• Tidak ada hasil yang ditemukan

bungkil inti sawit fermentasi pakan alternatif unggas

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "bungkil inti sawit fermentasi pakan alternatif unggas"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

Bungkil Inti Sawit sebagai Bahan Pakan

Potensi Bungkil Inti Sawit

Fluktuasi harga bahan pakan merupakan kendala yang sering menyebabkan instabilitas pada peternakan unggas di Indonesia. Tepung inti sawit merupakan hasil sampingan dari industri kelapa sawit yang dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak.

Kendala Bungkil Inti Sawit Sebagai Bahan Pakan

Peningkatan Kualitas Bungkil Inti Sawit

  • Fermentasi dan Faktor Mempengaruhi
  • Aspergilus niger
  • Bacillus subtilis
  • Sclerotium rolfsii
  • Eupenicilium javanicum

Bacillus subtilis adalah bakteri gram positif yang dapat membentuk endospora berbentuk oval di bagian tengah sel. Warna ungu yang muncul pada pewarnaan gram disebabkan karena dinding sel Bacillus subtilis mampu mempertahankan zat warna kristal violet (Aini et al., 2013).

Profil Bungkil Inti Sawit Pasca Fermentasi

Penentuan Komposisi Substrat dari A.niger dan

Penentuan Suhu dan Lama Fermentasi Bungkil Inti Sawit

Aktivitas enzim selulase rata-rata (unit/ml), kandungan serat kasar (%), aktivitas enzim protease (unit/ml) dan kandungan protein kasar (% bahan kering). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa aktivitas enzim protease tertinggi terdapat pada suhu 37oC.

Tabel 2. Rataan aktivitas enzim sellulase (unit/ml), kandungan serat  kasar(%), aktivitas enzim protease ( unit/ml) dan kandungan  protein kasar (% bahan kering).
Tabel 2. Rataan aktivitas enzim sellulase (unit/ml), kandungan serat kasar(%), aktivitas enzim protease ( unit/ml) dan kandungan protein kasar (% bahan kering).

Penentuan Dosis Inokulum dan lama Fermentasi Bungkil

  • Bahan Kering
  • Protein Kasar
  • Serat Kasar
  • Retensi Nitrogen
  • Daya Cerna Serat Kasar (DCSK)

Dari tabel 3 terlihat bahwa semakin banyak dosis inokulasi yang diberikan maka terdapat kecenderungan peningkatan protein kasar terutama pada 11 hari fermentasi (A3B2) dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Sedangkan pada setiap dosis inokulasi terjadi penurunan serat kasar pada hari ke-11, namun pada hari ke-15 mengalami peningkatan. Semakin banyak dosis inokulasi yang diberikan maka kecenderungan serat kasar semakin menurun terutama pada umur fermentasi 11 hari (A3B2) yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Penentuan Kandungan Asam Amino Sebelum dan sesudah

Tingginya asam amino BIS yang difermentasi oleh Eupenicilium javanikum disebabkan jamur ini tumbuh lebih baik pada substrat BIS sehingga menghasilkan enzim yang dapat memecah ikatan kompleks menjadi ikatan yang lebih sederhana, seperti enzim protease yang memecah protein menjadi asam amino sehingga pada akhir fermentasi, kandungan asam amino meningkat.Kandungan asam amino setelah fermentasi ini merupakan hasil pemecahan protein oleh enzim protease. Semakin tinggi kandungan protein kasar pada BIS fermentasi, semakin tinggi pula konsentrasi asam aminonya (Ofuya dan Nwanjiuba, 1990).

Penentuan Jenis Kapang Mananolitik dan Lama Fermentasi

  • Kandungan Protein Kasar Bungkil Inti Sawit Fermentasi
  • Retensi Nitrogen Bungkil Inti Sawit Fermentasi
  • Kandungan Serat Kasar Bungkil Inti Sawit Fermentasi
  • Daya Cerna Serat Kasar Bungkil Inti Sawit Fermentasi
  • Kandungan Lemak Kasar Bungkil Inti Sawit Fermentasi 25
  • Energi Metabolisme Bungkil Inti Sawit Fermentasi

Data di atas menunjukkan bahwa perlakuan dengan serat kasar A2B3 (jamur S. rolfsii dan waktu fermentasi 7 hari) menghasilkan kadar serat kasar yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Data di atas menunjukkan penurunan serat kasar sekitar 63%, lebih tinggi dibandingkan fermentasi tepung inti sawit dengan jamur A niger (Mirnawati et al., 2011) dan fermentasi dengan E. Daya cerna serat kasar yang tinggi pada perlakuan A2 adalah disebabkan oleh rendahnya kandungan serat kasar yang dikonsumsi, memastikan bahwa banyak bahan disimpan dan digunakan dengan benar.

Peningkatan kecernaan serat kasar ini disebabkan oleh aksi enzim selulase yang dapat memecah serat kasar di dalam substrat. Berdasarkan data di atas terlihat bahwa perlakuan B3 bungkil inti sawit yang difermentasi selama 7 hari menunjukkan daya cerna yang tinggi sebesar 58,10% dibandingkan dengan waktu fermentasi lainnya (3 dan 5 hari). Tingginya energi metabolisme perlakuan A2 berhubungan dengan penurunan serat kasar dan peningkatan daya cerna serat kasar, yang menyebabkan energi yang digunakan tubuh ternak juga meningkat. Semakin baik pertumbuhan S.

Tabel 5.   Rataan Protein Kasar, Serat Kasar, dan Lemak Kasar Bungkil Inti  Sawit Fermentasi
Tabel 5. Rataan Protein Kasar, Serat Kasar, dan Lemak Kasar Bungkil Inti Sawit Fermentasi

Pembuatan Inokulum Bakteri Bacillus subtilis

  • Pengaruh Perlakuan Terhadap Aktivitas Enzim Selulase 27

Aktivitas enzim selulase tertinggi terdapat pada perlakuan kombinasi komposisi inokulum A3 (80% Bran + 20% BIS) dan B2 (4 hari fermentasi), masing-masing sebesar 38,37 U/ml. Tingginya aktivitas enzim selulase pada perlakuan ini disebabkan kombinasi dosis inokulum dan waktu fermentasi yang tepat sehingga kapang dapat tumbuh lebih baik dan dapat memecah nutrisi substrat selama fermentasi. Aktivitas enzim protease tertinggi terdapat pada perlakuan kombinasi komposisi inokulum A3 (80% Bran + 20% BIS) dan B2 (4 hari fermentasi), masing-masing sebesar 10,55 U/ml.

Aktivitas enzim protease yang tinggi pada perlakuan ini disebabkan komposisi inokulum dan waktu fermentasi yang tepat sehingga bakteri dapat menghasilkan enzim protease dengan aktivitas yang tinggi.Bacillus subtilis merupakan bakteri yang dapat menghasilkan enzim protease (Darwis dan Sukara 1990). . . Pengaruh perlakuan terhadap aktivitas enzim mannanase Aktivitas enzim mannanase tertinggi terdapat pada perlakuan kombinasi komposisi inokulum A3 (80% dedak + 20% BIS) dan B2 (4 hari fermentasi) yaitu 22,09 U/ml. Tingginya aktivitas enzim mannanase pada perlakuan ini disebabkan komposisi substrat yang tepat untuk pertumbuhan inokulum. dalam substrat akan meningkatkan jumlah mannan dalam substrat karena BIS mengandung mannan yang sangat tinggi.

Tabel 6. Rataan enzim sellulase, manannase dan protease Inokulum  Bacillus subtilis (U/ml).
Tabel 6. Rataan enzim sellulase, manannase dan protease Inokulum Bacillus subtilis (U/ml).

Fermentasi BIS dengan Inokulum Bacillus subtilis

  • Pengaruh Perlakuan Terhadap Aktivitas Mananase
  • Pengaruh Perlakuan Terhadap Aktivitas Selulase
  • Pengaruh Perlakuan Terhadap Aktivitas Protease
  • Pengaruh Perlakuan Terhadap Kandungan Serat Kasar . 33
  • Pengaruh Perlakuan Terhadap Retensi Nitrogen

Persentase karkas pada masing-masing perlakuan tidak menunjukkan perbedaan, karena adanya pengaruh fermentasi BIS terhadap ransum. Produk fermentasi memiliki kualitas yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan BIS yang difermentasi dengan Sclerotium rolfsii hingga kadar 25% masih memberikan kecernaan serat kasar yang sama. Konsumsi ransum masing-masing perlakuan A, B, C, D dan E tidak menunjukkan perbedaan. Hal ini disebabkan adanya penambahan enzim selulase dan mannanase.

Hal ini sesuai dengan pendapat Zuidhof et al. 2014) yang menyatakan bahwa nilai konversi ransum dipengaruhi. Tidak terlihat perbedaan pada masing-masing perlakuan R1, R2, R3 dan R4 karena ransum memiliki kandungan serat kasar yang rendah sehingga pemanfaatan protein lebih optimal. Sesuai dengan pendapat Kaczmarek et al. 2014) yang menyatakan bahwa kandungan serat kasar dalam ransum sangat mempengaruhi penyerapan nutrisi lain, dalam hal ini protein, yang mempengaruhi retensi nitrogen dalam ransum.

Tabel 8. Rataan Konsumsi Ransum, Pertambahan Bobot Badan (PBB),  Konversi Ransum (gram/ekor) dan Persentase Lemak Abdomen  (%) Ayam Broiler Selama Penelitian.
Tabel 8. Rataan Konsumsi Ransum, Pertambahan Bobot Badan (PBB), Konversi Ransum (gram/ekor) dan Persentase Lemak Abdomen (%) Ayam Broiler Selama Penelitian.

Penggunaan Bungkil Inti Sawit Fermentasi

Pengaruh Perlakuan Terhadap Pertambahan Bobot

Dari data di atas terlihat bahwa pertambahan berat badan tiap perlakuan dapat sesuai dengan ransum kontrol. Sesuai dengan pernyataan Winarno dan Fardiaz (1980) yang menyatakan bahwa bahan yang mengalami fermentasi akan memiliki kualitas yang lebih baik. Saono (1988) menambahkan bahwa produk fermentasi memiliki kecernaan yang tinggi dan menghilangkan senyawa beracun. 1996) menyatakan bahwa produk fermentasi dapat meningkatkan kandungan vitamin dan mineral. Sehingga dapat dilihat PBB tidak berbeda dengan PBB ransum kontrol meskipun BISF diberikan hingga 100% pengganti bungkil kedelai. alasan ini.

Selain itu juga karena kandungan asam amino BIS yang difermentasi lebih tinggi dibandingkan dengan BIS yang tidak difermentasi sehingga kualitasnya lebih baik dan mudah digunakan oleh ternak.

Pengaruh Perlakuan terhadap Konversi Ransum

Pengaruh Perlakuan Terhadap Persentase Lemak

Hal ini terlihat dari serat kasar masing-masing perlakuan A, B, C, D, E dan F masih memenuhi kebutuhan atau masih sama pada setiap perlakuan. Sedangkan menurut Wahju (1992) semakin tinggi kandungan serat kasar menyebabkan zat gizi dan sebagian energi ransum ikut keluar bersama feses sebelum diserap usus sehingga ternak tidak memiliki energi sehingga menyebabkan energi yang tersimpan dalam bentuk lemak umumnya di rongga perut juga berkurang.

Pengaruh Perlakuan terhadap Persentase Karkas Ayam

Sebaliknya jika kadar serat kasar yang tinggi dalam makanan dapat mengurangi komponen yang mudah dicerna, juga dapat menurunkan aktivitas enzim yang membantu mencerna karbohidrat, protein dan lemak (Parrakasi, 1983 dan Tulung, 1987).

Pemanfaatan Bungkil Inti Sawit Fermentasi Dengan

  • Konsumsi Ransum
  • Pertambahan Bobot Badan
  • Konversi ransum
  • Bobot Hidup
  • Bobot Karkas
  • Persentase Karkas
  • Lemak Abdomen
  • Daya Cerna Serat Kasar
  • Retensi Nitrogen

Penggunaan Sclerotium rolfsii selama proses fermentasi dapat mengurai komponen serat kasar yang sulit dicerna menjadi mudah dicerna sehingga berpengaruh terhadap pertambahan berat badan. 2011), dimana bungkil inti sawit yang difermentasi dengan Aspergillus niger hanya dapat diberikan sampai kadar 17%. Hal ini disebabkan tingginya kandungan serat kasar yang membuat konsumsinya sama, namun pertumbuhan ayam pedaging terhambat sehingga berdampak pada tingginya perputaran ransum. Dapat disimpulkan juga bahwa rendahnya bobot karkas pada perlakuan R5 juga dipengaruhi oleh ransum gizi terutama serat kasar yang tinggi yaitu mencapai 6,37%.

Produk hasil fermentasi ini memiliki kualitas yang lebih baik, daya cerna yang tinggi dan asam amino yang lengkap sehingga daya cerna serat kasar akan baik dan ternak juga akan membuat bahan ini mudah dicerna. Hal ini disebabkan oleh aktivitas manannase Sclerotium rolfsii yang lebih tinggi dibandingkan Aspergillus niger (Mirnawati et al., 2014), serat kasar BIS terdiri dari β-mannan (David dan Jarvis, 1992). Sejalan dengan pendapat Siri et al, (1992) bahwa penggunaan serat kasar pada kadar dan jenis yang berbeda berpengaruh terhadap retensi nitrogen.

Tabel 9. Rataan konsumsi ransum, PBB, konversi ransum, bobot hidup,  bobot karkas, persentase karkas, lemak abdomen, daya cerna  serat kasar (DCSK), retensi nitrogen ayam broiler.
Tabel 9. Rataan konsumsi ransum, PBB, konversi ransum, bobot hidup, bobot karkas, persentase karkas, lemak abdomen, daya cerna serat kasar (DCSK), retensi nitrogen ayam broiler.

Penambahan Enzim Selulase dan Manannase Pada Ransum

  • Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi Ayam Broiler . 53
  • Pengaruh Perlakuan Terhadap Konversi Ransum
  • Pemanfaatan Bungkil Inti Sawit Fermentasi Dengan
  • Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi Ransum
  • Pengaruh Perlakuan Terhadap Pertambahan Bobot
  • Pengaruh Perlakuan Terhadap Konversi Ransum
  • Pengaruh Perlakuan terhadap Bobot Hidup
  • Pengaruh Perlakuan terhadap Persentase Karkas
  • Pengaruh Perlakuan terhadap Persentase Lemak

Untuk itu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat pengaruh penambahan enzim selulase dan mannanase pada ransum unggas yang mengandung bungkil inti sawit terhadap performa ayam pedaging.Pengaruh perlakuan terhadap konsumsi ransum, pertambahan berat badan (BBB), konversi ransum, hidup persentase bobot dan karkas pada ayam Ketel untuk masing-masing perlakuan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 10. Dari data di atas terlihat bahwa penggunaan BIS hingga 25% dalam ransum memberikan peningkatan bobot badan yang sama. Hasil penelitian ini lebih tinggi dari konsumsi ransum dari penelitian sebelumnya dengan tepung inti sawit yang difermentasi dengan Sclerotium rolfsii hingga tingkat pemakaian 25%. dalam ransum menghasilkan konsumsi ransum rata-rata 2296,36 g/. Pengaruh perlakuan terhadap pertambahan bobot badan Pertambahan bobot badan masing-masing perlakuan R1, R2, R3 Pertambahan bobot badan tiap perlakuan R1, R2, R3 dan R4 tidak menunjukkan perbedaan.

Pertambahan bobot badan rata-rata yang diperoleh dengan menggunakan BISF hingga taraf 25% berkisar antara 276,16 g/ekor/. Persentase karkas masing-masing perlakuan R1, R2, R3 dan R4 tidak menunjukkan perbedaan, perbedaan tersebut tidak dipengaruhi oleh konsumsi ransum dan pertambahan bobot badan yang juga tidak berbeda. Konsumsi ransum dan pertambahan bobot badan akan mempengaruhi bobot hidup dan bobot karkas yang dihasilkan.

Tabel 11.Rataan konsumsi ransum, pertambahan bobot hidup, konversi  ransum, bobot hidup, persentase karkas, persentase lemak  abdomen broiler yang diberikan ransum perlakuan BISF dengan  Bacillus subtilis.
Tabel 11.Rataan konsumsi ransum, pertambahan bobot hidup, konversi ransum, bobot hidup, persentase karkas, persentase lemak abdomen broiler yang diberikan ransum perlakuan BISF dengan Bacillus subtilis.

Pemanfaatan Bungkil Inti Sawit Fermentasi dengan

  • Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi Ransum
  • Pengaruh Perlakuan Terhadap Pertambahan Bobot Badan 62
  • Pengaruh Perlakuan Terhadap Konversi Ransum
  • Pengaruh Perlakuan Terhadap Bobot Hidup
  • Pengaruh Perlakuan Terhadap Persentase Karkas
  • Pengaruh Perlakuan Terhadap Persentase Lemak
  • Pengaruh Perlakuan Terhadap Retensi Nitrogen
  • Pengaruh Perlakuan Terhadap Daya Cerna Serat

Asupan pakan yang diperoleh pada penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian Bintang et al (1999) yang melaporkan rata-rata asupan ransum itik tumbuh yang diberi BISF 15% pada umur 8 minggu adalah 708,14 g/ekor/ekor. binatang dulu. pekan. Selain itu tidak terlihat perbedaan bobot hidup pada perlakuan R1, R2, R3 dan R4, juga karena asupan ransum pada perlakuan R1, R2, R3 dan R4 juga tidak menunjukkan perbedaan. Akibatnya, jumlah zat yang dikonsumsi relatif sama untuk menghasilkan bobot hidup yang sama pula.

Hal ini sesuai dengan pendapat Ramia (2001) yang mengatakan bahwa karkas erat hubungannya dengan bobot hidup, jika bobot hidup meningkat maka karkas juga meningkat. Pengaruh perlakuan terhadap kecernaan ransum serat kasar Kecernaan ransum serat kasar pada setiap perlakuan R1, kecernaan ransum serat kasar pada setiap perlakuan R1, R2, R3 dan R4 tidak menunjukkan perbedaan. Penurunan kecernaan serat kasar pada perlakuan R5 disebabkan oleh tingginya kandungan serat kasar ransum sehingga mempengaruhi kecernaan.Sesuai dengan pendapat Gonzales-Alvarado et al. 2007) bahwa serat kasar yang tinggi pada ransum unggas dapat menurunkan daya cerna.

Tabel 12. Rataan konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, konversi  ransum,bobot hidup, persentase karkas, dan persentase lemak  abdomen itik pedaging.
Tabel 12. Rataan konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, konversi ransum,bobot hidup, persentase karkas, dan persentase lemak abdomen itik pedaging.

Pemanfaatan Bungkil Inti Sawit Fermentasi dengan

  • Konsumsi Ransum Puyuh Petelur
  • Pengaruh Perlakuan Terhadap Massa Telur
  • Pengaruh Perlakuan Terhadap Konversi Ransum
  • Pengaruh Perlakuan Terhadap Produksi Telur Puyuh
  • Pengaruh Perlakuan Terhadap Rataan Berat Telur Puyuh 70

Walaupun BISF dengan B. subtilis sudah dapat diberikan 25% dalam ransum, namun masih dapat dicocokkan dengan ransum kontrol. Rata-rata konsumsi ransum puyuh fertil yang diperoleh selama penelitian menggunakan BISF 25% dengan B. subtilis dalam ransum adalah 21,70 g/ekor/hari. Konversi ransum rata-rata selama penelitian menggunakan BISF dengan B. subtilis sampai taraf 25% pada ransum puyuh adalah 3,97.

Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Sihombing et al.Puyuh berkisar antara 7,93-9,78 g/butir akibat penambahan zeolit ​​pada ransum puyuh. Respon ayam pedaging yang diberi tepung daun sengon (Albizzia falcataria) dalam ransum terhadap pertumbuhan dan hasil karkas. Meningkatkan kualitas lumpur sawit kering melalui fermentasi dengan jamur Phanerochaete chrysosporium dan aplikasi dalam ransum ayam pedaging.

Iriyanti dan Roesdiyanto 2013. Penggunaan pakan fungsional dalam ransum terhadap konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan ayam pedaging. Penggunaan ampas sagu dan ampas tahu fermentasi (ASATF) dengan Monascus purpureus dalam ransum terhadap performa burung puyuh petelur.

Penutup

Gambar

Tabel 1.  Rataan Aktifitas Enzim Selulase, Mananase dan Protease (Unit/
Tabel 2. Rataan aktivitas enzim sellulase (unit/ml), kandungan serat  kasar(%), aktivitas enzim protease ( unit/ml) dan kandungan  protein kasar (% bahan kering).
Tabel 3.  Rataan kandungan zat makanan, retensi nitrogen (RN) dan daya  cerna serat kasar (DCSK) bungkil inti sawit fermentasi.
Tabel 4: Kandungan Asam amino Sebelum dan SesudahFermentasi dari  Bungkil Inti Sawit.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Konsentrat ruminansia potong disusun dari bahan pakan yang mengandung serat kasar rendah, karbohidrat tinggi, namun kandungan protein kasarnya tidak terlalu tinggi.. Biji-bijian dari