Cerita Rakyat Baru Klinting
Pada zaman dahulu ada sebuah kejadian yang membuat gempar orang – orang di Demang Mangiran. Sebuah kisah ada seorang perempuan yang tidak pernah menikah dengan seorang laki – laki. Namun, Anak perempuan itu hamil dan anehnya dia melahirkan seekor ular sebesar lengan orang dewasa, ketika usai kandungan menginjak 9 bulan 1 hari. Wanita tersebut adalah putri Ki Demang Taliwangsa.
Ki Damang Taliwangsa pun malu karena mempunyai anak yang melahirkan seekor ular. Lalu Ki Damang Taliwangsa menyuruh putinya agar membuang anak yang berwujud ular tersebut.
Ki Damang Taiwangsa berkata “Putriku, maafkanlah Ayah. Sebenernya Ayah juga tidak tega menyuruhmu untuk membuang anakmu yang berwujud ular itu. Namun bagaimana pun kamu harus melakukannya. Terus terang Ayah mersa mali dengan penduduk di Kademangan ini.”
Dan putri Ki Damang Taliwangsa menjawab “Baiklah, Kalau itu memang kemauan Ayah. Aku mengerti.” Wanita tersebut memahami kegelisahan Ayahnya, namun sungguh aib karena ular yang dilahirkan tersebut bias berbicara seperti manusia. Anak itu merasa sedh ketika mengetahui akan dibuan oleh Ibunya. “Mengapa Ibu hendak membuangku?, apa Ibu tdah saying kepadaku?.” Tanya sang ular kepada Ibunya, namun ketika mendengar ucapan anaknya, akhirnya sang wanita tersebut mengurungkan niat untuk membuang Anaknya. Dia merawat Anaknya yang berwujud ular seperni Anak – anak yang lainnya. Dia tidak memperdulikan dengan apapun yang dikatakan oleh orang – orang desa.
Suatu saat wainta tersebut menemui Ki Damang Taliwagsa dan menjelaskan niatnya untuk merawat anaknya. Akhirnya Ki Damang Taliwangsa pun menyetujui dan mengabulkan permintaan putrinya. “Maafkanlah aku Ayah, karena aku tidak tega untuk membuang anakku.
Iznkan aku untuk merawat dan membesarkannya seperti anak – anak lainnya. Aku akan menasihatiinya suapa tidak menggang penduduk Kademangan Mangiran ini”. Kata putri yang memohon kepada Ki Damang Taliwangsa, “Baiklah, tapi satu pesanku agar jangan sampai ural itu diizinkan untuk keluar urmah agar tidak menyebabkan penduduk takut,” ucapak Ki Damang Taliwangsa.
Seiring berjalannya waktu sang ular semakin tumbuh besar. Namun, ia tidak pernah keluar rumah, dan ia juga bemum mempunyai nama. Suatu saat sang ular meminta
diberinama oleh ibunya. “Ibu, sampai sebesar ini aku masih belum diberi nama.” Kata sang ular, Ibunya tersenyum sambal memandangi sang ular yang sudah besar.Ular itu sedang melingkar di tempatnya. Bagaimana jika aku memberimu nama “Naga Baru Klinting” kata wanita itu pada anaknya. Naga Baru Klinting senang sekali dengan nama pemberian Ibunya.
“Terimakasih Ibu, itu nama yang sangat bagus,” kata Baru Klinting dengan senang.
Dari lahir sampai dewasa, Baru Klinting tidak tahu Ayahnya, belum pernah satu kali pun bertemu. Karena rasa penasarannya, Baru Klinting bertanya kepada Ibunya. “Ibu bolehkah aku tahu siapa Ayahku?, Ibu siapa nama Ayahku?” tanya Baru Klinting kepada Ibunya, Ibunya pun terkejut mendengar pertanyaan dari Anaknya itu, dan Ibunya mengatakan Ki Dalang Kaliwangsa adalah Ayahnya. Baru klinting pun tidak percaya dengan yang dikatakan oleh Ibuna, justru ia mengatakan kalau Ki Damang Taliwangsa adalah Ayah dari Ibu.
Hari terus berlalu dan Ibunya terus didesak dengan pertanyaan Baru Klinting, dan akirnya Ibunya menceritakan yang sebenarnya terjadi kepada Baru Klinting, “Wahai Anakku, jika kamu ingin mengetahui siapa sebenarnya Ayahm, maka Ibu akan menceritakan yang terjadi beberapa tahun silam,” kata sang Ibu. Baru Klinting menyimak cerita dari Ibunya.
Beberapa tahun silam, di Kademangan Mangiran akan mengadakan hajatan berupa bersih desa. Sebagai seorang putri Ki Damang Taliwangsa, ia turut membantu acara itu.
Suatu saat ia dimnta untuk menemui Ki Wanabaya untuk meminjam pusaka yang akan digunakan untuk upacara bersih desa selama beberapa hari. Wanita tersebut akhirnya menemui Ki Wanabaya dan menyampaikan maksut dan tujuan kedatangannya “Aku dating menemui Ki Wanabaya karena perintah Ayahanda. Aku diperintakan untuk meminjam pusaka keris Ki Wanabaya untuk penolak balak, karena itu Kademangan Maringan akan mengadakan hajatan berih desa,” ucap wanita itu.
Ki Wanabaya terlihat meras agak keberatan jika meminjamkan keris pusakanya. Ia khawatir jika keris yang bertuah itu hilang ata direbut oleh orang jahak ketika di jalan.
Setelah berfikir dengan lama, akhirnya keris itu diberikan kepada putri Ki Damang Taliwangsa. Ki Wanabaya berpesan kepada kepada gadis itu, agar jangan menaruh keris pusaka ini sembarangan dan jangan menaruh di pangkuannya.
Setelah mendengarkan pesan Ki Wanabaya, akhirnya gadis itu pulang dengan membawa keris pusaka. Sesampainya dirumah, wanita itu melikat banyak para gadis dan wanita yang sedang sibuk memasak makanan di dapur. Wanita itu pun membaur Bersama mereka. Karena kesibukannua ia lupa menyerahkan keris itu kepada Ayarnya. Bahkan ia melakukan kesalahan yang fatal, ia meletakkan keris tersebut dipangkuannya tanpa sengaja, keris itu pun langsunglenyap seketika tak berbekas. Putri itu menjerit, terkejut dan sangat takut. Muka sang putri menjadi pucat karena teringat pesan dari Ki Qanabaya kepadanya. Ia berpikir jika Ki Wanabaya tahu pasti akan sangat marah karena ia tidak menuruti pesannya, dan akibatnya keris pusaa itu pun lenyap tak membekas.
Tak lama gadis itu pun pingsan, semua orang panik terutama Ki Damang Taliwangsa.
Setelah Putrinya sadar kembali, Ki Damang Taliwangsa segera memberitahukan kejadian itu kepada Ki Wanabaya. Ki Damang pun mengajak Ki Wanabaya ke Kademangan Mangiran untuk menyembuhkan sang putri. Gadis itu pun sanga ketakutan ketemu dengan Ki Wanabaya. Ia merasa bersalah atas perbuatannya yang sembrono dan segera meminta maaf.
Ki Wanabaya menghela nafas dan tidak marah sediki pun. Ia kemudian mendekadi Ki Damang yang berada tidak jauh dan berbisik sesuatu hal yang Panjang.
“Itu sudah menjadi suratan takdir meskipun peristiwa ini memang tida dinginkan. Kita harus menerimanya, sesungguhnya aku sudah berpesan kepada putrumu supaya tidak meletakan keris itu di pangkuannua. Akan tetapi, karna putrimu ceroboh, ia justru meletakkan keris pusaka di pangkuannya. Akibatnyam keris pusaka itu lenyap dan masuk ke dalam rahimnya. Kejadian ini membuat putrimu hamil meski masih perawan,,” kata Ki Wanabaya.
“Lau bagaimana ini Ki, nanti apa kata orang – orang di Kademangan ini terhadap putriku.
Padahal ia belum berusami.” Kata Kidaman Taliwang dengan cemas.
Ki Wanabaya juga mersakan kesedihan yang dialami oleh sahabatnya ini. Ia kemudian berupaya membantu menyelesaikan masalah ini. Setelah berfikir yang Panjang, kemudian Ki Wanabaya menawarkan diri untuk menjadi suami sang putri dengan syarat, ia tidak akan menjamah sama sekali terhadap putri Ki Damang dan harus segera kembali ke lereng Gunung Merapi untuk ersemedi, Ki Danamg Taliwangsa berfikir sejenak dan menyetujui tawaran sahabatnya.
Setelah mendengar cerita Ibunya, Baru Klinting akhirnya menyadari dan ingin menemui Ayahnya. Baru Klinting menanyakan letak Gunung Merapi kepada Ibunya, untuk bertemu dengan Ayahnya yang sedang bersemedi. Ibunya terlihat sedih karena sudah terlanjur menyayangi anaknya walaupun berwujud ular. Karena desakan anakna akhirnya dia pun menunjukkan jalan ke Gunung Merapi.
Akhirnya Baru Klinting meninggalkan Kademangan Mangiran di malam hari dan kemudian bermukim di Kali Progo. Lama kelamaan tubuhnya menjadi semakin besar sehingga menjelang seekor naga yang besar. Kulit dan tubuhnya bersisik dan matanya berkilat menakutkan. Jika dia bergerak maka daerah tepi Kali Progo menjadi longsor.
Keberadaan Baru Klinting sangat meresahkan penduduk sekitar, hal ini sampai terdengar oleh Ki Wanabaya yang sedang bersemedi di puncah Merapi, dia menghentikan semedinya dan turun dari Gunung Merapi untuk mengusir ular tersebut.
Baru Klinting akhirnya bertemu dengan Ayahnya, Ki Wanabaya. Tetapi Anaknya belum mengetahui jati diri Ki Wanabaya yang sebenarnya. Baru Klinting menceritakan tujuan kedatangannya untuk mencari Ayahnya yang bernama Ki Wanabaya yang sedang bertapa di puncak Gunung Merapi. Ki Wanabaya telah mendengar cerita Baru Klinting, akhirnya dia mengetahui kalau jelmaan keris pusakanya adalah seekor ular dari Rahim sang putri. Jika kamu ingin mencari Ayahmu , pergilah ke Gunung Merapi, pergilah ke Gunung Merapi karena Ayahmu sedang bersemedi disana. “Bagaimana caranya Ki?” “Tubuhmu harus melingkari Gunung Merapi, jika kamu berhasil, kamu akan bertemu Ayahmu” jawab Ki Wanabaya.
Baru Klinting akhirnya menuju Gunung Merapi dan melingkari dengan tubuhnya.
Namun, tubuhnya tidak cukup untuk melingkarinya, akhirnya dia menjulurkan lidahnya agar sampai keujung ekornya. Bersamaan dengan itu Ki Wanabaya mengeluarkan keris dan memotong lidahnya, Baru Klinting menjerit dan tubuhnya lenyap. Lidahnya menjelma menjadi sebuah tombak yang diberi nama Kia Baru Klinting.
Kebhinekaan dari cerita di atas ialah:
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
Cerita Rakyat Sangkuriang
Pada zaman dahulu, tersebutlah kisah seorang puteri raja di Jawa Barat bernama Dayang Sumbi. Dia mempunyai seorang anak laki-laki yang diberi nama Sangkuriang. Anak tersebut sangat gemar berburu dia berburu dengan ditemani oleh Tumang, anjing kesayangan istana. Sangkuriang tidak tahu, bahwa anjing itu adalah titisan dewa dan juga bapaknya.
BACA JUGA Cerita Rakyat: Pengertian, Macam, dan Contohnya 3 Contoh Cerpen Islami Motivasi Singkat dan Menginspirasi Contoh Cerpen Persahabatan dan Kaidah Penulisannya Pada suatu hari Tumang tidak mau mengikuti perintahnya untuk mengejar hewan buruan.
Maka, anjing tersebut diusirnya ke dalam hutan. Ketika kembali ke istana, Sangkuriang menceritakan kejadian itu pada Ibunya. Bukan main marahnya Dayang Sumbi begitu mendengar cerita itu. Advertisement Tanpa sengaja dia memukul kepala Sangkuriang dengan sendok nasi yang dipegangnya. Sangkuriang terluka. Dia sangat kecewa dan pergi mengembara. Setelah kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali dirinya. Dia selalu berdoa dan sangat tekun bertapa. Pada suatu ketika, para dewa memberinya sebuah hadiah.
Dia akan selamanya muda dan memiliki kecantikan abadi. Setelah bertahun-tahun mengembara, Sangkuriang akhirnya berniat untuk kembali ke tanah airnya. Sesampainya disana, kerajaan itu sudah berubah total. Ilustrasi Cerita Rakyat Sangkuriang (Pinterest) Di sana dijumpainya seorang gadis jelita, yang tak lain adalah Dayang Sumbi. Terpesona oleh kecantikan wanita tersebut maka, Sangkuriang melamarnya. Oleh karena pemuda itu sangat tampan, Dayang Sumbi pun sangat terpesona padanya. Pada suatu hari Sangkuriang minta
pamit untuk berburu. Dia minta tolong Dayang Sumbi untuk merapikan ikat kepalanya.
Alangkah terkejutnya Dayang Sumbi ketika melihat bekas luka di kepala calon suaminya.
Luka itu persis seperti luka anaknya yang telah pergi merantau. Setelah lama diperhatikannya, ternyata wajah pemuda itu sangat mirip dengan wajah anaknya. Dia menjadi sangat ketakutan. Maka kemudian dia mencari upaya untuk menggagalkan lamaran Sangkurian. Dia mengajukan dua buah syarat. Pertama, dia meminta pemuda itu untuk membendung sungai Citarum. Yang kedua, dia minta Sangkuriang untuk membuat sebuah sampan besar untuk menyeberang sungai itu. Kedua syarat itu harus sudah dipenuhi sebelum fajar menyingsing. Malam itu Sangkuriang melakukan tapa. Dengan kesaktiannya dia mengerahkan makhluk-makhluk gaib untuk membantu menyelesaikan pekerjaan itu. Dayang Sumbi pun diam-diam mengintip pekerjaan tersebut. Begitu pekerjaan itu hampir selesai, Dayang Sumbi memerintahkan pasukannya untuk menggelar kain sutera merah di sebelah timur kota. Ketika menyaksikan warna memerah di timur kota, Sangkuriang mengira hari sudah selesai. Dia pun menghentikan pekerjaannya. Dia sangat marah oleh karena itu berarti dia tidak dapat memenuhi syarat yang diminta Dayang Sumbi. Dengan kekuatannya, dia menjebol bendungan yang dibuatnya. Terjadilah banjir besar melanda seluruh kota. Dia pun kemudian menendang perahu besar yang dibuatnya. Perahu itu melayang dan jatuh, menjadi sebuah gunung di bagian utara kota Bandung sekarang, yang bernama “Tangkuban Perahu".
Kebhinekaan dalam cerita di atas ialah
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...