• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Changes in the Social Structure of Society as a Result of the Agrarian Conflict in East Sumatra in 1946

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "View of Changes in the Social Structure of Society as a Result of the Agrarian Conflict in East Sumatra in 1946"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

14

PERUBAHAN STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT SEBAGAI AKIBAT DARI KONFLIK AGRARIA DI SUMATERA TIMUR TAHUN 1946

Rizka Hanifah Febriana

Program Studi Ilmu Sejarah, Universitas Negeri Semarang, Indonesia [email protected]

Abstrak

Artikel ini secara keseluruhan membahas mengenai sebuah transformasi tatanan sosial masyarakat secara mendadak di Pulau Sumatera. Kemudian perubahan masyarakat tersebut dipengaruhi oleh keberadaan konflik agraria yang tidak lepas dari aspek politis. Pola masyarakat yang semula masih sederhana secara tiba-tiba berubah menjadi lebih kompleks karena keberadaan kebijakan baru yang membawa para pendatang berbondong-bondong menuju Sumatera Timur guna mencoba peraturan milik pemerintahan Hindia Belanda dalam mengelompokan sistem kepemilikan tanah. Tujuan penulisan artikel ini didasarkan atas perubahan sikap sosial akibat konflik agraria di daerah Sumatera Timur. Prosedur dalam mengembangkan pembahasan dilakukan menggunakan metode deskriptif kualitatif berdasarkan pada data yang bersumber dari literatur bacaan dan kepustakaan. Penulis juga berusaha untuk menyajikan penggunaan interpretasi atau pemaknaan secara eksploratif. Hasil penelitian ini secara keseluruhan menerangkan kenaikan penguasa lokal ke dalam kedudukan yang lebih tinggi dalam masyarakat serta pergerakan masyarakat tersebut dalam mempertahankan kekuasaan penuh mereka atas hak lahan miliknya.

Penguasaan tanah secara umum atau bersama-sama membawa pada sistem kepemilikan dalam beberapa jenis yang berbeda.

Kata Kunci: Sosial, Agraria, Sumatera Timur, Lahan, Perkebunan

Abstract

This article as a whole discusses a sudden transformation of the social order of society on the island of Sumatra. Then the change in society is influenced by the existence of agrarian conflicts which cannot be separated from the political aspect. The pattern of society that was originally still simple suddenly became more complex due to the existence of a new policy that brought immigrants flocking to East Sumatra to try out the regulations belonging to the Dutch East Indies government in classifying land ownership systems.

The purpose of writing this article is based on changes in social attitudes due to agrarian conflicts in East Sumatra. The procedure for developing the discussion is carried out using a qualitative descriptive method based on data sourced from the reading literature and bibliography. The author also tries to present the use of explorative interpretation or meaning. The results of this study as a whole explain the rise of local rulers to a higher position in society and the movement of these communities in maintaining their full power over their land rights. General or joint tenure of land leads to tenure systems of several different types.

Keywords: Social, Agrarian, East Sumatra, Land, Plantation

Author correspondence

Email: [email protected]

Available online at http://ejurnalunsam.id/index.php/jsnbl/index

A. PENDAHULUAN

Pada akhir abad ke-19 hingga memasuki pertengahan abad ke-20, terjadi sebuah perubahan sosial secara besar-besaran di wilayah Sumatera Timur. Kondisi awal wilayah Sumatera Timur yang semula hanya berisikan sebuah hutan belantara sebelum waktu secara singkat merenggut kawasan tersebut berubah menjadi perkebunan yang membawa dampak besar pada perubahan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Perusahaan perkebunan pada saat merupakan aspek penting bagi keberlangsungan kepentingan politik perdagangan kolonial Hindia Belanda. Sebagai penghasil komoditi tembakau terbaik, kawasan Sumatera Timur kemudian dipadati oleh kedatangan para saudagar asal

(2)

15

negeri Belanda. Kepopuleran akan tembakau dari daerah Deli membawa peningkatan ekonomi masyarakat di sana.

Situasi perkembangan pasar yang semakin meluas dan pengaruh yang begitu besar, menjadikan pemerintah Hindia Belanda secara mudah telah menempati kekuasaan secara keseluruhan di kawasan tersebut. Hal inilah yang menjadi alasan terbentuknya kebijakan baru milik pemerintah kolonial. Kebijakan baru membawa perubahan pada tatanan penguasa lokal yang naik tingkat dengan status baru menjadi seorang Sultan dimana membawahi kesultanan di beberapa daerah di Sumatera Timur. Mahirnya pemerintah Hindia Belanda dalam menguasai industri perkebunan, membuat sistem kepemilikan hanya dapat dikuasai oleh pihak kolonial dan kesultanan saja dan sisanya dapat dilakukan secara bebas dan komunal. Perubahan yang begitu signifikan membawa peranan Politik Etis mengenai persoalan transmigrasi khususnya membawa para pendatang dari luar Pulau Sumatera untuk bekerja di perkebunan milik Belanda.

Hak atas kepemilikan lahan pada akhirnya juga ikut mengubah sistem kepemilikan yang akan diterima oleh masyarakat sesuai dengan kriteria persyaratan. Ada tiga jenis klasifikasi kepemilikan lahan yang telah sesuai dengan aturan hukum milik pemerintah kolonial, meliputi eigendom, opstal, dan epracht (Anwar, 2016: 56-57). Dari pembagian tersebut disebutkan bahwa tipe eigendom dijadikan sebagai aturan penuh bagi penguasa berkenaan dengan segala hak kepemilikan atas sebidang tanah dalam jangka waktu yang panjang. Sementara dua tipe lainnya digunakan sebagai aturan bagi masyarakat pribumi lokal maupun diperbolehkan juga bagi masyarakat pribumi di luar Pulau Sumatera.

B. METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam pembahasan ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Metode deskriptif kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme yang biasanya digunakan untuk meneliti pada kondisi objektif yang alamiah dimana peneliti berperan sebagai instrumen kunci (Sugiyono, 2008:15).

Pada tahapan ini, peneliti memiliki peran penting untuk mengumpulkan data baik melalui literatur bacaan maupun sumber kepustakaan. Pengumpulan data melalui studi literatur merupakan cara penyelesaian sebuah persoalan dalam penelitian menggunakan sumber- sumber tulisan yang pernah dibuat sebelumnya sebagai acuan penyusunan penelitian dewasa ini. Peneliti juga menyajikan penggunaan interpretasi atau pemaknaan data sebagai bentuk meninjau proses penyusunan tulisan hingga menghasilkan kesimpulan yang relevan dengan menggunakan berbagai metode analisis.

C. PEMBAHASAN

a. Kondisi Awal Kawasan Perkebunan di Wilayah Sumatera Timur

Sepanjang akhir abad ke-19 hingga memasuki awal abad ke-20, kawasan perkebunan menjadi bagian penting dalam perkembangan ekonomi di Indonesia tepatnya pada masa kolonial. Masyarakat pribumi sebenarnya telah mengenal sistem bercocok tanam, namun dalam sejarah kolonial Belanda di Indonesia, sektor perkebunan memiliki arti penting bagi penunjang ekonomi masyarakat di seluruh penjuru wilayah Indonesia. Sebelum meluas hingga Pulau Sumatera, usaha perkebunan yang dikembangkan di Indonesia pertama kali diadakan di Jawa saat itu.

Pada awal perluasannya hingga Sumatera, keadaan wilayah yang akan dijadikan sebagai perkebunan khususnya di daerah Sumatera Timur masih diselimuti oleh lebatnya

(3)

16

hutan belantara. Pada masa pra-kolonial, bentang alamnyanya bisa dikatakan sebagai hutan purba sebab tingginya pohon yang menjulang hingga belasan meter. Meluasnya wilayah perkebunan di luar Pulau Jawa ini dilatarbelakangi oleh usaha pemerintah kolonial untuk memperluas wilayah perekrutan pegawai perkebunan dengan tujuan meningkatakan aksinya dalam pertumbuhan dunia ekonomi. Belanda berkeinginan menciptakan stabilitas politik kekuasaan pada seluruh wilayah yang telah ditaklukan dan berhasil menciptakan kesepakatan dalam perjanjian yang disetujui bersama para penguasa tanah.

Di masa awal pembukaan hutan di Sumatera Timur, benar adanya bahwa lahan cultuurgebied atau daerah perkebunan masih berbentuk hamparan hutan hijau nan subur.

Wilayah tersebut pertama kali dibuka oleh pengusaha berkebangsaan Belanda yang mempelopori pembukaan lahan perkebunan di Sumatera Timur bernama Jacob Nienhuys atau sering disebut Nienhuys. Akan tetapi, tanpa membutuhkan waktu yang lama, pembabatan hutan dilakukan dengan cepat hingga menghasilkan lahan perkebunan siap pakai. Kondisi tanah yang memiliki tingkat kesuburan yang tinggi membawa perkebunan di Sumatera Timur mengalami perkembangan yang begitu pesat. Komoditi tanaman perkebunan seperti tembakau, kopi, teh, karet, dan kelapa sawit tumbuh dengan baik serta nampak memiliki prospek yang terlihat menguntungkan di pasar dunia. Keadaan tersebut sangat disambut antusias oleh pemerintah kolonial karena mereka dapat dengan mudah mempengaruhi para pemilik lahan untuk menanamkan kepemilikan modalnya pada usaha perkebunan di daerah Sumatera Timur. Meskipun sudah banyak tersebar usaha-usaha perkebunan di beberapa pulau besar lainnya, Sumatera Timur tetap menjadi prioritas utama kegiatan perkebunan di sampaing perkebunan di Pulau Jawa.

Kedatangan Nienhuys pada tahun 1863 membawa popularitas tembakau dari wilayah Deli sangat terkenal di pasaran Eropa. Sebagai seorang pengusaha, Nienhuys menyumbangkan gagasannya dalam membudidaykan tanaman tembakau yang ternyata membuahkan hasil yang manis. Sampai-sampai, tembaku Deli mendapatkan julukan

“Dollar Land” alias tanah uang berkat tanahnya yang subur sehingga tanaman ini menjadi primadona di Eropa. Terbukti dari telah diakuinya tembakau milik Deli oleh para spesialis karena terkesan akan keistimewaan dan kulitasnya yang tidak biasa saja. Seiring berjalanya waktu, Nienhuys bersama rekanya Cremer dan Janssen pada akhirnya melakukan aliansi untuk menambah modal dengan meminjam dari perusahaan swasta milik bernama Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM). NHM memang dibentuk untuk menunjang kegiatan ekonomi serta mendukung pengembangan kekayaan daerah dari segi perkebunan.

Sepanjang tahun 1872, di wilayah Sumatera Timur telah berdiri sebanyak lima belas perkebunan tembakau yang tersebar dibeberapa daerah. Deli memegang rekor jumlah perkebunan terbanyak yakni 13 titik perkebunan disusul oleh 1 di Serdang dan 1 di daerah Langkat. Kabupaten-kabupaten di provinsi Sumatera Timur tersebut memang menjadi situs perkebunan paling makmur dan sukses. Ditambah lagi dengan kedatangan para investor dari Eropa yang menamkan sahamnya hingga mampu meningkatkan produksi tembakau sebanyak dua kali lipat. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1873 hingga tahun 1883, produksi tembakau nampak semakin meningkat sepuluh kali lipat yang sangat berpengaruh pada penghasilan perkebunan di Provinsi Sumatera Timur.

Terlihat dari penambahan jumlah perkebunan di wilayah Bedagai dengan 2 titik perkebunan dan 1 perkebunan di Padang diiringi dengan bertambahnya jumlah perkebunan di tiga wilayah utama yang bertambah hingga 76 perkebunan. Perkebunan

(4)

17

yang sebelumnya menanam komoditi tembakau kemudian ditambahkan serta dialih fungsikan dengan beberapa jenis tanaman keras yang dapat tumbuh subur di wilayah Sumatera Timur seperti teh, keret, dan kelapa sawit. Seluruh area perkebunan yang telah ditanami dengan tanaman yang menjanjikan benar membuahkan hasil dengan meningkatnya nilai ekspor milik pemerintah Hindia Belanda.

b. Pengaruh Kekuasaan Hindia Belanda di Sumatera Timur

Fenomena perluasan area perkebunan di wilayah Sumatera Timur tidak lepas dari kontribusi beberapa daerah seperti Deli, Langkat dan Serdang serta beberapa daerah yang terletak di pedalaman Pulau Sumatera seperti Batak Karo dan Simalungun. Kondisi tanah yang dapat dikatakan subur membuat beberapa kabupaten di Provinsi Sumatera Timur ini menarik keberminatan pemerintah koloni untuk membuka lahan perkebunan di sana.

Kondisi tersebut menjadi awal perubahan sosial secara besar-besaran di Sumatera Timur serta pengaruhnya di bidang lain seprti ekonomi dan budaya dalam masyarakat.

Ketika pada akhirnya pemerintah Hindia Belanda telah menguasai wilayah tersebut, lahan pekebunan yang semula masih diselimuti pepohonan secara drastis berubah menjadi bentang perkebunan yang siap ditanami oleh komoditi khas Sumatera Timur. Politik pemerintahan kolonial yang kuat dan hubungan antara para pemimpin kesultanan yang baik membawa pada kepemilikan lahan tanah sebagaian besar dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda dan para penguasa lokal. Keberpihakan penguasa lokal seperti sultan, raja dan kaum feodal kepada pemerintah koloni disebabkan oleh ketidak senagan mereka terhadap kemerdekaan Indonesia karena terdapat aturan untuk mencabut semua hak istimewa yang dimiliki golongan bangsawan dalam hal kepemilikian lahan perkebunan pada penjajahan Jepang di Indonesia. Mereka juga harus menyerahkan lahan perkebunan kepada masyarakat pribumi sehingga dengan begitu semakin kuat pula keinginan penguasa lokal untuk menjalin kerjasama dengan Belanda dan mendapatkan kembali hak-hak istimewa miliknya.

Menelusuri pada beberapa titik kesultanan yang terkena pengaruh dari kedudukan Belanda di Sumatera Timur salah satunya di Kesultanan Deli. Kesultanan ini merupakan wilayah penting dalam perkembangan perkebunan bersamaan dengan perdagangan dalam sejarah Indonesia. Di masa berkembangnya tembakau Deli yang mendunia, terdapat fakta menyakitkan yang harus diterima oleh para pekerja kontrak di sana. Pemerintah koloni memang sengaja menutup-nutupi kekejaman dan penganiayaan yang memang terjadi di perkebunan Deli, Sumatera Timur. Deli yang berhasil menjadi lumbung uang berkat komoditi tembakau dan tanaman keras lainnya mengakibatkan perebutan kekuasaan lahan terjadi antara Belanda dan Inggris, namun berhasil ditaklukan oleh pemerintah koloni Belanda. Kedudukannya di Deli membawa perubahan sejak adanya perjanjian bernama Acte van Verband yang memuat beberapa hal untuk memperkuat perjanjian sebelumnya dengan Kesultanan Siak. Isi perjanjian memuat aturan bahwa segala bentuk hubungan antara bangsa Eropa dan kesultanan harus berdasarkan izin yang telah di setujui bersama oleh pemerintah Hindia Belanda, adanya perlindungan terhadap lahan perkebunan dan aktivitas dalam kegiatan perdagangan.

Berikutnya merupakan wilayah yang menurut pemerintah Hindia Belanda sangat sulit ditaklukan yaitu Asahan. Semakin lakunya tembaku Deli membuat modal terus membesar dan areal yang dibutuhkan oleh pemerintah koloni juga semakin luas sehingga dengan berbagai macam cara serta usaha, hutan-hutan di wilayah Asahan berhasil dibuka menjadi ladang perkebunan dengan begitu juga perlu diimbangi oleh penambahan jumlah

(5)

18

pekerja. Munculnya kebijakan Politik Etis semakin mendukung kedatangan para trasmigran dari Pulau Jawa yang akan bekerja di perkebunan baru milik pemerintah Hinda Belanda. Penerapan Politik Etis tidak lepas dari tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat yang bekerja sebagai petani atas tindakan eksploitasi selama dilaksanakannya culture stelsel (sistem tanam paksa). Tidak hannya tertindas secara fisik dan mental, mereka yang bekerja dengan sistem tanam paksa sangat dirugikan dari sisi ekonomi.

Perubahan secara mendadak dari sistem perekonomian tradisional harus bergeser dengan diterapkannya pola dualisme ekonomi atau secara mudah dapat dipahami bahwa terdapat kemampuan baru pada ekonomi modern yang lebih besar dengan tetap tumbuh bersama dengan sektor kecil dari hasil sistem perekonomian tradisional.

Kebijakan yang berhasil mengatur masyarakat Sumatera Timur membawa pada perubahan kepemilikan pada sistem tanah ke dalam beberapa tipe sesuai dengan pedoman hukum yang ada. Jika sebelumnya tanah menjadi kepemilikan bersama sesuai aturan adat, berbeda ketika pemerintah kolonial menguasai sebagaian besar wilayah perkebunan Sumatera Timur. Secara aturan yang telah ditetapkan, terbagi tiga jenis kepemilikan tanah menurut Anwar, meliputi eigendom, opstal, dan epracht.

Kebutuhan akan kepemilikan tanah sebagai tempat bermukim atau tempat membangun perkebunan membuat orang-orang yang memiliki modal besar berkeinginan untuk menyewa bahkan membelinya. Ketiga hak yang pemerintah jajahan bentuk didasarkan pada kesamaan hak-hak atas tanah yang ada di negara Barat. Hak eigendom (Recht van Eigendom) didefinisikan sebagai hak untuk menikmati suatu kebendaan secara leluasa. Hak tersebut dikonversikan menjadi hak milik apabila tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang telah pemerintah jajahan bentuk. Apabila terdapat yang melanggar aturan tersebut maka akan dikenakan denda pembayaran ganti rugi.

Sedangkan hak opstal (Recht van Opstal) yaitu hak kebendaan yang berkeinginan untuk mendirikan rumah, bangunan, dan tanaman di pekarangan tanah milik orang lain. Namun berbeda dengan hak erfpacht (Recht van Erfpacht), merupakan suatu hak untuk menikmati seluruh barang tak bergerak atas nama orang lain dengan syarat wajib membayar kewajiban pajak kepada si pemilik.

c. Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Sumatera Timur Akibat Konflik Agraria, 1946

Ketika kebijakan Politik Pintu Terbuka (Open Door Policy) diberlakukan oleh pemerintah Hindia Belanda muncul sebuah Undang-Undang yang ikut serta mendukung keberadaan aturan baru tersebut. Kebijakan ini memberikan kesempatan bagi pengusahan Eropa atau penguasa asing mulai dari Inggris, Amerika Serikat serta Prancis untuk menanamkan modalanya di wilayah Sumatera Timur. Penanaman modal swasta sangat berpengaruh pada pembukaan beberapa lahan perkebunan baru yang tidak lepas sorot mata pemerintah koloni. Dengan adanya Undang-Undang Agraria, penguasa lokal boleh menyewa lahan untuk menanamkan produk perkebunan yang mereka akan kembangkan.

Semakin bertambahnya jumlah penduduk semakin banyak pula penambahan pemilik modal yang berkeinginan menyewa lahan perkebunan. Hal ini semakin kacau pasca kemerdekaan Indonesia diproklamirkan. Hak kepemilikan tanah harus tumpang tidih satu sama lain akibat banyaknya lahan yang telah dibuka membawa pada keegoisan masyarakat untuk memilikinya.

Bahwasannya sebelum Indonesia merdeka juga telah terjadi polemik, mereka para sultan hanya berada pada tingkatan kepala suku yang memegang aturan berdasarkan pada

(6)

19

sistem adat yang telah ada sebelumnya. Sistem ini kemudian berubah ketika pemerintah Hindia Belanda menjalin hubungan kerja sama bersama penguasa lokal dari suku Melayu tanpa memperhatikan keberadaan para pekerja perkebunan yang berasal jauh dari Pulau Jawa. Mereka sebenarnya telah menjadi mayoritas dimana telah menempati banyak kantong-kantong perkebunan di masa menuju revolusi tersebut.

Keadaan masyarakat malah terguncang ketika etnis lain datang mengkolonisasi Sumatera Timur dengan ikut ambil peran dalam penguasaan lahan tanah bekas perkebunan. Penguasa maupun rakyat Melayu biasa juga sudah tidak lagi dimanjakan oleh pemerintah koloni. Kesejahteraan mereka semakin tergerus hingga ideologi sosialis dan nasionalisme mengubah struktur sosial masyarakat Sumatera Timur. Kemudian hak atas lahan tanah tersebut dapat dimiliki untuk kepentingan komunal atau bersama ketika para sultan dan penguasa lokal sudah tidak lagi menjalin hubungan baik dengan pemerintah koloni. Keadaan ini mencapai puncaknya benar-benar pasca kemerdekaan sebagai Peristiwa Revolusi Sosial 1946.

Gerakan ini dipicu oleh sikap anti feodalisme atau sikap anti dengan segala bentuk penjajahan yang telah Belanda lakukan kepada rakyat Indonesia. Gerakan ini memang berlangsung secara singkat mulai dari tanggal 3-20 Maret 1946. Terjadi dalam jangka waktu yang singkat, cukup membawa perubahan yang signifikan pada struktur masyarakat Sumatera Utara dalam beberapa bidang kehidupan. Kedudukan pemerintah koloni di Sumatera Timur sebagian besar pengaruhnya berdampak kepada para penguasa lokal yang pernah menjalin hubungan baik dengannya. Hubungan yang nampak pro- Belanda membuat kelompok gerakan komunis berani untuk melakukan tindak kriminalitas kepada keluaraga kesultanan Melayu dan golongan menengah, serta pimpinan lokal pemerintah yang diangga pro-Republik. Semangat perjuangan kemerdekaan yang mengebu-gebu membawa golongan pro-Republik berkeinginan untuk menghapus sistem pemerintahan kesultanan atau kerajaan karena mereka berkeinginan untuk menggunakan sistem demokrasi sesuai semangat kemerdekaan. Dalam memperjuangkan hak tersebut, sayangnya mereka harus terbagi ke dalam dua kubu. Kubu moderat memilih jalan dengan cara menjalin kerja sama sedangkan kubu radikal lebih mengutamakan jalan kekerasan dengan melakukan aksi demonstrasi massa.

Akibat sistem tersebut, tatanan masyarakat yang semula masih berupa aturan adat yang mengikat akhirnya berubah. Peraturan baru khususnya pada hak kepemilikan tanah.

Pemerintah Hindia Belanda menggunakan klasifikasi kepemilikan tanah masyarakat sebagai pertimbangan dalam meningkatkan potensi dalam aspek ekonomi. Dalam situasi ini, sultan dan penguasa lokal menempati kedudukan paling atas sebagai tuan tanah baru berdasarkan kebijakan politik yang pemerintah koloni berikan. Bertolak belakang dengan kondisi yang harus diterima oleh masyarakat pribumi yang dahulu secara leluasa dapat menggunakan sebanyak dan seluas apa penguasan lahan yang sebelumnya didasarkan oleh aturan adat harus tunduk kepada kedaulatan penuh pemerintah koloni atas kekuasaan di wilayah Sumatera Timur saat itu. Penguasaan secara adat merupakan sebuah bentuk penguasaan lahan secara komunal atau bersama-sama tanpa tenggat khusus dalam hal kepemilikan. Begitu sistem tersebut membelenggu kehidupan masyarakat Sumatera Timur semakin kencang pula alur kehidupan sosial yang harus mereka jalankan.

Meskipun sangat mengikat dan mengatur kehidupan sosial masyarakat, nampaknya Belanda masih tetap pada garis yang telah ditunjukan dalam memenuhi kepantingan kolonial industri perkebunan. Tidak berhenti pada permasalahan itu saja. Struktur sosial yang baru saja berganti, terlihat harus berganti kembali selepas kemenangan Jepang atas

(7)

20

Belanda di Indonesia. Sistem yang semakin tidak beraturan kemudian secara cepat diambil alih oleh masyarakat pribumi. Para sultan, raja, maupun penguasa lokal yang menguasai sebagian tanah di perkebunan Sumatera Timur harus merelakan kepentingan atas hak tanah tersebut. Dalam hal ini, peristiwa yang dikenal sebagai Revolusi Sosial tidak dapat terhindarkan. Permasalahan yang begitu kompleks tentang akan konflik agraria hingga sekarang ini pun masih dapat kita jumpai karena cukup menimbulkan gejolak sosial yang dapat memakan banyak korban.

D. KESIMPULAN

Peristiwa Revolusi Sosial di Sumatera Timur tahun 1946 membawa pengaruh yang cukup signifikan bagi tatanan masyarakat dari berbagai kelas sosial. Peristiwa tersebut dipicu oleh konflik agraria atas hak kepemilikan lahan perkebunan. Aturan baru muncul selepas kekuasaan pemerintah Hindia Belanda mendominasi wilayah Sumatera Timur. Kebijakan Politik Etis membawa gelombang baru pada perpindahan manusia dari Pulau Jawa untuk menetap di Sumatera sebagai pekerja kontrak milik perkebunan Belanda. Sultan maupun penguasa lokal kemudian melakukan kerja sama dan menjalin hubungan yang baik dengan pemerintah kolonial sehingga penguasaan tanah dapat dilakukan secara bebas dan terukur. Perubahan penguasaan tanah yang sebelumnya dilakukan berdasarkan aturan adat atau dapat digunakan secara bersama-sama harus didasarkan atas tiga hak sesuai hukum milik pemerintah jajahan. Akibatnya sistem ini mengubah tradisi lokal dalam penguasaan tanah secara komunal berubah pada penguasaan tanah yang hanya dapat dikuasai oleh beberapa orang saja atau berdasarkan batas minimum yang telah ditentukan dengan cakupan lahan yang cukup besar. Dengan demikian, sultan pengusa menempati posisi sebagai tuan tanah dan masyarakat pribumi menggunakan sistem kepemilikan individu dalam industri perkebunan sehingga membawa pengaruh pada sistem kapitalis atau kebebasan dalam menyerahkan kendali ekonomi pada pemerintah koloni untuk mengambil sebagaian besar dari keuntungan yang didapatkan.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, A. (2018). Perkebunan Tembakau dan Kapitalisasi Ekonomi Sumatera Timur 1863-1930. Tamaddun, 6(2), 61–98.

Armani, H., Yulisa, D., & Okwita, A. (2020). Konflik Agraria Pada Masa Revolusi Sosial di Sumatera Timur, 1946-1955. Historia: Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah, 5(2), 99–114.

Ghani, M. A. (2018). Jejak Planters di Tanah Deli: Dinamika Perkebunan Sumatera Timur 1863-1996. Bogor: IPB Press

Harahap, H., & Ramadhani, D. (2019). Laskar Revolusioner Sumatera Timur: Dari Revolusi Simalungun Kudeta Gubuernur Sumatera. Yogyakarta: Deepublish.

Harahap, H. (2019). Revolusi Sosial Di Simalungun Tahun 1946. Jasmerah: Journal of Education and Historical Studies, 1(2), 48-55.

https://doi.org/10.24114/jasmerah.v1i2.13006

Hasanah, U. (2012). Status Kepemilikan Tanah Hasil Konversi Hak Barat Berdasarkan UU NO. 5 Tahun 1960. Jurnal Ilmu Hukum Riau, 3(5), 9132.

Hutagaol, N. M. (2016). Labuan Deli Kota Pelabuhan Tradisional. Jurnal Historia (Vol.1, Issue 2). Oktober. www.journal.unrika.ac.id

Itawan, D. (2020). Dari Hutan Purba Menjadi Perkebunan: Fotografi, Propaganda

(8)

21

Kemakmuran, dan Perubahan Lanskap di Sumatera Timur, 1860an-1930an.

Jurnal Sejarah, 3(2), 28–48.

Kusbianto. (2010). Konflik di Perkebunan (S. Hadiluwuh, Ed.). Medan: USU Press.

Reid, A. (2012). Sumatera; Revolusi dan Elite Tradisional. Jakarta: Komunitas Bambu.

Setiawan, N. (2006). Satu Abad Transmigrasi di Indonesia: Perjalanan Sejarah Pelaksanaan, 1905-2005 Nugraha Setiawan *. HISTORIA : Jurnal Ilmu Sejarah, 3(1), 13–35.

Supratno, E. (2021). Masjid Megah dan Derita Kuli di Perkebunan Tembakau. FIHROS 5(1), 46–63.

Suwirta, A. (2002). Buruh Perkebunan di Sumatera Timur: Sebuah Tinjauan Sejarah.

Historia: Jurnal Pendidikan Sejarah, 5(3), 19–36.

Zumbir, Z. (2015). Sejarah Perkebunan dan Dampaknya Bagi Perkembangan Masyarakat di Onderafdeeling Banjoeasin En Koeboestrekken Keresidenan Palembang, 1900-1942. Jurnal Penelitian Sejarah Dan Budaya, 1(1), 79–101.

Referensi

Dokumen terkait

Students perceived that podcasts provided authentic materials, interesting activities including listening exercises and meaningful tasks for them so they felt more motivated to

Workload Total workload is 130 hours per semester, which consists of 150 minutes lectures per week for 14 weeks, 180 minutes structured activities per week, 180 minutes individual