Dalam bahasa tempatan, Doyan Nada adalah nama panggilan yang biasa diberikan kepada orang yang makan banyak. Semakin besar Doyan Nada, semakin kuat dia makan sehingga ibu bapanya tidak sanggup lagi memberinya makan. Begiri, cepat siramkan banyu urip (air hidup) ke badan Doyan Nada!” Dewi Anjani memanggil burung peliharaannya.
Mendengar perintah tuannya, Beberi segera terbang menuju tempat Doyan Nada tertimpa pohon besar, membawa banyu urip. Setelah bebas, Doyan Nada kemudian membawa pulang potongan kayu berukuran besar tersebut dan meletakkannya di depan rumah. Ia berpikir sejenak untuk mencari alasan agar niat buruknya tidak diketahui oleh Doyan Nada.
Saat Doyan Nada sedang asyik memancing, diam-diam ayahnya mendorong batu besar ke belakang Doyan Nada. Suatu hari, saat melewati hutan lebat, Doyan Nada dikejutkan oleh suara teriakan minta tolong. Namun begitu ia lengah, tiba-tiba tendangan keras Doyan Nada mendarat tepat ke arahnya.
Doyan Nada mendirikan kerajaan di Selaparang tempat ia dilahirkan, Tameng Muter mendirikan kerajaan di Penjanggi, sedangkan Sigar Penjalin mendirikan kerajaan di Sembalun.
PANGERAN PANDE GELANG DAN PUTRI CADASARI
Suatu hari, saat melewati Bukit Manggis, Pande Gelang melihat seorang gadis cantik sedang duduk sendirian sambil berpikir. Dialah Putri Arum yang bersedih karena tak mau menikah dengan Pangeran Cunihin yang terkenal kejam dan bengis. Meski wajah pria berkulit gelap itu terlihat kusam, namun sang putri yakin pria tersebut memiliki karakter yang baik.
“Selama ini aku tidak pernah menceritakan masalah ini kepada orang lain karena tidak ada gunanya,” kata sang putri. “Kalau boleh saya menyarankan agar putri menerima keinginan Pangeran Cunihin,” kata Pande Gelang. Sang putri awalnya menolak lamaran tersebut, karena bagaimana ia bisa menikah dengan Pangeran Kunihin yang sangat ia benci.
Perjalanan menuju kediaman Pande Gelang ternyata cukup lama dan melelahkan hingga menyebabkan Putri Arum pingsan di atas batu saat sampai di desa Pande Gelang. Menurut sesepuh desa, sang putri akan cepat sembuh jika meminum air pegunungan yang mengalir melalui batu. Setelah melubangi batu suci tersebut, Pangeran Cunihin segera berangkat ke istana untuk menjemput Putri Cadasari.
Namun saat hendak kembali ke tempat persembunyiannya, tiba-tiba Pangeran Cunihin telah kembali bersama Putri Kadasari. “Aku datang kesini untuk mengambil kembali kesaktian dan Puti Arum yang kau ambil dariku,” kata Pande Gelang. Lihat sang putri telah menjadi milikku selamanya, hahaha…!” Kata Pangeran Cunihin sambil tertawa lebar.
Pada saat yang sama, Pande Gelang merasakan kekuatan yang luar biasa mengalir ke dalam tubuhnya. Pangeran Pande Gelang pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya, mulai dari peristiwa Pangeran Cunihin mencuri kesaktiannya hingga peristiwa ajaib tersebut. Ketika sang putri mendengar cerita tersebut, ia menyadari bahwa inspirasi yang diterimanya adalah nyata.
PEU MANA MEINEGAKA SAWAI
Saat mereka sedang asyik beristirahat, tiba-tiba seekor biawak berukuran besar lewat tak jauh dari tempat mereka beristirahat. Alangkah terkejutnya mereka ketika melihat seekor kadal berukuran besar, berkepala manusia, berkaki seperti kaki kadal, dan berkulit sekeras kulit kadal. Jika suatu saat mereka mengalami musibah, mereka dapat dengan mudah meminta bantuan kepada para biawak yang mereka yakini sebagai penghuni Gunung Zega.
"Kau harus memberiku satu kepala klan atau panglima perang sebagai korban," pinta biawak. Oleh karena itu, mereka berlomba-lomba mencari ketua marga atau panglima perang untuk diserahkan kepada biawak. Peperangan antar suku pun tak terhindarkan sehingga banyak panglima perang dan ketua marga yang menjadi korban.
Akhirnya mereka sepakat untuk memusnahkan biawak tersebut agar tidak ada lagi warga yang menjadi korban. Jika ada kabut yang muncul di puncak Gunung Zega, maka itu pertanda akan terjadi perang.” Sejak saat itu, masyarakat Bilai percaya bahwa kabut di puncak Gunung Zega adalah kabut yang membawa malapetaka.
KISAH DI GUA KISKENDA
Tak satu pun dewa yang bisa mencegah tindakan biadab saudara-saudara karena kekuatan mereka yang luar biasa. Sementara itu, para dewa segera berunding untuk mencari cara menghancurkan Mahesa Sura dan Lembu Sura serta mengembalikan Dewi Tara ke kayangan. Setelah berunding, para dewa sepakat untuk mewariskan kesaktian Aji Pancasona kepada seorang pertapa bernama Subali.
Dalam keadaan konsentrasi penuh, Subali tiba-tiba terbangun dari pertapaannya dengan kedatangan Bathara Guru bersama Bathara Narada dan para dewa menemuinya. “Tetapi dengan syarat kamu berjanji akan menggunakannya untuk perdamaian dunia ini,” kata Bathara Guru. Setelah menerima mantra terakhir, Subali mengajak adiknya Sugriwa untuk membantu melawan Mahesa Sura dan Lembu Sura.
Sesampainya di mulut gua Kiskenda, Subali meminta adiknya untuk tetap waspada dan menjaga mulut gua. Biarkan aku pergi ke gua untuk menghadapi kedua makhluk ini, kata Subali. Saat Subali memasuki gua, terjadilah pertarungan sengit melawan Mahesa Sura dan Lembu Sura.
Namun betapa kagetnya dia melihat Lembu Sura hidup kembali setelah Mahesa Sura menginjak tubuhnya. Begitu pula saat ia berhasil menghancurkan Mahesa Sura dan mampu bangkit kembali setelah Lembu Sura menginjak tubuhnya. Tak ayal, kepala kedua makhluk itu patah sehingga darah bercampur otak putih mengalir keluar dari lubang tersebut.
Melihat darah merah bercampur putih, Sugriwa yang berada di mulut gua mengira kakaknya telah mati bersama salah satu musuhnya. Sementara Subali yang baru saja mengalahkan Mahesa Sura dan Lembu Sura kaget melihat pintu Gua Kiskenda tertutup rapat dengan batu besar.
KI AGENG PANDANARAN
Pada suatu hari, Sunan Kalijaga datang ke kediaman Ki Ageng Pandanarana dengan pakaiannya yang terkoyak-koyak seperti rumput liar. Sambil mempersembahkan rumputnya, Sunan Ki Ageng berpesan agar Pandanaran tidak tergiur dengan kemewahan dunia. Sebaiknya segera kembali ke jalan yang benar dan semoga Allah SWT memberkahimu!” kata Sunan Kalijaga yang menyamar sebagai penjual rumput liar.
Mendengar nasehat tersebut, Ki Ageng Pandanaran tidak mengerti, namun menjadi marah dan melemparkan tukang jamu tersebut. “Ketahuilah, harta yang engkau miliki tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan harta yang aku miliki,” kata penjual jamu. Betapa terkejutnya Ki Ageng Ki Ageng Pandanaran ketika mengetahui bahwa yang ada di hadapannya adalah Sunan Kalijaga.
Dengan tekad yang kuat untuk menuntut ilmu agama, Ki Ageng Pandanaran akhirnya menyerahkan jabatannya sebagai Bupati Semarang kepada adiknya. Kenapa kamu ceroboh seperti domba!” seru Ki Ageng Pandanaran ketika melihat sikap kasar bandit itu. Namun wajah pemimpin bandit itu tetap seperti domba dan ia kemudian menjadi pengikut Ki Ageng Pandanaran yang dikenal dengan sebutan Syekh Domba.