i
BERPEGANG TEGUH ETIKA KEILMUAN ATAU FLEKSIBEL DITENGAH PERUBAHAN MASYARAKAT
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Etikaa Keilmuan Yang diampu Oleh :
Prof. Dr. Andi Mappiare, M.Pd. & Dr. Blasius Boli Lasan, M. Pd.
Disusun Oleh
Ahmad Ziyaul Haq NIM. 210111831625 Julia Viks Andriani Marpaung NIM. 210111831608
Lambertus Topo NIM. 210111831602
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
PASCASARJANA PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING OKTOBER 2021
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah yang disusun berdasarkan materi pembelajaran pada mata kuliah Etika Keilmuan dengan judul “Memegang Teguh Etika Keilmuan atau Fleksibel di Tengah Perubahan Masyarakat”.Kami menyadari bahwa tanpa adanya bantuan, dukungan, dan kerja sama yang baik dari semua pihak, makalah ini tidak akan terselesaikan dengan baik. Untuk itu, kami mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Andi Mappiare, M.Pd. & Dr. Blasius Boli Lasan, M. Pd. selaku dosen pengajar mata kuliah Etika Keilmuan yang telah memberi bekal, bimbingan dan pengarahan selama penulisan makalah ini.
2. Orang tua yang selalu memberikan semangat serta dukungan baik secara materiil maupun spiritual.
3. Teman-teman offering A yang telah membantu dalam memberikan dukungan serta bantuan selama penulisan makalah ini, dan
4. Semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu.
Mengingat pengetahuan dan kemampuan penulis yang terbatas dalam menyusun makalah ini. Maka dari itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga pengalaman membuat makalah ini dapat menjadi dorongan bagi penulis untuk karya yang lebih sempurna.
Akhirnya penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Malang, 25 Oktober 2021
Penyusun
3 DAFTAR ISI
BAB I ...4
1.1. Latar Belakang ...4
1.2. Rumusan Masalah ...5
1.3. Tujuan...5
BAB II ...6
2.1 Etika keilmuan yang harus dipegang oleh peneliit/ilmuan ...6
2.1 Broblematika Etika Keilmuan...8
2.2 Berpegang Teguh Pada Etika Keilmuan atau Fleksibel Pada Kondisi Masyarakat ...11
BAB III ...15
1.1 Kesimpulan ...15
DAFTAR PUSTAKA ...16
4 BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Filsafat ilmu adalah cabang filsafat yang mencoba memikirkan konsep- konsep yang dianut oleh para ilmuwan seperti konsep metode, objektivitas, penarikan kesimpulan, dan konsep kebenaran baku suatu pernyataan ilmiah. Hal ini penting agar para ilmuwan dapat lebih kritis terhadap model kegiatan ilmiah mereka sendiri dan mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Tujuan etika dari sudut pandang filosofis adalah untuk memperoleh bagi semua orang di segala waktu dan di semua tempat gagasan yang sama tentang besarnya perilaku baik dan buruk sejauh yang dapat diketahui oleh pikiran manusia. Namun dalam upaya mencapai tujuan tersebut, etika mengalami kesulitan karena masing-masing pandangan benar dan salah memiliki kriteria (kriteria) yang berbeda.
Secara metodologis, tidak semua yang mengevaluasi tindakan dapat disebut etis. Etika dalam refleksi membutuhkan sikap kritis, metodis dan sistematis. Oleh karena itu, etika adalah ilmu. Sebagai ilmu, objek etika adalah perilaku manusia.
Masalah mendasar dari etika khusus adalah bagaimana seseorang harus bertindak dalam bidang atau masalah tertentu, dan bidang itu harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat mendukung terwujudnya kebaikan hidup manusia. Dalam berperilaku tentunya etika harus dibedakan, secara khusus etika dapat dibedakan menjadi dua, yaitu etika individu dan etika sosial. Etika individu adalah tentang sikap kewajiban manusia terhadap perilakunya terhadap masyarakat sekitarnya. Sedangkan etika sosial berkaitan dengan hubungan manusia dengan orang lain secara langsung atau institusional, sikap yang kritis terhadap dunia atau tanggung jawab lingkungan. Etika ini berfungsi untuk menyadarkan manusia akan tanggung jawabnya dalam kehidupan di segala dimensi. Jadi kalau sudah tahu bagaimana kita bernasib di bidang etika ilmiah,
5 apakah Anda tetap berpegang pada etika keilmuan atau Anda fleksibel di tengah masyarakat yang terus berubah?
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang dikaji adalah : 1. Apa Saja Etika Keilmuan Yang Harus Dimiliki Peneliti?
2. Bagamana Problem Etika Keilmuan Saat ini?
3. Bagaimana Sikap Etika Keilmuan Yang Seharusnya? (berpegang teguh etika keilmuan atau fleksibel ditengah masyarakat)
1.3.Tujuan
Tujuan yang hendak dicapai dari penulisan makalah ini, sebagai berikut:
1. Mengetahui Etika Keilmuan Yang Harus Dimiliki Peneliti.
2. Mengetahui Problem Etika Keilmuan Saat ini.
3. Mengetahui Sikap Etika Keilmuan Yang Seharusnya (berpegang teguh etika keilmuan atau fleksibel ditengah masyarakat).
6 BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Etika keilmuan yang harus dipegang oleh peneliit/ilmuan
Ilmu merupakan salah satu dari buah pemikiran manusia dalam menjawab masalah-masalah kehidupan. Ilmu merupakan salah satu dari pengetahuan manusia. Untuk bisa menghargai ilmu sebagaimana mestinya sesungguhnya kita harus mengerti apakah hakikat ilmu itu sebenarnya. Dengan demikian maka pengertian yang mendalam terhadap hakikat ilmu, bukan saja akan mengikatkan apresiasi kita terhadap ilmu, namun juga membuka mata kita terhadap berbagai kekurangan. Ilmu yang merupakan produk kegiatan berpikir merupakan obor peradaban di mana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup dengan lebih sempurna. Berbagai peralatan dikembangkan manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan pengetahuan yang diperolehnya (Suryasumantri, 2006: 3).
Proses penemuan dan penerapan itulah yang menghasilkan kapak dan batu zaman dulu sampai zaman komputer hari ini. Berbagai masalah memasuki benak pemikiran manusia dalam menghadapi kenyataan hidup sehari-hari dan beragam buah pemikiran telah dihasilkan sebagai bagian dari sejarah kebudayaannya. Meskipun tampak betapa banyak dan beraneka ragamnya buah pemikiran itu, namun pada hakikatnya upaya manusia dalam memperoleh pengetahuan didasarkan pada tiga masalah pokok: Apakah yang ingin kita ketahui? Bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan? Dan apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita?
Menurut hamami (2006: 155) Dalam konteks pengembangan ilmu, seorang ilmuwan harus memliki sikap ilmiah sebagai bagian intergral dari sifat ilmu. Hal ini disebabkan oleh karena sikap ilmiah adalah suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai suatu pengetahuan ilmiah yang bersifat objektif. Sikap ilmiah bagi seorang ilmuwan bukanlah membahas tentang tujuan dari ilmu, melainkan bagaimana cara untuk mencapai suatu ilmu yang bebas dari prasangka pribadi dan dapat dipertanggung jawabkan secara sosial
7 untuk melestarikan dan keseimbangan alam semesta ini, serta dapat dipertanggung jawabkan.
Sikap ilmiah yang perlu dimiliki para ilmuwan itu antara lain adalah:
1. Tidak ada rasa pamrih ( disinterestedne),artinya suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang objektif dengan menghilangkan pamrih atau kesenangan pribadi
2. Bersikap selektif, yaitu suat sikap yang tujuannya agar para ilmuwan mampu mengadakan pemilihan terhadap berbagai hal yang dihadapi. Misalnya hipotesis yang beragam,metodologi yang masing-masing menunjukkan kekuatannya masing- masing, atau cara penyimpulan yang satu cukup berbeda walaupun masing-masing menunjukkan akurasinya
3. Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap alat -alat indera serta budi (mind)
4. Adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (belief) dan dengan merasa pasti (conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai kepastian
5. Adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuwan harus selalu tidak puas terhadap penelitian yang telah dilakukan, sehingga selalu ada dorongan untuk riset, dan riset sebagai aktivitas yang menonjol dalam hidupnya, dan akhirnya
6. seorang ilmuwan harus memiliki sikap etis (akhlaq) yang selalu berkehendak untuk mengembangkan ilmu untuk kemajuan ilmu dan untuk kebahagiaan manusia, lebih khusus untuk pembangunan bangsa dan negara.
(Sya’roni, 2014 dalam hamami)
Menurut Bertens (20070 etika tidak hanya berkutat pada hal-hal teoritis, namun juga terkait erat dengan kehidupan konkret, oleh karena itu ada beberapa manfaat etika yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan kehidupan konkret, yaitu:
1. Perkembangan hidup masyarakat yang semakin pluralistik menghadapkan manusia pada sekian banyak pandangan moral yang bermacam-macam,
8 sehingga diperlukan refleksi kritis dari bidang etika. Contoh: etika medis tentang masalah aborsi, bayi tabung, kloning, dan lain-lain.
2. Gelombang modernisasi yang melanda di segala bidang kehidupan masyarakat, sehingga cara berpikir masyarakat pun ikut berubah. Misalnya:
cara berpakaian, kebutuhan fasilitas hidup modern, dan lain-lain.
3. Etika juga menjadikan kita sanggup menghadapi ideologiideologi asing yang berebutan mempengaruhi kehidupan kita, agar tidak mudah terpancing.
Artinya kita tidak boleh tergesagesa memeluk pandangan baru yang belum jelas, namun tidak pula tergesa-gesa menolak pandangan baru lantaran belum terbiasa.
4. Etika diperlukan oleh penganut agama manapun untuk menemukan dasar kemantapan dalam iman dan kepercayaan sekaligus memperluas wawasan terhadap semua dimensi kehidupan masyarakat yang selalu berubah
2.1 Broblematika Etika Keilmuan
Tidak dapat dielakkan lagi bahwa ilmu dan teknologi telah banyak membantu manusia dalam pengertian yang sangat luas, tetapi juga tidak dapat diabaikan begitu saja adanya dampak negatif. Dalam hal ini manusia tidak seharusnya menjadi budak teknologi, tetapi ilmu dan teknologi yang harus berada di tangan manusia atau di bawah kendali manusia. Dengan demikian iIlmu dan teknologi dapat dikembangkan oleh dan bagi manusia untuk kepentingan kesejahteraan manusia. Dalam pandangan AGM Van Nelsen, ilmu dikembangkan pada mulanya sebagai teori yaitu untuk mendalami pengertian diri. (Sya’roni:2013)
Dalam pandangan AGM Van Nelsen, ilmu dikembangkan pada mulanya sebagai teori yaitu untuk mendalami pengertian diri manusia dan alam sekitar, sehingga manusia sampai pada inti dirinya. Pada tahap ini ilmu manusia lebih bersifat mendeskrispsikan realitas. Ilmu pengetahuan dimaksudkan agar manusia mampu menjadi manusia yang sungguh-sungguh menyadari diri dan kedudukannya yang unik dalam kosmos. Dalam hal ini problem etis ilmu pengetahuan adalah menyangkut adanya ketegangan ketegangan antara realitas yang ada (das sein) dan relitas yang seharusnya ada (das solen). Selanjutnya
9 perkembangan ilmu dan teknologi dalam obyektifitas dan otonominya tidak mungkin lepas dari pengaruh pola-pola kebudayaan dan praanggapan di luar kegiatan keilmuan. Dengan demikian tidak berlebihan jika manusia dituntut harus mampu mengendalikan dan bertanggungjawab atas ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai ciptaannya dan itu justru demi keselamatan, kelestarian kehidupannya sendiri. (Rahman Assegaf:2004)
Tanggung jawab etis merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu. Dalam kaitan ini terjadi keharusan untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab ada kepentingan umum, kepentingan generasi mendatng dan bersifat universal. Karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia. Tanggung jawab etis ini bukanlah berkehendak mencampuri atau bahkan menghancurkan otonomi ilmu, tetapi bahkan dapat sebagai umpan balik bagi pengembangan ilmu itu sendiri yang sekaligus akan lebih memperkokoh eksistensi manusia. Tanggung jawab etis semacam ini pada akhirnya bertujuan agar manusia terinspirasi, termotivasi dan terpacu mengembangkan ilmu untuk kemaslahatan umat dan bukan untuk mencelakakan diri dan generasinya.
Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran memang merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu secara netral, tak berwarna, dapat melunturkan pengertian kebenaran, sehingga ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran. Ilmu bukan tujuan tetapi sarana, karena hasrat akan kebenaran itu berimpit dengan etika pelayanan bagi sesama manusia dan tanggungjawab secara agama.
Sebenarnya ilmuwan dalam gerak kerjanya tak usah memperhitungkan adanya dua faktor: ilmu dan tanggungjawab, karena yang kedua itu sudah lengket dengan yang pertama. Ilmu pun lengket dengan keberadaan manusia yang transenden dengan kata-kata lain, keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Di situ terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang
10 transenden.Dengan ini berarti pula bahwa titik henti dari kebenaran tu terdapat di luar jangkauan manusia.
Tanggung jawab etis merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu. Dalam kaitan ini terjadi keharusan untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab ada kepentingan umum, kepentingan generasi mendatng dan bersifat universal. Karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia. Tanggung jawab etis ini bukanlah berkehendak mencampuri atau bahkan menghancurkan otonomi ilmu, tetapi bahkan dapat sebagai umpan balik bagi pengembangan ilmu itu sendiri yang sekaligus akan lebih memperkokoh eksistensi manusia. Tanggung jawab etis semacam ini pada akhirnya bertujuan agar manusia terinspirasi, termotivasi dan terpacumengembangkan ilmu untuk kemaslahatan umat dan bukan untuk mencelakakan diri dan generasinya.
Dalam realitas kehidupan masyarakat dewasa ini, terjadi konflik antara etika pragmatik dengan etika pembebasan manusia. Etika pragmatik berorientasi pada kepentingan-kepentingan elite sebagai wujud kerja sama antara iptek, uang, kekuasaan dan kekerasan yang cenderung menindas untuk kepentingannya sendiri yang bersifat materialistik, dengan etika pembebasan manusia dari penindasan kekuatan elite, etika pembebasan yang bersifat spiritual dan universal. Etika pembebasan manusia, yang bersifat spiritual dan universal itu, bisa muncul dari kalangan ilmuwan itu sendiri, yang bisa jadi karena tidak kerasan dan menolak etika pragmatik yang dirasakan telah menodai prinsip- prinsip ilmu yang menjunjung tinggi kebenaran, kebebasan dan kemandirian.Ilmuwan ini biasanya bekerjasama dengan para rohaniawan dan rakyat kecil pada umumnya, menjadi sebuah gerakan perlawanan terhadap berlangsungnya etika pragmatik yang bertumpu pada kekuasaan birokrasi politik yang sudah mapan.
11 2.2 Berpegang Teguh Pada Etika Keilmuan atau Fleksibel Pada Kondisi
Masyarakat
Tanggung jawab etis merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu. Dalam kaitan ini terjadi keharusan untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab ada kepentingan umum, kepentingan generasi mendatng dan bersifat universal. Karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia. Tanggung jawab etis ini bukanlah berkehendak mencampuri atau bahkan menghancurkan otonomi ilmu, tetapi bahkan dapat sebagai umpan balik bagi pengembangan ilmu itu sendiri yang sekaligus akan lebih memperkokoh eksistensi manusia. Tanggung jawab etis semacam ini pada akhirnya bertujuan agar manusia terinspirasi, termotivasi dan terpacu mengembangkan ilmu untuk kemaslahatan umat dan bukan untuk mencelakakan diri dan generasinya.
Etika menilai tindakan manusia. Objek formal etika adalah norma moralitas manusia. Dengan kata lain, "etika" mempelajari perilaku manusia dalam hal baik dan buruk dalam kondisi normatif. Kondisi normatif adalah kondisi yang mengandung norma. Estetika berkaitan dengan nilai mengalami keindahan yang dimiliki manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekitarnya. Nilai bersifat objektif atau subjektif, tergantung dari sudut pandang yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, jika subjek berperan utama dalam segala hal. Kesadaran manusia menjadi acuan segala sesuatu, demikian pula keberadaannya, keabsahan makna dan nilainya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa menanyakan apakah itu psikologis atau fisik.
Dengan demikian nilai-nilai subjektif akan selalu memperhatikan perbedaan pendapat pikiran manusia, seperti perasaan, akal. Hasil nilai subjektif selalu mengarah pada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang. Nilai objektif tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif
12 muncul dari konsepsi filosofis tentang objektivisme. Objektivisme ini beranggapan bahwa titik orientasi suatu ide terletak pada objeknya, sesuatu yang memiliki tingkat realitas yang benar-benar ada. Lalu bagaimana dengan nilai dalam sains.
Seorang ilmuwan harus bebas menentukan subjek penelitiannya, bebas melakukan eksperimen. Kebebasan ini nantinya akan dapat mengukur kualitas kemampuannya. Ketika seorang ilmuwan bekerja, ia hanya berfokus pada proses karya ilmiahnya dan tujuan penelitian yang sukses. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utama, tidak mau terikat dengan nilai subjektif. Nilai subjektif seperti nilai dalam masyarakat, nilai agama, nilai adat, dll. Bagi seorang ilmuwan, kegiatan ilmiahnya dengan kebenaran ilmiah sangat penting. Oleh karena itu, netralitas ilmu terletak pada epistemologinya, yaitu tidak berpihak pada kebenaran yang hakiki. Adapun secara ontologis dan aksiologis, para ilmuwan harus bisa menilai mana yang baik dan mana yang buruk. Jadi pada dasarnya menuntut seorang ilmuwan untuk memiliki landasan moral yang kokoh. Tanpa moral, seorang ilmuwan seperti hantu yang menakutkan.
Etika ilmiah adalah etika normatif yang merumuskan prinsip-prinsip etika yang dapat dibenarkan secara rasional dan diterapkan dalam ilmu pengetahuan. Tujuan dari etika ilmiah adalah agar seorang ilmuwan dapat menerapkan prinsip-prinsip moral, yaitu prinsip-prinsip yang baik, dan menghindari unsur-unsur buruk dalam perilaku ilmiahnya, sehingga ia dapat menjadi seorang ilmuwan yang dapat bertanggung jawab atas perilaku ilmiahnya.
Etika normatif menetapkan aturan yang mendasari evaluasi tindakan yang harus dilakukan dan apa yang harus dilakukan dan menentukan apa yang bertentangan dengan apa yang harus dilakukan. Tema utama dalam etika ilmiah selalu mengacu pada “unsur-unsur” aturan moral, yaitu hati nurani, kebebasan dan tanggung jawab, nilai dan norma utilitarian (utilitas). Kesadaran adalah apresiasi terhadap kebaikan dan kejahatan dan dikaitkan dengan perilaku manusia.
Nilai dan norma yang seharusnya ada dalam etika ilmiah adalah nilai dan norma moral. Nilai-nilai moral tidak berdiri sendiri, tetapi ketika menjadi milik atau milik seseorang, mereka menyatu dengan nilai-nilai yang ada seperti nilai
13 agama, hukum, budaya, dll. Yang terpenting dalam nilai moral adalah terkait dengan tanggung jawabnya. Norma moral menentukan apakah seseorang berperilaku etis baik atau buruk. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan standar moralnya akan menentukan apakah ia telah menjadi ilmuwan yang baik atau tidak.
Penerapan ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh para ilmuwan, baik itu teori teknologi maupun pemberdayaan masyarakat, harus memperhatikan nilai- nilai kemanusiaan, nilai-nilai agama, nilai-nilai adat, dan lain-lain. Artinya, ilmu pengetahuan tidak lagi berharga. Karena ilmu itu sudah ada di tengah-tengah masyarakat luas dan masyarakat akan mengujinya. Oleh karena itu, tanggung jawab terkait keilmuan lainnya di masyarakat menciptakan hal-hal positif.
Namun, tidak semua teknologi atau ilmu pengetahuan selalu membawa hal-hal positif.
Di bidang etika, tanggung jawab seorang ilmuwan bukan lagi memberi informasi, melainkan memberi contoh. Ia harus objektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, teguh pada apa yang dianggap benar dan berani mengakui kesalahannya. Semua karakteristik ini adalah implikasi etis dari proses ilmiah pencarian kebenaran. Di tengah situasi "nilai" dalam krisis dan keterkejutan, seorang ilmuwan harus mewujudkan, pengetahuannya adalah kekuatan yang akan memberinya keberanian. Hal yang sama harus dilakukan dalam masyarakat yang berkembang, seorang ilmuwan harus bertindak sebagai pendidik dengan memimpin dengan memberi contoh.
Hal lainnya adalah ketika ilmu yang begitu kaku terikat dengan nilai-nilai maka ilmu pengetahuan harus terbuka pada konteksnya.. Agama adalah konteksnya. Agama mengarahkan sains pada tujuan akhirnya untuk memahami realitas alam dan memahami keberadaan Allah SWT. Memahami keberadaan Allah SWT diharapkan manusia menyadari hakikat penciptaan diri dan dari mana asalnya. Solusinya yang diberikan al Qur`an terhadap ilmu pengetahuan yang terikat dengan nilai adalah dengan cara mengembalikan ilmu pengetahuan pada jalur semestinya, sehingga ilmu menjadi berkah dan rahmat kepada manusia dan
14 alam bukan sebaliknya membawa mudharat kehancuran dan bencana. (Ali Mahsun:2013)
15 BAB III
PENUTUP 1.1 Kesimpulan
Sikap ilmiah merupakan sikap yang harus ada pada diri seorang ilmuwan atau akademisi ketika menghadapi persoalan persoalan ilmiah untuk dapat melalui proses penelitian yang baik dan hasil yang baik pula. Sikap ilmiah dapat juga dijadikan pedoman dalam melakukan kerja ilmiah. Usaha untuk menghindarkan dampak negative dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diperlukan adanya kode etik yang bersifat universal sehingga kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat diterima oleh semua pihak, tanpa harus mengorbankan pihak-pihak lain dan tanpa merusak lingkungan, serta tanpa adanya kejahatan intelektual
16 DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K. 2007. Etika, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Mahsun, Ali.2013.Pendidikan Islam Dalam Arus Globalisasi. Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman. Vol. 8. No. 2
Suriasumantri, JuJun S.2006. Ilmu dalam Perspektif, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Sy’roni. M. 2014. Etika keilmuan: sebuah kajian filsafat ilmu. Jurnal teologia.
Vol. 25 (1)
Rahman Assegaf.(2004)).Pendidikan Tanpa Kekerasan, Tipologi Kondisi Kasus dan Konsep. Yogyakarta: Tiara Wacana
Rahayu, Sri Walny.(2015).Contribution Of Philosophy Of Science Of Ethics Scientific Modern Society.Kanun Jurnal Ilmu Hukum.pp. 533-553.