BUKU JAWABAN TUGAS TUGAS 3
Nama Mahasiswa : JULIO REYNALDI EKA PRATAMA
Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 042269688
Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM 4404
Kode/Nama UPBJJ : 77/UPBJJ UT DENPASAR
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS TERBUKA
1. A) Berdasarkan uraian di atas, pemaknaan kebebasan kekuasaan kehakiman dapat diartikan sebagai prinsip yang menekankan kemandirian dan kemerdekaan lembaga kehakiman dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Beberapa poin penting yang bisa diambil dari analisis tersebut adalah:
a. Prinsip Pembagian Kekuasaan:
• Pembagian kekuasaan diatur oleh konstitusi untuk mencegah konsentrasi kekuasaan pada satu lembaga.
• Kekuasaan tidak dibagi habis, tetapi dibagi oleh lembaga yang memiliki kewenangan untuk membagi kekuasaan negara.
• Prinsip ini memastikan adanya check and balance antara lembaga-lembaga negara.
b. Supremasi Parlemen dalam UUD 1945:
• Undang-Undang Dasar 1945 mengedepankan supremasi parlemen, yang berarti parlemen memiliki kedudukan yang lebih tinggi dalam pembagian kekuasaan.
• Meskipun demikian, kekuasaan kehakiman tetap diakui sebagai kekuatan yang bebas dan mandiri, yang dinyatakan dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945.
c. Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman:
• Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan kemerdekaan dan kemandirian kekuasaan kehakiman.
• Kemerdekaan ini mencakup kebebasan dari pengaruh pihak eksekutif (pemerintah) dan legislatif (parlemen) serta pengaruh luar lainnya.
• Kebebasan ini memberikan dasar bagi lembaga kehakiman untuk menjalankan tugasnya tanpa tekanan eksternal yang dapat mengganggu integritas dan keadilan.
Pemaknaan kebebasan kekuasaan kehakiman dalam konteks ini menggarisbawahi pentingnya menjaga kemerdekaan lembaga kehakiman sebagai penjaga hukum dan keadilan. Dengan demikian, kekuasaan kehakiman dapat berfungsi secara efektif dan objektif tanpa adanya campur tangan yang dapat merugikan prinsip-prinsip keadilan dan supremasi hukum.
B) Analisis pengujian perundang-undangan dalam perspektif pembagian kekuasaan mengacu pada prinsip-prinsip pembagian kekuasaan antara lembaga-lembaga negara, yang melibatkan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Berikut adalah beberapa poin penting dalam konteks ini:
a. Pengujian oleh Kekuasaan Kehakiman:
• Pembagian kekuasaan bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan menjaga keseimbangan antara lembaga-lembaga negara.
• Kekuasaan kehakiman memiliki peran penting dalam memastikan kepatuhan terhadap konstitusi dan hukum oleh lembaga-lembaga lain.
• Pengujian perundang-undangan oleh kekuasaan kehakiman (judicial review) merupakan mekanisme yang memungkinkan lembaga yudikatif untuk menilai kesesuaian suatu peraturan perundang-undangan dengan konstitusi atau hukum yang lebih tinggi.
b. Pentingnya Independensi Kekuasaan Kehakiman:
• Kekuasaan kehakiman perlu menjaga independensinya agar dapat bertindak sebagai penjaga konstitusi dan keadilan tanpa adanya tekanan eksternal dari lembaga-lembaga lain.
• Jika kekuasaan kehakiman tidak mandiri, risiko terjadinya konsentrasi kekuasaan dan pelanggaran hak-hak individu dapat meningkat.
c. Fungsi Pengujian Perundang-undangan:
• Pengujian perundang-undangan oleh kekuasaan kehakiman memiliki fungsi untuk memastikan bahwa undang-undang yang dikeluarkan oleh legislatif atau eksekutif tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi.
• Hal ini membantu mencegah adanya undang-undang yang mengabaikan hak-hak warga negara atau tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.
d. Keseimbangan Kekuasaan:
• Pengujian perundang-undangan menciptakan suatu mekanisme keseimbangan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara.
• Dengan adanya pengujian, kekuasaan kehakiman dapat memastikan bahwa tidak ada lembaga yang bertindak di luar batas wewenangnya atau melanggar prinsip-prinsip konstitusional.
Pengujian perundang-undangan dalam perspektif pembagian kekuasaan, khususnya melalui judicial review, menjadi instrumen penting dalam menjaga keseimbangan antara lembaga-lembaga negara dan memastikan kepatuhan terhadap prinsip- prinsip konstitusi. Ini merupakan bentuk perlindungan terhadap hak-hak individu dan prinsip supremasi hukum dalam suatu negara.
2. Berdasarkan pernyataan tersebut, kami dapat menguraikan kedudukan perkara sebagai berikut:
a. Pihak Pemohon:
• Para pemohon dalam perkara ini adalah Drs. Ec. H. Arwan Karsi MK, Ms., dan beberapa wakil Ketua DPRD Provinsi Sumatera Barat.
• Pemohon mengajukan permohonan uji materiil terhadap Peraturan Pemerintah (PP) No. 110 Tahun 2000.
b. Pihak Termohon:
• Pihak termohon dalam perkara ini adalah pemerintah, yang mewakili penerbit peraturan yang diajukan untuk diuji materiil, yaitu Peraturan Pemerintah No. 110 Tahun 2000.
c. Perihal yang Menjadi Dasar Permohonan:
• Dasar permohonan uji materiil adalah ketidaksesuaian Peraturan Pemerintah No. 110 Tahun 2000 dengan dua undang-undang, yaitu:
• Undang-Undang No. 4 Tahun 1999 tentang Susduk MPR, DPR, DPRD Pasal 34 ayat (2), (3), (5).
• Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, Pasal 19 dan 21 yang mengatur tentang penentuan anggaran DPRD sebagai wewenang DPRD dan bukan diatur dengan PP.
d. Hal-hal yang Diminta untuk Diputus:
• Pemohon meminta Mahkamah Agung untuk memutuskan bahwa PP No.
110 Tahun 2000 tersebut batal (dinyatakan tidak berlaku) karena dianggap bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi, yaitu Undang- Undang No. 4 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999.
Dengan demikian, putusan Mahkamah Agung pada tanggal 9 September 2002 adalah mengabulkan permohonan uji materiil yang diajukan oleh para pemohon dan menyatakan bahwa PP No. 110 Tahun 2000 batal. Keputusan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa PP tersebut dianggap tidak sejalan dengan ketentuan dalam undang-undang yang lebih tinggi, sehingga dianggap tidak sah dan tidak berlaku.
Pada konteks kasus ini, dasar hukum utama yang mendasari putusan Mahkamah Agung RI tanggal 9 September 2002 adalah Pasal 24C ayat (1) dan Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Berikut adalah rincian dasar hukumnya:
a. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945:
"Kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh suatu Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan badan
peradilan khusus."
Dasar hukum ini menetapkan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya. Pada kasus ini, Mahkamah Agung bertindak sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengadili perkara uji materiil terhadap peraturan perundang-undangan.
b. Pasal 24C ayat (2) UUD 1945:
"Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi untuk memeriksa, memutus, dan memutuskan setiap perkara yang menjadi kewenangan peradilan
yang berada di bawahnya."
Dasar hukum ini memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk mengadili perkara pada tingkat kasasi, termasuk perkara uji materiil terhadap peraturan perundang-undangan.
Selain itu, dalam konteks ini, pemohon juga merujuk pada ketidaksesuaian Peraturan Pemerintah (PP) No. 110 Tahun 2000 dengan dua undang-undang, yaitu Undang-Undang No. 4 Tahun 1999 tentang Susduk MPR, DPR, DPRD Pasal 34 ayat (2), (3), (5) dan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah Pasal 19 dan 21. Dasar hukumnya adalah pasal-pasal tersebut dalam undang-undang tersebut.
Jadi, dasar hukum utama untuk putusan Mahkamah Agung ini adalah Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945, yang memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk mengadili perkara uji materiil terhadap peraturan perundang- undangan. Selain itu, dasar hukum tambahan adalah ketidaksesuaian PP No. 110 Tahun 2000 dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999.
Referensi :
BMP HKUM 4404
https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/novum/article/view/3242 https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/viewFile/74/pdf https://fhukum.unpatti.ac.id/jurnal/sasi/article/view/417/287