Conference Conference Conference
Conference Proceeding Proceeding Proceeding Proceeding
5
5 5
5
ththththNational National National National Conference Conference Conference Conference Community Based Disaster Risk Community Based Disaster Risk Community Based Disaster Risk
Community Based Disaster Risk Reduction Reduction Reduction Reduction ((((Konferensi Nasional Pengurangan Risiko Konferensi Nasional Pengurangan Risiko Konferensi Nasional Pengurangan Risiko Konferensi Nasional Pengurangan Risiko
Bencana Berbasis Komunitas V Bencana Berbasis Komunitas V Bencana Berbasis Komunitas V Bencana Berbasis Komunitas V))))
Theme Theme Theme Theme
The Roles of Community Based Approach for Disaster The Roles of Community Based Approach for Disaster The Roles of Community Based Approach for Disaster The Roles of Community Based Approach for Disaster
Risk Reduction and Climate Chang Risk Reduction and Climate Chang Risk Reduction and Climate Chang
Risk Reduction and Climate Change Adaptation in e Adaptation in e Adaptation in e Adaptation in Indonesia.
Indonesia. Indonesia.
Indonesia.
Makassar, Makassar, Makassar,
Makassar, Indonesia Indonesia Indonesia Indonesia 5
5 5
5 ---- 8 Oktober 2009 8 Oktober 2009 8 Oktober 2009 8 Oktober 2009
ISSN:
ISSN:
ISSN:
ISSN: 2086 2086 2086 2086----1443 1443 1443 1443
Editor:
Editor: Editor:
Editor:
Jonatan Lassa
Jonatan Lassa
Jonatan Lassa
Jonatan Lassa
Conference Conference Conference
Conference Proceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V Indonesia ii Judul: Roles of Community Based Approach for Disaster Risk Reduction and Climate Change Adaptation in Indonesia. 5th National Conference
Community Based Disaster Risk Reduction (Konferensi Nasional Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas V)
Editor: Jonatan Lassa
Diterbitkan pertama kali oleh MPBI Jakarta 2009
Atas kerja sama dengan Oxfam, SC-DRR dan BNPB
Tidak dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh buku ini dalam bentuk apapun (seperti cetakan, fotokopi, mikrofilm, VCD, CD - Rom, dan rekaman suara) tanpa izin penulis maupun dari penerbit.
Cetakan Pertama: November 2009
Conference Conference Conference
Conference Proceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V Indonesia iii
Table of Contents Table of Contents Table of Contents Table of Contents
Table of Contents Table of Contents Table of Contents
Table of Contents... ii Daftar Singkatan ... v Editor’s Note [English Version]... 1 Pengantar Editor Bahasa Indonesia
Pengantar Editor Bahasa Indonesia Pengantar Editor Bahasa Indonesia
Pengantar Editor Bahasa Indonesia... 5 Sambutan Sekjen Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia
Sambutan Sekjen Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia Sambutan Sekjen Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia
Sambutan Sekjen Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia... 10 Sambutan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Nasional... 13 Bagian I: PRBBK sebagai sebuah Gerakan
Bagian I: PRBBK sebagai sebuah Gerakan Bagian I: PRBBK sebagai sebuah Gerakan
Bagian I: PRBBK sebagai sebuah Gerakan –––– Peran Internal Peran Internal Peran Internal Peran Internal... 14 1. Ketahanan masyarakat terhadap risiko bencana dalam iklim yang
berubah - Dr. Eko Teguh Paripurno... 14 2. PRBBK Dalam Gerakan Masyarakat Adat - Drs. Yunus Jefri Ukru... 16 3. PRBBK dan Penghidupan Berkelanjutan: Catatan Pengalaman
Lapangan PMPB Kupang - Yulius Nakmofa... 19 4. Kerangka Ruang-Waktu Orang Biasa vs. Kerangka Ruang-Waktu
Institusional: Titik-Buta Dalam Memperlakukan Tamatnya Ketetapan Iklim dan Bencana Sosial-Ekologis Pada Umumnya – Dr. Hendro Sangkoyo... 24 Bagian II:
Bagian II:
Bagian II:
Bagian II: PRBBK sebagaPRBBK sebagaPRBBK sebagaPRBBK sebagai sebuah Gerakan i sebuah Gerakan i sebuah Gerakan –i sebuah Gerakan ––– Peran Eksternal Peran Eksternal Peran Eksternal Peran Eksternal... 25 5.
5.
5.
5. Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas Dalam Kebijakan Perencanaan, Pendanaan & Pelaksanaan Pembangunan - Dr. Suprayoga Hadi... 25 6. Peranan Pemerintah Daerah Dalam Pengurangan Risiko Bencana
Berbasis Komunitas (PRBBK) - Moh Roem... 30 7. Pembiayaan Dalam Pengurangan Resiko Bencana - Samsul Widodo... 35 8. Pengurangan Resiko Bencana Akibat Perubahan Iklim di Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil - Dr. Subandono Diposaptono... 40 9. Peranan BMKG Dalam Antisipasi Dampak Pemanasan Global dan
Perubahan Iklim – Ir. Kartiaman-Damanik... 44 Bagian III:
Bagian III:
Bagian III:
Bagian III: PRBBK dalam konteks perubahan iklimPRBBK dalam konteks perubahan iklimPRBBK dalam konteks perubahan iklimPRBBK dalam konteks perubahan iklim... 46 10. Pengalaman Petani Sawah Dalam Mengelola Resiko Perubahan Iklim:
Studi Kasus Kelompok Tani Sido Makmur Desa Baturejo Kecamatan
Sukolilo Kabupaten Pati Jawa Tengah - Tanto Pursidi... 46 11. Pengalaman Adaptasi Masyarakat NTT Dalam Iklim Yang Berubah: Suara Akar Rumput - Dikumpulkan PMPB Kupang... 48 12. Studi Kasus Pengalaman Program “Community Awareness” Palang Merah
Indonesia di Jakarta Utara... 52
Conference Conference Conference
Conference Proceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V Indonesia iv
Bagian IV Diskusi Kelompok Terarah... 54
13. Diskusi I: Memperkuat Peran Perguruan Tinggi dalam Gerakan PRBBK... 54
14. Diskusi II: Memperkuat Peran Media dalam Membangun Gerakan PRBBK ... 56
15. Diskusi III Memperkuat peran dunia usaha dalam membangun gerakan PRBBK... 58
16. Diskusi IV Memperkuat Peran Masyarakat Sipil dalam Gerakan PRBBK ... 60
17. Diskusi V Memperkuat Peran Lembaga Internasional Dalam Gerakan PRBBK... 61
18. Diskusi VI Memperkuat peran pemerintah desa dalam gerakan PRBBK ... 63
Bagian V. Diskusi Rencana Tindak Lanjut... 67
19. RTL Buku PRBBK – Gap Analysis and What Next?... 67
20. RTL Konfrensi Kelompok Masyarakat ... 68
21. RTL Agenda symposium PRBBK VI... 70
22. RTL Pemerintah Dalam Penanggulangan Bencana ... 72
23. RTL Kelompok NGOs / INGOs ... 73
Lampiran 1. Daftar Agenda Final Konferensi PRBBK V, Makasar, Indonesia ... 76
Serial Indonesian CBDRR Conference Proceeding Publication ISSN: 2086-1443 ... 1
Conference Conference Conference
Conference Proceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V Indonesia v
Daftar Singkatan
API: Adaptasi Perubahan Iklim
APBD: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBN: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara BNPB: Badan Nasional Penanggulangan Bencana BPBD: Badan Penanggulangan Bencana Daerah
BMKG: Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika CBDM: Community Base Disaster Management
CBDRM: Community Based Disaster Risk Management CBDRR: Community Based Disaster Risk Reduction CCA: Climate change adaptation
CSOs: Civil Society Organisations
CVA: Capacity and Vulnerability Analysis
DREAM: Disaster Research, Education & Management HCVA: Hazard, Capacity and Vulnerability Analysis HfA: Hyogo Framework for Action
LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat
MPBI: Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia Musrenbangdes: Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa
Musrenbangcam: Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kecamatan Musrenbangkab: Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kabupaten PRA: Participatory Rural Appraisal
PB: Penanggulangan Bencana
PMPB: Perhimpunan Masyarakat Peduli Bencana Kupang PRB: Pengurangan Risiko Bencana
PRBBK: Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas PBBK: Penanganan Bencana Berbasis Komunitas
RAD: Rencana Aksi Daerah RAN: Rencana Aksi Nasional
RAN PRB: Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana RRA: Relaxed/Rapid Rural Appraisal
RPJMD: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RPJMN: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJP: Rencana Pembangunan Jangka Panjang
SIBAT: Siaga Bencana Berbasis Masyarakat SKPD: Satuan Kerja Perangkat Daerah SOP: Standar Operasional dan Prosedur
UN-ISDR: United Nations International Strategy for Disaster Reduction UU PB: Undang-Undang Penanggulangan Bencana
UU KN: Undang Undang Keuangan Negara
UU SPPN: Undang Undang Perencanaan Pembangunan Nasional WHO: World Health Organization
WP3K: Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Conference Conference Conference
Conference Proceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V Indonesia 1
Editor’s Note [English Version]
Continuity is series of discontinuity, some may say it. In the context of promoting community based approach for disaster risk reduction (CBDRR), ideally, the continuity should take place at various levels such as experience, understanding, networks, actors, information, data, knowledge, case studies, concepts, models, theories and issue. It can be concluded (temporarily) that such continuity has been taking place in Indonesia.
The topic of fifth Indonesian community based disaster risk reduction (CBDRR) Conference i.e. the roles of community based approach in disaster risk reduction and climate change adaptation was not necessarily designed in advanced long enough. It was even not clear a year ago according to backstory. Therefore, it is obvious that the fifth conference was not necessarily a continuation of the previous CBDRR
Symposium/Conference. The central topic of the fifth conference is on the relevancy of the CBDRR as strategic tools for disaster risk reduction and climate change adaptation. In the fourth CBDRR Symposium/Conference, the actors focused on the challenges and opportunities of the institutionalization of CBDRR in Indonesia – with only one
workshop on climate change adaptation. The arrival at the CBDRR and climate change adaptation is off course both direct and indirect processes at local and international level that currently being discussed prior to the Conference of Parties 15th Meetings of United Nations Framework Convention on Climate Change in Copenhagen, December 2009.
Remembering back to the 2004 where this multi-stakeholder, multi-disciplinary CBDRR conference was firstly conducted, as reflected by Mr. Banu Subagio - one of the
facilitators in this conference, indeed there has been a great deal of snowball effects. The involvement of actors from the 1-5 CBDRR Symposium/Conference are getting more diverse, involving more and more people and organizations/institutions, including the representation of at risk communities. This clearly shows one aspect of continuity.
A few answers to the question “What has been achieved or gained from the event,” from the attendees representing the local communities as admitted in the 5th CBDRR
Conference, is that there is “synergy amongst stakeholders, there is common views on the principle that grass roots community as the main agents/actors clearly shown the
conference participants admittance on CBDRR." (See page 68-69).
Hot but constructive discussion on the basic principles re-raised again in this conference, as repetition of the same concern in the previous CBDRR conferences. It can be
summarized that there should be some sort of ′unshakeable' principles towards the
continuity (and ideally sustainability) of the CBDRR practice. In this editorial comment, I cite again the results from the second CBDRR Symposium/Conference in 2006,
especially on the agreed principles of CBDRR that become a concern of fifth CBDRR Conference in Makassar October 2009.
The repetition can be illustrated as a spiral staircase, upward arrow of time as an
indication of progress, but still remain on the same coordinates with the same values and basic principles include: Independent and self-governance; Reduce existing vulnerability without creating new vulnerabilities; Integration with development cycle; Multi-sector approach, multi-disciplinary, and multi-cultural; Holistic approach; Participation by involving the vulnerable community from the planning up to the termination of the
Conference Conference Conference
Conference Proceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V Indonesia 2 program (strata, groups, gender); Empowerment. Not simply "back to normal" nor
previous vulnerability but better condition so that if the same threat come again, the same disaster does not re-occur; (See also in this proceeding presentation from Mr. Moh Roem, page 30)1 Do no harm approach; Partnership and Openness; Humanitarian Imperative.
Transparency, accountability, and commitment in community education.
The importance of institutionalizing or mainstreaming CBDRR in development context in all levels of governance both at the governmental bodies (vertically from the national to the village level, as well as horizontally at the level of working units at the district), at non-governmental organizations, academics, and the community themselves had been mainly discussed in the 4th symposium CBDRR (2008 ) in Bali were also re-raised again in the 5th Conference.
Results from the previous conference/symposium was very inspiring as it advocated a balance views of both macro-micro approach of the integrating the CBDRR within developmental context. This marks a paradigm shift as historically, at least during its first development in Indonesia in 1990s, the mainstream proponents of CBDRR tend to view CBDRR as merely a micro-scale application at village community level. Now, CBDRR is seen as an approach that can be utilized at both macro and micro level. CBDRR may take place at multiple units, ranging from the scale of the village community to indigenous communities (see the presentation, Mr. Ukru, page 16). However, it is not a clear-cut conclusion, as the actors did not really define the limit of macro and micro level. Macro level is often loosely interpreted either as national level or aggregate of smaller unit.
CBDRR is illustrated as one of the most important pillars for Disaster Risk Management and Adaptation to Climate Change in Indonesia, besides the other pillars such as public- private partnerships, the role of formal organization at the national level, the role of education, knowledge and technology and legal rules (see Figure A, page 8.)
The challenges of CBDRR institutionalization in the context of adaptation to climate change faced by the government has not changed much in comparison with the fourth CBDRR conference. The list may however be increasingly added. This can be clearly seen from several slides presented by Suprayogo Hadi (page 25 – the content is relatively similar to his presentation at the Symposium CBDRR IV Year 2008). Widodo’s
presentation on Financing Disaster Risk Reduction (p. 35) contains challenges and opportunities of CBDRR financing in the future, including in the context of CBDRR as emerging tools for the climate change adaptation mechanism.
An annual CBDRR conference may not directly solve complex problems exist in the society. It is however important to note that there is a need for serious research about learning the anatomy of institutional landscape related to CBDRR for future risk reduction under our changing climate. The speech from the head of BNPB in fourth CBDRR Symposium Bali in 2008, honestly stated, "regional autonomy is both well and rapidly developed at the scale where often the local regencies view their areas as their own” – thus give little space for the national agency to intervene for better disaster management policy. This sense of frustration is very likely to continuously be shared and
1 Please see Sara Longwe’s empowerment concepts such as Welfare concern, access, concretization, participation and control in decision making power – Please see Candida March, Inés A. Smyth dan Maitrayee Mukhopadhyay (1999) A Guide to Gender Analysis Frameworks, Oxford: Oxfam
Conference Conference Conference
Conference Proceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V Indonesia 3 discussed in the future CBDRR conference. Nevertheless, we need to hearthfully and mindfully learn from case studies based smart practices and lessons learnt of CBDRR under Indonesia’s big boom decentralization. See Figure A in page 8. Illustration of CBDRR as one of the most important pillars in the national disaster management system - see red characters.
Another critical notes from the Head of BNPB - Dr. Syamsul Ma'arif in Bali in 2008 can be selectively summarized as follows: in the context of regional autonomy, a disaster may turn out to be a political arena in the context of elections. This statement needs to more investigation and reflection on the linkages of disasters and local politics. There is still limited understanding on the prospects CBDRR in the annual budget cycle and the dynamics of local politics in the regency levels.
Dr. Ma'arif noted that there was no earmarked CCA budget for BNPB as of 2008. In his address read by the Deputy of BNPB in Makassar in CBDRR V Conference 2009 (page 13), it was unfortunately no information on the progress regarding climate change adaptation in BNPB office. In this proceeding, Nakmofa (page 19) and Diposaptono (p.
40), Pursidi (p. 46) and Indonesian Red Cross (p. 50) showed a few empirical examples on pioneering works on community based disaster risk reduction and climate change adaptation in Indonesia. Rich experiences in the grass-roots communities as indicated by Ukru (the context of indigenous knowledge in Moluccas), Nakmofa (West Timor
context)2 and Pursidi (Central Java context) and Indonesian Red Cross (Jakarta context) showed that in reality the grass roots community integrate the issue of disaster risk reduction agenda and their livelihoods as integral part of livelihood capital management.
Since CBDRR paradigm is also influenced by both specialized professional and academic worlds, the separation of DRR, climate change adaptation,natural resource management and livelihood assets management was unavoidable for good reason i.e. simplification of complex reality in order to understand the real world. In contrast, the grassroots,
especially the households do not really separate these activities as in the professional communities as well as the academic tribes3. The challenge is that due to the conceptual hegemony by professionals and academics specialization, the simplification will have to pay the cost for having partial approach that may not bring sustainable reduction of vulnerablilty of the grassroots.
This editorial may look strange to the English readers, as almost no papers have
bibliography or academic reference. These papers may serve as a direct reflection of the actors in the field. In addition, no full papers available, therefore, the editor should summarize all the slides and notes. This clearly shows that the conference may still dominate by practitioners as seen from its very first conference in 2004. There is a short explanation from the General Secretary of MPBI that the shift from symposium format to the conference format in 2009 in itself signals the call for academic papers as well. This expectation will be likely to be fulfilled in coming years as some new disaster studies centers just emerged in Indonesian universities. A few academics also attended the forum
2 More detail notes on the experience is available from http://ntt-academia.org/nttstudies/Nakmofa2009.pdf - last access on 20 Nov 2009.
3 See Becher, Tony and Trowler, Paul R. (2001) Academic Tribes and Territories: Intellectual enquiry and the culture of disciplines. Open University Press.
Conference Conference Conference
Conference Proceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V Indonesia 4 during the last two years, however the challenges may remains the same that little
research grants is available to local universities as every stakeholder tends to use their own existing conventional paths of doing research and development. Mutual trust remains the issue in the future.
Parallel Group Discussion was divided into 6 groups with the main question to be answered: what are the capacity development agenda needed for each stakeholders:
universities, media, business, civil society organizations, INGOs / donors and the local government. This introductory note will not discuss all the points in the groups/papers.
However, there is an interesting case regarding the role of the media (see p. 58) by the group discussants - reflected the internal constraints of the media to promote CBDRR such as (a) internal management policy is profit-oriented as well as the view that DRR is a rubric that does not have good market. (b) Lack of the capacity of journalists in the issues disaster and no journalist specializing in issues of disasters (c) Lack of
communication and engagement DRR advocates with the media. Point (c) may have come from the perception of activists or academia who do not value media's role not only in raising awareness about CBDRR, but also as risk communicators for general disaster risk issues (either to amplify or attenuate certain disaster risk including climate change impacts). Point (a) and (b) may arise from inadequate understanding of DRR advocates to see the media as potential DRR advocate as well. There is rather anecdotal evidence that needs further investigation why Indonesia media were quite interested in broadcasting topics of climate change issues but less interested in disaster risk reduction?
In some ways or another, the role of this forum should be celebrated as a great success as it has served as forum of exchanges of ideas, experiences, know-how knowledge,
information and data as well. The emergence of commitment of parties generated in the conference, such as the commitment of the Provincial Government of Maluku Province, South Sulawesi and Central Sulawesi in providing diverse targets (with different quality) for the next year policy change, clearly shows that the future of this forum will encourage positive changes in various levels.
Editor,
Jonathan Lassa,
Bonn, Germany, November 2009
Conference Conference Conference
Conference Proceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V Indonesia 5
P P P
Pengantar Editor engantar Editor engantar Editor engantar Editor Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia
Kontinuitas dapat dilihat sebagai serial diskontinuitas. Idealnya kontinuitas atau
kelanjutan pertambahan yang dibayangkan terjadi pada berbagai aras seperti pengalaman, pemahaman, jaringan, aktor, informasi, data, pengetahuan, studi kasus, konsep, model, teori dan issue. Dalam hal ini, Topik tentang Konferensi PRBBK V tidak didisain atau tidak dibayangkan jauh hari sejak Simposium PRBBK I. Bahkan tidak dibayangkan satu tahun yang lalu. Dalam konteks ini Konferensi PRBBK V, tidak secara sengaja dirancang sebagai kelanjutan dari Simposium PRBBK IV yang berbicara tentang Pelembagaan PRBBK di Indonesia lalu tiba pada topik adaptasi perubahan iklim.
Terdapat proses-proses yang bersifat mendesak diberbagai aras termasuk internasional yang mempengaruhi pendekatan PRBBK. Tetapi dari sisi aktor, seperti dalam komentar Banu Subagio, salah satu fasilitator dalam konferensi ini, bahwa telah terjadi efek bola salju, dengan melihat keterlibatan aktor dari Simposium PRBBK I-IV dan Konferensi PRBBK V, dimana semakin jamak, semakin banyak (orang dan lembaga baik
pemerintahan, maupun non-pemerintah serta komunitas). Ditingkat ini, terjadi kontinuitas.4
Dalam ringkasan “apa yang sudah di dapat” oleh komunitas akar rumput yang hadir dalam Konferensi PRBBK V bahwa singkatnya, yang didapatkan dalam konferensi nasional PRBBK adalah sinergitas, prinsip masyarakat sebagai pelaku utama, serta pengakuan kapasitas masyarakat akar rumput (Lihat halaman 68).
Untuk menjamin kelanjutan (kontinuitas) demi keberlanjutan (sustainabilitas) diperlukan prinsip-prinsip dasar dan nilai-nilai PRBBK yang relatif tidak banyak berubah dan terus dimurnikan. Dalam Simposium PRBBK II tahun 2006, dirumuskan beberapa prinsip dasar yang terus diulangi dalam Konferensi V PRBBK 2009 di Makasar. Pengulangan ini ibarat tangga spiral di mana kita boleh bergerak bersama waktu untuk “naik” atau “maju”
sebagai indikasi perkembangan, namun tetap berada pada koordinat nilai yang sama atau diharapkan kokoh. Prinsip-prinsip dasar tersebut antara lain
• Kemandirian – pihak luar sebagai fasilitator yang melakukan upaya pengurangan bencana bersama komunitas di kawasan rawan bencana agar selanjutnya
komunitas itu sendiri mampu mengelola bencana secara mandiri dan bukan sebaliknya bergantung kepada pihak luar.
• Mengurangi kerentanan tanpa menciptakan kerentanan baru. Menghindari munculnya kerentanan baru dan ketergantungan komunitas di kawasan rawan bencana pada pihak luar/lain; Tindakan-tindakan PRBBK bukan merupakan
4 Lihat penjelasan perubahan nama dari Simposium menjadi Konferensi di Hal. 10. Penulis melihat kedua terminologi tersebut tumpang tindih. Sedangkan natur dari event reguler nasional untuk PRBBK ini tidak mengalami perubahan bentuk. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III 2005, Simposium berarti Pertemuan dengan beberapa pembicara yang mengemukakan pidato singkat tentang topik tertentu atau beberapa aspek dari topik yang sama – hal 1068.
Konferensi berarti rapat atau pertemuan untuk berunding atau bertukar pendapat mengenai suatu masalah yang dihadapi bersama. Hal 586. Terlihat dari definisi ini KBBI 2005 terdapat perbedaan dengan pengertian tradisi academic conference ataupun multi-disciplinary atau multi-stakeholder conference dalam bahasa Inggris. Nature dari Konferensi V secara esensial merupakan bentuk Simposium dalam pemahaman KBBI 2005.
Conference Conference Conference
Conference Proceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V Indonesia 6 tindakan risk transfer ibarat penguatan tebing pada desa yang satu yang lebih kaya karena mampu mengalihkan banjir pada desa yang lain yang lebih miskin.
• Integrasi ke dalam sistim pembangunan. Penanggulangan bencana merupakan bagian tak terpisahkan dari proses pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam untuk keberlanjutan kehidupan komunitas di kawasan rawan bencana;
• Pendekatan multisektor, multi-disiplin, dan multi-budaya;5
• Holistik. Pendekatan yang holistik melalui keseluruhan tahapan sistim
manajemen bencana dan terintegrasi dengan sistim penghidupan masyarakat akar rumput.
• Partisipatif. Melibatkan masyarakat sejak perencanaan hingga pengakhiran program (strata, kelompok, gender); Mengutamakan peran dan partisipasi masyarakat (lokal) dalam menghadapi bencana
• Pemberdayaan. Bukan sekedar “kembali ke normal” yakni pada kerentanan sebelumnya tetapi pada kondisi yang tidak rentan agar bila ancaman yang sama datang lagi, bencana yang sama tidak kembali terjadi;6 (Lihat presentasi Moh Roem, halaman 30)
• Do no harm. Tidak merusak sistem lestari yang sudah ada, termasuk
kepercayaan/tradisi tempatan yang menunjang prinsip-prinsip positif di atas;
Tidak merusak tatanan yang damai dengan membuat konflik karena perbedaan kepentingan dalam komunitas.
• Kemitraan. Menjunjung prinsip kemitraan dengan pihak lokal dalam intervensi dari pihak luar (donor, pemerintah maupun Ornop).
• Keterbukaan. Membuka diri untuk bekerjasama dengan pihak lain;
• Humanitarian Imperative. Kerja kemanusiaan bukan karena budi baik tapi berbasis hak dan harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyararakat,
• Transparansi dan akuntabilitas. Penekanan pada nilai-nilai transparansi,
kepercayaan dan hubungan timbal balik dan bersifat non profit. Akuntibilitas pada komunitas akar rumput dan multi-pihak.
• Edukasi. Menekankan keterlibatan dalam program edukasi ke masyarakat;
Prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar PRBBK kembali disinggung dan menjadi topik diskusi kelompok yang hangat (lihat Diskusi IV “memperkuat peran masyarakat sipil dalam gerakan PRBBK”, Diskusi V “memperkuat peran lembaga internasional dalam gerakan PRBBK” dan Diskusi VI “Memperkuat peran pemerintah desa dalam gerakan PRBBK”). Hal ini menandai ketepatan ilustrasi spiral dalam fokus PRBBK, yakni dengan secara berulang, karena pentingnya sebagai fondasi, menegaskan ulang prinsip dan nilai- nilai terutama ketika ada niat untuk membuat standarisasi praktek PRBBK di Indonesia.
5 Dalam bahasa yang lebih akademis, kualitas multi-disiplin perlu pengkayaan antara disiplin (antar disiplin) yang berujung pada transformasi disiplin antara berbagai pelaku maupun bidang ilmu (transdisiplinary)
6 Dalam analisis Sara Longwe, aspek pemberdayaan memiliki 5 fase yakni dari aspek Welfare (kebutuhan dasar- praktis), fase akses, fase kesadaran kritis, partisipasi dan control atas pengambilan keputusan. Lihat Candida March, Inés A. Smyth dan Maitrayee Mukhopadhyay (1999) A Guide to Gender Analysis Frameworks, Oxford: Oxfam. Lihat juga persepsi Kementrian Dalam Negeri dalam presentasi Moh Roem dalam proceeding ini.
Conference Conference Conference
Conference Proceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V Indonesia 7 Pentingnya pelembagaan atau pengarusutamaan PRBBK di banyak aras baik pemerintah (secara vertikal dari pusat hingga desa, maupun dilevel horizontal seperti sesama Satuan Kerja Perangkat Daerah di Kabupaten), organisasi non-pemerintah, akademisi, hingga komunitas itu sendiri merupakan tema dari Simposium PRBBK IV (2008) di Bali dengan tema Pelembagaan PRBBK. Hasil PRBBK IV memberikan inspirasi bahwa pendekatan makro, di mana PRBBK perlu ditempatkan secara memadai dalam advokasi kebijakan pengelolaan risiko bencana nasional berujung pada ditampilkannya Gambar A, sebagai ilustrasi bahwa PRBBK perlu menjadi salah satu pilar utama yang penting dalam sistim penanggulangan bencana nasional.
Hal ini menandai perubahan paradigma yang awalnya, dari sisi historis di Indonesia, PRBBK lebih dilihat sebagai pendekatan mikro dalam skala komunitas desa semata.
Dapat disimpulkan bahwa telah terjadi pergeseran paradigma yang melihat PRBBK sebagai pendekatan yang bisa bersifat makro7 maupun mikro. Pendekatan mikro, tentunya memiliki satuan yang jamak, mulai dari skala komunitas desa, ataupun komunitas adat (lihat presentasi Drs. Yunus Ukru, halaman 16) ataupun masyarakat secara umum.
Tantangan-tantangan pelembagaan PRBBK dalam konteks adaptasi perubahan iklim yang dihadapi oleh pemerintah tidak banyak berubah. Daftarnya mungkin bisa
bertambah. Hal ini terlihat dari beberapa point yang dipresentasikan oleh Suprayogo Hadi (halaman 25) yang relatif sama dengan presentasinya di Simposium PRBBK IV Tahun 2008. Presentasi Samsul Widodo tentang Pembiayaan Dalam Pengurangan Resiko Bencana (hal. 35) mengandung tantangan pedanaan PRBBK di masa yang akan datang, termasuk peluang PRBBK dalam konteks ‘prospek’ pendanaan adaptasi perubahan iklim di masa yang akan datang. Dalam hal ini, konferensi ataupun simposium PRBBK tahunan tidak secara langsung menyedikan solusi konseptual terhadap kompleksitas masalah/
tantangan, sebaliknya, diharapkan agar ke depan, terdapat penelitian serius tentang pembelajaran dan anatomi dari persoalan kelembagaan berkaitan dengan PRBBK.
Menegaskan kembali pandangan Kepala BNPB dalam Sambutan di Bali Tahun 2008 dalam Simposium PRBBK IV, yakni bahwa “Otonomi daerah berkembang dengan baik dan pesat tetapi daerah merasa menjadi miliknya sendiri. Sebagai BNPB bahkan tidak bisa masuk ke daerah.” Frustasi ini masih menjadi frustrasi berbagai pihak dan akan terus menjadi isu dalam konferensi-konferensi PRBBK di masa yang akan datang dengan harapan ada pembelajaran atas praktek cerdas maupun pembelajaran dari berbagai hambatan-hambatan yang terjadi.
Sambutan kritis dari Kepala BNPB – Dr Syamsul Ma'arif di Bali tahun 2008 dapat diringkaskan secara selektif tercatat sebagai berikut yakni bahwa dalam konteks otonomi daerah, bencana sebagai arena politik dalam konteks Pilkada. Hal ini mengindikasikan bagaimana nantinya akademisi maupun praktisi mencoba menjawab persoalan berkaitan bencana dan politik lokal serta prospek PRBBK dalam daur APBD di daerah. “Dalam kaitan dengan perubahan iklim, adaptasi belum ada di anggaran manapun dan bahwa Adaptasi Climate Change oleh BNPB pun belum ada anggarananya.” Sayang, di dalam
7 Yakni yang bukan sekedar agregat dari pendekatan mikro atau skala komunitas yang lebih luas, tetapi mencakup perluasan definisi tentang masyarakat atau komunitas itu sendiri.
Conference Conference Conference
Conference Proceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V Indonesia 8 sambutan Kepala BNPB yang dibacakan di Makasar dalam Konferensi V PRBBK 2009, tidak diberikan keterangan berkaitan adaptasi perubahan iklim dalam BNPB.
Gambar A. Ilustrasi PRBBK Sebagai Pilar Sistim Management Risiko Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia, disamping pilar lainnya seperti kemitraan pemerintah-swasta, peran organisasi formal di tingkat nasional, peran pendidikan, pengetahuan dan teknologi serta aturan-aturan hukum.
Sebagai kilas balik, Simposium PRBBK I (2004) di Jakarta Deklarasi Cikini sebagai sebuah awal dengan peserta yang terbatas, memulai dengan membuat potret sederhana Gerakan PRBBK di Indonesia. Simposium PRBBK II (2005) di Jogjakarta, difokuskan pada metode dan kerangka kerja serta prinsip-prinsip PRBBK. Simposium PRBBK III (2007) di Jakarta difokuskan pada Strategi Utama Dalam PRBBK Nasional. Dalam Konferensi PRBBK V di Makasar, rekaman diskusi berbagai unsur menunjukan kutup- kutup kepentingan para aktor baik yang lebih suka menekankan pentingnya alat-alat PRBBK yang operasional, maupun yang bersifat konseptual teoritis. Dari penekanan pada kebijakan hingga yang bersifat praktek langsung oleh komunitas.
Konferensi PRBBK V (2009) di Makasar disetujui tema utama yakni Integrasi PRBBK dan Adaptasi Perubahan Iklim. Topik Perubahan Iklim dan PRBBK mendapat porsi pembahasan kelompok pada Simposium PRBBK IV di Bali. Tahun ini, topik pada adaptasi perubahan iklim telah menampilkan berbagai praktek-praktek PRBBK yang diredefinisi ulang sebagai bentuk adaptasi perubahan iklim (Lihat tulisan Nakmofa hal 19 dan Diposaptono hal 40).
Pengalaman-pengalaman yang kaya dalam masyarakat akar rumput sebagaimana
ditunjukan oleh Ukru, Nakmofa dan Pursidi serta PMI Jakarta, menunjukan bahwa dalam realitas akar rumput, agenda pengurangan risiko bencana selalu terintegrasi dengan agenda penghidupan (livelihood)8 baik soal pengelolaan asset dan ruang maupun sumber daya alam dan lingkungan, serta berbagai aspek pangan, sandang dan papan.
8 Konsep Penghidupan Berkelanjutan bermakna bahwa suatu unit keluarga atau komunitas tertentu melangsungkan hidup dan penghidupannya dengan bertumpu pada berbagai asset yang dimilikinya atau yang secara materil dan imaterial. Aset-aset tersebut meliputi modal sosial, modal manusia (SDM), modal finansial ekonomi, modal sumber daya alam dan lingkungan serta modal fisik infrastruktur. Tetapi akses pada modal-modal tersebut kerap dimodifikasi
Conference Conference Conference
Conference Proceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V Indonesia 9 Karena dunia PRBBK juga dipengaruhi oleh dunia profesional yang terspesialisasi, sering PRBBK dipisahkan dengan adaptasi perubahan iklim maupun pengelolaan sumber daya alam serta pengelolaan asset penghidupan (livelihood). Dalam konteks akar rumput khususnya dalam skala rumah tangga, PRB, adaptasi perubahan iklim maupun
pengelolaan berbagai macam asset penghidupan tidak dipisahkan. Tantangannya adalah dalam dunia yang dihegemoni oleh spesialisasi profesi dan akademis, PRB dan
penghidupan berkelanjutan secara semena-mena dipisahkan, pertama-tama untuk penyederhanaan realitas agar lebih gampang dimengerti, namun kemudian
penyederhanaan itu harus membayar harga yang mahal karena parsialitas pendekatan tidak membawa manfaat yang berkelanjutan bagi masyarakat yang rentan risiko bencana.
Diskusi Kelompok Minat terbagi dalam 6 kelompok dengan tema utama pengembagan kapasitas baik perguruan tinggi, media, dunia usaha, organisasi masyarakat Sipil,
INGOs/Donor maupun pemerintah. Dalam kaitan dengan peran media (lihat hal 56) oleh peserta diskusi dikemukakan bahwa salah satu hambatan komunikasi pentingnya PRBBK oleh media adalah (a) kebijakan manajemen media yang profit oriented maupun
pandangan bahwa PRB adalah rubrik yang tidak laku di mata pembaca. (b) Keterbatasan pengetahuan jurnalis terhadap isu PRBBK serta ketiadaan spesialisasi jurnalis dalam isu- isu PRB. (c) Kurangnya komunikasi maupun pelibatan pihak-pihak advokat PRB dengan media. Point (c) mungkin saja datang dari persepsi para pekerja advokat PRB yang tidak memadai tentang peran media bukan hanya dalam membangun kesadaran tentang PRBBK itu sendiri tetapi juga tentang bencana secara umum. Bila harus dilakukan otokritik, maka untuk (a) dan (b) merupakan indikasi lemahnya kapasitas para advokat PRB dalam melihat bahwa media pun adalah adovat PRB, disamping fakta bahwa
terdapat sedikit sekali intelektual publik kebencanaan di Indonesia, terutama yang berasal dari universitas-universitas di Indonesia maupun aktifis-aktifis organisasi non-pemerintah yang aktif di PRB dan yang berkehendak kuat menjadi intelektual publik PRB demi membangun wacana-wacana progresif tentang PRB. Relasi media dan aktor-aktor PRB lainnya dalam komunikasi risiko bencana merupakan topik yang perlu didalami dengan berbagai riset yang melibatkan semua pihak, dalam menjawab tantangan Kepala BNPB di Bali 2008 tentang “bagaimana mencari PRBBK yang genuine Indonesia.”
Dalam beberapa hal, peran forum ini perlu dirayakan sebagai suatu keberhasilan.
Munculnya komitmen dalam konferensi PRBBK V, seperti Pemerintah Daerah Propinsi Maluku, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah dalam memberikan target-target
perubahan agenda 1 tahun ke depan (walau tidak seragam) menunjukan bahwa ke depan forum ini dapat mendorong perubahan positif diberbagai aras termasuk tingkat
pemerintah daerah. Selamat Membaca Editor,
Jonatan Lassa, Bonn, Germany, November 2009
oleh peran relasi sosial (seperti gender, kelas ekonomi, umur, etnisitas, agama/ras), pengaruh kelembagaan (aturan, adat, kebiasaan, pasar) dan organisasi (seperti LSM/INGOs, administratur dan pemerintah dalam arti luas, lembaga agama seperti mesjid dan gereja dan organisasi keagamaan dalam arti luas) yang berada dalam konteks kerentanan (meliputi kejutan seperti bencana alam dan perang/konflik, maupun tren seperti krisis ekonomi, harga yang fluktuatif, pertumbuhan penduduk dan masalah kependudukan serta perubahan teknologi dan kebijakan makro). Sumber Saragih dkk (Forthcoming) Sustainable Livelihood dan Community Based Disaster Risk Reduction, Circle Indonesia.
Conference Conference Conference
Conference Proceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V Indonesia 10
Sambutan Sambutan Sambutan
Sambutan Sekjen Masyarakat Penanggulangan Bencana Sekjen Masyarakat Penanggulangan Bencana Sekjen Masyarakat Penanggulangan Bencana Sekjen Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia
Indonesia Indonesia Indonesia
Yth Bpk Syahrul Yasin Limpo, gubernur Sulawesi Selatan,
Yth para Bpk Ir. Sugeng Triutomo; Deputi Bidang Kesiapsiagaan dan Pencegahan Bencana Badan Nasional Penaggulangan Bencana, yang mewakili Kepala BNPB;
Yth Bpk Muh. Roem, Direktur Manajemen Pencegahan dan Penanggulangan Bencana;
Direktorat PUM Depdagri;
Bapak Ibu dari perwakilan Instansinya masing-masing;
Yth para Perwakilan Pemerintah Daerah lainnya yang hadir disini;
Para sahabat teman teman, praktisi, aktivitis Penanggulangan dan Pengurangan Bencana Berbasis Masyarakat
Assalamualaikum Warachmatullahi Wabarakatu! Salam sejahtera bagi kita semua!
Seperti kita ketahui bersama, miggu lalu telah terjadi lagi becana gempa bumi di Sumatra Barat yang menelan cukup banyak korban jiwa dan harta. Sejak Simposium PRBBK I-V, kita selalu dilalui oleh kejadian-kejadian bencana yang selalu membuka kembali
kesempatan bagi para profesional maupun akademisi untuk mendianosa ulang praktek maupun konsep pengurangan risiko, sekaligus menekankan relevansi pengurangan risiko bencana pada berbagai aras. Kiranya pengalaman dari bencana-bencana sejak gempa Alor, Papua hingga tsunami Aceh 2004 hingga Gempa Jawa Barat maupun Padang 2009 menjadi pembelajaran baik bagi kita dalam berbagai serial konferensi PRBBK di masa yang akan datang, tentang bagaimana masyarakat/komunitas bertahan dan mengelolah berbagai risiko secara lebih baik. Semoga pada kesempatan pertemuan ini kita semua dapat mengambil hikmah dan pelajaran bagaiman peran komunitas dapat ditingkatkan agar risiko kehilangan jiwa dan harta dapat dikurangi sebesar mungkin.
Merupakan kebanggaan tersendiri bagi kita semua bahwa sejak berdirinya MPBI pada tahun 2003 hingga hari ini kita dapat menyelenggarakan pertemuan Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas untuk kelima kalinya.
Banyak kemajuan yang telah dicapai melalui tahapan pertemuan tahunan ini.:
• Pertemuan pertama telah berhasil memetakan keberadaan PRBBK di Indonesia secara umum sebagai langkah awal.
• Pertemuan kedua kita sudah mulai Prinsip-Prinsip PRBBK dan perlunya penyamaan persepsi secara umum apa yang dimaksud dengan Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas.
• Pertemuan ketiga yang paling menonjol adalah keputusan bersama akan pentingnya sebuah bentuk Pedoman/orientasi umum bagaimana sebaiknya PRBBK dilaksanakan di bumi ibu pertiwi ini
Conference Conference Conference
Conference Proceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V Indonesia 11
• Pertemuan keempat di Bali lebih memfokuskan Pelembagaan PRBBK dan peranan dari masing masing Pemangku Kepentingan khususnya pemerintah dalam mendorong pelembagaan PRBBK dalam berbagai aras di Indonesia
• Meningkatnya isu-isu sentral yang harus didiskusikan serta minat kepesertaan dari organisasi maupun institusi untuk berperan serta dalam segi kualitas dan kuantitas telah merubah bentuk pertemuan kelima ini dari simposium mendjadi sebuah bentuk Konferensi.
Pengurangan Risiko Bencana merupakan hal yang kompleks dan harus melibatkan serta memberdayakan segala potensi yang ada. Upaya-upaya sudah harus dilakukan dimulai saat perencanaan pembangunan dan menjadi bagian internal dari aspek kehidupan masyarakat, untuk itulah peran komunitas menjadi sangat penting dan sentral.
Perubahan iklim dunia yang terjadi saat ini memberikan dampak konsekuensi pada kemungkinan meningkatnya risiko bencana seperti kekeringan yang lebih panjang, banjir, atau siklon dan ini justru terjadi pada negara-negara berkembang, rawan bencana dan daerah yang tingkat populasinya tinggi seperti di Indonesia. Risiko akan kehilangan mata pencaharian harta benda dan nyawa justru akan terdapat pada tingkat komunitas rentan di daerah tersebut.
Sehingga Pertanyaan pertanyaan pokok dan mendasar yang perlu kita uraikan lebih lanjut pada pertemuan konferensi PRBBK V ini adalah sebagai berikut:
• Sejauh mana ketahanan masyarakat kita saat ini dan di masa mendatang dalam menghadapi bencana yang terus menerus terjadi dan akan terjadi lagi?
• Sejauh mana kesiapan masyarakat dengan pendekatan PRBBK-nya dalam menghadapi dan adaptasi terhadap Perubahan iklim dan risiko pengurangan bencana yang diakibatkan oleh perubahan iklim tersebut?
• Apakah usaha usaha kita higga saat ini mempunyai dampak yang cukup significant dalam mengarusutamakan Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas yang seperti kita harapkan selama ini?
Maka menjadi penting untuk menjadikan Pengurangan Risiko Bencana Bebasis Komunitas sebuah Gerakan yang dinamis dengan segala konsekwensi di tanah air tecinta kita ini. Untuk itu Pelembagaan PRBBK merupakan pendekatan yang paling strategis dalam meningkatkan Ketahanan Masyarakat dalam menghadapi Bencana dan Pengurangan Risiko Bencana.
Dengan merubah nama dari sebuah “Simposium” menjadi sebuah bentuk “Konferensi”
yang multi-disiplin, multipihak, dan multi-perspektif diharapkan peserta merasa diberi kebebasan lebih, untuk dapat memberikan berbagai sudut pandang selain akademis, seperti sosio budaya, ekonomi, maupun kebijakan politis yang berdampak langsung maupun tidak langsung dalam penguatan peran masyarakat untuk pengurangan risiko bencana dimasa depan sesaui dengan situasi dan dinamika yang ada yang sedang berkembang saat ini.
Dalam kesempatan ini saya ingin mengucapkan apresiasi dan terima kasih kami yang sebesar besarnya kepada Pemeritah Daerah Propinsi Sulawesi Selatan yang telah berkenan menyediakan waktu dan tempat sehingga dapat terselenggarnya pertemuan ini.
Conference Conference Conference
Conference Proceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V Indonesia 12 Tentunya tidak lupa atas nama MPBI kami mengucapakan teria kasih kepada UNDP, Terima kasih kepada BNPB. Terima kasih kepada SCDRR. Terima kasih kepada OXFAM, dan Terima kasih kepada semua mitra mitra lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah memungkinkan pertemuan ini dapat terjadi dengan baik.
Terima kasih kepada seluruh peserta yang meluangkan waktu dan berpartisipasi,dan memberika kontribusinya pada pertemuan ini. Terima kasih kepada para narasumber, moderator dan fasilitator. Terima kasih kepada semua Anggota Panitia Pengarah dan Penyelenggara yang telah bekerja keras dan akan melanjutkan kerja keras untuk mensukseskan pertemuan ini.
Selamat bertemu, saling berdiskusi dan bertukar pikiran serta sukses bagi kita semua.
Faisal Djalal
Sekertaris Jenderal MPBI 2009-2011
Conference Conference Conference
Conference Proceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V Indonesia 13 Sambutan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Nasional
Sambutan ini diwakili oleh Ir. Sugeng Triutomo, DESS, Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Ass. Yang terhomat Bapak Gubernur Sulawesi Selatan, ibu dan bapak sekalian. Pertama saya ingin menyampaikan permohonan maaf karena bapak Kepala Badan tidak dapat hadir di tempat ini, karena beliau harus berada di Sumbar. Saya akan menyampaikan sambutan beliau.
--- Sambutan Kepala BPNP --- Yang terhormat bapak Gubernur Sulawesi Selatan dan seluruh jajarannya, wakil instansi pusat, MPBI, peserta dari lembaga pemerintah dan non pemerintah, LSM, dan para hadirin peserta konferensi. Ass. Salam sejahtera untuk kita semua.
Pertama mari kita panjatkan puji syukur, sehingga kita dapat berkumpul di tempat ini dalam keadaan sehat. Pertama terima kasih. Pada ibu bapak sekalian pada pembukaan acara Konferensi Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas ini, kita tahu kejadian bencana selalu meningkat di Indonesia. Sampai saat ini kita belum mampu menahan bencana-bencana tersebut. Namun yang bisa kita lakukan adalah mengurangi risiko bencana. Dengan meningkatkan intensitas keragaman, bencana perlu ditangani secara konprehensif. Berkaitan dengan hal itu maka UU no 24 thun 2007 tentang Penanggulangan Bencana telah mengubah paradigma yang selama ini berbentuk respon menjadi pengurangan risiko bencana. UU 24/2007 ini menjadi payung hukum penyelenggaraan penanggulangan bencana yang diatur dan dibiayai, yang kuat dan pengakuan akan hak masyarakat yang terkena bencana.
Di samping itu, pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab.
Namun juga dilakukan oleh masyarakat yang terkait dengan penanggulangan bencana.
Peran dari masyarakat tidak bisa diabaikan. Justru masyarakat yang memiliki peran awal.
Kepedulian dan keikutsertaan masyarakat dalam penanggulangan bencana sangat diperlukan. Maka perlu mendapatkan pelatihan, ketrampilan dalam penanggulangan bencana, berpartisipasi dalam keputusan penanggulangan bencana. Melakukan kegiatan penanggulangan bencana, dan memberikan informasi yang benar.
Upaya pengurangan risiko bencana sangat penting. Organisasi masyarakat untuk mengurangi risiko bencana menjadi sangat penting. Pemerintah tidak akan mampu mengurangi risiko bencana sampai akar rumput. Hanya didasarkan pada ketrampilan dalam penanggulangan bencana, dengan begitu korban akan berkurang. Masyarakat harus ikut berperan dalam mengurangi bencana, serta langkah apa yang harus di tempuh.
Bapak ibu sekalian dukungan dan komitmen dari masyarakat sangat dibutuhkan.
Penanggulangan bencana berbasis komunitas diharapkan dapat terwujud dengan baik.
Dalam konferensi yang ke lima ini diharapkan dapat mengurangi dampak bencana, terutama korban bencana. Dari ini kami mengucapkan terimakasih pada pemprov sulsel yang telah menjadi tuan rumah, dan terkhusus lagi pada teman-teman peserta.
Conference Conference Conference
Conference Proceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V Indonesia 14
Bagian I: PRBBK seb Bagian I: PRBBK seb Bagian I: PRBBK seb
Bagian I: PRBBK sebagai sebuah Gerakan agai sebuah Gerakan agai sebuah Gerakan agai sebuah Gerakan – – – – Peran Internal Peran Internal Peran Internal Peran Internal
1. Ketahanan masyarakat terhadap risiko bencana dalam iklim yang berubah -
Dr. Eko Teguh ParipurnoPaparan ini mencoba mendiskusikan tiga pertanyaan refleksi. Apakah PRBBK perlu dipahami sebagai sebuah gerakan dan bagaimana meletakan peran eskternal? Bagaimana memahami hubungan antara PRBBK dengan perubahan iklim? Apa konsep pelembagaan PRBBK yang perlu diketahui.
Ada pandangan yang melihat PRBBK sebagai sebuah gerakan social (movement) yang mungkin saja di inisiasi oleh pihak eksternal untuk penguatan rakyat akar rumput.9 Gambar 1 di bawah menunjukan irisan kecirian antara PRBBK dan gerakan social.
Tentunya ilustrasi di bawah bukan sesuatu yang kaku karena PRBBK juga mempromosikan pendekatan berbasis hak.
Gambar 1. Irisan Kecirian PRBBK dan Gerakan Sosial
Yang mau dituntukan adalah bahwa irisan PRBBK, sebagaimana menurut sejarahnya merupakan sebuah gerakan sosial yang menempatkan nilai-nila seperti partisipasi, kemandirian, kesetaraan, multi-pihak, dengan nilai-nilai keberlanjutan yang berorientasi lokalitas, namun diharapkan melembaga dan terinternalisasi menjadi community driven.
Juga perlu digaris bawahi bahwa menurut sejarahnya, PRBBK merupakan sebuah perjuangan melawan status quo yang teknokratis yang cenderung menempatkan masyarakat akar rumput sebagai pihak tak berdaya dan tidak memiliki kapaitas, serta tidak memperhitungkan pengetahuan lokal yang terpelihara dan masih relevan dengan upaya-upaya PRBBK.
Terdapat perbedaan peran dalam dikotomi eksternal – internal. Dalam trend saat ini, khususnya dalam diskurusus PRBBK, yang dibayangkan sebagai upaya-upaya internal meliputi antara lain gerakan masyarakat adat dalam upaya pengamanan aset dan
9 Dalam hal ini di posisikan sebagai pihak internal, yang kadang di sebut masyarakat, kadang disebut komunitas, kadang dikenal sebagai warga negara dalam konteks relasi antara negara dan warga.
Conference Conference Conference
Conference Proceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V Indonesia 15 keberlanjutan penghidupan yang berbasiskan kearifan lokal. Sedangkan pihak eksternal berperan dalam membangun ketangguhan (resilience) bangsa melalui perencanaan, pelaksanaan dan pendanaan pembangunan dan pelaksanaan urusan pemerintahan serta program-program sektoral.
Bagaimana penguatan peran tersebut dilakukan dalam konteks PRBBK? Sedikitnya tiga aras yang perlu diperkuat. Yakni aras ideologis, strategis dan taktis. Pihak-pihak yang berperan meliputi media cetak/visual/audio, dunia usaha (bisnis/industri), pemerintah desa, perguruan tinggi, organisasi masyarakat sipil, organisasi internasional (PBB, LSM Internasional, donor internasional). Tentunya di mulai dari level individu-keluarga, organisasi-kelembagaan dan sistim dengan tujuan utama yakni meningkatkan kapasitas untuk mengurangi kerentanan dan menangani ancaman (hazards) atau mereduksi kerentanan (vulnerability) terhadap setiap jenis ancaman.
Di tingkat individu/keluarga perlu di lakukan upaya-upaya seperti peningkatan kapasitas pengetahuan tentang risiko bencana, yang dibarengi dengan ketrampilan dan kompetensi serta etika. Di tingkat komunitas diperlukan sumberdaya, self governance (tata laksana kemandirian), struktur organisasi, sistem informasi manajemen dan sistem pengambilan keputusan. Sedangkan pada struktur yang lebih tinggi, diperlukan perangkat sistim atau peraturan, kebijakan, pembiayaan serta insentif-insentif non-material yang bersifat mendukung upaya-upaya pengurangan risiko bencana.
Conference Conference Conference
Conference Proceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V Indonesia 16 2.
PRBBK Dalam Gerakan Masyarakat Adat -
Drs. Yunus JefriUkru.
Gerakan masyarakat adat lebih sering dikaitkan dengan kerja-kerja advokasi untuk penegakan hak-hak atas; tanah (wilayah), sumberdaya alam (SDA), lingkungan, sosial, budaya. Akan tetapi lebih dari itu, hal yang lebih mendasar adalah untuk menjalankan filosofi kehidupan yang diyakini bahwa semua makluk hidup termasuk manusia,harus dilindungi dan dijamin keberlanjutan kehidupannya.
Pengelolaan SDA untuk tujuan pembangunan mestinya menjamin keselarasan dengan lingkungan alam, karena disanalah tersedia ruang kehidupan dan sumber-sumber pangan bagi manusia. Artinya perlu dikelolah secara benar untuk mensejahterakan manusia … bukan malah sebaliknya menimbulkan malapetaka! Jadi kebijakan pengelolaan SDA hendaknya terhindar dari keserakahan manusia, agar tidak menimbulkan ancaman dan risiko bencana.
Salah satu contoh kearifan lokal dalam pengelolaan SDA yang memiliki perpektif PRB dari masyarakat asli di pulau Seram (Maluku), bahwa jika kita menebang sebatang pohon besar secara sembarangan maka itu tandanya kita sudah mulai mengganggu ketenteraman hidup dari turunan kita yang ke tujuh, karena hewan buruan akan pergi jauh, sungai akan kering, tanah akan kering, akan datang air bah, akan ada kutukan (penyakit), dan banyak lagi kepercayaan lainnya. Mengapa? Karena cara ini akan diikuti anak kita, cucu kita, dan seterusnya!
Jadi praktek pengelolaan SDA (lingkungan alam) oleh masyarakat adat dengan berpegang pada sistem pengetahuan lokal mereka, telah memikirkan tentang resiko bencana yang dapat muncul akibat praktek pengelolaan yang keliru (merusak).
Masyarakat adat dimanapun memiliki aturan tentang cara pemanfaatan SDA yang didasari keyakinan terhadap nilai-nilai, kepercayaan (asli), pengetahuan lokal, disertai kewajiban (tanggung jawab) memelihara sumber-sumber penghidupan bagi generasi baru mereka.
Pendekatan PRBBK di komunitas adat. Memperkuat kapasitas organisasi masyarakat adat, kader-kader komunitas adat melalui pendidikan dan pelatihan, agar mereka mampu memfasilitasi PRBBK di tingkat lokal. Memfasilitasi proses transformasi fungsi dan penguatan kapasitas organisasi masyarakat lokal.
Membangun dan memperkuat sistem dan kebijakan lokal. Memfasilitasi perencanaan pengelolaan SDA dan Rencana Aksi PRBBK di komunitas adat. Memfasilitasi komunitas adat untuk mengembangkan rencana tata ruang wilayah mereka. Memfasilitasi akses masyarakat adat ke pusat-pusat penentu kebijakan (ditingkat daerah, nasional dan internasional).
Penguatan kapasitas untuk PRBBK ditentukan oleh ketepatan memetakan aktor-aktor terkait yang memiliki kekuatan pengaruh di masyarakat, (misalnya; tokoh adat, pemerintah desa, perempuan, pemuda, agama, pendidikan), termasuk memetakan pola hubungan antar para aktor tersebut, dan aktor luar yang memiliki kepentingan dengan masyarakat dan SDA di wilayah tersebut.
Membangun pendekatan yang bersinergi antar aktor, karena tidak jarang hubungan antar aktor dalam satu komunitas sangat dipengaruhi oleh kepentingan pihak luar, yang sering
Conference Conference Conference
Conference Proceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V Indonesia 17 bertabrakan dengan kepentingan sistem lokal. Jadi perlu membangun kesadaran kritis bersama terhadap kepentingan kolektif masyarakat adat.
PRBBK dalam gerakan masyarakat adat memprioritaskan penanganan masalah-masalah struktural (penguatan kelembagaan/institusi, sistem dan kebijakan lokal, kapasitas serta akses bagi masyarakat adat). Komunitas adat dibeberapa tempat telah membentuk berbagai peraturan dan protokol tentang peringatan dini, penaganan situasi kedaruratan (ada yang antar desa), termasuk membentuk organisasi lokal yang menjadi mitra pemerintah desa untuk menyikapi situasi bencana. Misalnya ada yang membentuk tim siaga desa, tim bencana desa, dan ada yang mentransformasi fungsi dari institusi adat atau organisasi lokal yang sudah ada untuk menjalankan fungsi terkait PRBBK. Prinsip dasarnya adalah semua terintegrasi dalam kebijakan formal desa, rencana dan program pembangunan desa.
Beberapa komunitas adat telah membuat peratutan desa tentang PRBBK sebagai prasyarat bagi setiap perencanaan pembangunan (misalnya beberapa komunitas adat di Kei dan Seram (Maluku). Ada juga yang sudah memiliki rencana aksi PRBBK dan rencana kontigensi (ini umumnya di komunitas yang wilayah pemukiman mereka rentan terhadap ancaman bencana – misalnya di Aceh; para penggiat gerakan masyarakat adat memfasilitasi terbangunnya Mukim Meudellat = otonomi adat/lokal).
PRBBK di tingkat lokal tentu masih memiliki kelemahan yang masih harus terus diperkuat, tetapi justru di beberapa tempat, model ini sudah mulai direplikasi pada komunitas lainnya. Tentu melalui proses perbaikan dan penguatan terhadap metode pendekatan sesuai kebutuhan dan konteks lokal.
Komunitas-komunitas adat memiliki pandangan bersama, bahwa pengelolaan risiko bencana harusnya menjadi perspektif dasar dan salah satu penekanan utama dalam proses pembangunan (yang normal).
Pandangan ini didasari pada falsafah dasar, bahwa menciptakan keselarasan hidup manusia dengan lingkungan alam merupakan suatu tanggung jawab dan keharusan untuk menjamin keberlanjutan kehidupan. Selain itu mereka sudah sering mengalami sejarah panjang dimana selalu menerima dampak buruk dari eksploitasi lingkungan alam (SDA) yang ekstraktif -destruktif.
Beberapa aksi advokasi untuk PRBBK, terkait perubahan iklim, pada level daerah, nasional dan internasional, antara lain; Memfasilitasi pendekatan FPIC (Free Prior Informed Concent) di beberapa komunitas untuk menghadapi kebijakan pengelolaan SDA di wilayah pemilikan adat mereka, misalnya; Lewolema (di Flores), Paser (Kaltim), Kuntu (Riau). Dalam perkembangannya, beberapa komunitas di Papua, Bengkulu, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, dan Maluku Utara sudah menginisiasi proses yang sama.
Pendekatan FPIC tidak hanya terkait dengan hak untuk ikut membuat keputusan, atau hak untuk mendapat manfaat ekonomi yang nyata dari pengelolaan SDA, tetapi juga
menyangkut fungsi kontrol terhadap pengelolaan SDA, agar tidak menimbulkan resiko bencana di wilayah mereka.
Advokasi Perda khusus ttg pengelolaan hutan berkelanjutan di Papua. Terlepas dari pengakuan malu-malu dari pemerintah, tetapi Perda ini setidaknya mengatur posisi, hak-
Conference Conference Conference
Conference Proceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V Indonesia 18 hak dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan alam (adat). Mendorong
partisipasi masyarakat adat dalam perencanaan tata ruang wilayah. Tentu ada banyak kritik terhadap bentuk dan legitimasi keterwakilan masyarakat lokal, karena itu perlu ada perbaikan mekanisme keterwakilan.
Mendesak penghentian pembahasan RPP tentang Hutan adat, karena tidak sejalan dengan mandat TAP MPR IX tahun 2001, yang mewajibkan penggantian UU No. 41 Tahun 1999. RPP ini tidak tegas mengakui hak-hak masyarakat atas hutan dan wilayah adatnya, dan memposisikan masyarakat adat sebagai pengelola hutan yang statis, bahkan ada kewenangan untuk menghapus keberadaan masyarakat adat.
Pada level internasional, organisasi-organisasi masyarakat adat aktif membahas issu-issu terkait adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Indigenous Peoples Global Summit on Climate Change di Alaska April 2009 dibahas berbagai issue terkait ancaman perubahan iklim, a.l terhadap; Kesehatan, Kehidupan yang Layak dan Keamanan Pangan. Kearifan lokal beradaptasi dengan perubahan iklim dan ber-kontribusi terhadap pengurangan dampak perubahan iklim. Pengurusan Lingkungan, kepemilikan dan pengaturan SDA yakni sejauhmana sikap pemerintah & lembaga internasional terhadap hak-hak
masyarakat adat dan kearifan lokal dalam proses adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim. Hasil-hasil Indigenous Peoples Global Summit on Climate Change ini kemudian di sosialisasikan ke komunitas-komunitas adat lokal untuk di tindak-lanjuti dalam bentuk diskusi, pelatihan maupun berbagai rencana dan aksi di tingkat lokal.
PBB telah membentuk badan khusus untuk mengurus issue-issue masyarakat adat, Yakni:
UNPFII, UN Special Rappourteur on the Rights and Fundamental Freedom of Indigenous Peoples dan Special Mechanism di Dewan HAM untuk Issue Masyarakat Adat. Melalui badan-badan ini, masyarakat adat telah meyakinkan berbagai pihak pada level nasional dan internasional, dimana kearifan tradisional mulai diakui memiliki peran yang besar untuk mengatasi perubahan iklim.
Masyarakat adat melakukan aksi pada berbagai level, karena kontribusi masyarakat lokal untuk pengurangan dampak perubahan iklim sangat menentukan karena mereka yang hidup dan menguasai wilayah-wilayah yang sekarang menjadi penyanggah terhadap dampak perubahan iklim.
PRBBK dalam gerakan masyarakat adat tidak di desain sebagai program khusus untuk merespons suatu peristiwa bencana saja, tetapi terintegrasi dalam kegiatan komunitas- komunitas adat, maupun dalam aksi-aksi advokasi bersama, untuk meminimalisir risiko bencana yang dapat muncul dari praktek pemanfaatan wilayah dan SDA. PRBBK dalam gerakan masyarakat adat juga bukan merupakan aksi kasuistik, temporer, reaktif, dan fokus pada penanganan dampak saja, tetapi mendorong agar PRB (PRBBK) dijadikan sebagai kebijakan dasar dan strategi pembangunan, artinya terintegrasi dalam setiap kebijakan dan perencanaan, termasuk anggaran pembangunan pada semua level.
Organisasi-organisasi masyarakat adat sekarang ini sudah mulai membangun sinergi, khususnya dengan pemerintah (daerah dan pusat), termasuk aktor-aktor politik untuk mendorong adanya kebijakan yang melibatkan semua stakeholder dalam urusan pembangunan mulai dari tingkat lokal sampai pusat, agar keberlanjutan kehidupan menjadi perspektif dalam kebijakan, perencanaan dan program pembangunan.
Conference Conference Conference
Conference Proceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V Indonesia 19
3. PRBBK dan Penghidupan Berkelanjutan: Catatan Pengalaman Lapangan PMPB Kupang
- Yulius Nakmofa10“Pak,masa jabatan presiden sampai dengan bupati adalah 5 tahun. Berapa lama masa jabatan kami di sini? Kami akan tinggal di wilayah ini seumur hidup!
Apapun kondisi yang kami hadapi, kami akan terus tinggal dan membangun kehidupan kami di wilayah ini. Untuk itu, tolong membantu kami, jangan meninggalkan masalah baru di wilayah kami.ketika bapak – bapak tidak bekerja lagi ,kami akan menanggung akibatnya.“
Pertanyaan retorik sekaligus pernyataan di atas muncul dalam sebuah diskusi di sebuah desa dampingan PMPB Kupang di sebuah desa di Timor Barat. Sebuah plesetan yang akrab bagi pekerja lapangan kami di Timor Barat, masyarakat sering mengatakan bahwa
“Otonomi daerah jangan menjadi “oto nobi” (artinya: mobil yang menggilas) kehidupan kami.”
Hal ini berarti masyarakat merindukan sebuah berkelanjutan hidup dan penghidupannya melampaui batasan-batasan waktu formal demi mencapai kesejahteraannya. Karena itu pengelolaan sumber-sumber ataupun aset penghidupan merupakan tugas setiap “kita”
yang bekerja bersama komunitas akar rumput untuk mengelola sumber penghidupan (livelihoods) mereka serta meminimalkan risiko kehilangan aset hidup penghidupan.
Berdasarkan refleksi pengalaman PMPB Kupang selama 11 tahun bekerja dalam ladang PRBBK pada sedikitnya 40 komunitas desa di Timor Barat, maka dapat diringkaskan beberapa langkah kunci untuk melakukan upaya-upaya pengurangan risiko berbasis penghidupan masyarakat.
Kami menamakan kiat-kiat tersebut sebagai 8 Langkah PMPB dalam melindungi sumber penghidupan, yang alurnya sebagai berikut:
A. Meningkatkan Kapasitas Masyarakat
Melalui berbagai kegiatan pelatihan formal/informal fasilitator masyarakat maupun relawan-relawan desa PMPB menekankan pada beberapa hal: (a) pengenalan konsep dasar pengurangan resiko bencana, (b) pengurangan risiko bencana berbasis
masyarakat, (c) pelatihan pengenalan standar minimun dalam situasi darurat, (d) pelatihan pertolongan pertama gawat darurat (e) gender dan bencana (f) penyusunan rencana kontijensi kedaruratan dan standar operasional dan (g) teknis manajemen darurat dan berbagai materi dasar yang dianggap relevan. (Lihat Gambar 1a dan 1b) B. Analisa Resiko Bersama Masyarakat Pemetaan Desa
Untuk memahami apakah secara historis pernah pernah terjadi bencana sebelumnya di wilayah tersebut maka perlu dibuka ingatan sejarah bencana di daerah tersebut.
Juga untuk memahami kemungkinan hilangnya aset-aset penghidupan yang dimiliki
10 Keterangan yang lebih detail tersedia pada http://ntt-academia.org/nttstudies/Nakmofa2009.pdf - Akses 20 Nov 2009.
Conference Conference Conference
Conference Proceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V IndonesiaProceeding CBDRR/PRBBK V Indonesia 20 masyarakat yang berisiko hilang karena potensi bencana yang akan datang. Kegiatan ini juga dimaksudkan untuk memahami berbagai berbagai kerentanan yang ada sekarang (maupun sedang di-produksi atau sedang berinkubasi di wilayah tersebut) yang turut berkontribusi pada potensi resiko yang ada atau mungkin akan muncul diwaktu mendatang. Proses ini dilakukan bersama masyarakat yang dalam pertemuan formal dilakukan oleh fasilitator dan secara informal diidentifikasi dalam proses- proses hidup bersama (live-in )komunitas. (lihat gambar 2a dan 2b).
Gambar 1a. dan 1b. Penguatan kapasitas masyarakat secara partisipatif di Besikama, Belu © Foto PMPB Kupang.
Gambar 2.a Sketsa Geografis Desa Omatoos, Kab. Belu, 2.b. Ilustrasi GIS Risoko Bencana Desa © Foto PMPB Kupang
C. Dokumen Analisis Resiko Bencana
Semua hasil pengkajian bersama masyarakat, dikumpulkan dan dijadikan dokumen milik masyarakat yang sangat berguna bagi masyarakat untuk Menyusun Rencana Aksi Pengurangan Resiko Bencana tingkat masyarakat. Informasi awal untuk