• Tidak ada hasil yang ditemukan

Catatan Hukum Lingkungan Ilmu Hukum Fakultas Hukum

N/A
N/A
laila fafirani

Academic year: 2023

Membagikan "Catatan Hukum Lingkungan Ilmu Hukum Fakultas Hukum"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Pengertian yang tegas tentang Hukum Lingkungan tidak mudah

Istilah hukum lingkungan

• Milieurecht (Belanda)

• Environmental Law (Inggris)

• Umweltrecht (Jerman)

• Droit de L’environment (Prancis)

• Hukum Alam Seputar (Malaysia) Pendapat sarjana

Munadjat Danusaputro :

- Hukum Lingkungan ialah hukum yg mengatur tatanan lingkungan (hidup).

- Maksud dan tujuan pokoknya utk memelihara dan melindungi LH.

Hukum Lingkungan dibagi dua :

1. Hukum Lingkungan klasik, yang menetapkan ketentuan dan norma-norma dengan tujuan untuk menjamin penggunaan dan eksplorasi sumber daya lingkungan dengan berbagai akal dan kepandaian manusia guna mencapai hasil semaksimal mungkin, dan dalam jangka waktu sesingkat-singkatnya.

Berkaitan dengan hukum lingkungan klasik tersebut, Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa :

sistem pendekatan terpadu atau utuh harus diterapkan oleh hukum untuk mampu mengatur lingkungan hidup manusia secara tepat dan baik.

Sistem pendekatan ini telah melandasi perkembangan hukum lingkungan Indonesia.

Hukum lingkungan klasik bersifat sektoral, kaku, dan susah berubah. Menurut Drupsteen, ruang lingkup hukum lingkungan klasik meliputi segala hal yang berkaitan dengan dan ditentukan oleh ruang lingkup pengelolaan lingkungan, yang terutama dilakukan oleh pemerintah, maka hukum lingkungan sebagian besar terdiri atas hukum pemerintah.

2. Hukum Lingkungan modern , menetapkan ketentuan dan norma-norma untuk mengatur tindak perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutunya untuk

menjamin kelestariannya agar dapat secara langsung dan terus menerus digunakan oleh genarasi sekarang maupun generasi yang akan datang.

Hukum lingkungan modern berorientasi pada linghungan, sehingga sifat dan wataknya juga meliputi sifat dan watak dari lingkungan itu sendiri. Dengan orientasinya tersebut, maka hukum lingkungan modern memiliki sifat utuh menyeluruh atau komprehensif integral atau selalu berada dalam dinamika dengan sifat dan wataknya yang luwes.

Sedangkan menurut Prof. Moenadjat Danusaputro, SH :

Hukum lingkungan klasik, lebih menekankan pada orientasi penggunaan lingkungan atau 'Use Oriented Law'.

Hukum lingkungan modern, lebih menekankan pada orientasi lingkungan atau 'Environment Oriented Law'.

1. UUD 1945 (Amandemen)

2. UU NO. 32 TAHUN 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan (Uupplh) Sebagai Ganti Dari UU No.

23/1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup/ Uuplh; Dan

3. Peraturan Perundang-Undangan Lingkungan Hidup Lainnya :

a. UU NO. 5 /1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

b. UU NO. 41/ 1999 tentang Kehutanan c. UU NO. 7/ 2004 tentang Sumber Daya

Air

d. UU NO. 24/ 2007 tentang Penataan Penanggulangan Bencana

e. UU NO. 26/ 2007 tentang Penataan Ruang,

a. PP No. 27 /1999 Tentang AMDAL

HUKUM LINGKUNGAN

hukum lingkungan

(2)

b. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup bomor 11 tahun 2006 Tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup

c. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 07 Tahun 2010 tentang Sertifikasi kompetensi penyusun dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup dan persyaratan lembaga pelatihan kompetensi penyusun dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup.

d. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2010 tentang Dokumen Lingkungan Hidup Bagi Usaha dan/atau Kegiatan yang Telah Memiliki Izin Usaha dan/atau Kegiatan tetapi Belum Memiliki Dokumen Lingkungan Hidup.

(diatur ttg DELH dan DPLH)

Pasal 65 : Setiap orang berhak :

- atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.

- Mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

- mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.

- . berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkunganhidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

- melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup

Pasal 66

- Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

Kewajiban

Pasal 67 : Setiap orang berkewajiban :

- memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta

- mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Pasal 68

Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban:

- memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu;

- menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan

- menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

- hukum lingkungan adm.

- hukum lingk.keperdataan - hukum lingk.kepidanaan - hukum tata ruang

- hukum lingkungan internasional

Hukum lingkungan merupakan instrumen yuridis bagi pengelolaan lingkungan hidup, dengan demikian hukum lingkungan pada hakekatnya merupakan suatu bidang hukum yang terutama sekali dikuasai oleh kaedah-kaedah hukum tata usaha negara atau hukum pemetrintahan. Untuk itulah, dalam pelaksanaannya aparat pemerintah perlu memperhatikan 'asas-asas umum pemerintahan yang baik', dengan maksud agar dalam pelaksanaan kebijaksanaannya tidak menyimpang dari tujuan pengelolaan lingkungan hidup.

Agar hukum lingkungan dapat dijalankan sesuai dengan fungsinya yang sebenarnya, hukum lingkungan harus memiliki pedoman yang berupa asas-asas hukum lingkungan, yang meliputi :

a. Negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat sebesar- besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup masyarakat baik generasi masa kini maupun generasi yang akan datang.

(3)

b. Setiap orang memiliki kewajiban dalam melestarikan lingkungan hidup yang ada.

c. Pemanfaatan lingkungan hidup harus memperhatikan segala aspek dalam ekonimi, sosial, dan budaya dan perlindungan serta pelestarian ekosistem.

d. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan dengan memadukan berbagai unsur atau menyinergikan berbagai komponen daerah.

e. Segala usaha atau kegiatan pembangunan yang dilaksanakan disesuaikan dengan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk peningkayan kesejahteraan masyarakat dan harkat manusia selaras dengan lingkungannya.

f. Ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknoligi bukan alasan unguk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan atau kerusakan lingkungan.

g. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara, baik lintas daerah, lintas generasi, maupun lintas gender.

Hukum lingkungan merupakan suatu aturan yang kompleks, yang mempunyai hubungan dengan peraturan-peraturan hukum yang lain, seperti hukum administrasi negara, hukum kesehatan lingkungan, hukum perlindungan lingkungan, hukum tata ruang, hukum pidana, dan lain-lain.

Menurut Prof. Koesnadi Hardjasoemantri, SH, hukum lingkungan di Indonesia meliputi berbagai aspek hukumyang merupakan ruang lingkup hukum lingkungan, yaitu :

a. Hukum tata lingkungan.

b. Hukum perlindungan lingkungan.

c. Hukum kesehatan lingkungan.

d. Hukum pencemaran lingkungan, dalam kaitannya dengan pencemaran oleh industri dan sebagainya.

e. Hukum lingkungan transnasional atau internasional, dalam kaitannya denagn hukum antar negara.

f. Hukum sengketa lingkungan, dalam kaitannya dengan misalnhya penyelesaian masalah ganti rugi dan sebagainya).

Hinder Ordonnantie (S. 1926/226)

Menetapkan larangan mendirikan tempat usaha tanpa izin Tempat usaha yg menimbulkan bahaya, kerusakan, dan atau gangguan (Secara limitatif ada 20 macam)

Kelemahan HO

• Masih ditulis dalam Bahasa Belanda

• Tidak ditetapkan jangka waktu berlakunya izin

• Tidak jelas batasan bahaya, kerusaka, gangguan

• Ketentuan pidana sangat ringan

• HO semacam hukum tetangga (200 m dari tempat usaha dan dlm batas Dati II)

• HO bersifat individual

Gevaarlijke Stoffen Ord. (GSO, S. 1949/377) Mengatur larangan impor, pembuatan, penjual-an, pengangkutan, penyimpanan, pemakaian atau penggunaan bahan beracun yg membahaya-kan kesehatan manusia, kecuali dg izin Menkes.

Pelanggaran dikenakan sanksi : - Pidana kurungan 3 bulan - Barang/benda dapat disita Kelemahan GSO :

- Sanksi sangat rendah

- GSO masih memungkinkan impor B3 (Dalam UUPLH dilarang)

Peraturan terkait dengan B3 selain GSO

✓ PP No. 7/1973 = Pengawasan peredaran, penyimpanan dan penggunaan pestisida

✓ PP No. 12/1975 = Izin pemakaian zat radio aktif dan sumber radiasi lainnya

✓ PP No. 13/1975 = Pengangkutan zat radio aktif

✓ PP No. 85/1999 = Pengelolaan limbah B3 Izin yang berkaitan dengan pengelolaan B3

✓ Izin penggunaan B3 (Menkes : Ps. 1 GSO)

(4)

✓ Izin pestisida (Menteri Pertanian : PP No.

7/1973)

✓ Izin pemakaian zat radio aktif (BATAN : PP No. 12/1975

✓ Izin pengangkutan limbah B3 (Menhub)

✓ Izin pengumpulan, pengolahan, penimbunan B3 (Bapedal)

✓ Izin lokasi pengolahan limbah B3 (Pertanahan)

Kelompok Lingkungan Hidup:

1. UU No. 4 Tahun 1982 (UULH-1982 2. UU No. 23 Tahun 1997 (UUPLH-1997)

3. UU No. 32 Tahun 2009 (UUPPLH-2009) Berbagai Peraturan Sektoral:

1. UU Kehutanan 2. UU Sumber Daya Air 3. UU Perikanan 4. UU Minerba, dll Latar Belakang UULH-1982

- Peraturan sebelumnya belum mengatur lingkungan secara komprehensif

- Bersifat sektoral dan ketinggalan zaman UULH-1982 diganti dengan UU No. 23/1997 (UUPLH-1997) karena:

Ada kelemahan substansi (sanksi adm lemah, mekanisme penyelesaian sengketa belum jelas, delik LH hanya materiel)

UUPLH-1997 diganti kembali dengan UU No.

32/2009 (UUPPLH-2009)

- Perkembangan HAM LH (Internasional dan Nasional)

- Penyesuaian dengan Ototonomi Daerah - Prinsip pembangunan berkelanjutan, dll Perbuatan Yg Dilarang Karena Menimbulkan Masalah Lh Dalam UUPPLH

Pasal 69 Setiap orang dilarang:

a. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;

b. memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

c. memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia;

d. memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

e. membuang limbah ke media lingkungan hidup;

f. membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup;

g. melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan;

h. melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;

i. menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal; dan/atau j. memberikan informasi palsu, menyesatkan,

menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar

Pengendalian Pencemaran Dan Atau Kerusakan Lingkungan Hidup

Pasal 13 UUPPLH

1. Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.

2. Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. pencegahan;

b. penanggulangan; dan c. pemulihan.

3. Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan kewenangan, peran, dan tanggung jawab masing-masing.

Instrumen Pencegahan Pencemaran Dan Atau Kerusakan Lingkungan Hidup

a. KLHS;

b. tata ruang;

c. baku mutu lingkungan hidup;

(5)

d. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;

e. amdal;

f. UKL-UPL;

g. perizinan;

h. instrumen ekonomi lingkungan hidup;

i. peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup;

j. anggaran berbasis lingkungan hidup;

k. analisis risiko lingkungan hidup;

l. audit lingkungan hidup; dan

m. instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan.

(Pasal 14 UUPPLH)

Pengawasan dan penegakan hukum

a. Penegakan Hukum Adm.Meliputi : Pengawasan Dan Penerapan Sanksi

b. Pengawasan (Dlm Uupplh) Terhadap Ketaatan Penanggung Penanggung Jawab Usaha Dan/Atau Kegiatan Terhadap Izin Lingkungan

c. Pihak Yang Melakukan Pengawasan Adalah Menteri, Gubernur, Atau Bupati/Walikota Sesuai Dengan Kewenangannya

Izin Lingkungan Dan Izin Usaha Pasal 1 angka 35 UUPPLH

”IZIN LINGKUNGAN ADALAH IZIN YANG DIBERIKAN KEPADA SETIAP ORANG YANG MELAKUKAN USAHA DAN/ATAU KEGIATAN YANG WAJIB AMDAL ATAU UKL-UPL DALAM RANGKA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

SEBAGAI PRASYARAT UNTUK

MEMPEROLEH IZIN USAHA DAN/ATAU KEGIATAN”.

Izin usaha dan/atau kegiatan menurut Pasal 1 angka 36 UUPPLH adalah :

”... izin yang diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan ”.

- Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.(Pasal 1 angka 35, Jo. Pasal 40)

Sanksi-Sanksi Hukum Administrasi Sanksi administratif terdiri atas:

a. teguran tertulis;

b. paksaan pemerintah;

c. pembekuan izin lingkungan; atau d. pencabutan izin lingkungan.(Pasal 76) Sanksi adm ”denda” atas setiap keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah. (Pasal 81)

Sejarah Pengelolaan Hutan Di Indonesia Pembahasan perkembangan hukum kehutanan Indonesia dapat dikategorikan dalam tiga historika, yaitu pengaturan kehutanan sebelum penjajahan, masa penjajahan Pemerintah Hindia Belanda, dan masa setelah kemerdekaan.

1.Sebelum Penjajahan

Pada masa sebelum penjajahan Belanda, persoalan kehutanan diatur oleh hukum adat masing-masing komunitas masyarakat. Sekalipun pada masa itu tingkat kemampuan tulis baca anggota masyarakatnya masih rendah, tetapi dalam setiap masyarakat tersebut tetap ada hukum yang mengaturnya. Von Savigny mengajarkan bahwa hukum mengikuti jiwa/semangat rakyat (volkgeist) dari masyarakat tempat hukum itu berlaku. Karena volkgeist masing-masing masyarakat berlainan, maka hukum masing-masing masyarakat juga berlainan.Hukum yang dimaksudkan dan dikenal pada masa itu adalah hukum adat.

Iman Sudiyat menyimpulkan, Hukum Adat itu hukum yang terutama mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungannya satu sama lain, baik berupa keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup dalam masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat

Era zaman sebelum masuknya pengaruh asing (Zaman Malaio Polinesia), kehidupan masyarakat di nusantara ini mengikuti adat istiadat yang dipengaruhi oleh alam yang serba kesaktian. Alam kesaktian tidak terletak pada alam kenyataan yang

(6)

dapat dicapai dengan pancaindera, melainkan segala sesuatunya didasarkan pada apa yang dialami menurut anggapan semata-mata terhadap benda kesaktian, paduan kesaktian, sari kesaktian, sang hyiang kesaktian, dan pengantara kesaktian.

Pada masa itu, pengantara kesaktian memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakatnya, termasuk dalam proses menemukan dan memberikan hukuman.

Sedangkan pada zaman Hindu, tepatnya dimasa Raja Tulodong, Kerajaan Mataram yang meliputi wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan ibukotanya Medang (di Grobongan). Raja tersebut pernah mengeluarkan titah pada tahun 919 M yang mengatur hak raja atas tanah, bahwa tanah hutan yang diperlukan raja ditentukan oleh raja sendiri batasnya, tetapi apabila menyangkut tanah sawah hak milik rakyat maka raja harus membelinya lebih dahulu. Hemat kami, inilah awal mulanya pengakuan resmi bahwa hutan dan segala isinya berada di bawah kekuasaan raja. Sejak masa tersebutlah dikenal istilah hutan kerajaan, yang kemudian terus populer di sebagian besar wilayah nusantara.

Kerajaan Mataram Hindu tersebut telah ikut dalam jaringan perdagangan internasional, sehingga hutan alam jati Jawa yang menghasilkan kayu dengan nilai tinggi juga mulai dijamah. Serupa dengan kayu oak di Eropa, kayu jati sangat cocok untuk memenuhi berbagai macam kepentingan, termasuk untuk membuat kapal. Oleh karena itu di samping dijual pada pasar internasional, penebangan kayu jati dari hutan Jawa telah pula mendorong tumbuhnya industri perkapalan, sehingga dengan industri kapal para pedagang Jawa mampu mengarungi samudra untuk berdagang ke segenap penjuru Asia dan Afrika yang menjadikan kemakmuran Jawa semakin meningkat. Penebangan kayu jati di Jawa terus berlanjut sampai kedatangan bangsa Belanda di akhir abad ke-16.

Berbeda halnya dengan di Aceh, setelah masuknya Agama Islam pada tahun 1078 M di Peurlak dan Kerajaan Pasai, maka semua tatanan kehidupan masyarakatnya dipengaruhi oleh ajaran

agama Islam, termasuk tatanan hukumnya. Hak tertinggi dalam penguasaan tanah dan hutan di Aceh bukanlah pada raja, melainkan pada Allah yang Maha Kuasa.

Semua tanah dan hutan dalam wilayah kemukiman di Aceh selama belum berada dalam kekuasaan seseorang dinamakan tanoh hak kullah (hak Allah) atau uteun poeteu Allah. Setiap orang warga masyarakatnya dapat dengan leluasa menebang kayu sekedar untuk bahan perumahannya, mengambil hasil hutan, berburu binatang dan mencari ikan. Apabila hal ini dilakukan sebagai mata pencaharian maka ada kewajiban memberikan sebagian hasil untuk desanya.

Sehubungan dengan hal ini, Snouck Hurgronje menuliskan dalam bukunya de Atjehers, menuliskan tentang pola penguasaan hutan pada masa prakolonial, yaitu : Barang siapa hendak menggarap rimba ataupun hendak mengumpulkan hasil-hasil hutan (termasuk: berburu dan mencari ikan) adalah bebas seluruhnya. Satu-satunya pembatasan kebebasan tersebut itu ialah jika seseorang hendak membuka ladang, kebun atau sawah yang letaknya berdekatan dengan tanah yang telah digarap orang lain haruslah ia meminta keizinan kepadanya atau kepala daerah yang bersangkutan. Untuk memperoleh izin itu tidak perlu dibayar apa-apa; hanya saja di masa dahulu dari penghasilan-penghasilan yang dikumpulkan itu harus dibayar cukai biasa (wasee) kepada ulee balang.

2. Masa Penjajahan

Perkembangan hukum kehutanan selama masa penjajahan dapat diklasifikasikan dalam dua masa, yaitu masa penjajahan oleh Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) dan Penjajahan Hindia Belanda.

a. Masa Penjajahan oleh VOC (1602 – 1799)

Sebelum dijajah oleh Pemerintah Hindia Belanda, nusantara ini, terutama Jawa dan Madura, berada dibawah penjajahan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC), yang lebih populer dengan sebutan kompeni. Kompeni ini

(7)

melakukan penjajahan untuk mendapatkan komoditas dagang dengan biaya dan harga murah.

Selain rempah-rempah, lada dan kopi, hasil hutan pun, terutama kayu jati Jawa juga menjadi andalan komoditi perdagangan mereka.

Pada masa sebelum VOC berkuasa (1619), para raja di Jawa masih mempunyai kekuasaan dan kepemilikan atas tanah dan hutan di wilayah pemerintahannya. Raja mendistristribusikan tanah kepada pegawai-pegawai istana untuk membiayai kegiatan mereka dan sebagai pengganti gaji yang harus diterimanya. Tanah yang dibagikan oleh raja dan pejabat-pejabat istana kepada penduduk berfungsi sebagai sumber pendapatan dan sumbangan tenaga kerja untuk kerajaan.

Pada waktu VOC mulai terlibat dalam kegiatan penebangan kayu (timber extraction), para pekerja dari penduduk desa sekitar hutan sudah mempunyai ketrampilan yang tinggi.

Karenanya, VOC tinggal mengatur dan memanfaatkan ketrampilan penduduk tersebut untuk meningkatkan intensitas penebangan kayu agar lebih banyak uang yang diperoleh VOC.

Sejak tahun 1620 kompeni mengeluarkan larangan penebangan kayu tanpa izin, dan diadakan pemungutan cukai atas kayu dan hasil hutan. Besarnya cukai dimaksud adalah sepuluh persen (10%). Pada tanggal 10 Mei 1678, kompeni memberikan izin kepada saudagar Cina yang bernama Lim Sai Say untuk menebang kayu di seluruh daerah sekitar Betawi, dan mengeluarkannya dari hutan untuk keperluan kota, asal membayar cukai sepuluh persen.

Sekitar tahun 1760, hutan daerah Rembang sebagian besar sudah ditebang habis oleh kompeni. Kemudian kompeni memerintahkan orang-orangnya dari Rembang untuk menebang kayu di Blora, daerah kekuasaan susuhunan. Pada masa itu, kompeni menganggap bahwa sumber daya alam (hutan dan semua lahannya), baik yang diperolehnya karena penaklukan atau karena perjanjian adalah menjadi kepemilikannya. Suatu keputusan yang dicantumkan dalam Plakat tanggal 8 September 1803, yang berlaku untuk daratan dan pantai pesisir Timur Laut Pulau Jawa mulai

dari Cirebon sampai ke pojok Timur, yang menegaskan bahwa semua hutan kayu di Jawa harus dibawah pengawasan kompeni sebagai hak milik (domein) dan hak istimewa raja dan para pengusaha (regalita). Tidak seorang pun, terutama terhadap hutan yang sudah diserahkan oleh Raja kepada kompeni, boleh menebang kayu, apalagi menjalankan suatu tindakan kekuasaan. Kalau larangan ini dilanggar, maka pelanggarnya akan dijatuhi hukuman badan.

Dari gambaran historis di atas, dapat dikemukakan beberapa hal. Pertama, sejak menguatnya kekuasaan VOC di Jawa telah menimbulkan implikasi pada beralihnya pemilikan dan penguasaan (domein) terhadap tanah (lahan) dari domein raja menjadi domeinnya kompeni.

Raja tak lagi berdaya atas wilayah hutan dalam kerajaannya. Namun pun demikian, hasil hutan berupa kayu masih dapat diperuntukkan bagi kepentingan raja dan bupati. Sedangkan rakyat jelata, tidak ada lagi hak atas hutan disekitarnya (gemeente).

Kedua, pada masa kompeni sudah ada peraturan dan penerapan hukum kehutanan bagi masyarakat. Pemberlakuan hukum kehutanan pada masa itu lebih diutamakan untuk kepentingan kompeni dalam mengeksploitasi dan mengeksplorasi sumber daya alam. Pada waktu itu ada anggapan, bahwa hak rakyat atas hutan jati hanya dilimpahkan kepada kelompok orang tertentu, tidak kepada setiap orang. Hal ini seperti tertuang dalam Plakat tanggal 30 Oktober 1787 yang memberi izin kepada awak hutan (boskhvolkenen), yang bekerja sebagai penebang kayu untuk kepentingan kompeni.

Ketiga, merujuk pada Surat Keputusan Kompeni tanggal 10 Mei 1678 tentang pemberian izin menebang kayu kepada saudagar Cina, dapatlah dipahami bahwa sejak pemerintahan zaman kompeni sudah ada kolaborasi antara etnis Cina dengan para penguasa dalam hal eksploitasi sumber daya hutan, terutama kayu. Mengingat telah terlalu lama etnis Cina berkiprah dalam bidang perhutanan, maka wajar saja kalau sebagian besar izin HPH (hak pemanfaatan hasil

(8)

hutan) dipegang oleh kelompok mereka hingga sekarang ini.

Banyaknya kasus kerusakan hutan di berbagai daerah di nusantara ini, terindikasi kuat akibat ulah para pengusaha tersebut, yang senyatanya dikuasai oleh kalangan nonpribumi. Karena hutan tempat resapan air telah digunduli, maka pribumi, masyarakat adat di pedesaan dan kelompok marginal perkotaan seringkali harus menjadi korban banjir.

Keempat, yang penting dikemukakan dalam konstelasi hukum kita, adalah musnahnya hak ulayat (wewengkon) atas penguasaan hutan desa oleh masyarakat desa di Jawa selama penjajahan VOC. Hutan di wewengkon desa tertentu hanya boleh ditebang atau dimanfaatkan oleh warga dari desa yang bersangkutan. Orang dari desa lain, kalau hendak mengambil kayu dari hutan, harus minta izin kepada demang (petinggi) desa tersebut.

b. Masa Penjajahan Hindia Belanda (1850 – 1942)

Sekalipun pengaturan dalam bentuk peraturan tertulis tentang kehutanan sudah ada sejak berkuasanya VOC. Tetapi secara lebih meluas, momentum awal pembentukan hukum tentang kehutanan di Indonesia, dapat dikatakan dimulai sejak tanggal 10 September 1865, yaitu dengan diundangkannya pertama sekali Reglemen tentang Hutan (Boschreglement) 1865. Reglemen ini merupakan awal mula adanya pengaturan secara tertulis upaya konservasi sumber daya hayati.

Koesnadi HHHardjasoemantri mengemukakan bahwa, konservasi sumber daya alam hayati di Indonesia dimulai dengan peraturan mengenai kehutanan di Jawa dan Madura, yaitu dengan ditetapkannya Reglement op het beheer en de exploitatie de houtbossen op Java en Madoera 1865. Pada tahun 1897 diganti lagi dengan Reglement voor het beheer der bosschen op Java en Madoera, keduanya berlaku sampai tahun 1913. Adapun yang dipakai sebagai landasan kerja Jawatan Kehutanan adalah yang ditetapkan pada tahun 1927, yaitu Reglement voor de beheer de boscchen van den Lande op java en Madoera,

yang dikenal juga sebagai Boschordonantie voor Java en Madoera 1927.

Berdasarkan reglemen 1865 atas ada beberapa hal yang dapat dikemukakan, yaitu:

Pertama. Reglemen Hutan 1865 tersebut merupakan awal adanya instrumen hukum tertulis yang secara juridis formal telah meniadakan hak dan kekuasaan masyarakat adat terhadap wilayah hutan adat dengan hak ulayat di sekitarnya.

Sekalipun reglemen tersebut mulanya hanya berlaku untuk wilayah sebagian besar daerah di Pulau Jawa, tetapi pola penguasaan seperti ini yang menghilangkan keberadaan hutan desa gemeente, menjadi model untuk merampas kekuasaan masyarakat adat atas hak ulayat terhadap hutan adatnya.

Kedua, Kekayaan hutan kita telah menjadi komoditi penting dan potensi ekonomi strategis, yang mengundang minat kaum kapitalis dan imperalis untuk melakukan penjajahan. Apalagi kemampuan sumber daya manusia dan kekuatan persenjataan rakyat Jawa pada masa itu berada jauh di bawah kemampuan imperalis dari Eropah, sehingga pada masa itu tak ada perlawanan gigih yang dilakukan oleh raja-raja dan kaula kerajaan Jawa untuk mempertahankan kekuasaan atas wilayah hutan yang dimilikinya.

Setelah diberlakukan selama sembilan tahun, ternyata Reglemen Hutan 1865 ditemukan beberapa kelemahan yang menjadi permasalahan dalam pelaksanaannya. Ada dua masalah utama yang muncul dalam pelaksanaan Reglemen Hutan 1865, yaitu: (1) musnahnya hutan yang dikelola secara tidak teratur, disebabkan adanya pemisahan hutan jati yang dikelola secara teratur dan tidak teratur, dan (2) banyaknya keluhan mengenai pembabatan hutan guna pengadaan kayu untuk rakyat, pembangunan perumahan, perkapalan, bahan bakar, dan lain-lain.

Berdasarkan dua masalah di atas, Pemerintah Hindia Belanda meninjau kembali Reglemen Hutan 1865, dan kemudian diganti dengan Reglemen 1874 tentang Pemangkuan Hutan dan

(9)

Eksploitasi Hutan di Jawa dan Madura. Reglemen ini diundangkan pada tanggal 14 April 1874.

Reglemen hutan 1874 pada perkembangan berikutnya diubah dengan reglemen 26 Mei 1882 dan reglemen 21 Nopember 1894, tetapi kemudian diganti sama sekali berdasarkan reglemen tanggal 9 Februari 1897 yaitu tentang Pengelolaan Hutan-hutan Negara di Jawa dan Madura 1897. Kemudian, dengan Keputusan Gubernur Jenderal Nomor 21 tanggal 9 Februari 1897 ditetapkan pula peraturan pelaksanaannya, yaitu Reglemen untuk Jawatan Kehutanan Jawa dan Madura (dienstreglement). Reglemen ini berisikan ketentuan-ketentuan tentang organisasi Jawatan Kehutanan dan ketentuan pelaksanaan Boschreglemen.

Reglemen Hutan 1897 berlaku selama kurang lebih 16 tahun. Kemudian, dengan diundangkannya reglemen baru tentang hutan Jawa dan Madura pada Tanggal 30 Juli 1913, maka reglemen hutan 1897 tidak berlaku lagi. Reglemen baru ini dikenal dengan nama Reglemen untuk Pemangkuan Hutan Negara di Jawa dan Madura 1913, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1914.

Sesuai dengan prinsip kemutakhiran tentu saja substansi pengaturan dalam Reglemen Hutan 1913 lebih lengkap dibandingkan dengan tiga reglemen hutan terdahulu. Tetapi karena ditemukan berbagai hambatan dalam implementasinya, maka reglemen tersebut kemudian dirubah dan disesuaikan dengan perkembangan zaman dengan Ordonansi Hutan 1927.

Ordonansi Hutan 1927 ini sebenarnya bernama Reglemen voor het Beheer der Bossen van den lande op Java en Madura 1927, yang secara singkat dan lebih populer dengan Bosordanntie voor Java en Madura. Ordonansi ini diundangkan dalam Lembaran Negara 1927 Nomor 221, dan terakhir diubah dan ditambah dengan Lembaran Negara 1940 Nomor 3.

Hak-hak masyarakat setempat untuk memperoleh manfaat dari hutan dalam Boschodonantie meliputi hak mengambil kayu

dan hasil hutan lainnya, menggembala dan mengambil rumput. Kayu-kayu yang boleh diambil oleh penduduk setempat adalah sisa-sisa kayu yang tidak dipungut oleh Jawatan Kehutanan, kayu mati ataupun pohon-pohon yang rebah di hutan rimba sepanjang untuk keperluan sendiri, bukan untuk diperdagangkan.

Adapun peraturan pelaksana dari Ordonansi Hutan 1927 ini adalah Reglemen voor de Dienst van het Boshwezen voor Java en Madoera yang disingkat dengan Boschdienstreglement voor Java en Madoera, yang kemudian diganti dengan Bepalingen met Betrekking tot s’land Boschbeheer op Java en Madoera (Ketentuan tentang Pengelolaan Hutan Negara di Jawa dan Madura) yang disingkat menjadi Boschverordening voor Java en Madoera 1932.

Peraturan ini kemudian diperbaiki lagi pada tahun 1935, 1937, dan 1939.

c. Masa Penjajahan Jepang 1942-1945 Begitu menduduki kepulauan nusantara dan mengusir kekuasaan kolonial Belanda yang telah menanamkan pengaruh berabad-abad lamanya, Pemerintah Militer Jepang membagi daerah yang didudukinya ini menjadi 3 (tiga) wilayah komando, yaitu (1) Jawa dan Madura, (2) Sumatera, dan (3) Indonesia bagian Timur. Pada tanggal 7 Maret 1942 Pemerintah Militer Jepang mengeluarkan Undang-undang (Osamu Sirei) Tahun 1942 Nomor 1 yang berlaku untuk Jawa dan Madura, dimaklumatkan bahwa seluruh wewenang badan- badan pemerintahan dan semua hukum serta peraturan yang selama ini berlaku, tetap dinyatakan berlaku kecuali apabila bertentangan dengan Peraturan-peraturan Militer Jepang.

Berdasarkan maklumat di atas, jelas bahwa semua hukum dan undang-undang yang berlaku pada masa kolonial Pemerintahan Hindia Belanda tetap diakui sah oleh Pemerintah Militer Jepang, sebagai penjajah berikutnya. Sehubungan dengan pemberlakuan Osamu Sirei Tahun 1942 Nomor 1 tersebut, maka dalam bidang hukum kehutanan tetap berlaku ketentuan yang sudah ada pada masa kolonial Belanda, yaitu Boschordonantie atau Ordonansi Hutan 1927 beserta dengan

(10)

berbagai peraturan pelaksanaannya (Boschverordening 1932).

3. Masa Kemerdekaan

a. Masa Pemerintahan Orde Lama (1945 –1965)

Sejak Indonesia merdeka hingga sekarang (2009), terdapat tiga pergantian rezim yang secara mendasar turut mempengaruhi sistem hukum kita,[17] yaitu Rezim Orde Lama, Rezim Orde Baru, dan Rezim Reformasi. Ketiga-tiga rezim tersebut memiliki karakteristik dan perpsektif masing-masing dalam hubungannya dengan masalah kehutanan. Karenanya, ketiga masa kekuasaan tersebut telah melahirkan tipikal hukum kehutanan yang berbeda-beda.

Perkembangan hukum di Indonesia dalam era pergolakan, antara tahun 1945-1950 menurut Soetandyo Wignyosoebroto, mengalami sedikit komplikasi. Runtuhnya kekuasaan Jepang pada akhir Perang Pasifik segera saja “mengundang pulang” kekuasaan Hindia Belanda yang mengklaim dirinya secara de jure sebagai penguasa politik satu-satunya yang sah di nusantara ini. Kekuasaan Republik Indonesia tidaklah diakuinya, kecuali kemudian diakui secara de facto. [18]

Di daerah-daerah bekas kekuasaan Hindia Belanda – yang telah menamakan dirinya Indonesia – hukum warisan kolonial Hindia Belanda, termasuk hukum tentang kehutanan diteruskan berlakunya, tanpa perlu membuat aturan-aturan peralihan macam apapun. Produk perundang-undangan Pemerintah Militer Jepang dinyatakan tidak lagi berlaku.

Dengan demikian, Undang-undang kehutanan yang berlaku dalam masa-masa awal kemerdekaan ini adalah Boschordonantie 1927. Adapun lembaga pelaksananya adalah Jawatan Kehutanan yang memang sudah dibentuk sebelumnya, yaitu sejak Pemerintah Hindia Belanda, diteruskan oleh Pemerintahan Jajahan Jepang, yang kemudian dialihkan kepada Pemerintah Republik Indonesia.

Mengenai peralihan kekuasaan jawatan tersebut ditentukan dengan Surat Ketetapan Gunsaikanbu Keizaibutyo Nomor 1686/GKT tanggal 1

September 1945 tentang Peralihan Kekuasaan atas Jawatan Kehutanan dari Jepang kepada Republik Indonesia, yang kemudian disusul dengan Surat Ketetapan Nomor 735A/Keh tanggal 24 Oktober 1945 mengubah susunan Pimpinan Jawatan Kehutanan.

Pemerintah Orde lama memang tidak sempat melahirkan Undang-undang Kehutanan untuk mengganti produk kolonial Belanda. Namun untuk mencapai beberapa kepentingan nasional Pemerintah Indonesia menerbitkan beberapa peraturan berkaitan dengan kehutanan

b. Masa Pemerintahan Orde Baru (1966 – 1998)

Tak lama setelah Rezim Orde Baru berkuasa, tanggal 24 Mei 1967 diundangkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Kehutanan (UUPK). Berlakunya UUPK produk bangsa Indonesia ini dimaksudkan demi kepentingan nasional, dan sekaligus pula mengakhiri keberlakuan Boschordonantie 1927 yang telah berlaku selama 40 tahun lamanya.

Dalam Penjelasan Umum UU Nomor 5 Tahun 1967 tersebut dinyatakan bahwa, UUPK ini merupakan suatu langkah untuk menuju kepada univikasi hukum nasional di bidang kehutanan, dan merupakan induk peraturan perundangan yang mengatur berbagai bidang dalam kegiatan kehutanan.

Untuk melaksanakan UUPK tersebut, telah dikeluarkan serangkaian peraturan pelaksanaannya. Jika ditelaah terhadap ketentuan- ketentuan dalam UUPK tersebut dan peraturan pelaksanaannya, dapatlah dipahami bahwa keberadaan undang-undang tersebut dan peraturan pelaksanaannya lebih mengutamakan kepentingan ekonomi dibandingkan upaya konservasi lingkungan. Hal ini sebagaimana tersurat dalam Penjelasan Umumnya, yaitu;

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang dikarunia oleh Tuhan yang maha Esa tanah air yang kaya raya dengan sumber kekayaan alam, antara lain dengan hutan yang masih sangat luas sekali.

Penggalian sumber kekayaan alam yang berupa hutan ini secara intensif merupakan pelaksanaan

(11)

amanat penderitaan rakyat yang tidak boleh ditunda-tunda lagi dalam rangka pembangunan ekonomi nasional untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Kebutuhan modal pembangunan merupakan prioritas utama pada saat itu. Pengusahaan hutan tropika dalam beberapa hal telah berhasil menopang pembangunan nasional dalam hal pendapatan devisa negara, penyerapan tenaga kerja, menumbuhkan pembangunan regional dan pembangunan industri hasil hutan.[20] Sumber daya alam (hutan, tambang, air, mineral) dipandang dalam konteks economic sense dan belum dipahami sebagai ecological dan sustainable sense.

Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (UU Nomor 5 Tahun 1967) dan Undang-undang tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Pertambangan (UU Nomor 11 tahun 1967) dikeluarkan sebagai bagian dari paket kebijaksanaan ”membuka pintu” bagi penanaman modal asing maupun modal dalam negeri.[21]

Untuk mempercepat pertumbuhan perkonomian Indonesia pada masa awal Orde Baru, pemerintah mengundangkan dua undang-undang untuk menarik minat para usahawan menanamkan investasinya di Indonesia, terutama dalam hal pengusahaan kekayaan sumber daya alam Indonesia. Undang-undang dimaksud adalah Undang-undang tentang Penanaman Modal Asing (UU No. 1 Tahun 1967) dan UU tentang penanaman Modal Dalam Negeri (UU No. 6 Tahun 1968).

c. Masa Pemerintahan Reformasi (1998 – 2006)

Setelah 32 tahun berkuasa, akhirnya Rezim Pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto mundur, dan berturut-turut (1998 – 2004) digantikan oleh Presiden Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati, serta oleh Presiden Soesilo Bambang Yudoyono (2004 – 2009). Rezim pemerintahan baru ini dinamakan dengan Rezim Reformasi.[22]

Rezim Reformasi berupaya menata kehidupan berbangsa dan bernegara dengan melakukan

reformasi konstutisi, reformasi legislasi, dan reformasi birokrasi. Sebagai dampak dari reformasi legislasi, maka banyak peraturan perundang-undangan produk Orde Baru yang diganti dan disesuaikan dengan semangat reformasi. Salah satunya adalah dicabut Undang- undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Kehutanan, yang diganti dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK).

Ditinjau dari bagian menimbang UUK, yang juga merupakan alasan hukum pembentukan suatu undang-undang, disatu sisi, bahwa undang- undang ini dibentuk dengan semangat kesadaran pemihakan kepada lingkungan hidup yang berkelanjutan dan berwawasan dunia. Sementara di lain sisi, adanya pernyataan harus menampung dinamika aspirasi dan peranserta masyarakat, adat dan budaya serta tata nilai masyarakat, menunjukkan keberpihakan undang-undang ini pada masyarakat hukum adat dengan segala kearifan tradisionalnya. Sehingga dari alasan hukum ini dapat dipahami bahwa keberadaan undang-undang ini tidak lagi semata-mata bersifat economicentris, tetapi bersifat ecologycentris yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.

Dalam Undang-undang tentang Kehutanan produk Reformasi, diakui dan diatur secara tegas mengenai hutan adat dan masyarakat hukum adat.

Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.

Pemerintah menetapkan status hutan adat sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyaraat hukum adat bersangkutan sesuai dengan fungsinya.

Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.

Pada prinsipnya, semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik, dan kerentanannya, serta tidak dibenarkan mengubah fungsi pokoknya, yaitu fungsi konservasi, lindung,

(12)

dan produksi. Untuk menjaga keberlangsungan fungsi pokok hutan dan kondisi hutan, dilakukan juga upaya rehabilitasi serta reklamasi hutan dan lahan, yang bertujuan mengembalikan kualitas hutan, meningkatkan pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat.

Jika dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 dapat dikemukakan bahwa Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 merupakan ketentuan yang bersifat menyeluruh karena telah memuat ketentuan-ketentuan baru, yang belum dikenal dalam undang-undang sebelumnya. Hal-hal yang baru ini adalah (1) adanya pengawasan oleh pemerintah dan pemerintah daerah, (2) penyerahan sebagian kewenangan pemerintah kepada pemerintah daerah, (3) penegasan hak masyarakat hukum adat, (4) peran serta masyarakat, (5) terbukanya peluang untuk melakukan gugatan perwakilan, (6) diaturnya mekanisme penyelesaian sengketa, (7) adanya ketentuan pidana, (8) diaturnya tentang ganti rugi dan sanksi administratif.

Sejak Era Reformasi, pembangunan dan pengelolaan hutan menghadapi berbagai tantangan baru. Terdapat hal dilematis dalam kebijakan kehutanan. Disatu sisi, Pemerintah Pusat dianggap mendominasi pengambilan keputusan dalam pengelolaan hutan. Namun, disisi lain ketika kabupaten beserta masyarakatnya diberikan kesempatan yang lebih luas untuk mengelola hutan yang ada di wilayahnya, di beberapa daerah terjadi ledakan pemberian izin konsesi skala kecil yang mengakibatkan meningkatnya laju kerusakan hutan. Hal ini terbukti, selama tahun 1997-2000, pada awal era otonomi daerah, angka perusakan hutan meningkat dari 1,87 juta hektar menjadi 2,83 juta hektar karena euforia reformasi yang menyebabkan pembabatan hutan secara besar- besaran. Namun sejak tahun 2002 hingga 2005 angka kerusakan hutan sudah mulai turun menjadi 1,18 juta hektar pertahun.

Dalam melaksanakan misi pengurusan hutan di era otonomi daerah, Pemerintah Pusat meluncurkan kebijakan pembentukan Kesatuan

Pengelolaan Hutan (KPH), sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Peraturan ini diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong terwujudnya kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat, serta mengakomodir tuntutan dan kepentingan pemerintah daerah.

Kesatuan pengelolaan hutan (KPH) menurut Pasal 1 angka 1 peraturan tersebut adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukkannya, yang dapat dikelola secara efesien dan lestari. Pembentukan KPH bertujuan untuk menyediakan wadah bagi terselenggaranya kegiatan pengelolaan hutan secara efisien dan lestari. KPH sesuai dengan fungsi pokok dan peruntukkannya yang dapat dikelola secara efesien dan lestari bertanggungjawab terhadap pelaksanaan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta penyelenggaraan pengelolaan hutan.

Hukum pertambangan(mining law) adalah hukum yang mengatur tentang penggalian atau pertambangan biji-biji dan mineral-mineral dalam tanah (ensiklopedia indonesia)

Hukum pertambangan adalah ketentuan yang khusus yang mengatur hak menambang (bagian tanah yang mengandung logam berharga didalam tanah atau bebatuan) menurut aturan-aturan yang telah ditetapkan (Blacklaw Dictionary)

Hukum pertambangan adalah : “keseluruhan kaidah hukum yang mengatur kewenangan negara dalam pengelolaan bahan galian (tambang) dan mengatur hubungan hukum antara negara dengan orang dan atau badan hukum dalam pengelolaan dan pemanfaatan bahan galian (tambang)”.

(Salim HS)

(13)

Asas

Pertambangan mineral dan/atau batubara dikelola berasaskan :

a. Manfaat, keadilan, dan keseimbangan b. Keberpihakan kepada kepentingan bangsa c. Partisipatif, transparasi, dan akuntabilitas d. Berkelanjutan dan berwawasan lingkungan Penyelenggaraan kegiatan usaha Minyak dan

Gas Bumi berasaskan :

a. Ekonomi kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keadilan, keseimbangan, pemerataan, kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan, dan kepastian hukum serta berwawasan lignkungan

Tujuan pengelolaan mineral dan batubara : a. Menjamin efektivitas pelaksanaan dan

pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing

b. Menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup

c. Menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negri

d. Mendukung dan menumbuh kembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing ditingkat nasional, regional, dan internasional

e. Meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk kesejahteraan rakyat f. Menjamin kepastian hukum dalam

penyelenggaraan kegiatan usaha pertambngan mineral dan batubara

Kegiatan Pertambangan

Penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang

Hubungan Hukum Antara Hukum Pertambangan Dengan Hukum Agraria, Hukum Lingkungan, Hukum Kehutanan, Dan Hukum Pajak

Hubungan Antara Hukum Pertambangan Dengan Hukum Agraria

Terkait dengan pemanfaatan tanah : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Tanah Negara

Hubungan Antara Hukum Pertambangan Dengan Hukum Kehutanan

Hutan :

a. Hutan Konservasi : Hutan Suaka Alam Hutan Pelestarian Alam Taman Buru

b. Hutan Lindung c. Hutan Produksi

d. Hutan berdasarkan tujuan khusus : – Penelitian dan pengembangan – Pendidikan dan latihan – Religi dan budaya Pasal 38

(1) Penggunaan kawasan untuk kepentingan pembangunan diluar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung

(2) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana diatur dalam pasal 1 dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan Pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Mentri atas persetujuan DPR

PERPU No 1 Tahun 2004 Pasal 83A :

Semua perizinan atau perjanjian dibidang pertambngan dikawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya UU No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan dinyatakan tetap berlaku sampai akhirnya izin atau perjanjian yang dimaksud

Hubungan Antara Hukum Pertambangan Dengan Hukum Lingkungan

Bahan galian

Negara Negara dan

orang/badan hukum

(14)

– Pertambangan wajib memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, sehingga wajib :

a. Memiliki AMDAL, analisis; iklim dan kualitas udara, fisiologi dan geologi, hidrologi dan kualitas air, ruang, lahan dan tanah, flora dan fauna, sosial (demografi, ekonomi, sosial budaya dan kesehatan masyarakat)

b. Melakukan pengelolaan limbah hasil usaha dan/atau kegiatan

c. Melakukan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun

Hubungan Antara Hukum Pertambangan Dengan Hukum Pajak

– Hukum pertambangan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan hukum pajak karena kegiatan usaha pertambnagn selalu diikuti dengan kewajiban pembayaran pajak

– Tidak bayar pajak > disomasi, tidak diindahkan, > hubungan hukum perusahaan bisa dibatalkan oleh pemerintah

Penegakan Hukum disebut dalam bahasa Inggris yaitu Law Enforcement, dan bahasa Belanda disebut rechtshandhaving. Dalam bahasa Indonesia, istilah penegakan hukum membawa kita pada pemikiran bahwa penegakan hukum selalu dengan force sehingga ada yang berpendapat bahwa penegakan hukum hanya bersangkutan dengan hukum pidana saja.

Sebenarnya pejabat administrasi juga menegakkan hukum (Andi Hamsah,2005:48).

Masalah pokok daripada penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak postif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut (Andi Sudirman Hamsah,2007:16-17) adalah : 1. Faktor hukumnya sendiri, yaitu undang-

undangnya.

2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan tempat hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

5. Faktor budayanya, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut sangat berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum.

Pada tahun 1986, Hukum lingkungan dalam bidang ilmu hukum merupakan salah satu bidang ilmu hukum yang paling strategis karena hukum lingkungan mempunyai banyak segi yaitu segi hukum administrasi, segi hukum pidana, dan segi hukum perdata. Dengan demikian, tentu saja hukum lingkungan memiliki aspek yang lebih kompleks. Sehingga untuk mendalami hukum lingkungan itu sangat mustahil apabila dilakukan seorang diri, karena kaitannya yang sangat erat dengan segi hukum yang lain yang mencakup pula hukum lingkungan di dalamnya .

Dalam pengertian sederhana, hukum lingkungan diartikan sebagai hukum yang mengatur tatanan lingkungan (lingkungan hidup), di mana lingkungan mencakup semua benda dan kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya yang terdapat dalam ruang di mana manusia berada dan mempengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia serta jasad-jasad hidup lainnya. Dalam pengertian secara moderen, hukum lingkungan lebih berorientasi pada lingkungan atau Environment-Oriented Law, sedang hukum lingkungan yang secara klasik lebih menekankan pada orientasi penggunaan lingkungan atau Use-Oriented Law

Hukum Lingkungan merupakan instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan hidup, dengan demikian hukum lingkungan pada hakekatnya merupakan suatu bidang hukum yang terutama

(15)

sekali dikuasai oleh kaidah-kaidah hukum tata usaha negara atau hukum pemerintahan. Untuk itu dalam pelaksanaannya aparat pemerintah perlu memperhatikan “Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik” (Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur/General Principles of Good Administration). Hal ini dimaksudkan agar dalam pelaksanaan kebijaksanaannya tidak menyimpang dari tujuan pengelolaan lingkungan hidup

Penegakan hukum lingkungan berkaitan erat dengan kemampuan aparatur dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan yang berlaku, yang meliputi tiga bidang hukum, yaitu administratif, pidana dan perdata. Penegakan hukum lingkungan dapat dilakukan secara preventif dan represif sesuai dengan sifat dan efektivitasnya (Siti Sundari Rangkuti,1996:191).

Menurut Andi Hamsah (2005:9), bahwa dalam ruang nasional, hukum lingkungan menempati titik silang berbagai bagian hukum klasik, yaitu hukum publik dan privat. Penegakan hukum lingkungan pun menjadi titik silang penggunaan instrumen hukum tersebut, terutama instrument hukum pemerintahan atau administratif, perdata dan hukum pidana.

Penegakan hukum lingkungan (Ilyas Asaad,2008:3) terdiri atas :

Tindakan untuk menerapkan perangkat hukum melalui upaya pemaksaan sanksi hukum guna menjamin ditaatinya ketentuan-ketentuan yang termuat dalam peraturan perundang-undangan

lingkungan hidup

Penegakan hukum lingkungan bertujuan penaatan (compliance) terhadap nilai-nilai perlindungan ekosistem dan fungsi lingkungan hidup Adapun kebijakan nasional pelestarian lingkungan hidup yang dipaparkan oleh Ilyas Asaad 2008:2) terdiri dari:

1. Pelestarian Lingkungan Hidup dilaksanakan berdasarkan konsep Pembangunan Berkelanjutan

2. Fungsi lingkungan perlu dilestarikan

3. Pemanfaatan sumber daya alam tak terpulihkan perlu memperhatikan kebutuhan

antar generasi

4. Setiap warga negara mempunyai hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat dan berkewajiban untuk melestarikan lingkungan

5. Pencegahan lebih utama daripada penanggulangan dan pemulihan.

6. Kualitas lingkungan ditetapkan berdasarkan fungsinya.

7. Pelestarian lingkungan dilaksanakan berdasar prinsip-prinsip pelestarian.

Lebih lanjut, (Ilyas Asaad,2008:4) bahwa sasaran penaatan lingkungan yaitu pelestarian fungsi lingkungan melalui ketaatan pelaku pembangunan denga cakupan: Pengendalian pencemaran,

Pengendalian perusakan

lingkungan,Pengembangan kapasitas pengelolaan.

Adapun strategi penaatan dan penegakan hukum lingkungan (Ilyas Asaad,2008:12) yaitu:

1. Penguatan kelembagaan di pusat dan daerah 2. Peningkatan kapasitas (distribusi, jumlah dan

kualitas).

3. Persamaan persepsi dan peningkatan koordinasi antara aparat penegak hukum.

4. Penyempurnaan peraturan perundang undangan dibidang lingkungan hidup

Dalam pengelolaan lingkungan hidup menurut Andi Muh. Yunus Wahid, pendekatan hukum merupakan faktor penting bagi berhasilnya pengelolaan lingkungan hidup tersebut, hanya saja penerapan hukum tidak selalu efektif. Oleh karena itu, pendekatan hukum semata tidak akan mampu menanggulanginya. Masalah lingkungan hidup yang serba kompleks, dan multi aspek karena terkait dengan budaya, kesadaran hukum, kemampuan aparat, dan kondisi nyata masyarakat (Andi Muh. Yunus Wahid,2006:43).

Pentingnya keseimbangan dalam pengelolaan lingkungan agar terjalin suatu interaksi yang harmonis dan seimbang antar komponen- komponen lingkungan hidup. Stabilitas keseimbangan dan keserasian interaksi antar komponen lingkungan hidup tersebut tergantung pada usaha manusia. Karena manusia adalah

(16)

komponen lingkungan hidup yang paling dominan dalam mempengaruhi lingkungan. Sebaliknya lingkungan pun mempengaruhi manusia. Sehingga terdapat hubungan yang saling mempengaruhi antara manusia dan lingkungan hidupnya. Hal demikian, merupakan interaksi antara manusia dan lingkungan. Salah satu cara dalam mewujudkan keseimbang ini tentunya dengan menegakkan hukum, terutama yang berkaitan dengan lingkungan hidup.

Penegakan Hukum Lingkungan (versi UU 32/2009)

“Upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan perizinan. Dalam hal pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi, perlu dilakukan upaya represif berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi.

1. Penegakan Hukum Administrasi 2. Penegakan Hukum Perdata 3. Penegakan Hukum Pidana

Perbedaan UU 23/2007 dengan UU 32/2009

A. UU 23/2007

– Penegakan hukum pidana sebagai Ultimum Remedium

– Sebagai penunjang hukum administrasi, berlakunya ketentuan hukum pidana tetap memperhatikan asas subsidiaritas, yaitu bahwa hukum pidana hendaknya didayagunakan apabila sanksi bidang hukum lain, seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata, dan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup tidak efektif dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat dan/atau akibat perbuatannya relatif besar dan/atau perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat.

B. UU 32/2009

– Penegakan hukum pidana sebagai Primum RemediumPenegakan hukum pidana dalam Undang- Undang ini memperkenalkan ancaman hukuman minimum di samping maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi.

Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil.

Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan

Perbedaan Fungsi Penegakan Hukum Perdata, Pidana dan Administratif

Administratif Melakukan pengawasan penaatan terhadap persyaratan dalam izin &

kewajiban per-

uuan (prevention/before the fact)

Perdata Memulihkan hak-hak seseorang yang dilanggar sehingga mengakibatkan kerugian melalui pemberian ganti kerugian (kompensasi), mengembalikan keadaan seperti semula seperti sebelum terjadinya kerugian, atau meminta agar peraturan dipatuhi dan dilaksanakan

Pidana Memberikan pesan efek penjeraan (general atau specific deterrent) melalui hukuman badan atau denda (orang dan korporasi)

(17)

Keterkaitan antara Hukum Lingkungan dengan Hukum Administrasi

Hukum administrasi : Mengatur tentang pemerintahan (administration) secara prosedural dan substansial

Hukum Lingkungan : Sebagian besar mengatur tentang bagaimana pemerintah (&

stakeholders)melindungi dan mengelola lingkungan hidup

Dasar Hukum Penegakan Hukum Administrasi

– Undang – undang 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (ps 71-75)

– Permen LH 2/2013 tentang Pedoman Penerapan Sanksi Administratif dibidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

– UU 41/1999 tentang Kehutanan (ps ) – UU 18/2004 tentang Perkebunan (ps. 44) – UU 4/2009 tentang Pertambangan Minerba

(ps. 140)

– UU 26/2007 tentang Penataan Ruang (ps ) – UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air (ps. 75) 5 Prinsip Pokok Penegakan Hukum Administrasi (UU 32/2009)

1. Penegakan Hukum Administrasi sebagai Pencegahan

2. Pelaksanaan Penegakan Hukum Administrasi merupakan kewajiban Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

3. Pendelegasian Kewenangan dan Penetapan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup

4. Kewenangan “Step In” Pemerintah Pusat terhadap ranah kewenangan daerah

5. Jenis-Jenis Sanksi Administrasi

Penegakan Hukum Administrasi sebagai Pencegahan (Preventif)

a. Pengawasan

“tulang punggung” penegakan hukum administrasi (memastikan penaatan)

b. Perizinan

– Perangkat administrasi sebagai tolak ukur (standar) pengawasan penaatan

– Izin memuat persyaratan pencegahan dampak LH yang wajib dipantau dan diperiksa secara berkala

Pelaksanaan Penegakan Hukum Administrasi merupakan Kewajiban Pemerintah Pusat dan Pemda

a. Pemerintah Pusat

1. Penetapan NSPK (Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria)NSPK sudah ditetapkan oleh KLH “PermenLH 19/2008 tentang Standar Pelayanan Minumum (SPM) Bidang LH Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota”

2. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan per- uuan di bidang perlindungan dan pengelolaan LH

3. Memiliki kewenangan untuk melaksanakan penegakan hukum lingkungan dan menjatuhkan sanksi (termasuk sanksi administratif) terhadap pelanggaran ketentuan LH berdasarkan jurisdiksinya masing-masing

b. Pemerintah Daerah

Memiliki kewenangan untuk melaksanakan penegakan hukum lingkungan dan menjatuhkan sanksi (termasuk sanksi administratif) terhadap pelanggaran ketentuan LH berdasarkan jurisdiksinya masing-masing Pendelegasian Kewenangan dan Penetapan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (pusat dan daerah)

Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota : a. Mendelegasikan kewenangannya dalam

melakukanpengawasan dan penegakan hukum kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang perlindungan &

pengelolaan lingkungan hidup

b. Menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup (PPLH)

Kewenangan Menteri Lingkungan Hidup untuk “Step In”

a. Pengawasan Lapis Kedua (Oversight) (Ps. 73)

(18)

Dilakukan oleh Pemerintah Pusat apabila terdapat pelanggaran serius yang dilakukan oleh kegiatan/usaha

b. Penegakan Hukum Lapis Kedua (Second Line Enforcement) (Ps. 77)

Dilakukan oleh Pemerintah Pusat apabila Pemda secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang bersifat serius

Jenis-Jenis Sanksi Administrasi

Tujuan Sanksi Administratif(Permen 2/2013) – Melindungi LH dari pencemaran dan

perusakan LH

– Menanggulangi pencemaran dan/atau perusakan LH

– Memulihkan kualitas LH akibat pencemaran dan/atau perusakan LH

– Memberi efek jera (deterrent) bagi penanggung jawab usaha

Jenis

a. Teguran Tertulis (Warning Letter) [Ps. 76 ayat (2a) UU 32/2009]

Sanksi yang diterapkan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang telah melakukan pelanggaran per-uuan dan persyaratan &

kewajiban yang tercantum dalam izin lingkungan dan izin perlindungan dan pengelolaan LH Namun pelanggaran tersebut baik secara tata kelola LH yang baik maupun secara teknis masih dapat dilakukan perbaikan dan juga belum menimbulkan dampak negatif terhadap LHDiterapkan terhadap Pelanggaran

Diterapkan terhadap pelanggaran : – Bersifat administrative

Tidak menyampaikan laporan, tidak memiliki log book dan neraca limbah B3, dan tidak memiliki label dan simbol limbah B3

– Bersifat teknis, tetapi perbaikannya bersifat ringan (perbaikan yang dapat dilakukan secara langsung tidak memerlukan: waktu yang lama, penggunaan teknologi tinggi, penanganan oleh ahli, ataupun biaya tinggi):

i. Belum menunjukkan pelanggaran terhadap kriteria baku kerusakan LH

ii. Terjadinya kerusakan/gangguan pada instalasi pengolahan air limbah dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaporkan kepada pejabat yang berwenang

b. Paksaan Pemerintah [Ps. 76 ayat (2b) dan 80 UU 32/2009]

Sanksi administratif berupa tindakan nyata untuk menghentikan dan/atau memulihkan keadaan sebagaimana kondisi semula

Penerapan sanksi paksaan pemerintah dapat dilakukan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dengan terlebih dahulu diberikan teguran tertulis, atau tanpa didahului teguran tertulis khusus bagi pelanggaran yang menimbulkan:Ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup;Dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dan lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya; dan/atauKerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya.

Bentuk :

– Penghentian sementara kegiatan produksi – Pemindahan sarana produksi

– Penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi

– Pembongkaran

– Penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran – Penghentian sementara seluruh kegiatan – Tindakan lain yang bertujuan untuk

menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup

Diterapkan terhadap pelanggaran

Pelanggaran terhadap persyaratan dan kewajiban yang tercantum dalam izin lingkungan dan per- uuan LH, misalnya:

– Tidak membuat Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)

– Tidak memiliki Tempat Penyimpanan Sementara (TPS) limbah B3

– Tidak memiliki alat pengukur laju alir air limbah (flow meter)

(19)

c. Pembekuan Izin (License Suspension) [Ps.

76 ayat (2c) dan 79 UU 32/2009]

Sanksi yang berupa tindakan hukum untuk tidak memberlakukan sementara izin lingkungan dan/atau izin yang terkait dengan perlindungan dan penglolaan LH yang berakibat pada berhentinya suatu usaha dan/atau kegiatan.

Pembekuan izin ini dapat dilakukan dengan atau tanpa batas waktu.

Diterapkan terhadap Pelanggaran :

– Tidak melaksanakan paksaan pemerintah – Melakukan kegiatan selain kegiatan yang

tercantum dalam izin lingkungan dan/atau izin yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

– Pemegang izin lingkungan dan/atau izin yang terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup belum menyelesaikan secara teknis apa yang seharusnya menjadi kewajibannya

d. Pencabutan Izin (License Revocation) [Ps.

76 ayat (2d) dan 79 UU 32/2009]

Sanksi yang berupa tindakan hukum untuk mencabut izin lingkungan dan/atau izin yang terkait dengan perlindungan dan penglolaan LH yang berakibat pada berhentinya suatu usaha dan/atau kegiatan

Diterapkan terhadap Pelanggaran :

– Tidak melaksanakan sanksi administratif paksaan pemerintah

– Memindahtangankan izin usahanya kepada pihak lain tanpa persetujuan tertulis dari pemberi izin usaha

– Tidak melaksanakan sebagian besar atau seluruh sanksi administratif yang telah diterapkan dalam waktu tertentu

– Terjadinya pelanggaran yang serius yaitu tindakan melanggar hukum yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang relatif besar dan menimbulkan keresahan masyarakat – Menyalahgunakan izin pembuangan air limbah

untuk kegiatan pembuangan limbah B3

– Menyimpan, mengumpulkan, memanfaatkan, mengolah dan menimbun limbah B3 tidak sesuai sebagaimana yang tertuang dalam izin Denda Administratif [Ps. 81 UU 32/2009]

Pembebanan kewajiban terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pembayaran sejumlah uang tertentu karena terlambat melaksanakan paksaan pemerintahan.

Pengenaan denda terhadap keterlambatan melaksanakan paksaan pemerintah ini terhitung mulai sejak jangka waktu pelaksanaan paksaan pemerintah tidak dilaksanakan

“Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dapat dikenai denda atas setiap keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah.” (Ps. 81 UU 32/2009)

Denda ini adalah denda administratif (bestuurlijke boete) dan bukan merupakan uang paksa (dwangsom)

Peran Serta Masyarakat dalam Pengawasan

Masyarakat memiliki peran penting dalam mendukung tugas Pemerintah Pusat dan Pemda dalam melakukan pengawasan, yakni melalui mekanisme pengaduan. Selain menyampaikan pengaduan, masyarakat dapat mengajukan gugatan administrasi mengacu kepada Hukum Acara TUN. Keputusan TUN yang dapat digugat secara administratif:

– Izin Lingkungan yang diterbitkan tanpa dilengkapi AMDAL atau UKL-UPL; dan/atau – Izin Usaha yang diterbitkan tanpa dilengkapi

dengan Izin Lingkungan

PROPER dan Penegakan Hukum Administrasi

Program penilaian terhadap upaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dalam mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3)

Pengawasan bersifat wajib

(20)

Sistem penilaian dilakuan dengan pemberian peringkat (emas, hijau, biru, merah dan hitam) – Warna emas diberikan kepada pihak yang

secara konsisten menunjukkan keunggulan lingkungan (environmental excellence) dalam proses produksi dan/atau jasa, melaksanakan bisnis yang beretika, dan bertanggung jawab terhadap masyarakat

– Warna hijau diberikan kepada pihak yang telah melakukan pengelolaan LH melebihi dari yang dipersyaratkan dalam per-uuan (beyond compliance) melalui pelaksanaan sistem manajemen lingkungan, pemanfaatan sumberdaya secara efisien dan melakukan upaya pemberdayaan masyarakat dengan baik.

– Warna biru diberikan kepada pihak yang telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam per-uuan.

– Warna merah diberikan kepada pihak yang upaya pengelolaan LH tidak sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam per- uuan.

– Warna hitam diberikan kepada pihak yang sengaja melakukan perbuatan atau melakukan kelalaian yang mengakibatkan pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan hidup serta pelanggaran terhadap per-uuan atau tidak melaksanakan sanksi administrasi.

Diatur dalam Permen LH No. 6 Tahun 2013 tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Subjek Peserta Proper (di Tahun 2013: 1812 perusahaan)

– Termasuk kegiatan wajib AMDAL atau upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan (UKL-UPL);

– Produk yang dihasilkan untuk tujuan ekspor;Terdaftar dalam pasar bursa;

– Menjadi perhatian masyarakat, baik dalam lingkup regional maupun nasional. Usaha dan/atau kegiatan yang memperoleh peliputan berita-berita di media massa skala regional maupun nasional. Selain itu, perhatian dari pemangku kepentingan strategis seperti

lembaga legislatif, lembaga swadaya masyarakat juga menjadi bahan pertimbangan penting untuk penapisan peserta Proper;

– Skala kegiatan cukup signifikan untuk menimbulkan dampak terhadap lingkungan;

dan/atau

– Mengajukan secara sukarela untuk menjadi peserta Proper

PROPER melakukan pemeriksaan secara komprehensif

– Persyaratan dokumen lingkungan dan pelaporannya

– Pengendalian pencemaran air – Pengendalian pencemaran udara

– Peraturan pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3)

– Potensi kerusakan lahan

Referensi

Dokumen terkait

Pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf c dan huruf d dilakukan apabila

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana penetapan harga barang yang tidak berdasarkan nilai mata uang yang berlaku berdasarkan UU Perlindungan Konsumen,

Adapun Sanksi pidana terhadap pelaku kekerasan fisik yang dimuat dalam undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak terdapat dalam pasal 80

Undang- undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur sanksi kepada pihak yang terbukti melanggar yaitu penegakan hukum

761/Pid.B/2013/PN.Mks telah sesuai karena telah memenuhi unsur-unsur yang ada pada pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Serta selama pemeriksaan di

Sejalan hal diatas ketika terjadi pencemaran udara sebagaimana di amanahkan dalam Pasal 13 ayat (3) Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan