• Tidak ada hasil yang ditemukan

Collaborative Thematic Learning through Balinese Dance Art

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Collaborative Thematic Learning through Balinese Dance Art"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

P-ISSN: 2722-9270 ejournal.uksw.edu/jms

Kolaborasi Pembelajaran Tematik Kontekstual Melalui Kesenian Tari Bali

Gamaliel Septian Airlanda1*

Ketut Gede Bendesa2

1Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Kristen Satya Wacana

2Sanggar Tari Sekar Dewata

A R T I C L E I N F O

Article history:

Received 16-04-2022 Revised 20-04-2022 Accepted 27-05-2022

Key words:

Pembelajaran Tematik Kontekstual, Kesenian

A B S T R A C T

“Tematik” is the characteristic of education in elementary school in Indonesia. Non-formal education institutions become one of implementer for this learning model. Balinese people have built a kind of this educational perspective using “Balai Banjar” and

“Sanggar” (art studio). Sanggar Tari Sekar Dewata is non formal institution which have problems, such as: 1) monotone learning model; 2) locked of human development; 3) high repetitions without innovations; 4) lost human potency. Participatory learning action as the way to higher education researcher become the part of Sanggar community. Its help the researcher to collab and give other perspectives of thematic contextual learning model. Based on this collaboration, founds that: 1) new model of learning give the positive changes; 2) bring the different perspectives of habit-based learning; 3) bring the sustainable collaboration of learning model reconstruction.

A B S T R A K

Pembelajaran tematik merupakan ciri khas tatanan pendidikan di tingkat sekolah dasar di Indonesia. Salah satu penerapan pembelajaran tematik terjadi di pendidikan non formal. Masyarakat Bali banyak membangun konsep pendidikan ini dengan Balai Banjar dan sanggar-sanggar kesenian. Sanggar Tari Sekar Dewata adalah jenis pendidikan non formal yang memiliki masalah berupa: 1) pembelajaran yang monoton;

2) sulit tercapainya peningkatan kualitas sesuai harapan; 3) tingginya repetisi dengan minimal inovasi; 4) sulitnya penggalian pengetahuan baru dengan potensi yang tersedia. Melalui participatory learning action, praktisi pendidikan tinggi dapat masuk dalam sistem sosial Sanggar dan memberikan sudut pandang pembelajaran tematik kontekstual. Simpulan dari kolaborasi ini adalah: 1) telah memberikan dampak positif tentang pengetahuan model pembelajaran; 2) membawa perubahan konsep pembelajaran yang selama ini hanya dibangun atas dasar kebiasaan; 3) membawa kerjasama berkelanjutan tentang penelitian rekonstruksi model pembelajaran tematik kontekstual melalui seni tari.

*Corresponding author: [email protected]

(2)

399

PENDAHULUAN

Pembelajaran tematik merupakan ciri khas tatanan pendidikan di tingkat sekolah dasar di Indonesia. Konsep pembelajaran ini muncul sejak diberlakukannya edisi revisi Kurikulum 2013 disertai dengan terbitnya buku-buku tema sekolah dasar.

Secara teori pembelajaran tematik adalah kegiatan belajar yang tidak memisahkan mata pelajaran tetapi menggunakan sebuah topik untuk menyatukan beberapa mata pelajaran dalam satu bahasan (Nilasari et al., 2018). Diharapkan melalui konsep ini, guru dapat melakukan kegiatan pembelajaran yang lebih efektif dan efisien serta tidak hanya mengajarkan teori hafalan pada siswa. Di sisi lain, konsep pembelajaran tematik dapat diangkat sebagai cara untuk mengkolaborasikan kegiatan dalam kehidupan sehari-hari dengan teori di sekolah.

Kondisi ideal belum tercapai karena beberapa faktor: 1) belum meratanya sosialisasi kepada guru sebagai praktisi pendidikan; 2) kemampuan guru sekolah dasar yang sulit berubah; 3) kondisi dan karakteristik siswa yang bervariasi ekstrem di setiap wilayah kepulauan; 4) pemahaman yang berbeda-beda antar praktisi pendidikan tinggi dan dasar. Faktor-faktor tersebut semakin memperlambat jalan perubahan sudut pandang pendidikan selama ini. Tidak jarang alasan kesulitan pemahaman definisi dan template pembelajaran dijadikan kasus utama macetnya penerapan pembelajaran tematik. Di sisi lain, guru sebagai praktisi pendidikan justru melakukan modifikasi ekstrem dalam pembelajaran tematik yang tidak sesuai dengan prinsip sesungguhnya.

Guru tetap membagi pembelajaran sesuai dengan mata pelajaran masing-masing dan hanya dilakukan dalam satu periode waktu pembelajaran.

Kondisi ini telah berlangsung dari masa sebelum hingga pemulihan pandemi covid-19. Sosialisasi dan pendampingan oleh praktisi pendidikan perguruan tinggi salah satunya Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Kristen Satya Wacana, belum membuahkan hasil signifikan. Oleh karena itu, terpikir untuk melakukan sebuah terobosan baru karena sulitnya perubahan terjadi dalam gurita sistem pendidikan dan administrasi pendidikan. Terobosan ini ditujukan tetap pada koridor pendidikan anak.

Selama pandemi covid-19, anak-anak disibukkan dengan kegiatan pembelajaran dalam jaringan (daring) atau pembelajaran online. Namun, banyak orang tua yang merasa khawatir dengan proses perkembangan anak yang terhambat jika hanya belajar online. Berdasarkan penelitian ditemukan bahwa orang tua memiliki kekhawatiran yang tinggi terhadap pengaruh belajar online bagi siswa usia sekolah dasar. Mereka cenderung menginginkan kembalinya pembelajaran tatap muka. Kondisi ini terjadi karena orang tua: tidak bisa mengikuti perkembangan materi siswa, tidak memiliki cukup kemampuan serta keterampilan mendampingi perkembangan anak, tidak memiliki waktu yang cukup untuk dapat mendampingi perkembangan anak, serta kesulitan memberi masukan atas penyelesaian masalah akademik anak (Sakti, 2021).

Oleh karena itu, beberapa orang tua memiliki solusi untuk memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan non-formal. Tujuan utama orang tua memasukkan anaknya ke lembaga ini adalah adanya pembimbingan intensif yang tetap diberikan kepada anaknya selama masa pandemi dan sekolah formal masih melayani pembelajaran daring.

Pendidikan non formal adalah salah satu bentuk pendidikan yang jarang disasar oleh praktisi pendidikan tinggi. Padahal jika ditinjau dari peran serta dampak yang

(3)

400

ditimbulkan, pendidikan non formal ini juga memberikan perubahan mindset yang signifikan pada perkembangan anak. Pendidikan non formal telah diatur oleh pemerintah dengan menempatkannya sebagai pelengkap pendidikan formal dengan ciri khas tertentu (Hidayati, 2020). Fakta di lapangan menunjukkan sebagian besar masyarakat dan penggiat pendidikan beranggapan bahwa pendidikan non formal adalah les penguatan materi yang disediakan lembaga bimbingan belajar (bimbel).

Pada perkembangannya, pendidikan model ini tidak lagi menjadi pelengkap dari pendidikan formal saja. Melainkan memberi tambahan keterampilan yang justru tidak tersedia di level pendidikan formal. Produk institusi pendidikan ini banyak berkembang hampir di seluruh penjuru wilayah Indonesia.

Sisi lain menujukkan bahwa Provinsi Bali merupakan sebuah wilayah yang memiliki konsep pendidikan non formal secara kuat. Jika ditinjau dari mayoritas penduduk Bali yang masih menjalankan ritual keagamaan sebagai bagian dari adat dan budaya, maka diperlukan sebuah teknik pembelajaran yang kuat untuk melestarikannya. Tingkat kompleksitas properti, teknik, bacaan mantra dan doa, hingga penanggalan dari rangkaian ritual membutuhkan usaha khusus untuk bisa memahaminya (Sutrianti, 2019). Dengan demikian, sudah sangat jelas kebutuhan masyarakat Bali terkait hadirnya pendidikan non formal yang tidak hanya tentang les penguatan materi pelajaran sekolah. Pendidikan ini tidak hanya diwujudkan dalam sebuah institusi bimbingan belajar, melainkan konsep partisipasi aktif masyarakat.

Salah satu bukti suburnya pendidikan non formal di Bali adalah dengan Balai Banjar.

Tempat ini merupakan sarana mufakat petinggi adat dengan masyarakat yang kini telah dialih fungsikan untuk pembelajaran dan penerjemahan ilmu adat pada generasi penerusnya (Desa et al., 2015). Dengan demikian, masyarakat Bali juga telah menumbuhkan pembelajaran tematik konstekstual pada ruang-ruang masyarakatnya.

Pendidikan non formal yang banyak dibangun masayarakat Bali selain di Balai Banjar adalah dengan hadirnya sanggar-sanggar kesenian. Lembaga kesenian semacam ini hadir untuk melengkapi kebutuhan masyarakat akan pengetahuan adat, tradisi, seni dan budaya. Salah satu sanggar tari di wilayah Bali adalah Sanggar Tari Sekar Dewata di Serongga. Sanggar ini juga memiliki akses pada Balai Banjar terdekat di wilayahnya.

Ketertarikan akan penerapan pembelajaran tematik kontekstual tanpa aturan administrasi yang terlalu mengikat seperti di lembaga pendidikan formal, membuat kegiatan kolaborasi ini semakin kuat terlaksana. Di samping itu, kebutuhan masyarakat Bali dengan hadirnya pendidikan pendamping sekolah dapat dijadikan modal awal keterlaksanaan proses kolaborasi. Kondisi ini akan jauh berbeda jika dilakukan di wilayah lain (seperti Jawa Tengah misalnya) yang memiliki perbedaan sudut pandang kebutuhan. Inovasi pembelajaran sangat erat hubungannya dengan keterbukaan pemikiran yang kini diartikan dengan belajar merdeka. Sudut pandangan ini fokus pada pengembangan kualitas sumber daya manusia untuk berfikir kritis, kreatif, inovatif dan handal dalam pemecahan masalah (Yamin dan Syahrir, 2020).

Melalui pemikiran belajar merdeka dan tanpa diganggu dengan ketatnya administrasi pendidikan, maka pembelajaran tematik konstekstual akan sangat mudah terlaksana.

Dalam kerangka ini, Sanggar Tari Sekar Dewata menjadi sasaran kegiatan bersama mengembangkan pola inovasi pembelajaran.

(4)

401

Sanggar ini teridentifikasi berdiri sejak 2001 dengan motto: “Menabur Seni Sejak Dini”. Dalam perjalananya, sanggar ini lebih fokus pada proses pendidikan seni untuk anak-anak sebagai pembangun identitas bangsa. Sanggar ini tidak hanya mengajarkan tari, tetapi: membaca pusi, melukis, mewarnai, pantomim, bermain peran hingga kesenian lain yang mengasah bakat talenta siswa. I Ketut Gede Bendesa yang dipanggil Bli Tut adalah pemilik sekaligus pelatih tari yang terbuka dengan inovasi pembelajaran seni untuk anak yang mampu membangun mental serta karakter anak bangsa. Di samping itu, pemilik sanggar justru terus mencari bentuk pelatihan dan pengajaran yang dapat dijadikan contoh untuk mengembangkan bakat talenta siswanya. Ketertarikan Bli Tut terhadap konsep pendidikan muncul sejak dirinya mengelola siswa usia sekolah dasar.

Masalah utama dari mitra (Sanggar Tari Sekar Dewata) adalah belum dilakukannya konsep model pembelajaran yang jelas dan terarah. Masalah ini terjadi karena sanggar menerapkan pembelajaran atas dasar kebiasaan latihan. Akibatnya, muncul beberapa dampak, yaitu: 1) terjadi pembelajaran yang monoton sehingga menimbulkan kebosanan; 2) sulitnya tercapai peningkatan kualitas sesuai harapan; 3) tingginya repetisi dengan minimal inovasi; 4) sulitnya penggalian pengetahuan baru dengan potensi yang tersedia. Dampak tersebut jika berlangsung lama akan membuat macetnya inovasi pembelajaran yang sebenarnya telah terbangun baik tanpa ada ikatan kaku seperti di pendidikan formal. Justru potensi ini akan mengulang sejarah tidak baik sulitnya perubahan terjadi dalam pendidikan. Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha bersama menyelesaikan masalah tersebut.

Participatory Learning and Action (PLA) merupakan suatu metoda dengan praktisi pendidikan tinggi masuk dalam sistem sosial Sanggar Tari Sekar Dewata dan memberikan sudut pandang baru dalam konteks pembelajaran tematik kontekstual.

Temuan-temuan di sanggar akan diolah menjadi praktek pembelajaran tematik kontekstual yang lebih terstruktur namun tidak membuat kaku kondisi siswa ataupun pelatih. Sudut pandang yang jelas dari segi pendidikan dan kesenian menjadikan praktisi pendidikan pendidikan guru sekolah dasar memiliki kontribusi nyata untuk melakukan pengembangan pembelajaran di sanggar tari ini. Proyek kolaborasi ini akan terus berlanjut dan diberi nama Proyek Kolaborasi Pembelajaran Tematik Kontekstual dan Kesenian Tari Bali. Proyek ini akan lebih dipopulerkan dengan akronim yang memuat komponen Tematik Kontekstual dan Kesenian Tari Bali disingkat Teko-Seri Bali. Tujuan proyek kolaborasi ini adalah membantu komunitas Sanggar Tari Sekar Dewata untuk dapat mengkonstruksikan model pembelajaran yang dilakukan.

Konstruksi model ini sangat diperlukan sebagai standarisasi layanan pendidikan di Sanggar. Model yang jelas akan memudahkan pihak terkait, seperti: pelatih, siswa, orang tua memahami pola belajar yang dikembangkan sanggar. Selain itu, pendampingan ini akan menjadi calon lanjutan kerjasama penelitian terapan model pembelajaran level pendidikan dasar.

METODE PELAKSANAAN

Kegiatan kolaborasi pendampingan model pendidikan tematik kontekstual melalui seni tari dilakukan pada tanggal 9 sampai dengan 31 Maret 2022. Tempat pelaksanaan pendampingan ini adalah di Sanggar Tari Sekar Dewata, Jalan Sakura

(5)

402

Nomor 220, Serongga, Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali.

Pendampingan dilakukan dalam kondisi luar jaringan atau datang langsung ke lokasi.

Peserta yang terlibat dalam kegiatan pengabdian ini terdiri dari 2 orang pelatih dan 25 orang siswa. Kegiatan dilaksanakan empat kali dalam satu minggu secara periodik.

Kegiatan ini dipopulerkan dengan singkatan Teko-Seri Bali yang mengandung makna Pembelajaran Tematik Kontekstual dalam Seni Tari Bali.

Secara spesifik pendampingan dilakukan dengan Participatory Learning and Action atau pertisipasi aktif yang diwujudkan dalam tindakan nyata (Darmawan et al., 2020). Metode ini adalah bagian dari pemberdayaan masyarakat yang secara spesifik dalam kegiatan ini diterapkan pada komunitas seni di Sanggar Tari Sekar Dewata.

Praktisi pendidikan dalam hal ini Gamaliel Septian Airlanda bertugas untuk: 1) mengidentifikasi kegiatan seni yang dapat berpeluang menjadi pendidikan tematik kontekstual; 2) menyusun kajian dan melakukan koordinasi dengan pelatih sanggar;

3) mendampingi pelatih dalam pelaksanaan; 4) melakukan evaluasi. Pelatih utama I Ketut Gede Bendesa bertugas untuk: 1) melaksanakan kegiatan latihan tari; 2) membantu melakukan kajian dan koordinasi dengan praktisi pendidikan; 3) melaksanakan perbaikan; 4) melakukan evaluasi.

Konsep pendidikan tematik kontekstual dilakukan secara bertahap dalam setiap pertemuan. Terdiri dari: 1) pembukaan dan perencanaan kegiatan harian; 2) pelaksanaan pelatihan; 3) koordinasi dan evaluasi bersama siswa. Melalui siklus yang terjadi dalam setiap latihan, dapat ditemukan serta dianalisis tingkat keberhasilan, perbaikan dan rencana pelaksanaan tingkat lanjut. Bagian akhir dari kegiatan ini adalah Festival Seni kolaborasi pendidikan dan kesenian yang dilaksanakan pada tanggal 31 Maret 2022 dan diikuti oleh semua siswa serta dihadiri oleh penonton dari mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Kristen Satya Wacana angkatan 2019 dan 2020.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bagian hasil dan pembahasan dilakukan pembagian berdasarkan temuan yang terjadi selama proses kolaborasi Teko-Seri Bali, yang terdiri dari: ulasan umum, tahap pembukaan dan perencanaan latihan tari, pelaksanaan latihan tari, koordinasi, evaluasi latihan tari dan festival seni.

Ulasan Umum Teko-Seri Bali

Proses kolaborasi diawali dengan observasi lingkungan yang dilakukan oleh praktisi pendidikan guru sekolah dasar UKSW di daerah sekitar Kabupaten Gianyar, Bali. Observasi ini terdiri dari dua langkah konkret, yaitu: melakukan selancar melalui situs internet dan kunjungan lapangan. Kondisi pandemi covid-19 yang belum secara total hilang menyebabkan beberapa aktivitas di sanggar tari sekitar Gianyar terganggu.

Aktivitas pencarian di situs internet berhasil menemukan hampir 12 sanggar tari.

Reduksi data pertama dilakukan dengan mencermati letak dan jarak sanggar. Terdapat lima sanggar tari yang letaknya berdekatan. Namun, dari lima sanggar tari yang ditemukan hanya tiga sanggar yang memiliki kontak aktif sesuai yang tertera di dalam website. Sehingga komunikasi awal dengan sanggar-sanggar tersebut cukup menemui banyak kendala. Selain itu, hasil kunjungan lapangan menunjukkan bahwa sanggar-

(6)

403

sanggar tersebut ada yang berdekatan dengan area pusat keagamaan Hindu (Pura) ataupun “Griya” rumah bangsawan Bali yang banyak digunakan sebagai pusat-pusat ritual. Tentu terdapat perbedaan signifikan antar sanggar-sanggar ini dengan intensitas kegiatan yang terjadi.

Sanggar Tari Sekar Dewata memiliki beberapa ciri khas yang membedakan dengan sanggar tari lain di wilayah Gianyar. Sanggar yang berdiri sejak 2001 ini melatih siswa usia Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Sanggar ini juga menerima siswa difabel ganda (tunawicara dan tunarungu). Tidak ada pemisahan proses latihan antara siswa difabel dan non difabel. Mereka saling berbaur dan berinteraksi. Sanggar ini tidak hanya mengajarkan tari melainkan pengembangan bakat dan ketertarikan siswa, seperti: pantomim, melukis, mewarnai, membaca puisi, bermain peran, pembawa acara. Siswa difabel juga diajarkan untuk berwirausaha dengan menjual snack (makanan ringan) yang sering dibeli oleh anak-anak. Dengan demikian, siswa difabel dan non difabel memiliki ruang nyata untuk saling berinteraksi melalui transaksi jual beli. Motto sanggar adalah “Menabur Seni Sejak Dini” yang diartikan dengan lebih dalam sebagai proses pendidikan seni bagi anak. Pemilik sanggar Bernama I Ketut Gede Bendesa, S.Sn memberikan makna bahwa seni bukan berdiri dan dilihat hanya sebatas keindahan dan keagungan seni itu sendiri. Melainkan seni yang mempu diarahkan untuk mendidik anak dan meningkatkan kualitas hidupnya. Prinsip praktis ini sebenarnya telah diungkapkan secara teoritis dalam sebuah penelitian terdahulu. Dijelaskan bahwa secara psikologis seni mempengaruhi tiga aspek, yaitu: kognisi, psikomotor dan afeksi (Rondhi, 2014). Dengan demikian, kesenian memiliki irisan dengan aspek pendidikan siswa sekolah dasar.

Kolaborasi ini terjadi karena ada kebutuhan yang sama dalam hal pengembangan pendidikan bagi siswa. Secara lebih terstruktur kebutuhan pendidikan tersebut diterjemahkan dalam konsep tematik kontekstual melalui kesenian tari. Sanggar tari yang telah berdiri sejak 21 tahun ini selalu mengusung paradigma pendidikan bagi anak. Namun, terbatasnya pengetahuan tentang konsep pedagogi menjadi kendala bagi pelatih sekaligus pemilik sanggar untuk menyelesaikan beberapa kasus yang terjadi pada anak. Oleh karena itu, pada bagian awal dilakukan pengenalan karakteristik pembelajaran yang telah dilakukan sanggar secara lebih mendalam. Proses pengenalan ini terjadi hampir 1,5 minggu melalui observasi mendalam dan koordinasi.

Hasil observasi menemukan beberapa fakta yang belum terdokumentasi dengan baik di sanggar. Fakta tersebut adalah:

1. Sanggar Tari Sekar Dewata memiliki prinsip seni sebagai media pendidikan bagi anak. Komponen pendidikan menjadi lebih dominan dalam proses yang terjadi selama ini. Prinsip ini telah dipraktekkan namun belum tersampaikan secara verbal maupun tekstual. Pelatih sekaligus pemilik sanggar memiliki keterbatasan pemahaman prinsip pendidikan karena merupakan praktisi kesenian murni.

2. Sanggar Tari Sekar Dewata memiliki konsep kurikulum pembelajaran yang belum terdokumentasikan namun telah dipraktekkan secara konsisten.

3. Sanggar Tari Sekar Dewata memiliki pendekatan tematik kontekstual yang mengedepankan penghargaan terhadap keberagaman karakteristik siswa.

4. Sanggar Tari Sekar Dewata telah menerapkan prinsip pendidikan inklusi.

(7)

404

Berdasarkan temuan tersebut, maka dilakukan koordinasi dan bedah pemahaman pedagogi antara praktisi pendidikan dan pemilik sanggar. Kegiatan ini tidak dilakukan dalam situasi kaku dan formal melainkan kondisi santai, informal dengan baik.

Tahapan ini berhasil dilakukan akibat partisipasi aktif dari pelatih sekaligus pemilik sanggar yang juga terbuka dengan update ilmu pengetahuan.

Sudut pandang kedua pada bagian ini ditujukan pada siswa yang telah mengikuti latihan tari di sanggar. Terdapat beberapa temuan pada bagian observasi, yaitu:

1. Siswa telah melakukan interaksi tidak tersturktur selama proses latihan. Namun, interaksi ini membawa dampak positif berupa keterbukaan informasi antara satu peserta dengan yang lain (baik itu difabel dan non-difabel). Pola interaksi anak perlu mendapatkan perhatian sehingga kualitas informasi dapat ditingkatkan untuk menjembatani pengetahuan siswa difabel dan non-difabel.

2. Siswa telah mempraktikkan keselarasan antara seni tari dengan pembelajaran di sekolah dalam kerangka tematik kontekstual. Kondisi tersebut menyangkut beberapa aspek kognitif-psikomotor: posisi tubuh saat menari dengan kompleksitas organ gerak manusia, Pengetahuan ini belum terdokumentasi dan terpublikasi pada siswa secara sistematis.

3. Siswa telah mempraktekkan variasi pembelajaran kesenian berupa: puisi, gambar, modelling, public speaking. Variasi pembelajaran ini perlu dikembangkan secara sistematis menjadi kurikulum baku sanggar.

Temuan tersebut berkaitan erat dengan pembelajaran aktif yang merupakan cara untuk lebih mengutamakan partisipasi siswa dalam berpendapat, menentukan tujuan, menemukan aplikasi materi, menentukan pengembangan materi. Prinsip ini didukung oleh peran guru sebagai fasilitator yang tidak mengambil peran dominan dalam pembelajaran (Kadariah, 2018). Namun, masih perlu tindak lanjut dari temuan kolaborasi ini dengan meningkatkan dokumentasi tekstual yang lebih sistematis sehingga pelacakan model pembelajaran akan lebih mudah.

Pembukaan dan Perencanaan Latihan Tari (Proyek Teko-Seri Bali)

Kondisi sebelum dilakukan kolaborasi menunjukkan bahwa di sanggar belum dilakukan proses pembukaan dan perencanaan latihan yang terstruktur. Siswa melakukan kegiatan hanya berdasarkan kebiasaan yang telah lama terbangun di sanggar. Biasanya siswa datang dan berkumpul dengan siswa lain untuk saling menyapa dan bertanya keadaan. Kemudian siswa akan mendatangi meja registrasi untuk mendaftarkan namanya dalam kelompok peserta hadir. Setelah itu, siswa akan kembali duduk dan mempersiapkan perlengkapan menari.

Di samping itu, kebiasaan yang dibangun oleh sanggar adalah urutan tari yang disesuaikan dengan kompleksitas gerakan. Diawali dengan Tari Pendet lalu Tari Puspanjali, Tari Sekar Jagat, Tari Baris Tunggal, Tari Condong, Tari Pusparesti.

Terkadang pada bagian akhir diberikan kepada siswa untuk melakukan tari kreasi baru ataupun jenis tari kompleks lain yang ditujukan untuk keperluan tertentu (lomba atau ujian atau ritual). Urutan tarian ini hanya berdasarkan kebiasaan yang bisa berubah setiap latihannya. Namun, ditinjau dari kompleksitas gerakan tari, urutan ini memiliki

(8)

405

tujuan pembelajaran yang jelas. Prinsip perkembangan peserta didik justru sangat kuat dalam prakteknya. Oleh karena itu, perlu dilakukan tindakan pengelolaan secara pedagogis di bagian pembukaan dan perencanaan latihan tari ini.

Pada bagian ini, disarankan untuk membuat struktur pembukaan dan perencanaan yang tersusun dengan baik, yaitu:

1. Pelaksanaan registrasi bersama.

2. Pembukaan dilakukan secara bersama dipimpin oleh salah satu peserta.

3. Melakukan pembahasan perencanaan latihan bersama oleh siswa. Pembahasan memuat: urutan latihan, daftar anggota pada tari tertentu, penunjukan tim bantu yang akan mengobservasi gerakan tari peserta selama latihan, penunjukan petugas pemutar music dan time keeper.

4. Apersepsi oleh pelatih berdasarkan kebutuhan latihan harian.

5. Diskusi serta tanya jawab awal. Pada bagian ini dapat dikombinasikan dengan contoh gerakan yang menjadi kebutuhan latihan.

6. Penyambutan dan briefing awal pada peserta baru ataupun peserta yang lama tidak hadir.

Temuan tersebut sesuai dengan prinsip pengembangan sintaks pembelajaran tematik kontekstual. Salah satu penelitian menunjukkan bahwa terdpat tujuh prinsip pembelajaran tematik kontekstual yang perlu direalisasikan. Prinsip tersebut berupa:

1) kontruksivisme, 2) bertanya, 3) menemukan, 4) masyarakat belajar, 5) pemodelan, 6) refleksi dan penilaian sebenarnya (Nilasari et al., 2018). Dengan demikian telah tercapai sinkronisasi pembelajaran tematik kontekstual dengan latihan tari bali.

Pelaksanaan Latihan Tari (Proyek Teko-Seri Bali)

Bagian ini sangat kuat hubungannya dengan pendidikan tematik kontekstual.

Kolaborasi dilakukan dengan menerjemahkan rangkaian kegiatan latihan tari menjadi bagian dari proses pendidikan tersturktur.

a. Kolaborasi penerjemahan konten materi pada gerak tari.

Beberapa gerakan tarian bersumber dari aktivitas nyata yang dilihat oleh pencipta tari dalam kehidupan sehari-hari. Pada bagian ini kolaborasi dilakukan melalui pembagian tugas. Pelatih memiliki pengetahuan terkait filosofi dan alur gerakan penari yang tepat. Praktisi pendidikan memberi analisis materi pelajaran di sekolah dasar tentang gerakan tersebut. Siswa mempraktekkan gerakan tarian tertentu. Sebagai contoh ulasan salah satu tari, yaitu Tari Pendet. Tari ini merupakan tarian penyambutan yang mengungkapkan rasa gembira dan ucapan syukur (Astini & Utina, 2007). Pada proses latihan terjadi interaksi pelatih yang meminta siswa untuk menunjukkan raut wajah gembira dengan tersenyum, ketukan tangan yang mengarahkan gerakan dengan tempo cepat, serta gerakan duduk bersila yang menunjukkan proses penyembahan kepada “Sang Hyang Widhi Wasa” atau Tuhan Yang Maha Esa. Jika dianalisis sebagai kebutuhan

(9)

406

pembelajaran, gerakan Tari Pendet langsung dapat membidik beberapa konten materi pelajaran di Sekolah Dasar.

Gerakan “ngaggem” sebuah gerakan dengan posisi tubuh condong ke kanan atau ke kiri, kaki ditekuk hingga setengah dari tinggi badan, tangan sejajar bahu, salah satu telapak tangan memegang properti yang berisi sesajen. Konten Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dapat membahas beberapa teori, yaitu: struktur dan fungsi organ gerak manusia (Biologi), aplikasi rumus keseimbangan (Fisika), jenis sendi dan otot (Biologi), prinsip gaya dan energi (Fisika).

Pendidikan Kewarganegaraan (Pkn) yang memiliki peluang membahas tentang:

implementasi rasa syukur kepada Tuhan, kerjasama, rasa menghargai sesama manusia. Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dapat membahas jenis-jenis pekerjaan karena dalam satu gerakan tari terdapat pencipta, pelatih dan pelaksana tarian.

Semua komponen materi ini merupakan ilmu yang sama dalam pembahasan di buku sekolah dasar. Penjelasan ini mampu menjadi dokumen ilmiah dalam kesenia tari yang menjawab kebutuhan dasar dari merdeka belajar.

b. Kolaborasi teknik pendampingan siswa

Bagian kolaborasi teknik pendampingan kepada siswa, tetap dilaksanakan oleh pelatih utama dan pendamping. Sedangkan praktisi pendidikan memberikan pola urutan pedagogi dalam rangka rekonstruksi model pembelajaran tematik kontekstual. Terdapat beberapa faktor penguat yang telah ditemukan dalam praktek latihan tari terhadap model tematik kontekstual, yaitu:

a. Ditemukan pola interaksi aktif antara penari dengan pelatih sepanjang latihan walau tidak terstruktur. Pola ini berupa tanya jawab dan bahasa tubuh dalam pemberian contoh gerakan. Diskusi intensif terjadi pada siswa difabel karena kebutuhan akan treatment khusus.

b. Ditemukan tahapan pembimbingan personal dan kelompok dalam satu waktu latihan. Kondisi ini mudah terjadi karena komponen gerak membutuhkan contoh berupa gerakan aktif dari pelatihnya. Oleh karena itu, kekuatan pendekatan psikomotor sangat dominan.

c. Ditemukan penggunaan bahasa dan pilihan kata selama latihan tari, merupakan kondisi sehari-hari anak dalam permainan ataupun kehidupan di sekolah.

d. Ditemukan partisipasi aktif siswa dengan minim aturan yang mengikat seperti di sekolah. Kondisi ini justru modal besar bagi Sanggar Tari Sekar Dewata, karena siswa tidak merasa kaku dalam berlatih.

Temuan ini telah terkumpul selama pendampingan pada anak dan berhasil menggambarkan kriteria pembelajaran aktif (active learning) yang menjadi pedoman utama model tematik kontekstual. Ciri khas pembelajaran aktif adalah

(10)

407

adanya dinamika dalam proses belajar serta partisipasi dari siswa yang dominan tanpa paksaan (Yannier et al., 2021). Kegiatan pengabdian masyarakat ini menjadi titik temu kerjasama berkelanjutan antara peneliti Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Kristen Satya Wacana dengan Sanggar Tari Sekar Dewata. Selanjutnya, rekonstruksi model tematik kontekstual akan dilakukan secara lebih mendalam hingga terbentuk sebuah komponen sahih model pembelajaran dengan ciri spesifik.

Evaluasi Latihan Tari (Proyek Teko-Seri Bali)

Kegiatan evaluasi di Sanggar Tari Sekar Dewata sebelumnya tidak memiliki nama ataupun tahapan yang jelas. Kebiasaan praktek menjadi dasar utama dilakukannya evaluasi latihan tari. Oleh karena itu, muncul kondisi monoton dan kurang berdampak pada siswa. Komponen evaluasi juga belum nampak jelas pada siswa difabel dan non-difabel. Oleh karena itu, praktisi pendidikan bertugas memberikan pendampingan berupa restrukturisasi model evaluasi pasca latihan tari.

Disarankan komponen evaluasi dapat berupa:

a. Pengukuran dan penilaian kinerja praktek siswa oleh pelatih.

b. Refleksi mandiri dari siswa atau kelompok siswa.

c. Refleksi yang disampaikan pelatih.

d. Rencana perbaikan dari sudut pandang siswa dan pelatih.

e. Rencana kegiatan pada pertemuan berikutnya.

Temuan ini membahas tentang pengamatan yang dilakukan di Sanggar Tari Sekar Dewata, poin pengukuran dan penilaian serta poin perbaikan dari sudut pandang siswa belum terjadi. Perlu dilakukan pola pembiasaan baru dalam pembelajaran yang telah berjalan di sanggar selama ini. Tahapan evaluasi ini telah sesuai dengan dasar-dasar evaluasi pendidikan yang disesuaikan dengan prinsip pencapaian sebuah tujuan pembelajaran. Sebuah evaluasi perlu memikirkan ketercapaian tujuan yang telah ditetapkan berdasarkan rencana kinerja (Dewi, 2019). Kebiasaan ini akan mempermudah kegiatan pembelajaran yang berlangsung secara periodik meningkatkan kualitas pelaksanaanya dari waktu ke waktu.

Festival Seni (Proyek Teko-Seri Bali)

Rangkaian penutup kegiatan kolaborasi pembelajaran tematik kontekstual melalui tari Bali adalah dilaksanakannya Festival Seni. Kegiatan ini dilakukan pada tanggal 31 Maret 2022 mulai dari pukul 14.00-17.00 Waktu Indonesia Bagian Tengah (WITA). Kegiatan diikuti oleh seluruh siswa baik difabel dan non difabel yang sekitar 25 orang, pelatih utama (I Ketut Gede Bendesa), pelatih pendamping (Gilang), praktisi pendidikan tinggi PGSD UKSW, penonton dari mahasiswa PGSD UKSW Angkatan 2019 dan 2020 yang berjumlah sekitar 60 orang. Festival ini dilakukan secara blended

(11)

408

learning. Penonton festival tersebar di seluruh wilayah Indonesia serta ditampilkan melalui siaran langsung Youtube: Ngopi Edukasi.

Festival sebagai perayaan atas sebuah proses yang telah dilalui oleh siswa menjadi sangat berkesan karena dikelola oleh siswa sendiri. Prinsip participatory learning action sangat kuat dalam festival ini. Dengan mengangkat keberagaman yang dimiliki oleh siswa, festival ini bertujuan sebagai ajang unjuk pengetahuan, keterampilan dan sikap siswa yang telah diasah selama latihan di Sanggar Seni Sekar Dewata. Persiapan festival dilakukan oleh siswa dalam satu minggu. Dimulai dari tanggal 22 Maret 2022, pelatih bertukar ide dengan siswa pada fase evaluasi dan menyampaikan pendapatnya tentang adanya festival seni. Ternyata siswa menanggapi hal ini dengan positif dan antusias.

Tanggapan siswa masih bersifat chaotic yang tidak terstruktur. Mereka merasa senang, termotivasi, tertantang namun tidak mengetahui tindakan yang harus dilakukan sebagai langkah lanjutan. Oleh karena itu pelatih dan praktisi pendidikan berkolaborasi untuk mengelola pemikiran, ide, pertanyaan siswa yang masih belum terstuktur dengan beberapa langkah konkrit:

a. Siswa diajak untuk memahami tujuan diadakan festival seni.

b. Siswa diajak berpikir dan berpendapat tentang jenis tampilan yang akan mereka bawakan saat festival.

c. Siswa diajak secara berkelompok menyusun rincian kebutuhan festival.

d. Siswa diajak menyusun urutan serta rangkaian kegiatan festival.

e. Siswa diajak menentukan kebutuhan konsumsi festival.

f. Siswa melaksanakan festival secara utuh. Pelatih hanya menjadi fasilitator dan motivator.

Temuan ini sekaligus menjelaskan langkah-langkah yang dilakukan secara bersamaan antara siswa difabel dan non difabel. Pada kenyataannya, membutuhkan waktu relatif lebih panjang untuk berdiskusi dan mengarahkan siswa difabel. Bahkan pada hari pelaksanaan festival seni sempat terjadi keterlambatan konsumsi karena ada kelompok siswa melupakan tugas yang telah diberikan kepada mereka. Namun, kondisi ini dapat diselesaikan dengan komunikasi aktif dari para peserta dibantu dengan pelatih sanggar.

Penegasan pembelajaran tematik kontekstual telah terjadi pada proses pemecahan masalah akibat kelalaian kelompok siswa terhadap keberlangsungan festival seni.

Sesuai dengan prinsip pembangunan karakter siswa (character building) belajar dari kesalahan merupakan salah satu cara menempatkan pengalaman siswa di long term memory (Utami et al., 2020). Dalam kondisi ini, siswa harus mampu (dengan bimbingan guru) menyelesaikan masalahnya sendiri. Keterlambatan konsumsi festival membuat kelompok siswa akhirnya harus izin keluar membeli konsumsi susulan dan meninggalkan kegiatan festival seni sementara. Setelah itu, kelompok siswa ini kembali lagi ke festival seni untuk bersiap tampil. Hal ini menyebabkan persiapan

(12)

409

mereka saat tampil di panggung menjadi sangat minim karena waktu mereka terbuang untuk membeli konsumsi.

Selain itu, ditemukan fakta unik bahwa makna festival bagi sebagian besar masyarakat Bali adalah sesuatu yang bernuansa megah, mewah dan artistik. Standar- standar tersebut dinilai dari tampilan busana, tata rias, kondisi ruang, dekorasi ruang, hingga jumlah penonton. Oleh karena itu, sempat muncul kesenjangan antara semangat festival sebagai ajang unjuk kinerja siswa dengan sudut pandang kebiasaan khususnya pada orang tua. Festival dalam konteks pendidikan merupakan bagian dari proses komunikasi akademik siswa dengan masyarakat (Park et al., 2019). Tujuan dilaksanakan komunikasi akademik ini ada dua yaitu: siswa mempublikasikan hal baik yang telah mereka dapatkan selama proses pendidikan serta proses mendapatkan feedback dari masyarakat kepada siswa. Umpan balik ini dibutuhkan siswa untuk dapat mengukur dirinya dan kemampuan yang dimilikinya dari sudut pandang orang ketiga yang dianggap netral. Dengan demikian, siswa akan memiliki kesadaran untuk lebih mengembangkan diri.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil kolaborasi pembelajaran tematik kontekstual melalui seni tari, dapat disimpulkan: 1) kolaborasi ini telah memberikan dampak baik tentang pengetahuan model pembelajaran kepada Sanggar Tari Sekar Dewata dan Pendidikan Guru Sekolah Dasar UKSW. Dampak baik ini tentang keterbukaan pengetahuan pendidikan yang selama ini hanya menjadi perkiraan diantara kedua belah pihak; 2) kolaborasi ini membawa perubahan konsep pembelajaran di Sanggar Tari Sekar Dewata yang selama ini hanya dibangun atas dasar kebiasaan; 3) kolaborasi ini telah membawa kerjasama berkelanjutan tentang penelitian rekonstruksi model pembelajaran tematik kontekstual melalui seni tari.

DAFTAR PUSTAKA

Astini, M., & Utina, T. (2007). Tari Pendet Sebagai Tari Balih-Balihan ( Kajian Koreografi) (Pendet Dance as Welcome Dance Coreography Research).

Harmonia Journal of Arts Research and Education, 8(2), 170–179.

Darmawan, D., Alamsyah, T. ., & Rosmilawati, I. (2020). Participatory Learning and Action untuk Menumbuhkan Quality of Life pada Kelompok Keluarga Harapan di Kota Serang. Journal of Nonformal Education and Community Empowerment, 4(2), 160–169. https://doi.org/10.15294/pls.v4i2.41400

Desa, D. I., Agung, W., Tengah, K. D., Waleleng, G. J., & Tampi, J. R. (2015). Dalam Kehidupan Masyarakat Etnis Bali Oleh : Ni Kadek Putri Noviasi Sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari kehidupan manusia dalam masyarakat sangat beragam kajiannya , seperti menjelaskan tentang Status Sosial , Budaya Sosial , Stratifikasi Sosial , ter. 4(3), 1–10.

(13)

410

Dewi, I. A. M. S. (2019). Evaluasi Pembelajaran (U. Press (ed.)). unhi press.

Hidayati, L. (2020). Strategi pengendalian mutu program pendidikan nonformal dan informal pada saat pandemic covid-19. Jurnal Pendidikan Ilmiah, 6(4), 151–155.

https://jurnal.uns.ac.id/jpi/article/view/50062

Kadariah, K. (2018). Penerapan Strategi Pembelajaran Aktif Tipe Everyone Is a Teacher Here (Eth) Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas V Sd Inpres Btn Pemda Kota Makassar. JEKPEND: Jurnal Ekonomi Dan Pendidikan, 1(2), 15. https://doi.org/10.26858/jekpend.v1i2.7261

Nilasari, E., Adrian, Y., & Susanto, R. (2018). Pembelajaran Tematik Berbasis Kontekstual di SD Muhammadiyah 9 Malang. Jurnal Teori Dan Praksis Pembelajaran IPS, 3(1), 19–26. https://doi.org/10.17977/um022v3i12018p019 Park, H., Kim, Y., & Jeong, S. (2019). The effect of a science festival for special

education students on communicating science. Asia-Pacific Science Education, 5(1). https://doi.org/10.1186/s41029-018-0029-0

Rondhi, M. (2014). Fungsi Seni bagi Kehidupan Manusia: Kajian Teoretik. Imajinasi:

Jurnal Seni, VIII(2), 115–128.

Sakti, S. A. (2021). Persepsi Orang Tua Siswa terhadap Pembelajaran Daring pada Masa Pandemi Covid 19 di Yogyakarta. Jurnal Obsesi : Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 6(1), 73–81. https://doi.org/10.31004/obsesi.v6i1.804

Sutrianti, N. K. (2019). Pengelolaan Pendidikan Keagamaan Hindu di Yayasan Pasraman Gurukula Bangli Provinsi Bali. Satya Widya: Jurnal Studi Agama, 2(2), 41–53. https://doi.org/10.33363/swjsa.v2i2.351

Utami, I., Khansa, A. M., & Devianti, E. (2020). Analisis Pembentukan Karakter Siswa di SDN Tangerang 15. Fondatia, 4(1), 158–179.

https://doi.org/10.36088/fondatia.v4i1.466

Yamin, M., & Syahrir, S. (2020). Pembangunan Pendidikan Merdeka Belajar (Telaah Metode Pembelajaran). Jurnal Ilmiah Mandala Education, 6(1), 126–136.

https://doi.org/10.36312/jime.v6i1.1121

Yannier, N., Hudson, S. E., Koedinger, K. R., Hirsh-Pasek, K., Golinkoff, R. M., Munakata, Y., Doebel, S., Schwartz, D. L., Deslauriers, L., McCarty, L., Callaghan, K., Theobald, E. J., Freeman, S., Cooper, K. M., & Brownell, S. E.

(2021). Active learning: “Hands-on” meets “minds-on.” Science, 374(6563), 26–

30. https://doi.org/10.1126/science.abj9957

(14)

411

LAMPIRAN

Dokumentasi Kegiatan

Gambar 1. Proses komunikasi pelatih dengan siswa

Gambar 2, Proses siswa berlatih memimpin di depan siswa lain

Gambar 3. Proses latihan tari dengan contoh dari pelatih

(15)

412

Gambar 4. Proses peneliti pendidikan PGSD UKSW datang dan berkoordinasi dengan siswa

Gambar 5. Proses pengembangan bakat siswa dengan praktek

(16)

413

Gambar 6. Festival Seni bersama siswa, pelatih dan peneliti PGSD UKSW

Referensi

Dokumen terkait