksplorasi adalah konsep mobilitas). Dalam tulisannya ini Borden tidak melihat jalan hanya sebatas pada fungsinya dalam mis en scene sebagai tempat lokasi sebuah kejadian; tetapi melihat jalan dan bagaimana jalan dijalani melalui kegiatan berkendara sebagai refleksi nilai-nilai yang diyakini oleh penontonnya.
Identitas keindonesiaan dan kosmopolitanisme salah satunya muncul dalam bentuk ditampilkannya religiusitas sebagai tema utama dalam film. Religiusitas sebagai bagian dari identitas keindonesiaan muncul dalam artikel Film Islami: Gender, Piety and Pop Culture in Post-Authoritarian Indonesia, tulisan James B. Hoesterey &
Marshall Clark (2012). Hoesterey dan Clark (2012) berargumen bahwa melalui budaya popular, umat Islam di Indonesia menegosiasikan ide-ide tentang Islam, kesalehan dan gender. Artikel ini fokus pada representasi laki-laki dan maskulinitas dalam budaya populer Indonesia baru-baru ini, terutama pada tren yang berkembang dari film ‘‘pop Islam”, atau yang biasa disebut dengan sebagai film Islami.
Menggunakan contoh-contoh film, seperti Ayat Ayat Cinta (2004), Perempuan
24 Vol. 15 No. 1, Juli 2023
Berkalung Sorban (2009) dan Ketika Cinta Bertasbih (2009), Hoesterey dan Clark (2012) mencoba berargumen bahwa munculnya film-film ''pop Islam'' dan dampaknya pada debat publik mengenai gender harus dilihat dalam konteks beberapa dekade transformasi budaya, politik dan ekonomi, khususnya kebangkitan kelas menengah Indonesia selama tahun 1980-an. Pada 1990-an, privatisasi media negara dan peningkatan visibilitas Muslim saleh di kalangan elit politik dan bisnis dimulai. Makna dan identitas Islami masih terus didiskusikan dalam karya sastra, film, dan pemberitaan selebriti yang membawa nafas keislaman dalam kehidupan keseharian. Walaupun tidak semua film yang digunakan sebagai contoh dalam tulisan ini berkait dengan lokasi, namun film ini membahas bagaimana karakter dalam film ini menjadi bagian konsep Islam secara global. Keberadaan Islam dalam film-film “pop Islami” meletakkan penontonnya pada wacana kosmopolitanisme yang menjadikan mereka sebagai bagian dari warga dunia dengan isu yang senada.
Masih mengangkat tema Islami dalam film Indonesia, Alicia Izharuddin (2015), dalam artikelnya The Muslim Woman in Indonesian Cinema and The Face Veil As
‘Other’, berbicara tentang bagaimana sineas Indonesia berusaha merepresentasikan Islam yang lebih damai dan toleran di tengah gempuran film Hollywood yang memberikan gambaran kekerasan pada muslim pasca tragedi 9/11 (Izharuddin, 2015). Fokus Izharuddin (2015) dalam artikel ini salah satunya adalah kontras antara penggambaran muslimah dalam film Indonesia yang kuat, mempunyai karir, berpendidikan tinggi, serta vokal, dihadapkan dengan gambaran Hollywood akan muslimah yang pasif. Namun, pertanyaannya kemudian menjadi: sejauh mana pembuat film Indonesia mampu menantang wacana hegemoni global tentang Islam dengan keterbatasan dan tekanan komersial global? Artikel Izharuddin (2015) ini memberikan gambaran bahwa sineas Indonesia telah mencoba melakukan perlawanan wacana melalui film.
Selain religiusitas, kehidupan di luar negeri juga menghadirkan perwujudan identitas keindonesiaan yang kosmopolit, seperti yang dipaparkan oleh Ariel Heryanto dalam bukunya Identitas dan Kenikmatan (2015). Heryanto melihat Amerika sebagai lokasi dan orang dalam film Catatan Si Boy (I-V) sebagai garis perbatasan antara penerimaan (dan juga dambaan) terhadap imajinasi mengenai “barat”. Pada saat yang sama, pemilihan lokasi di Amerika sekaligus merupakan usaha untuk
Vol. 15, No. 1, Juli 2023 25 menciptakan identitas urban yang kosmopolit. Penerimaan terhadap gaya hidup kaum muda urban di Jakarta tergambarkan juga melalui tokoh si Boy yang digambarkan sebagai anak muda dari keluarga kaya namun sopan dan taat beragama.
Pengkontrasan antara gaya hidup mewah dan ketaatan beragama, walaupun hanya sebatas tempelan, tidak lagi dihadap-hadapkan seperti mengkontraskan idiom kota dan desa. Hidup mewah dan religiusitas justru berpadu menjadi identitas baru kaum muda urban dalam sosok si Boy. Dalam Catatan Si Boy III, identitas si Boy bertambah menjadi warga dunia dengan kesuksesan sebagai pengusaha yang dicapainya di Los Angeles, California.
Melihat presentasi kemewahan yang muncul dalam penerimaan terhadap gaya hidup kebarat-baratan sebagai bagian dari fantasi, Krishna Sen, dalam artikelnya Si boy looked at Johnny: Indonesian screen at the turn of the decade (Sen, 1991), mengatakan bahwa kehidupan si Boy di luar negeri sebagai post-colonial joke–
fantasy. Pendapat ini didasarkan pada sebuah adegan yang menggambarkan pembantu rumah tangga di kediaman salah satu kolega si Boy di Amerika adalah seorang perempuan bule yang fasih berbahasa Jawa serta berbaju kain-kebaya.
Kontras dengan gaya dan cara berbicara orang-orang Indonesia di Amerika yang justru menggunakakan bahasa Inggris. Selain sebagai post-colonial joke-fantasy, Sen (1991) juga melihatnya sebagai bentuk kritik terhadap kesenjangan sosial yang muncul di Indonesia pada akhir dekade 1980-an. Mengutip pendapat Nasri Cheppy, sutradara film Catatan si Boy, “then I made the film… It appears, that the society needs films like this”, Sen (2009) mencoba untuk berargumen tentang adanya pengaruh barat dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang secara malu-malu diakui (atau mungkin justru didambakan). Artikel Krishna Sen (1991) ini sedikit banyak memberi arahan pada penelitian ini dalam hal cara memandang lokasi film, tidak semata-mata dipandang dari sudut filmis, namun lebih melihat pada pengalaman sinematik apa yang hendak ditawarkan dengan pemilihan lokasi tersebut.
Krishna Sen juga membahas mengenai identitas keindonesiaan dalam artikelnya yang lain berjudul Chinese Indonesians in National Cinema (Sen 2009).
Dalam artikel ini, Sen (2009) mencoba memahami ambiguitas dalam sinema Indonesia - khususnya pada pertanyaan-pertanyaan sejarah industri dan seputar isu representasi identitas nasional dan etnis di layar film Indonesia. Melalui pelacakan
26 Vol. 15 No. 1, Juli 2023
terhadap keberadaan maupun absennya minoritas etnis Tionghoa Indonesia dalam industri film Indonesia di tahun 1930-an hingga pergeseran politik pasca-Orde Baru, membuka kemungkinan bagi wacana publik yang segar tentang bagaimana identitas etnis Tionghoa Indonesia diartikulasikan.
Mengalami untuk memaknai sebuah lokasi merupakan inti dari artikel City and Desire in Indonesian Cinema tulisan Intan Paramadhita (2011). Paramadhita menggunakan pendekatan developmentalis untuk membandingkan dan mengkontraskan film Indonesia dari dua periode politik yang berbeda. Paramadhita (2011) berargumen bahwa ada perbedaan cara mengalami dan memaknai “kota”
dalam film-film yang diproduksi pada era Orde Baru dan era Reformasi. Film-film yang diproduksi pada era Orde Baru mengalami kota sebagai kontras dari desa.
Sementara, film-film yang diproduksi pada era Reformasi menawarkan pengalaman terhadap kota yang berbeda pada level personal. Kota ditampilkan dan dialami bukan sebagai sesuatu yang terlarang, kotor, dan bejat sebagai lawan dari desa yang suci, tenteram dan agung, tetapi diterima sebagai bagian dari kehidupan urban.
Pemaknaan sebuah lokasi dikaitkan dengan identifikasi dan pemahaman terhadap makna lokasi tersebut didasarkan pada perbedaan dalam cara “kota” dialami dan dimaknai dalam film-film yang diproduksi pada era Orde Baru dan Reformasi.
Film-film yang diproduksi pada era Orde Baru melihat kota sebagai antitesis dari desa.
Sedangkan sutradara pada film-film yang diproduksi pada masa Reformasi menawarkan pengalaman di berbagai kota. Paramadhita (2011) menyimpulkan bahwa perubahan imajinasi terhadap kota didasari oleh subjektivitas anak muda untuk melihat kota sebagai sesuatu yang dialami secara personal.
Luar negeri menjadi pembahasan penting dalam semua press release film yang mengambil lokasi di luar negeri. Misalnya dalam siaran pers film Belok Kanan Barcelona (2018). Inti cerita film tersebut, dalam press release, lebih sedikit dibahas daripada proses syuting serta pengalaman para pemainnya selama syuting di luar negeri. Demikian juga dalam press release film London Love Story (2016).
Pembahasan cerita film tersebut, dalam press release, mendapat porsi yang lebih sedikit daripada informasi mengenai bagaimana film ini mengambil lokasi syuting yang sama dengan lokasi syuting film James Bond Spectre (Abrori, 2016). “Keseruan Pemain Sunshine Becomes You, Syuting Sambil Traveling” adalah judul yang diambil
Vol. 15, No. 1, Juli 2023 27 untuk memberitakan release film Sunshine Becomes You (2015) (Rosidha, 2015).
Dalam press release ini diberitakan bagaimana para pemain film Sunshine Becomes You beraktivitas di kota New York. Dilengkapi dengan foto-foto Nabilah Ayu ketika menjelajahi Times Square, Boy William di Central Park, serta keseruan seluruh pemain ketika melalukan life story di Instagram. Press release film tersebut lebih menekanan pada bagaimana para pemain mengalami New York daripada tentang film itu sendiri.
Model isi press release, seperti dipaparkan di atas, terjadi di sebagian besar press release film Indonesia berlatar luar negeri. Fungsi press release sebenarnya untuk memberitakan adanya film baru yang diluncurkan dengan memberikan teaser pada penonton, menginformasikan apa-apa yang menarik dari film tersebut. Dengan tidak banyaknya informasi tentang cerita film yang dibahas (dalam press release), digantikan oleh cerita mengenai pengalaman para pemain saat berada di luar negeri, atau proses syuting di luar negeri, terbaca bahwa “berada di luar negeri” menjadi bagian yang sangat penting bagi film-film ini.
SIMPULAN
Berdasarkan studi literatur/kepustakaan yang telah dilakukan, maka didapatkan beberapa kesimpulan dari analisis diskursus kosmopolitan dalam film-film Indonesia berlatar luar negeri, yaitu:
Penggunaan latar luar negeri dalam film Indonesia merupakan sebuah garis perbatasan antara penerimaan (dan juga dambaan) terhadap imajinasi mengenai
“barat”, sekaligus usaha untuk menciptakan identitas urban yang mengindonesia.
Penggambaran kesuksesan orang Indonesia di luar negeri merupakan sebuah dambaan sekaligus gambaran jaman yang meletakkan orang Indonesia sejajar bahkan lebih sukses daripada orang Amerika atau Eropa. Istilah post-colonial joke- fantasy yang digunakan oleh Sen adalah sebuah gambaran bahwa saat ini penonton Indonesia melihat luar negeri sebagai sesuatu yang telah menjadi bagian dari dirinya sekaligus sebagai sesuatu untuk ditaklukkan.
Latar luar negeri dalam film Indonesia juga memperlihatkan sebuah upaya untuk menunjukkan identitas religius, terutama identitas religius keislaman. Menjadi
28 Vol. 15 No. 1, Juli 2023
bagian dalam isu-isu global seperti yang muncul dalam film Ayat-ayat Cinta adalah salah satu cara menjadikan penonton Indonesia menjadi bagian dari masyarakat kosmopolitan dengan segala permasalahannya. Tawaran menjadi masyarakat dunia tidak hanya melalui penggunaan lokasi di Kairo, tetapi juga pada pencapaian para tokohnya. Fahri, karakter utama dalam Ayat-ayat Cinta digambarkan mampu menunjukkan karakter Islaminya sekaligus menjadi solusi pada masalah yang terjadi di Kairo. Pada Ayat-ayat Cinta 2 kekuatan nilai keIslaman serta pencapaian para karakter utamanya di Edinburg makin dipertajam sebagai bagian dari masyarakat Islam dunia.
Tidak dapat dipungkiri bahwa keinginan melihat dunia sangat kuat muncul dalam film-film dengan lokasi luar negeri. Jalan, bangunan, dan kesuksesan adalah hal-hal yang digunakan untuk menghadirkan dambaan penonton Indonesia akan keberadaannya sebagai warga dunia. Mungkin, post-colonial joke–fantasy ini sudah tidak lagi hanya sebatas angan tetapi sudah menubuh dan menjadi kebutuhan dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang masih secara malu-malu diakui.
DAFTAR PUSTAKA
Beeton, S. (2008). From the screen to the field: The influence of film on tourism and recreation. Tourism recreation research, 33(1), 39-47.
Borden, I. (2013). Drive: journeys through film, cities and landscapes. Reaktion Books.
Corbain, Amy. (2014). Travelling Through Cinema Space: The Film Spectator as Tourist. Continuum. 28(3) pp. 314-329
Heryanto, A. (2015). Identitas dan kenikmatan. Kepustakaan Populer Gramedia.
Hoesterey, J. B., & Clark, M. (2012). Film Islami: gender, piety and pop culture in post- authoritarian Indonesia. Asian Studies Review, 36(2), 207-226.
Izharuddin, A. (2015). The Muslim woman in Indonesian cinema and the face veil as
‘other'. Indonesia and the Malay World, 43(127), 397-412.
Paramaditha, I. (2011). City and desire in Indonesian cinema. Inter-Asia Cultural Studies, 12(4), 500-512.
Sen, K. (1991). Si Boy looked at Johnny: Indonesian screen at the turn of the decade. Continuum: Journal of Media & Cultural Studies, 4(2), 136-151.
_______. (2009). ‘Chinese’Indonesians in national cinema. In Media and the Chinese Diaspora (pp. 133-150). Routledge.
Zed, M. (2008). Metode penelitian kepustakaan. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Vol. 15, No. 1, Juli 2023 29 Website:
Abrori, F. (2016, february 14). Liputan6.com. Retrieved from
liputan6.com/showbiz/read/2435781/ternyata-london-love-story-syuting-di- lokasi-film-james-bond
Rosidha, E. L. (2015, November 17). Liputan6.com. Retrieved from Liputan6.com:
liputan6.com/showbiz/read/2367232/keseruan-pemain-sunshine-becomes- you-syuting-sambil-traveling