• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUDAYA DAN KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA

N/A
N/A
Ahmad A. Anam

Academic year: 2024

Membagikan "BUDAYA DAN KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA "

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BUDAYA DAN KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata KuliahKonseling Multibudaya Dosen Pengampu :Dr. Naharus Surur, M.Pd.

Penyusun :

1. Ainayah Faatihah Amril (K3117005)

2. Hartanti (K3117033)

3. Lis Mona Inas Agesti (K3117045)

4. Maryam Akhfiya (K3117049)

5. Rizky Estu Dwi Astuti (K3117063)

Kelas 6A

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2020

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat, inayah, taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dalam bentuk maupun isinya sangat sederhana. Makalah ini berjudul Budaya dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa .

Kami berharap makalah ini dapat di pergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca pada umumnya, dan penyusun pada khususnya.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.

Penyusun

(3)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………... i

KATA PENGANTAR………... ii DAFTAR ISI………. iii

BAB I PENDAHULUAN………. 1

A. Latar Belakang………... 1

B. Rumusan Masalah……….. 2

C. Tujuan Penulisan………... 2 BAB II PEMBAHASAN………... 3 A. Definisi Budaya dan Kepercayaan...………...………. 3

B. Karakteristik Budaya dan Kepercayaan...……….. 5

C. D. Unsur-Unsur dan Contoh Budaya dan Kepercayaan...……….. Budaya dan Kepercayaan dalam Konseling... 8 17 BAB III PENUTUP………... 23

A. Kesimpulan……… 23

B. Saran……….. 23 DAFTAR

PUSTAKA………....

25

(4)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fenomena kehidupan masyarakat dilihat dari aspek agama dan budaya yang memiliki keterkaitan satu sama lain yang terkadang banyak disalah artikan oleh sebagian orang yang belum memahami bagaimana menempatkan posisi agama dan posisi budaya dalam suatu kehidupan masyarakat. Dalam kehidupan manusia, agama dan budaya jelas tidak berdiri sendiri, keduanya memiliki hubungan yang sangat erat dalam dialektikanya; selaras menciptakan dan kemudian saling menegasikan.

Agama sebagai pedoman hidup manusia yang diciptakan oleh Tuhan, dalam menjalani kehidupannya. Sedangkan kebu- dayaan adalah sebagai kebiasaan tata cara hidup manusia yang diciptakan oleh manusia itu sendiri dari hasil daya cipta, rasa dan karsanya yang diberikan oleh Tuhan.

Agama dan kebudayaan saling mem- pengaruhi satu sama lain. Agama mempengaruhi kebudayaan, kelompok masyarakat, dan suku bangsa.

Kebudayaan cenderung berubah-ubah yang berimplikasi pada keaslian agama sehingga menghasilkan penafsiran berlainan. Salah satu agenda besar dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara adalah menjaga persatuan dan kesatuan dan membangun kesejahteraan hidup bersama seluruh warga negara dan umat beragama

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang religius. Mengakui dan mempercayai adanya penguasa hidup dan kehidupan yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Aktualiasasi atas kepercayaan masyarakat Indnesia diekspresikan melalui ajaran agama dan ajaran kepercayaan diluar agama.

Masyarakat berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa diluar agama berada dalam kesatuan-kesatuan sosial, seperti kelompok atau paguyuban penghayat dan juga kepercayaan-kepercayaan komunitas adat yan tersebut di wilayah Indonesia.

(5)

Tidak dapat dipungkiri aliran kepercayaan yang ada pada masyarakat kita merupakan sebuah fakta yang tidak dipungkiri sebagai bagian dari kekayaan kehidupan spiritual yang telah ada sejak lama.

Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan warisan leluhur budaya bangsa yang sudah lama ada, diyakini dan dihayati, terkandung nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan pedoman dalam usaha pengembangan jati diri dan integritas bangsa.

Kepercayaan tersebut mengandung nilai-nilai religius, nilai moral dan sosial. Oleh karena itu kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa perlu untuk dilestarikan, dan diamalkan. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah pernyataan dan pelaksanaan hubungan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keyakinan yang diwujudkan dengan perilaku ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan budaya dan kepercayaan ?

2. Apa saja yang menjadi karakteristik budaya dan kepercayaan ? 3. Apa saja yang menjadi unsur serta contoh dari budaya dan

kepercayaan ?

4. Bagaimana kerterkaitan antara budaya dan kepercayaan dalam konseling ?

C. Tujuan

1. Mengetahui definisi dari budaya dan kepercayaan 2. Mengetahui karakteristik budan dan kepercayaan.

3. Mengetahui unsur serta contoh kebudayaan dan kepercayaan yang ada.

4. Mengetahui keterkaitan antara budaya dan kepercayan dalam lingkup konseling.

(6)

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi Budaya dan Kepercayaan 1. Budaya

Secara etimologi budaya adalah bentuk jamak dari kata “budi” dan

“daya” yang bearti cinta, karsa, dan rasa. Kata “budaya” sebenarnya berasal dari bahasa Sanskerta, budhayah, yaitu bentuk jamak kata buddhi yang bearti budi atau akal. Dalam bahasa inggris, kata budaya berasal dari kata culture. Dalam bahasa belanda diistilahkan dengan kata cultuur .Dalam bahasa Latin, berasal dari kata colera. Colera bearti mengolah, dan mengerjakan, menyuburkan, dan mengembangkan tanah (bertani).

Kemudian pengertian ini berkembang dalam culture, yaitu sebagai segala dayadan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam. Menurut Soerjanto Poespowardojo budaya adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat yang di jadikan miliki diri manusia dengan cara belajar .

Pengertian budaya atau kebudayaan menurut beberapa ahli, sebagai berikut :

a. Koentjaraningrat (1923-1999), Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan , milik diri manusia dengan belajar .

b. Selo soemardjan (1985-2003) dan Soelaeman soemardi kebudayaan adalah semua hasil karya, ras, dan cipta masyarakat.

c. Herkovits (1985-1963), Kebudayaan adalah bagian dari lingkungan hidup yang di ciptakan oleh manusia .

d. E.B Taylor (1832-1917), Budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang di dapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

e. R. Linton (1893-1953), kebudayaan dapat dipandang sebagai konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku yang di

(7)

pelajari, dimana unsur-unsur pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat lainnya.

f. Menurut Charles A. Valentine, Kebudayaan merujuk pada organisasi pengalaman yang telah dicapai oleh sekelompok masyarakat, termasuk di dalamnya standar mereka terhadap persepsi, prediksi, penilaian dan tingkah laku.

g. Menurut Van Peursen, Kebudayaan merupakan manifestasi kehidupan individu maupun kelompok (masyarakat). Ia dipandang sebagai sesuatu yang dinamis, bukan sesuatu yang kaku atau statis.

h. Menurut Mundzirin Yusuf, Kebudayaan adalah seperangkat pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, kesenian, yang dijadikan pedoman dalam bertindak untuk memecahkan persoalan yang dihadapi dalam liku-liku kehidupan.

Dengan demikian, kebudayaan atau budaya menyangkut keseluruhan aspek kehidupan manusia baik material maupun nonmaterial.

Sebagaian besar ahli yang mengartian kebudayaan seperti ini kemungkinan besar sangat dipengaruhi oleh pandangan evolusionisme, yaitu suatu teori yang mengatakan bahwa kebudayaan itu akan berkembang dari tahapan yang sederharna menuju tahapan yang lebih kompleks.

2. Kepercayaan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kepercayaan diartikan sebagai keyakinan bahwa sesuatu yang dipercayai itu benar atau nyata.

Kata kepercayaan ini juga bisa berarti pengakuan terhadap kebenaran apa yang diceritakan/disampaikan oleh orang mengenai suatu kejadian atau keadaan.

Aliran Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan suatu ajaran pandangan hidup berkepercayaan kepada Tuhan YME yang tidak bersandarkan sepenuhnya kepada ajaran agama-agama yang ada.

Dengan kata lain, dalam kehidupan moralnya maupun dalam rangka

(8)

“menyembah kepada Tuhan” penganut paham “aliran kepercayaan” tidak berpegang ataupun tidak menganut pada suatu ajaran agama tertentu.

Kata “kepercayaan” menurut makna kata mempunyai beberapa arti, seperti iman kepada agama, anggapan (keyakinan) bahwa benar sungguh ada, misalnya kepada dewa-dewa dan orang-orang halus. Kata kepercayaan menurut istilah yang dimaksud di sini ialah keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa di luar agama atau tidak termasuk ke dalam agama.

Dengan demikian, kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dapat diartikan sebagai suatu pengakuan terhadap suatu kebenaran ajaran yang dibawa seseorang ‘penerima wahyu’ dari Tuhan Yang Maha Esa.

B. Karakteristik Budaya dan Kepercayaan 1. Budaya

Dalam memahami kebudayaan kita harus mengacu pada sejumlah karakteristik kebudayaan, antara lain adalah:

a. Budaya adalah Mekanisme Adaptif (Culture is an Adaptive Mechanism)

Kebudayaan adalah suatu mekansime yang dapat menyesuaikan diri. Kebudayaan adalah sebuah keberhasilan mekanisme bagi spesies manusia. Kebudayaan memberikan kita sebuah keuntungan selektif yang besar dalam kompetisi bertahan hidup terhadap bentuk kehidupan yang lain.

a. Perubahan Budaya (Cultures Change)

Kebudayaan bukan sesuatu yang terus menerus tetap (bertumpuk).

Pada waktu yang sama dimana suatu kebudayaan ada, terdapat tanda-tanda kebudayaan baru. Tanda-tanda itu bisa sebagai tambahan (addition) atau pengurangan (subtraction). Tanda-tanda ini menyebabkan perubahan kebudayaan. Hal ini disebabkan kebudayaan berubah dan berkembang secara dinamis setiap saat (kebudayaan tidak statis). Berbagai aspek kebudayaan beserta tanda-tandanya akan terjalin rapat menjadi suatu pola yang sangat kompleks.

(9)

b. Budaya dibagikan (Culture is Shared)

Suatu kebudayaan dimiliki secara bersama-sama oleh sekelompok orang. Berdasarkan wilayah, kondisi iklim, dan warisan sejarah, mereka tumbuh dan berkembang di dalamnya. Mereka memiliki suatu nilai dan keyakinan, dimana kumpulan-kumpulan prinsip/asas/dasar nilai dan keyakinan ini akan membentuk kebudayaan mereka. Kebudayaan bisa saja menjadi kepunyaan dari komunitas tunggal, tapi tidak akan pernah menjadi kepunyaan dari seseorang yang tunggal (individu).

c. Budaya dipelajari (Culture is Learned)

Budaya bukanlah suatu hal yang naluriah, dimana kita telah terprogram untuk mengetahui fakta-fakta dari budaya tersebut. Oleh karena itu salah asatu dari karekteristik buadaya adalah diperoleh melalui belajar. Manusia lahir kedunia dengan sifat dasar, yaitu

‘lapar’ dan ‘haus’. Akan tetapi meraka belum memiliki suatu bentuk polanaluriah untuk dapat memuaskan sifat dasar itu. Selain itu manusia saat lahir juga tidak dibekali pengetahuan tentang budaya (cultural knowledge). Tetapi mereka secara genetis terpengaruh untuk belajar atau mempelajari bahasa dan tanda-tanda kebudayaan lainnya (cultural traits). Seorang bayi akan berada disuatu tempat atau dilimgkuan keluarga, dan mereka tumbuh dan belajar tentang kebudyaan sebagai sesuatu mereka miliki.

d. Orang Biasanya Tidak Menyadari Budaya Mereka (People Usually Are Not Aware Of Their Culture)

Cara kita bergaul dan melakukan segala seuatu dalamkeseharian kita terkesan berjalan dengan alami. Kebanyakan dari kita tidak sadar akan budaya. Hal itu disebabkan oleh manusia yang bpada dasarnya sangat dekat dengan kebudayaa itu dengan dan mengetahuinya dengan sangat baik. Manusia merasaka bahwa semusnys seolah-olah terjadi begitu saja (mewarisi secara biologis).

Dan biasanya manusia hanya akan sadar bahnwa pola kelakuan

(10)

mereka bukanlah sesuatu yang individual ketika mereka mulai berinteraksi dengan manusia dari kebudayaan lain.

e. Budaya Memberi Kita Berbagai Pola Perilaku (Culture Give Us A Range Of Permissible Behavior Patterns)

Kebudayaan umunya memberikn jarak dalam cara bagaimana laki- laki sebagai laki-laki, wanita sebagai wanita. Kebudayaan juga memberitahukan bagaimana perbedan aktivitas yang seharusnya ada dan tidak, sepereti bagaimana seperti seorang suami bertindak sebagai suami, isteri sebagai isteri. Aturan ini biasanya bersifat fleksibel disetiap derajat, kadar dan tingkat nya. Contohnya, kebudayaan mengajarkan bahwa seorang harus berpakaian sesuai dengan jenis kelamin (gender).

f. Budaya Tidak lagi diisolasi (Culture No Longer Exist Isolation) Artinya budaya tidak akan bertahan lama dalam waktu suatu wilayah terpencil. Apabila suatu kebudayaan baru memasuki wilayah tersebut, secara alamiah masyarakat disana akan berkembang dan mulai beradaptasi dengan kebudayaan-kebudayaan baru. Dengan kata lain, suatu budaya sulit bertahan (asli) disuatu tempat karena akan dipengaruhi oleh budaya-budaya dari daerah lain.

2. Kepercayan

Karakteristik kepercayaan atau agama menurut Siit Hartinah sebagai berikut:

a. Adanya kepercayaan terhadap yang maha gaib, maha suci, maha agung, sebagai pencipta alam semesta.

b. Melakukan hubungan dengan hal-hal diatas, dengan berbagai cara seperti misalnya dengan mengadakan upacara-upacara ritual, pemujaan, pengabdian, dan sebagainya

c. Adanya suatu ajaran yang harus dijalankan oleh setiap penganutnya

(11)

d. Menurut pandangan islam, bahwa ajaran tersebut diturunkan oleh rab tidak langsung pada setiap manusia, melainkan melalui nabi- nabi dan rosul-rosulnya sebagai orang-orang yang suci.

C. Unsur-Unsur Dan Contoh Budaya dan Kebudayaan 1. Budaya

Untuk memahami lebih lanjut mengenai unsur-unsur yang membentuk suatu budaya, ada tujuh elemen pembentuk suatu budaya yaitu bahasa, pengetahuan, sosial, teknologi, ekonomi, religi, dan kesenian. Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai tujuh unsur pembentuk kebudayaan.

a. Bahasa

Bahasa adalah suatu sarana yang digunakan bagi manusia untuk saling berkomunikasi dan berinteraksi. Menurut Keesing, sebuah bahasa menjadi faktor penting dalam tumbuh kembang dan menjaga keberadaan sebuah budaya. Sebuah generasi akan menurunkan dan mewariskan kebudayaan kepada generasi penerusnya melalui bahasa yang menimbulkan pemahaman mengenai detail kebudayaan.

Suatu studi yang khusus mempelajari mengenai bahasa disebut dengan antropologi linguistik. Bahasa sebagai alat komunikasi rupanya memegang peranan penting dalam proses pembangunan sebuah budaya. Bahasa, baik yang bersifat lisan maupun tulisan, dan bahkan sebuah isyarat mampu melahirkan kebudayaan yang berbeda-beda. Menurut Koentjaraningrat, sebuah bahasa memiliki ciri-ciri penting sebagai alat komunikasi yaitu sebagai bentuk perlambangan yang diungkapkan dalam bentuk lisan maupun tulisan. Cara membandingkan bahasa yang satu dengan bahasa yang lain adalah dengan membandingkannya ke dalam rumpun, sub rumpun, keluarga, dan sub keluarga.

(12)

Menurut Koentjaraningrat lagi, untuk memberikan batasan daerah penyebaran dari suatu bahasa sangatlah sulit, hal ini disebabkan daerah tempat tinggal suatu kelompok yang memiliki bahasa tertentu sangatlah tipis dan rentan dengan adanya proses asimilasi atau pengaruh satu bahasa dengan bahasa lainnya yang berdekatan sangatlah mungkin terjadi apalagi di daerah perbatasan.

Di dalam ilmu antropologi linguistik, tidak hanya mempelajari suatu bahasa secara umum, namun hingga mempelajari tentang dialek atau logat bahasa. Ada pula yang disebut dengan perbedaan suatu bahasa yang ditentukan dari status dan tingkatan sosial yang disebut dengan tingkat sosial bahasa atau social levels of speech.

Sebagai contohnya, di dalam suku Jawa terdapat beberapa tingkatan sosial bahasa. bahasa Jawa yang digunakan di daerah Solo dan Yogyakarta lebih dikenal dengan bahasa Jawa halus.

Sedangkan untuk dialek yang digunakan pada masyarakat di Jawa Timur sering digunakan bahasa Jawa kasar.

b. Pengetahuan

Unsur kebudayaan dalam konsep suatu ilmu pengetahuan sebenarnya lebih ditekankan pada suatu bentuk informasi atau pengetahuan untuk bertahan hidup. Pengetahuan sendiri sering dikaitkan dengan penemuan-penemuan mengenai sebuah alat dan teknologi dari sebuah ide atau gagasan manusia.

Jika demikian maka unsur pengetahuan memiliki batasan yang sangat luas. Maka dari itu di dalam kaitannya dengan kebudayaan, unsur pengetahuan yang dipersempit hingga menyangkut hal-hal yang berpengaruh dalam hubungan sosial dan bagaimana hal tersebut digunakan untuk bertahan hidup.

Sebagai contoh, masyarakat pada zaman dahulu biasanya memiliki sistem perhitungan hari yang didasarkan pada astronomi

(13)

tradisional seperti perhitungan hari berdasarkan bulan atau benda langit lainnya.

Seperti pada masyarakat pedesaan yang memiliki mata pencaharian sebagai petani, biasanya mereka menggunakan kalender tradisional untuk menentukan masa tanam dan masa panen yang disebut dengan pranatamangsa. Sistem ini juga digunakan untuk menghitung banyaknya curah hujan pada masa kemarau. Sistem pranatamangsa menggunakan siklus alam sebagai patokannya.

Contoh lainnya adalah pengetahuan bagi nelayan yang ingin pergi melaut. Biasanya mereka menentukan kondisi laut dengan melihat gugusan rasi bintang di langit. Atau kebudayaan masyarakat Papua untuk berburu buaya di rawa pada malam hari.

Menurut Koentjaraningrat, setiap kebudayaan pasti memiliki pengetahuan mengenai alam dan sekitarnya. Hal tersebut dikarenakan dalam proses untuk hidup dan bertahan, manusia harus memiliki pengetahuan tentang alam. Berikut hal-hal yang menurut Koentjaraningrat pasti dimiliki suatu bangsa terkait pengetahuan mengenai budaya.

1) Kondisi alam dan lingkungan sekitar

2) Informasi mengenai tumbuhan dan binatang yang ada di sekitar mereka

3) Karakteristik dan fungsi dari tubuh manusia 4) Zat dan bahan mentah di sekitar mereka 5) Sifat dan pola perilaku manusia

6) Konsep ruang dan waktu

Pengetahuan ini dapat digunakan untuk menentukan musim yang tepat untuk bertani, berburu, melaut, dan berladang. Juga dapat digunakan untuk menentukan mana saja bahan-bahan atau zat yang dapat digunakan sebagai sumber pengobatan. Selain itu

(14)

juga digunakan untuk membuat alat dan teknologi untuk mempermudah kehidupan mereka.

c. Sosial

Keterkaitan antara ilmu sosial dengan suatu budaya adalah bagaimana budaya dapat dijadikan alat untuk membentuk suatu kelompok masyarakat melalui suatu peraturan yang disebut dengan adat istiadat. kelompok masyarakat yang paling kecil dan paling dekat adalah keluarga dimana adat istiadat bahkan norma mulai diperkenalkan pertama kali. Setelah itu setiap manusia akan mulai keluar dan mengenal tingkatan organisasi sosial lainnya yang lebih luas yang disebut dengan masyarakat.

Tingkatan lainnya dalam hubungan bersosialisasi adalah sebuah perkawinan. Sebuah perkawinan adalah sebuah proses untuk membentuk komunitas atau organisai sosial yang baru.

Perkawinan sendiri tidak hanya akan menyatukan dua manusia saja namun juga menyatukan dua kebudayaan dan meleburnya menjadi sebuah kebudayaan yang baru.

d. Teknologi

Perhatian awal para peneliti mengenai unsur suatu budaya adalah dari sebuah teknologi yang telah ada sejak zaman nenek moyang. Pembahasan mengenai teknologi ini masuk ke dalam bahasan budaya yang bersifat fisik, Karena menyangkut benda- benda ataupun alat yang digunakan pada masa lampau meskipun sifatnya masih sederhana.

Menurut Koentjaraningrat, ada delapan macam sistem dan unsur teknologi, yaitu

1) Alat produktif 2) Senjata 3) Wadah

4) Alat untuk menyalakan api 5) Makanan dan minuman

(15)

6) Pakaian

7) Tempat berlindung 8) Alat transportasi e. Ekonomi

Pokok bahasan dalam unsur perekonomian adalah tentang bagaimana suatu kelompok masyarakat menggunakan sistem perekonomian untuk digunakan sebagai mata pencaharian mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Ada lima sistem mata pencaharian yang dilakukan oleh kelompok masyarakat, yaitu

1) Bercocok tanam 2) Berternak 3) berburu

4) Menangkap ikan

5) Bercocok tanam dengan menggunakan sistem irigasi

Sebenarnya masih ada satu mata pencaharian namun karena sudah sangat jarang dilakukan dan hampir hilang dari budaya, yaitu meramu. Kegiatan meramu seperti yang dilakukan masyarakat Papua kini sudah sangat jarang ditemukan. Salah satu tradisi yang sudah hampir terlupakan dari Papua adalah mencari sagu dan tombelo ke dalam hutan untuk dijadikan makanan.

Dahulu masyarakat mengenal suatu sistem pertukaran yang disebut dengan barter, prinsipnya adalah menukarkan satu benda dengan benda lainnya yang memiliki nilai sama. Namun kemudian masyarakat mulai beralih pada sistem mata uang sebagai alat penukaran yang lebih mudah.

f. Religi

Unsur religi dalam segi kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari emosi keagamaan atau religious emotion. Emosi keagamaan sendiri adalah suatu perasaan yang ada dalam diri setiap manusia untuk senantiasa terdorong melakukan hal-hal bersifat religius.

(16)

Emosi keagamaan melahirkan yang disebut dengan pemujaan dan juga konsep benda-benda dianggap sebagai benda yang sakral.

Sebagai contoh suku Dayak Benuaq di Kalimantan Timur percaya dan menganggap bahwa sebuah patung adalah benda sakral dan memiliki kekuatan gaib. Mereka meyakini bahwa manusia dulunya berasal dari patung-patung yang berubah memiliki nyawa setelah ditiupkan ruh oleh sang Pencipta.

Menurut Koentjaraningrat unsur religus dalam konsep budaya muncul dari sebuah pertanyaan tentang hakikat kekuatan gaib yang mekiliki kedudukan dan kekuatan melebihi manusia. Ada tiga hal penting dalam religi yang memiliki peranan penting yaitu keyakinan, upacara keagamaan, dan umat penganut keyakinan tersebut. Unsur religi juga telah berkembang dari yang mulanya berbentuk sederhana hingga menjadi sangat kompleks.

Unsur aktivitas keagaman juga memerankan peran penting.

Beberapa aspek yang berkaitan dengan aktivitas keagamaan adalah

1) Tempat keagamaan, yaitu tempat berlangsungnya upacara keagamaan. Contohnya seperti masjid, gereja, wihara, kuil, dan lainnya.

2) Waktu, yaitu hari-hari atau waktu yang telah ditentukan sebagai waktu suci untuk melakukan upacara keagamaan.

Contohnya seperti Idul Fitri, Natal, Hari Raya Nyepi, dan lainnya.

3) Benda-benda upacara, yaitu benda-benda atau alat yang digunakan saat ritual upacara keagamaan. Contohnya tasbih, rosario, sesaji, patung, dan lainnya.

4) Pemimpin upacara keagamaan, yaitu orang-orang yang dianggap memiliki kedudukan dan tingkatan religig yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang lainnya. Contohnya ustad, biksu, pastor, dukun, tetua adat, dan lainnya.

(17)

g. Kesenian

Penelitian mengenai hubungan antara kebudayaan dengan kesenian bermula dari ditemukannya artefak kuno seperti patung, ukiran, dan hiasan yang memiliki unsur seni di dalamnya.

Pertanyaan para ahli kemudian berlanjut kepada teknik dan proses pembuatan benda-benda tersebut. Kesenian memiliki hubungan erat dengan rasa. Rasa estetika atau sebuah perasaan yang mewakili keindahan yang dimiliki oleh setiap manusia akan melahirkan hasil seni yang berbeda-beda.

Maka dari itu kesenian akan memiliki bentuk yang berbeda- beda disetiap daerah. Kesenian sendiri dapat meliputi seni musik, seni tari, seni rupa, dan seni drama. Seni rupa terdiri atas seni patung, seni relief, seni ukir, seni rias, dan seni lukis. Seni musik terdiri dari seni vokal dan seni instrumental. Seni sastra terdiri atas prosa dan puisi. Adapula seni gerak seperti seni tari. Kesenian juga dapat dibedakan menjadi kesenian tradisional seperti wayang, ketoprak, ludruk, dan lenong. Dan kesenian modern seperti film, lagu, dan koreografi.

2. Kepercayaan

a. Kepercayaan yang telah ada sejak dahulu yakni : 1) Sunda Wiwitan

Sunda Wiwitan adalah kepercayaan yang telah dianut oleh sekelompok masyarakat Sunda sejak ratusan tahun yang lalu.

Bahkan sebelum Hindu dan Buddha masuk ke Indonesia, ajaran Sunda Wiwitan sudah ada dan berkembang dalam masyarakat. Pada era modern seperti sekarang, masyarakat Sunda Wiwitan bisa ditemukan di kawasan Kanekes, Banten;

Kampung Naga, Cirebon, dan Cigugur, Kuningan. Sunda Wiwitan memuja roh nenek moyang sebagai sosok yang disakralkan. Selain memuja nenek moyang, Sunda Wiwitan juga memiliki satu Tuhan yang kerap disebut dengan Sang

(18)

Hyang Kersa. Dalam ajaran Sunda Wiwitan, Tuhan tetaplah satu, seperti ajaran umat Islam. Dalam perkembangannya, beberapa tradisi dari Sunda Wiwitan juga terpengaruh oleh unsur Hindu dan Islam.

2) Kejawen

Kejawen adalah sebuah kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Jawa sejak lama. Masyarakat Jawa tetap menjalankan agama utama yang dianut, menjalankan perintah dan larangannya, namun tetap melaksanakan adat dan perilaku sebagai seorang pribumi Jawa yang taat dengan leluhur.

Penganut Kejawen selalu mengatakan bahwa kepercayaan mereka bukanlah agama, meski memiliki beberapa tradisi yang menjadi ciri khas sebuah agama. Kepercayaan kejawen memiliki beberapa misi dalam ajarannya. Mereka harus melaksanakan empat hal wajib saat hidup yaitu:

a) Seorang manusia Jawa harus bisa menjadi rahmat bagi dirinya sendirinya

b) Mereka juga harus bisa menjadi rahmat bagi keluarga;

c) Manusia sebagai rahmat bagi sesama dan;

d) Manusia sebagai rahmat bagi alam semesta 3) Kaharingan

Kaharingan adalah salah satu kepercayaan asli Indonesia yang berasal dari Kalimantan yang banyak dianut oleh warga Suku Dayak, bahkan sebelum agama-agama besar diakui oleh pemerintah. Kaharingan percaya pada adanya entitas yang sering disebut dengan Ranying. Entitas itu bisa disamakan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Meski masuk dalam cakupan agama Hindu, Kaharingan masih memiliki tradisi asli yang tidak bisa disamakan dengan agama lainnya seperti tempat ibadah tersendiri yang dinamakan Balai Basarah.

b. Kepercayaan dalam bentuk agama

(19)

1) Agama Islam

Agama islam termasuk salah satu agama besar di dunia dan merupakan agama dengan jumlah penganut terbesar di Indonesia. Berdasarkan pada hasil sensus tahun 2010, 87,18%

dari 237.641.326 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam.Tempat ibadah bagi penganut agama Islam adalah Masjid. Setiap harinya mereka menjalankan sholat wajib sebanyak 5 kali di Masjid.

2) Agama Katholik

Jumlah pemeluk agama Katolik di Indonesia berdasar hasil sensus tahun 2010 mencapai 2,9% dari 237.641.326 jumlah penduduk.Tempat ibadah bagi pemeluk agama Katolik adalah Gereja,Kapel.

3) Agama Kristen Protestan

Agama Kristen juga merupakan agama yang besar dan memiliki jumlah pemeluk yang berjumlah besar di dunia. Di Indonesia sendiri, menurut hasil sensus 2010, jumlah pemeluk agama Kristen di Indonesia mencapai 6,96% dari 237.641.326 jumlah penduduk.

Tempat ibadah bagi pemeluk agama Kristen Protestan adalah Gereja

4) Agama Hindu

Jumlah pemeluk agama Hindu di Indonesia berdasarkan hasil sensus tahun 2010 mencapai 1,69% dari 237.641.326 jumlah penduduk.Tempat ibadah bagi pemeluk agama Hindu adalah Pura

5) Agama Buddha

Jumlah pemeluk agama Hindu di Indonesia berdasarkan hasil sensus tahun 2010 mencapai 0,72% dari 237.641.326 jumlah penduduk.Tempat ibadah bagi pemeluk agama Buddha adalah Vihara

(20)

6) Agama Kong Hu Cu

Jumlah pemeluk agama Kong Hu Cu di Indonesia berdasarkan hasil sensus tahun 2010 mencapai 0,05% dari 237.641.326 jumlah penduduk.Tempat ibadah bagi pemeluk agama Kong Hu Cu adalah Litang / Klenteng.

D. Budaya dan Kepercayaan Dalam Konseling 1. Konseling Lintas Budaya dan Kepercayaan

Pelayanan konseling hakikatnya merupakan proses pemberian bantuan dengan penerapkan prinsip-prinsip psikologi. Secara praktis dalam kegiatan konseling akan terjadi hubungan antara satu dengan individu lainnya (konselor dengan klien). Dalam hal ini individu tersebut berasal dari lingkungan yang berbeda dan memiliki budaya dan kepercayaannya masing-masing. Oleh karena itu dalam proses konseling tidak dapat dihindari adanya keterkaitan unsur-unsur tersebut.

Keragaman budaya dan kepercayaan dapat menimbulkan konsekuensi munculnya etnosetrisme dan kesulitan komunikasi.

Etnosetrisme mengacu pada adanya perasaan superior pada diri individu karena kebudayaan atau cara hidupnya yang dianutnya dianggap lebih baik. Sedangkan bahasa adalah simbol verbal dan nonverbal yang memungkinkan manusia untuk mengkomunikasikan apa yang dirasakannya dan dipikirkannya. Apabila terjadi perbedaan dalam menginterpretasikan simbol-simbol verbal dan nonverbal diantara dua orang atau lebih yang sedang berkomunikasi, maka akan timbul persoalan.

Lebih jelas, Clemon E. Vontres mengemukakan bahwa jika konselor dan klien merasakan persamaan budaya meskipun sebenarnya secara budaya mereka berbeda maka interaksi tersebut tidak boleh

(21)

dinamakan konseling lintas budaya. Sebaliknya jika konselor dan klien secara budaya sama tetapi masing-masing mereka merasa berbeda budaya maka interaksinya dapat dinamakan lintas budaya. Jadi dalam konseling lintas budaya, yang menjadi standar adalah interaksi yang terjadi dalam hubungan konseling dan bagaimana interaksi dirasakan serta dihayati oleh konselor dan klien. Jika dalam interaksi itu dirasakan adanya perbedaan-perbedaan secara budaya maka interaksi tersebut dinamakan konseling lintas budaya. Dengan demikian dalam konseling lintas budaya dan kepercayaan, perbedaan antara konselor dan klien bukan hanya terletak pada adanya perbedaan bangsa saja, tetapi juga mencakup perbedaan aspek-aspek kebudayaan yang lebih luas.

2. Unsur-Unsur Pokok Dalam Konseling Lintas Budaya dan Kepercayaan

Dalam pengkajian isu tentang budaya, Locke dalam Brown (1988) mengemukakan tiga unsur pokok dalam konseling lintas budaya, yaitu:

a) Individu adalah penting dan khas

b) Konselor membawa nilai-nilai yang berasal dari lingkungan budayanya

c) Klien yang datang menemui konselor juga membawa seperangkat nilai dan sikap yang mencerminkan budayanya.

Selanjutnya, Brown menyatakan bahwa keberhasilan bantuan konseling sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor bahasa, nilai, stereotype, kelas sosial, suku, dan juga jenis kelamin. Menurut Sue, faktor-faktor budaya yang berpengaruh dalam konseling adalah pandangan mengenai sifat hakikat manusia, orientasi waktu, hubungan dengan alam, dan orientasi tindakan. Sehubungan dengan hal tersebut, Clemon E. Vontres dalam dialognya dengan Morris Jacson mengemukakan bahwa budaya terdiri dari lima lingkaran sosialisasi yang melingkupi dan mempengaruhi sikap, nilai-nilai dan buhasa.

Lima lingkup yang dimaksud meliputi: interaksi universal (dunia),

(22)

ekologi nasional (negara), regional, ras, dan etnis. Unsur-unsur tersebut mempengaruhi manusia sebagai individu dalam berbagai bentuk kondisi.

Dari paparan di atas dapat dianalisis bahwa unsur-unsur pokok yang perlu diperhatikan dalam konseling lintas budaya adalah sebagai berikut:

a) Klien sebagai individu yang unik, yang memiliki unsur-unsur budaya tertentu yang berpengaruh pada sikap, bahasa, nilai-nilai, pandangan hidup, dan sebagainya.

b) Konselor sebagai individu yang unik juga tidak terlepas dari pengaruh unsure-unsur budaya seperti halnya klien yang dilayani.

c) Dalam hubungan konseling konselor harus menyadari unsur-unsur tersebut dan menyadari bahwa unsur-unsur budaya itu akan mempengaruhi keberhasilan proses konseling.

3. Keterampilan dan Sikap Konselor Lintas Budaya dan Kepercayaan

a) Keterampilan dan Pengetahuan Konselor

Khusus dalam menghadapi klien yang berbeda budaya dan kepercayaan, konselor harus memahami masalah sistem nilai.

M. Holaday, M.M. Leach dan Davidson (1994) mengemukakan bahwa konselor professional hendaknya selalu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan konseling lintas budaya, yang meliputi hal-hal sebagai berikut:

1) Pengetahuan dan informasi yang spesifik tentang kelompok yang dihadapi

2) Pemahaman mengenai cara kerja sistem sosio-politik di negara tempat kelompok berada, berkaitan dengan perlakukan terhadap kelompok tersebut.

3) Pengetahuan dan pemahaman yang jelas dan eksplisit tentang karakteristik umum konseling dan terapi.

(23)

4) Memiliki keterampilan verbal maupun non-verbal

5) Mampu menyampaikan pesan secara verbal maupun non- verbal

6) Memiliki keterampilan dalam memberikan intervensi demi kepentingan klien

7) Menyadari batas-batas kemampuan dalam memberikan bantuan dan dapat mengantisipasi pengaruhnya pada klien yang berbeda.

b) Sikap Konselor

Para konselor lintas budaya dan kepercayaan yang tahu tentang kesamaan humanity harus dapat mengidentifikasi physical sensation dan psychological states yang dialami oleh klien. Konselor lintas budaya dan kepercayaan hendaknya dapat melakukan tugasnya secara efektif, maka untuk itu konselor perlu memahami bagaimana dirirnya sendiri menyadari world view-nya dan dapat world view klien. Sikap konselor dalam melaksanakan hubungan konseling akan menimbulkan perasaan-perasaan tertentu pada diri klien, dan akan menentukan kualitas dan keefektifan proses konseling.

Oleh karena itu, konselor harus menghormati sikap klien, termasuk nilai-nilai agama, kepercayaan, dan sebagainya. Sue, dkk (1992) mengemukakan bahwa konselor dituntut untuk mengembangkan tiga dimensi kemampuan, yaitu:

 Dimensi keyakinan dan sikap

 Dimensi pengetahuan

 Dimensi keterampilan sesuai dengan nilai-nilai yang dimilki individu

Sementara itu, Rao (1992) mengemukakan bahwa jika klien memiliki sifat atau kepercayaan yang salah atau tidak dapat diterima oleh masyarakat dan konselor akan hal tersebut,

(24)

maka konselor boleh memodifikasi kepercayaan tersebut secara halus, tetapi apabila kepercayaan klien berkaitan dengan dasar filosofi dari kehidupan atau kebudayaan dari suatu masyarakat atau agama klien, maka konselor harus bersikap netral, yaitu tidak mempengaruhi kepercayaan klien tetapi membantunya untuk memahami nilai-nilai pribadinya dan nilai-nilai kebudayaan tersebut.

Selanjutnya, Rao juga mengemukakan bahwa aspek-aspek yang mendasari sikap tersebut adalah sebagai berikut:

1) Keyakinan

Konselor harus yakin bahwa klien membicarakan martabat persamaan (hak) dan kepribadiannya.

Konselor percaya atas kata dan nilai-nilai klien. Di samping itu juga yakin bahwa klien membutuhkan kebebasan dan memiliki kekuatan serta kemampuan untuk mencapai tujuan.

2) Nilai-nilai

Konselor harus bersikap netral terhadap nilai-nilai terhadap nilai-nilainya. Konselor tidak menggunakan standar moral dan sosial berdasarkan nilai-nilainya.

Dalam hal ini konselor harus memiliki keyakinan penuh akan nilai-nilainya dan tidak mencampurkan nilai- nilainya dengan nilai-nilai klien.

3) Penerimaan

Penerimaan konselor menunjukkan pada klien bahwa dihargai sebagai peribadi dengan suasana yang menyenangkan. Penerimaan tersebut bersifat wajar tanpa dibuat-buat.

4) Pemahaman

Konselor memahami klien secara jelas. Dalam hal ini ada empat tingkatan pemahaman, yaitu (a) pengetahuan

(25)

tentang tingkah laku, kepribadian, dan minat-minat individu, (b) memahami kemampuan intelektual dan kemampuan verbal individu, (c) pengetahuan mengenai dunia internal individu, dan (d) pemahaman diri yang meliputi keseluruhan tingkatan tersebut.

5) Rapport

Konselor menciptakan dan mengembangkan hubungan konseling yang hangat dan permisif, agar terjadi komunikasi konseling yang intensif dan efektif.

6) Empati

Kemampuan konselor untuk turut merasakan dan menggambarkan pikiran dan perasaan klien.

c) Persyaratan Konselor Lintas Budaya

Isu konselor dalam penyelenggaraan konseling lintas budaya dan kepercayaan adalah bagaimana konselor dapat memberikan pelayanan konseling yang efektif dengan klien yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Dalam hubungan dengan isu ini, Lorion dan Parron (1985) mengemukakan persyarakat konselor lintas budaya sebagai berikut:

 Konselor harus terlatih secara khusus dalam perspektif multi budaya, baik akademik maupun pengalaman.

 Penciptaan situasi konseling harus atas persetujuan bersama antara klien dan konselor, terutama yang berkaitan dengan dengan kemampuan mereka dalam mengembangkan hubungan kerja teurapetik.

 Konselor harus fleksibel dalam menerapkan teori terhadap situasi-situasi khusus klien.

 Konselor harus terbuka untuk dapat ditantang dan diuji.

(26)

 Dalam situasi konseling multi budaya yang lebih penting adalah agar konselor menyadari sistem nilai mereka, potensi, stereotipe, dan prasangka- prasangkanya.

 Konselor menyadari reaksi-reaksi mereka terhadap perilaku-perilaku umum.

(27)

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Budaya adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat yang di jadikan miliki diri manusia dengan cara belajar Sedangkan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dapat diartikan sebagai suatu pengakuan terhadap suatu kebenaran ajaran yang dibawa seseorang ‘penerima wahyu’ dari Tuhan Yang Maha Esa.

Keduanya memiliki karakteristik masing-masing yang tidak dapat disamakan.

Unsur dalam membetuk budaya berupa bahasa, penegtahuan, sosial, teknologi, ekonomi, religi dan juga kesenian. Dalam kepercayaan dapat berupa kepercayaan terhadap leluhur dan agama. Namun jika ditinjau dari kacamata konseling, konseling merupakan pemberian bantuan dengan penerapkan prinsip-prinsip psikologi dan akan terjadi hubungan antara satu dengan individu lainnya (konselor dengan klien) yang berasal dari lingkungan yang berbeda dan memiliki budaya dan kepercayaannya masing-masing.

Perbedaan antara konselor dan klien bukan hanya terletak pada adanya perbedaan bangsa saja, tetapi juga mencakup perbedaan aspek-aspek kebudayaan yang lebih luas. Keterampilan dan sikap konselor lintas budaya dan kepercayaan terletak pada keterampilan dan pengetahuan konselor, sikap konselor, dan persyaratan konselor lintas budaya.

B. Saran

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, ada beberapa saran yang diajukan oleh penyusun yaitu :

1. Masyarakat

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk dan multikultural. Perbedaan ini bukanlah sebagai sarana adu kekuatan.

Masyarakat diharapkan mampu menanamkan toleransi terhadap perbedaan yang ada, baik itu perbedaan budaya, ras, bahasa, dan sebagainya.

(28)

2. Konselor dan Guru Bimbingan Konseling

Pengetahuan, sikap dan prasyarat untuk menjadi konselor lintas budaya haruslah dimiliki oleh konselor ataupun mahasiswa Bimbingan dan Konseling agar dalam praktiknya dapat memberikan pelayanan terhadap seluruh konseli tanpa memandang perbedaan. Pada dasarnya konseli dapat memilih konselor yang ingin membantu mereka namun sebagai konselor kita haruslah menerima konseli sebagaimana adanya tanpa memandang perbedaan.

(29)

DAFTAR ISI

Abdul Basit. (2017). Skripsi : Strategi Perlawanan Kelompok Penghayat Kapribaden Terhadap Diskriminasi Agama (Studi Kasus Di Dusun Kalianyar Desa Ngunggahan Kecamatan Bandung Kabupaten Tulungagung). Tulungagung : Institut Agama Islam Negeri Tulungagung.

Aderson J. Donna dan Ann Craston-Gingras. (1991). Sensitizing Counselors and Educators to Multicultural Issues : An Interactive Approach. Journal of Counseling and Development. 1991. V. 70

Agustina, Hartik. (2013). Thesis : Paguyuban Darma Bakti Tambuh, Batu, Jawa Timur : Studi Atas Ajaran Sangkan Paraning Dumadi. Surabaya : Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Bauto, L. M. (2016). Perspektif Agama Dan Kebudayaan Dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia(Suatu Tinjauan Sosiologi Agama). Jurnal

Pendidikan Ilmu Sosial, 23(2), 11.

https://doi.org/10.17509/jpis.v23i2.1616

Bernard, Hatorld W. & Fullmer, D.W. (1987). Principle of Guidance (Second Edition). New York : Harper and Row Publisher.

Brammer, Lawrence M. & Shostrom, E.L. (1982). Thepetic Psychology : Foundamentals of Counseling and Psychoterapy. New Jersey : Prentice- Hall.

Brown Duance J. Srebalus David. (1988). An Introduction to the Counseling Profession. USA : by Allyn & Bacon

Corey, Gerald. (2004). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy.

Monterey, California : Brooks/Cole Publishing Company.

Jumarlin. (2002). Dasar – Dasar Konseling Lintas Budaya. Yokyakarta : Pustaka Pelajar

Kneller, G.F. (1978). Educational Anthropology. NewYork: Robert. F. Krieger May Rollo. (2003). The Art of Counseling. New Jersey : Prentice Hall, Inc

Pedersen Paul. Walter J. Lonner and Juris G. Draguns. (1980). Counseling Acroos Culture. USA : by The University Press of Hawaii.

(30)

Purwaningsih. Pembinaan Dan Pengembangan Organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Paguyuban Sumarah Purbo) Oleh : 1–8.

Ritzer, G. :Kramer, K. W. C.:dan Yetman, N.R. (1979). Sociology: Experiencing A Changing Society. Boston: Allyn and Bacon

Rusadi Eko. (2010). Skripsi : Ugasan Torop Dalam Ugamo Malim (Studi Kasus Di Lembaga Sosial Milik Masyarakat Parmalim). Medan: Universitas Sumatera Utara.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Koentjaraningrat (2003: 72) kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan

Sedangkan hubungan manusia dengan diri sendiri, pada hakekatnya manusia dalam kehidupan sehari-hari bersikap pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa."Di samping itu manu-

Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang

Menurut Koentjaraningrat (2003: 72) kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan

Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengamanatkan pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam kehidupan

Menurut Ilmu Antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan

Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang

Ajaran Sapto Darmo juga mengajarkan tentang Kemanusiaan yang memberikan pemahaman tentang asal-usul manusia dari tiga unsur disebut Tri Tunggal, yaitu rasa Ayah—rasa Ibu—Sinar Allah,