• Tidak ada hasil yang ditemukan

CORRUPTIO - Universitas Lampung

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "CORRUPTIO - Universitas Lampung"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Fakultas Hukum, Universitas Lampung, Bandar Lampung, Lampung, Indonesia.

http://jurnal.fh.unila.ac.id/index.php/corruptio Volume 01 Issue 2, July-December 2020. PP: 143-156 P-ISSN: 2723-2573

E-ISSN: 2745-9276

Pengembalian Keuangan Negara Perkara Korupsi Melalui Eksekusi Integral Oleh Kejaksaan

Return Of State Financial Corruption Cases Through Integral Executions By The Prosecution

Lutfy Resli [email protected] Kejaksaan Metro

Info Artikel Abstrak

Kata Kunci: Ekesekusi; Keuangan Negara;

Korupsi.

Keywords: Execution; State finances;

Corruption.

DOI:

https://doi.org/10.25041/corruptio.v1i2.2100

Kejaksaan memiliki kendala dan hambatan dalam melakukan eksekusi pidana tambahan pembayaran uang pengganti perkara korupsi yang mengakibatkan banyaknya tunggakan eksekusi perkara korupsi. Kejaksaan melakukan upaya pengembalian keuangan negara melalui kebijakan secara integral sehingga dapat melakukan eksekusi pidana uang pengganti.

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normative dan yuridis empiris. Kemudian analisis data dilakukan secara kualitatif yang selanjutnya ditarik kesimpulan yang bersifat induktif. Berdasarkan hasil penelitian, pengembalian keuangan negara dalam perkara korupsi dilakukan melalui kebijakan eksekusi secara integral Kejaksaan secara hukum pidana tidak dapat dilaksanakan eksekusinya dengan menggunakan ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Tipikor. Terjadinya hambatan pengembalian keuangan negara

Submitted: August 14, 2020; Reviewed: Sept 15, 2020; Accepted: Okt 19, 2020

(2)

perkara korupsi melalui eksekusi secara integral oleh Kejaksaan pada undang- undang sebelumnya karena tidak diaturnya tata cara pelaksanaan eksekusi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Saran dalam penelitian ini yaitu upaya pengembalian keuangan negara melalui eksekusi pidana tambahan uang pengganti disarankan menempuh jalur perdata lalu pemerintah segera mengundangkan RUU perampasan aset guna mempermudah jaksa melakukan eksekusi pidana uang pengganti perkara korupsi serta membuat kebijakan pengampunan melakukan pemutihan pembayaran uang pengganti bagi terpidana.

Abstract

The Prosecutor's Office has obstacles and obstacles in carrying out additional criminal executions in the payment of money in lieu of corruption cases which resulted in many arrears in corruption case executions. The Prosecutor's Office made efforts to recover state finances through policies in an integrated manner so that they could carry out criminal executions of replacement money. This research uses the normative juridical approach and empirical juridical approach. Then the data analysis is done qualitatively which then draws conclusions that are inductive. Based on the results of the study, the return of state finances in corruption cases is carried out through an integral execution policy of the Prosecutor's Office in criminal law which cannot be carried out using the provisions of Article 18 of the Corruption Law. Constraints on the financial return of the state of corruption cases through integral execution by the Prosecutor's Office in the previous law due to the non- stipulation of procedures for carrying out additional criminal executions in the form of payment of replacement money.

Suggestions in this research are efforts to recover state finances through the

(3)

A. Pendahuluan

Tindak pidana korupsi adalah suatu perbuatan yang tidak jujur dengan maksud untuk memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain dengann cara menyelewengkan atau menggelapkan keuangan negara sehingga dapat menimbulkan kerugian terhadap keuangan negara.1 Korupsi di Indonesia seperti tidak ada habis-habisnya, semakin ditindak makin meluas, bahkan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dalam jumlah kasus, jumlah kerugian negara maupun kualitasnya.2 Masalah korupsi, bukan sebagai masalah baru dalam persoalan hukum dan ekonomi bagi suatu negara. Sebab masalah korupsi telah ada sejak ribuan tahun yang lalu, baik dinegara maju maupun dinegara berkembang termasuk Indonesia, bahkan perkembangan masalah korupsi di Indonesia saat ini sudah menjadi masalah yang sangat besar dan menjadi masalah yang sangat luar biasa karena sudah meningkat dan berkembang ke seluruh lapisan masyarakat.3 Suatu tindak pidana korupsi tidak akan lepas dari uang yang menyangkut Negara, dan salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi ialah adanya kerugian keuangan Negara.4 Uang tersebut adalah uang milik negara yang diambil oleh para koruptor yang digunakan secara pribadi ataupun bersama- sama, maka uang yang seharusnya milik negara yang hilang harus dikembalikan lagi kepada negara. Korupsi tidak hanya sekedar merugikan keuangan negara, tetapi juga berpotensi merusak sendi-sendi kehidupan sosial dan hak-hak ekonomi rakyat.5 Keberadaan unsur kerugian Negara merupakan pintu masuk dan salah satu kunci utama sukses tidaknya upaya

1 Yuda Musatajab, Mulyadi A. Tajuddin. " Uang Pengganti Sebagai Alternatif Pengembalian Kerugian Negara Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi,” Jurnal Restorative Justice. Vol. 2 No 1, (Mei 2018): 52-66

, http://ejournal.unmus.ac.id/index.php/hukum/article/view/1924/1148. hlm 53.

2 Marwan Effendi. Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. (Disampaikan pada Kuliah Umum di Universitas Tanjungpura Pontianak, 2012). hlm. 2.

3 Abvianto Syaifulloh, "Peran Kejaksaan Dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi,” Indonesian Journal of Criminal Law (IJoCL). Vol. 1, No. 1, (Juni 2019): 47-64, https://doi.org/10.31960/ijocl.v1i1.147, http://journal.ilininstitute.com/index.php/IJoCL/article/view/147/128. hlm 48.

44 Michael Julnius and Christhopher Siahaya, “Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tahap Penyidikan Tindak

Pidana Korupsi,” LEX CRIMEN. Vol. IV, no. 2 (May 1, 2015): 13-22,

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/view/7781. hlm 14.

5 Mulyadi Alrianto Tajuddin Jurisprudentie and Mulyadi Alrianto Tajuddin, “Penerapan Pidana Tambahan Uang Pengganti Sebagai Premium Remedium Dalam Rangka Pengembalian Kerugian Negara,” Jurisprudentie : Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah Dan Hukum. Vol. 2, no. 2 (December 7, 2015): 53-64 , http://journal.uin- alauddin.ac.id/index.php/Jurisprudentie/article/view/6848. hlm 54.

execution of additional substitute penalties suggested by taking the civil route then the government immediately enacted the asset seizure bill in order to facilitate prosecutors carrying out criminal executions in the case of corruption and make forgiveness policies to bleach payment of replacement money for convicted persons..

(4)

perampasan dan pengembalian aset perolehan hasil korupsi di Indonesia. Pengembalian ganti rugi keuangan negara yang ditimbulkan dari hasil korupsi yang merupakan sistem dari penegakan hukum yang mengharuskan memang adanya suatu proses penghapusan hak atas aset pelaku dari negara selaku korban dengan cara dilakukan.6

Korupsi, selain telah menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), juga telah menjadi kejahatan internasional (international crime). Kejahatan korupsi mempunyai korelasi dengan bentuk-bentuk lain kejahatan seperti kejahatan-kejahatan terorganisasi dan kejahatan ekonomi, termasuk kejahatan money laundering. Korupsi pun sudah menjadi perilaku sistematik dan mengakar.7 Kemanfaatan dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi diwujudkan dengan memaksimalkan pengembalian kerugian keuangan negara sebagai konsekuensi hukum telah terpenuhinya unsur “merugikan keuangan negara.”8 Teori dan tanggung jawab negara untuk mewujudkan keadilan sosial, memberikan justifikasi moral bagi negara untuk melakukan upaya-upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.9 Menentukan adanya kerugian keuangan negara, maka perlu ada kejelasan definisi secara yuridis pengertian keuangan negara. Undang-Undang Keuangan Negara mendefinisikan: “Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.10

Melihat kondisi itu, tidak heran jika dalam beberapa tahun terakhir lembaga riset Political and Economic Risk Consultancy (PERC) selalu menempatkan Indonesia sebagai juara korupsi di Asia. Predikat serupa datang pula dari Transparency International yang selalu menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia.11 Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis multi dimensional serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi, yaitu dampak dari kejahatan ini, maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan nasional yang harus dihadapi secara sungguh- sungguh melalui keseimbangan langkah-langkah yang tegas dan jelas dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya pemerintah dan para penegak hukum.12 Tindak pidana korupsi harus diberantas, sebab salah satu tujuan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia adalah pengembalian kerugian keuangan negara.13 Pemberantasan

6 Yayan Indriana Pemerintah Daerah Provinsi Lampung et al., “Pengembalian Ganti Rugi Keuangan Negara Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi Repayment Of Compensation For State Finances In Corruption Cases,” Cepalo 2, no. 2 (September

12, 2018): 123–30, https://doi.org/10.25041/cepalo.v2no2.1769.

https://jurnal.fh.unila.ac.id/index.php/cepalo/article/view/1769/1486 . hlm 123.

7 Guntur Rambey, “Pengembalian Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Melalui Pembayaran Uang Pengganti Dan Denda,” DE LEGA LATA: Jurnal Ilmu Hukum. Vol. , no. 1I (Januari-Juni, March 4, 2016): 137-157, http://jurnal.umsu.ac.id/index.php/delegalata/article/view/785/720. hlm 140

8 Lambok Marisi et al., “Hukum Kepailitan Dalam Eksekusi Harta Benda Korporasi Sebagai Pembayaran Uang Pengganti,”

Jurnal Antikorupsi Integritas. Vol. 05, no. 2 (December 17, 2019): 75–86, https://doi.org/10.32697/integritas.v5i2.474.

https://jurnal.kpk.go.id/index.php/integritas/article/view/474 . hlm 76.

9 Ade Mahmud, “Problematika Asset Recovery Dalam Pengembalian Kerugian Negara.” Jurnal Yudisial. Vol. 11, no. 3

(December 26, 2018): 347–66, https://doi.org/10.29123/jy.v11i3.262.

https://jurnal.komisiyudisial.go.id/index.php/jy/article/view/262/pdf . hlm 351.

10 Karel Antonius Paeh, “Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Berdasarkan Rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (Bpk) Hubungan Dengan Unsur Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi,” Katalogis. Vol. 5, no. 2 (July 14, 2017):

49-56, http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/Katalogis/article/view/8490. hlm 49.

11 Saldi Isra dan Eddy O.S. Hiariej. Perspektif Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Korupsi Mengorupsi Indonesia:

Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan. Ed. Wijayanto dan Ridwan Zachrie. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009). hlm. 554.

12 Evi Hartanti. Tindak Pidana Korupsi. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005). Hlm. 2

13 Budi Suhariyanto, “Restoratif Justice Dalam Pemidanaan Korporasi Pelaku Korupsi Demi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara,” Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional. Vol. 5, no. 3 (November 25, 2016): 421–38, https://rechtsvinding.bphn.go.id/ejournal/index.php/jrv/article/view/153/88. hlm 422.

(5)

korupsi secara hukum adalah dengan mengandalkan diperlakukannya secara konsisten UndangUndang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan berbagai ketentuan terkait yang bersifat represif.14 dalam sistem pemberantasan tindak pidana korupsi ini tentunya memilki tujuan diharapkan yakni kemampuan memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya.15 Pelaku tindak pidana korupsi melihat bahwa akibat suatu pelanggaran hukum adalah sebagai risiko, bukannya melihat dari sisi akibat hukum yang harus diterima, dengan demikian sisi untung ruginya secara matematis ekonomis menjadi pertimbangan utama untuk melakukan tindak pidana korupsi.16

Pelaku kejahatan korupsi baik secara personal maupun koorporasi semakin banyak silih berganti walaupun sudah sering ditangani sehingga perlu dicermati bahwa sesungguhnya tujuan dibentuknya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) adalah pengembalian kerugian keuangan negara dengan tujuan pemulihan kerugian negara yang telah terjadi sebagai akibat dari tindak pidana korupsi tersebut, walaupun dalam Pasal 4 UU Tipikor menyatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku kejahatan korupsi. Salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi ialah adanya kerugian keuangan negara. Terhadap kerugian keuangan negara ini,17 kejaksaan sebagai salah satu aparat penegak hukum yang memiliki kewenangan di bidang pemberantasan korupsi, disamping Kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan lembaga peradilan serta lembaga pemasyarakatan, harus mampu mengambil peran strategis untuk melakukan penindakan atas terjadinya tindak pidana korupsi baik di tingkat pusat maupun daerah, agar penindakan yang dilakukan dapat memiliki kekuatan daya tangkal, sekaligus melakukan beragai upaya pencegahan untuk menghindari terulangnya kejadian serupa dimasa mendatang.18 Oleh karena itu, keberadaan Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum, mempunyai kedudukan yang sentral dan mempunyai peranan yang strategis dalam suatu negara hukum karena kejaksaan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan, serta Kejaksaan juga merupakan eksekutor pelaksana baik sebagai pelaksana penetapan hakim maupun pelaksana putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap termasuk dalam hal pengembalian kerugian negara oleh pelaku tindak pidana korupsi. Kejaksaan dalam penindakan tindak pidana korupsi, baik berupa penyelidikan, penyidikan, penuntutan, eksekusi dan eksaminasi maupun tugas lainnya, kewenangan tersebut dijalankan oleh bidang tindak pidana khusus.Untuk tingkat Kejaksaan Agung di bawah kendali Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, sebagai salah satu Unsur Pembantu Pimpinan di Kejaksaan Agung

14 Zainudin Hasan, “Implikasi Pengembalian Keuangan Negara Terhadap Putusan Hakim Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Dana Bantuan Program Nasional Pembangunan Masyarakat Mandiri Pedesaan Di Provinsi Lampung,” KEADILAN PROGRESIF. Vol.9, no. 2 (September 30, 2018): 135-144, http://jurnal.ubl.ac.id/index.php/KP/article/view/. hlm 136.

15 Budi Suhariyanto Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan MA-RI Jl Jend Ahmad Yani Kav and Jakarta Pusat, “Penerapan Pidana Uang Pengganti Kepada Korporasi Dalam Perkara Korupsi,” Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional. Vol. 7, no. 1 (April 30, 2018): 113-130, https://rechtsvinding.bphn.go.id/ejournal/index.php/jrv/article/view/213. hlm 144.

16 Fontian Munzil, Imas Rosidawati Wr, and dan Sukendar, “Kesebandingan Pidana Uang Pengganti Dan Pengganti Pidana Uang Pengganti Dalam Rangka Melindungi Hak Ekonomis Negara Dan Kepastian Hukum.” Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM. Vol. 22, no. 1 (Kesebandingan Pidana, 2015): 25-53, https://journal.uii.ac.id/IUSTUM/article/view/4606. hlm 27.

17 Lukas, "Efektivitas Pidana Pembayaran Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Tindak Pidana Korupsi Di Pengadilan Negeri Purwokerto)."Jurnal Dinamika Hukum. Vol 10, no. 2 (2010), http://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/article/view/142/166. hlm 82.

18 R. Widyo Pramono. Pemberantasan Korupsi dan Pidana Lainnya Sebuah Perspektif Jaksa & Guru Besar. (Buku Kompas.

Jakarta. 2016). Hlm. 113

(6)

yang bertanggung jawab kepada Jaksa Agung.19 Dengan kata lain, di tingkat daerah provinsi atau Kejaksaan Tinggi berada di bawah Asisten Tindak Pidana Khusus (ASPIDSUS) dan di tingkat Kabupaten/Kota atau Kejaksaan Negeri berada di bawah Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus (KASI PIDSUS). Andi Nirwanto selaku Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAMPIDSUS) pernah menyampaikan, dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang, rentang tugas dan wewenang kejaksaan dimulai sejak penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan, upaya hukum dan eksekusi ditangani oleh bidang tindak pidana khusus.20

Undang-undang Tipikor memberikan sanksi kepada pelaku tindak pidana korupsi berupa pidana penjara, pidana denda dan pembayaran uang pengganti. Tujuan adanya pidana uang pengganti guna mempidana seberat mungkin para koruptor agar jera serta dalam rangka pengembalian keuangan negara yang melayang akibat suatu perbuatan korupsi. Maksud dibentuknya pengaturan tersebut untuk pemulihan keuangan negara sehingga kerugian keuangan negara yang pernah terjadi dapat dipulihkan atau dikembalikan melalui pembayaran uang pengganti yang nantinya berguna bagi pembangunan, perekonomian dan kepentingan negara lainnya. Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi juga di samping untuk pemidanaan tetapi agar dapat memberikan efek jera baik kepada pelaku maupun kepada masyarakat luas secara masif, serta aspek penyelamatan kerugian negara juga harus menjadi tujuan. Kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi sangat menganggu jalannya perekonomian, maka diharapkan dapat dipulihkan dengan menyalurkan kembali keuangan negara yang berhasil diselamatkan.

Sehubungan dengan kerugian negara dalam prinsip gap-filling yang memberi penekanan kepada peran serta aparat penegak hukum dan para pengguna hukum di dalam merealisasikannya,21 eksekusi perkara korupsi yang ditangani bidang tindak pidana khusus (pidsus) seyogyanya dilakukan terhadap pidana badan, pidana denda, pidana uang pengganti atau ganti rugi, terhadap barang bukti, dan biaya perkara. Namun adanya beberapa kendala untuk melakukan eksekusi terhadap uang pengganti atau ganti rugi kerugian keuangan negara dalam perkara korupsi mengakibatkan terhadap perkara tersebut menjadi tunggakan yang belum selesai dilaksanakan eksekusinya dan diangap sebagai piutang negara yang sampai kapanpun harus dibayar. Hal tersebut yang mengakibatkan banyaknya jumlah tunggakan uang pengganti di Kejaksaan RI sebagaimana berdasarkan data yang diterima ICW dari hasil verifikasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), jumlah uang pengganti yang harus segera dieksekusi sebesar Rp. 8,5 triliun dan US$189,5 juta. Sedangkan yang baru berhasil dieksekusi mencapai Rp. 2,6 triliun dan sebesar Rp. 5,8 triliun belum tertagih,22 selain itu berdasarkan data BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) RI Tahun 2014, Kejaksaan Republik Indonesia masih memiliki piutang uang pengganti sebesar Rp11.880.833.623.374,80, US$ 215,762,042.30, dan Sin$ 34,951.6 yang belum dieksekusi dari putusan uang pengganti perkara tindak pidana korupsi.23

Pada Kejaksaan Negeri Metro Lampng hingga Tahun 2016 terdapat sejumlah tunggakan uang pengganti perkara korupsi yang belum di eksekusi oleh satuan Pidsus maupun Datun Kejaksaan Negeri Metro yaitu sejumlah 14 perkara dengan jumlah total kerugian negara yang

19 Ibid, hlm 117

20 D. Andhi Nirwanto. Tugas dan Wewenang Kejaksaan RI dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus (Khususnya dalam Pemberantasan Korupsi. (Makalah disampaikan dalam Ceramah kepada Peserta PPPJ Angkatan LXIX Kelas I s/d IX Jakarta. 2012). Hlm. 9.

21 Intan Munirah and Mohd Din, “Pembayaran Pidana Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi Criminal Sanction Compensation Payment As Liability For States Financial Lost In The Case Of Corruption,” Mohd. Din, Efendi 19, no. 2 (August 27, 2311): 345–66, http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/kanun/article/view/6627/6831 hlm 350.

22 http://www.gresnews.com/berita/hukum/1401611-menagih-janji-kejagung-eksekusi-tunggakan- uang-pengganti- koruptor/0/ diakses pada tanggal 05 September 2016 pukul 14.00 WIB

23 http://www.beritasatu.com/pelangi-ramadan/hukum/323155-icw-kinerja-jaksa-agung-tak- memuaskan.html diakses pada tanggal 05 september 2016 pukul 10.49 WIB

(7)

belum dieksekusi uang penggantinya sejumlah Rp 1.144.316.206,- (satu milyar seratus empat puluh empat juta tiga ratus enam belas ribu dua ratus enam rupiah), dan terdapat 2 perkara yang sudah dilakukan pemulihan keuangan negara atau pengembalian kerugian negaranya dengan total sejumlah Rp. 134.347.667,- (seratus tiga puluh empat juta tiga ratus empat puluh tujuh ribu enam ratus enam puluh tujuh rupiah) berdasarkan data dari Sistem Informasi dan Manajemen Kejaksaan RI (SIMKARI) yang terdapat pada Kejaksaan Negeri Metro. Pada Kejaksaan Negeri Metro terdapat beberapa tunggakan perkara uang pengganti yang belum dieksekusi oleh bidang pidsus itu sendiri dikarenakan beberapa kendala diantaranya terpidananya telah meninggal dunia, terdakwa tidak mau membayar uang pengganti dengan alasan tidak memiliki harta benda, atau harta bendanya telah dialihnamanakan.24 Sehingga dengan demikian seharusnya tunggakan perkara pembayaran uang pengganti kerugian negara dalam perkara korupsi baik di tingkat Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri seharusnya dapat terselesaikan dan diharapkan tidak ada tunggakan walaupun nyatanya tidak demikian.

B. Rumusan Masalah

Pemulihan keuangan negara dalam perkara korupsi melalui kerjasama bidang intelijen dan bidang datun, dengan pertanyaan penelitian (research questions) sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pelaksanaan kebijakan eksekusi secara integral oleh lembaga Kejaksaan untuk pengembalian keuangan negara dalam perkara korupsi?

b. Mengapa terjadi hambatan pada pelaksanaan kebijakan eksekusi secara integral oleh lembaga Kejaksaan untuk pengembalian keuangan negara dalam perkara korupsi?

C. Tujuan Penelitian

Sementara itu yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

1) Untuk mengetahui pelaksanaan kebijakan eksekusi secara integral oleh lembaga Kejaksaan untuk pengembalian keuangan negara dalam perkara korupsi di Kejaksaan Negeri Metro.

2) Untuk mengetahui mengapa terjadi hambatan pada pelaksanaan kebijakan eksekusi secara integral oleh lembaga Kejaksaan untuk pengembalian keuangan negara dalam perkara korupsi di Kejaksaan Negeri Metro.

D. Metode Penelitian

Penelitian mengenai hambatan eksekusi integral Kejaksaan Negeri Metro Lampung dalam pengembalian kerugian negara, merupakan penelitian yuridis normative serta yuridis empiris yaitu penelitian dengan menggunakan pendekatan masalah yang dilakukan dengan cara menelaah kaidah-kaidah, norma-norma, aturan-aturan dengan jalan mempelajari buku- buku, bahan-bahan bacaan literatur peraturan perundang- undangan yang menunjang dan berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. Pendekatan tersebut dimaksud untuk mengumpulkan berbagai macam peraturan perundang-undangan, teori-teori dan literatur- literatur yang erat hubungannya dengan masalah yang akan diteliti. Pendekatan yuridis empiris adalah upaya untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan berdasarkan realitas yang ada atau studi kasus.

Bahan atau materi dalam penelitian ini diperoleh dari dua sumber yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari hasil

24 http://10.1.0.32/simkari/index.php?msk=1&app=BmI= diakses pada hari senin tanggal 05 September 2016 Pukul 11.18 WIB.

(8)

penelitian dilapangan, baik melalui pengamatan atau wawancara dengan para responden, dalam hal ini adalah pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan masalah dalam penelitian ini. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Pencarian data sekunder ini dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya melalui studi kepustakaan, artikel-artikel dimedia masa baik cetak maupun elektronik yang terkait dengan penelitian ini.

Proses analisa data merupakan usaha menemukan jawaban atas pertanyaan mengenai perihal di dalam rumusan masalah serta hal-hal yang diperoleh dari suatu penelitian pendahuluan. Dalam proses analisa data ini, rangkaian data yang telah tersusun secara sistematis menurut klasifikasinya kemudian diuraikan dan dianalisis secara kualitatif, yakni dengan memberikan pengertian terhadap data yang diperoleh dilapangan dan disusun serta diuraikan dalam bentuk perkalimat. Kemudian dari hasil analisa tersebut diinterpretasikan kedalam bentuk kesimpulan yang bersifat induktif, yaitu suatu cara berfikir dari hal-hal yang bersifat khusus kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum.

E. Hasil Penelitian

Kerugian keuangan negara adalah hal utama yang diakibatkan oleh perbuatan korupsi yang dapat merugikan masyarakat secara umum. Faktor demikian yang menjadikan dasar diatur adanya kewajibkan pelaku korupsi mengganti kerugian keuangan negara yang telah diperbuat. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 telah diatur mengenai hukuman tambahan di dalam Pasal 34 yakni perampasan barang- barang yang berkaitan maupun yang diperoleh dari tindak pidana korupsi tersebut serta adanya pembayaran uang pengganti yang diwajibkan kepada terpidana, namun tidak mengatur secara lengkap dan jelas mengenai tata cara melaksanakan eksekusi pidana tambahan tersebut. Sehingga dalam perbaharuannya, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur lebih lengkap dan jelas mengenai pidana tambahan dalam tindak pidana korupsi yang tertuang dalam Pasal 18. Pada Kejaksaan Negeri Metro yang masih banyak tunggakan perkara pembayaran uang pengganti adalah berasal dari tindak pidana korupsi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. Hal tersebut seharusnya tidaklah terjadi karena jika merujuk kepada isi salah satu penjelasan Pasal 34 itu sendiri yang menyatakan “apabila pembayaran uang pengganti tidak dapat dipenuhi oleh terdakwa maka berlakulah ketentuan- ketentuan mengenai pelaksanaan pembayaran hukuman denda”. Artinya jika merujuk pada penjelasan Pasal tersebut semestinya pada saat dilakukan penuntutan dalam Requisitoir selain tuntutan uang pengganti juga dimintakan pidana kurungan atau pidana penjara sebagai pengganti apabila kewajiban pembayaran uang pengganti tersebut tidak dilakukan oleh terpidana.

Pembayaran uang pengganti oleh terpidana korupsi tersebut mau tidak mau haruslah dilakukan eksekusi oleh Jaksa selaku eksekutor karena merupakan merupakan sanksi yang harus dieksekusi. Namun dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tersebut tidak mengatur tata cara pelaksanaan putusan pidananya sehingga terjadi kendala dalam melakukan penerapannya.

Penanganan perkara tindak pidana korupsi merupakan tugas utama bidang Pidsus pada lembaga Kejaksaan. Sementara pelaksanaan eksekusi pidana merupakan tugas Jaksa, sehingga dalam pelaksanaannya bukanlah atas nama bidang Pidsus namun dilaksanakan atas nama Kejaksaan. Dalam melaksanakan eksekusi atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, Kejaksaan memberdayakan bidang – bidang tugas yang ada pada lembaga Kejaksaan antara lain bidang Intelijen dan Bidang Datun. Pada Kejaksaan Negeri Metro, tunggakan perkara uang pengganti perkara korupsi yang ada tersebut merupakan perkara yang diputus dengan Undag-Undang Nomor 3 tahun 1971, yang terhambat pelaksanaan eksekusi

(9)

pembayaran uang penggantinya sehingga dilakukan upaya penyelesaiannya oleh Kepala Kejaksaan Negeri Metro melalui jaksa pengacara negara (JPN) guna pengembalian kerugian keuangan negara. Jaksa dalam peranannya melakukan eksekusi pidana uang pengganti perkara korupsi tersebut dibantu dengan agen Intelijen dalam rangka pelacakan asset terpidana dan ahli warisnya. Sehingga Jaksa nantinya akan dapat mengupayakan untuk melakukan perampasan terhadap aset terpidana dan ahli warisnya tersebut guna dilelang untuk menutupi uang pengganti terpidana tersebut.

Menurut Bobi, pada prinsipnya Intelijen dapat masuk segala lini dalam kaitannya dengan fungsi Intelijen sebagaimana Intelijen Kejaksaan termasuk dalam fungsi intelijen penegakan hukum yang datur didalam Pasal 9 huruf d Jo. Pasal 13 Ayat (1) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara, namun untuk perkara atas nama terpidana TAJUDDIN, Bsc tersebut dikarenakan telah lama berlalu dan divonis dengan UUTPK 3 Tahun 1971 pada Tahun 2000 berdasarkan Putusan Pengadilan Nomor : 55/Pid.B/2000/PN.M tanggal 05 Juli 2000, sehingga bidang Intelijen tidak dapat serta merta proaktif dalam penanganannya sebelum adanya permintaan dari bidang yang saat ini tengah memproses perkaranya guna pemulihan keuangan negara. Bahwa pelaksaannya tersebut dilakukan dengan cara sebelumnya bidang Pidsus menerima berkas perkara inkraht dari bidang Pidsus selanjutnya bidang Datun mengirimkan permintaan untuk dilakukan pelacakan aset terlebih dahulu melalui Nota Dinas Nomor ND – 01/Gs/08/2015 tanggal 07 Agustus 2015 kepada bidang Intelijen, kemudian Kepala Seksi Intelijen (Kasi Intel) menunjuk seorang Jaksa untuk membuat telaahan intelijen guna menindaklanjuti permintaan bidang Datun tersebut. Setelah itu Jaksa Penelaah berpendapat untuk menindaklanjuti permintaan bidang Datun tersebut agar diterbitkan Surat Perintah Operasi Intelijen Penyelidikan untuk melakukan pelacakan aset terhadap terpidana tersebut.

Setelah surat perintah operasi intelijen nomor : PRINOPS- 05/N.8.12/Dek.3/08/2015 tanggal 21 Agustus 2015 terbit, selanjutnya tim yang ditunjuk melakukan operasi intelijen tersebut melakukan ekspose guna menentukan rencana penyelidikan, melakukan analisa sasaran dan menentukan target operasi intelijen sebelum melakukan operasi intelijen. Setelah ditentukan rencana penyelidikan dan target operasi maka tim dapat segera turun ke lapangan melakukan koordinasi dengan instansi lain yang dapat berperan penting mengetahui ada tidaknya suatu aset milik terpidana dan ahli warisnya. Sebelum melakukan koordinasi dengan instansi lain yang terkait, tim melakukan verifikasi data ke Pemerintah Daerah Kota Metro dalam hal ini Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) terkait data kependudukan milik terpidana yang didapat dari Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sehingga data yang dimiliki oleh tim pelacakan aset valid dan dapat digunakan dengan mempunyai kekuatan hukum pembuktian. Adapun data yang diperlukan antara lain nama terpidana dan ahli warisnya (dengan ejaan yang benar) termasuk yang sudah terpisah dari kartu keluarga terpidana, alamat terpidana dan ahli warisnya serta tempat dan tanggal lahir terpidana dan ahli warisnya. Hal tersebut untuk memastikan keberadaan dan kepemilikan aset terpidana nantinya yang akan di kroscek dengan Instansi terkait. Instansi terkait yang dapat membantu melakukan pelacakan aset terpidana antara lain, Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mengetahui aset berupa barang tidak bergerak, dan Kantor Bersama Samsat untuk mengetahui aset berupa kendaraan bermotor atas nama terpidana atau istri dan anaknya yang sesuai dengan identitas terpidana (KTP dan KK) yang didapat Disdukcapil Kota Metro.

Permintaan data-data tersebut selanjutnya dilakukan secara resmi melalui surat nomor : B-889/N.8.12/Dek.3/09/2015 tanggal 16 September 2015 yang ditujukan kepada Kepala Kantor Bersama Samsat Kota Metro, dan surat nomor : B- 890/N.8.12/Dek.3/09/2015 tanggal 16 September 2015 yang ditujukan kepada Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Metro agar data yang didapat tersebut nantinya dapat digunakan sebagai alat bukti dalam peradilan perdata yang berguna bagi bidang Datun untuk melakukan gugatan nantinya.

(10)

Setelah mendapatkan data dari Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Metro melalui surat nomor : 311/300-18-72/IX/2015 tanggal 29 September 2015 menerangkan pada intinya terpidana TAJUDDIN, B.Sc tidak tercatat memiliki aset berupa tanah yang sudah bersertiikat di Kota Metro, sedangkan data dari Kantor Bersama Samsat berdasarkan surat nomor : 800.008/III.08/02/2015 tanggal 28 September 2015 menerangkan bahwa terpidana TAJUDDIN, B.Sc memiliki aset berupa kendaraan bermotor roda dua Merk Suzuki / RC 110 warna Hitam Tahun 1995 nopol BE 6772 FB atas nama TAJUDDIN, dan Kendaraan bermotor roda dua merk Yamaha / 54P warna Putih Tahun 2012 nopol BE 6389 FS atas nama PRAGMA SANDY WIRAWAN yang merupakan anak terpidana berdasarkan Kartu Keluarga Nomor 187210403080008. Selain itu tim Intelijen melakukan pelacakan aset dengan cara menelusuri langsung ke lapangan atau alamat tempat tinggal terpidana Jl. AR Prawira Negara Gg. Al-Aqsa II No.3 RT.35 RW.06 Kelurahan Metro Kecamatan Metro Pusat Kota Metro, dengan melihat secara utuh rumah tempat tinggal dan harta yang bernilai ekonomis yang ada dirumah terpidana tersebut dan dibandingkan dengan 75 data yang didapat dari Kantor bersama Samsat dan Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Metro untuk pembayaran uang pengganti.

Dalam perkara atas nama TAJUDDIN, B.Sc tim Intelijen menelusuri kepemilikan aset terpidana tersebut hingga kepada tetangga terpidana dengan cara melakukan wawancara dengan sdr. DWI DARMAWAN yang merupakan Ketua RT. 35 dimana tempat terpidana tinggal, dan juga merupakan penduduk lama yang dapat memastikan bahwa rumah tempat tinggal terpidana adalah milik terpidana secara sah berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) no. 02056468 dengan NOP. 18.72.040.

001.014-0054.0 yang mana keterangan sdr. DWI DARMAWAN tersebut diperkuat dengan keterangan sdr. ROBI SAPUTRA, SP.,Msi yang merupakan Lurah Metro dimana terpidana TAJUDDIN, B.Sc merupakan warga Kelurahan Metro dan sdr. ROBI SAPUTRA, SP.,Msi selaku lurah mengetahui bahwa TAJUDDIN, B.Sc pernah terlibat korupsi dan sepengetahuan Sdr. ROBI SAPUTRA tempat tinggal terpidana TAJUDDIN, B.Sc tersebut merupakan tanah milik orangtua terpidana yang bernama Hi. MAHADUN (Alm) dan tanah tersebut masih berupa satu surat, jika sudah terpecah-pecah maka pasti diketahui oleh RT, RW atau Lurah setempat. Dalam perkara atas nama terpidana TAJUDDIN, B.Sc hanya terdapat beberapa aset yang dapat dibuktikan secara nyata karena terdaftar pada Kantor Bersama Samsat berupa 1 (satu) Unit kendaraan roda dua Tahun 1995 atas nama terpidana dan 1 (satu) unit kendaraan roda dua tahun 2012 atas nama anak terdakwa. Dari aset tersebut tidaklah mencukupi untuk membayar uang pengganti terpidana sebesar Rp. 163.665.200,- (seratus enam puluh tiga juta enam ratus enam puluh lima ribu dua ratus rupiah), namun tim Intelijen memiliki seorang ketua RT 76 dimana tempat tinggal terpidana tersebut yang memang penduduk lama daerah tersebut dan mengetahui dan dapat menerangkan bahwa rumah tersebut milik terpidana yang diperoleh dari warisan orangtua terpidana yang mana keterangan ketua RT tersebut diperkuat dengan keterangan Lurah Metro dimana terpidana merupakan warga kelurahan Metro, dan lurah tersebut pun mengetehui sejarah rumah tersebut dan selama lurah tersebut menjabat sudah beberapa kali terpidana menjadi target mediasi dari tim Datun Kejari Metro untuk menagih pembayaran uang pengganti terhadap terpidana.

Secara umum aset tanah dan rumah yang menjadi tempat tinggal terpidana TAJUDDIN, B.Sc yang terletak di Jl. AR Prawira Negara Gg. Al-Aqsa II No.3 RT.35 RW.06 Kelurahan Metro Kecamatan Metro Pusat Kota Metro dapat terlihat mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi daripada nilai uang pengganti yang harus dibayar oleh terpidana, sehingga akan dapat menutupi uang pengganti terpidana tersebut. Menurut Qori, dalam pemulihan keuangan negara pada perkara korupsi yang diputus dengan UUTPK Nomor 3 Tahun 1971 yakni dalam perkara atas nama terpidana TAJUDDIN, BSc peran bidang Intelijen sebatas pada penelusuran dan pelacakan, penggalangan terhadap orang-orang yang mengetahui keberadaan

(11)

aset terpidana yang dapat menjadi saksi dipersidangan nantinya, serta pengamanan baik terhadap aset terpidana yang telah diketahui keberadaannya maupun terhadap personil Jaksa Pengacara Negara (JPN) nantinya dalam proses persidangan perdata. Dari hasil pelacakan aset mantan terpidana atas nama TAJUDDIN, B.Sc tersebut kemudian hasilnya diserahkan ke bidang Datun selaku bidang yang meminta bantuan pelacakan aset dengan Berita Acara kemudian diserahkan melalui Nota Dinas Nomor ND-07/N.10.12.7.3/Dek.1/10/2015 tanggal 07 Oktober 2015 guna dilakukan gugatan secara perdata untuk selanjutnya dilakukan eksekusi guna pengembalian keuangan negara.

Hasil pelacakan aset yang didapat oleh bidang Intelijen tersebut hanya sebagai acuan yang tidak mengikat bagi JPN dalam melakukan gugatan, JPN nantinya berhak dan berwenang untuk melakukan gugatan terhadap aset-aset terpidana sesuai dengan kepentingannya guna pemulihan keuangan negara.115 Setelah menerima berkas hasil pelacakan aset, bidang Datun memulai action dengan melakukan pemanggilan terhadap TAJUDDIN, B.Sc untuk negosiasi terhadap pembayaran uang pengganti yang belum dibayar sdr. TAJUDDIN tersebut dengan menggunakan berkas hasil pelacakan aset sebagai nilai tawar (bargaining), namun negosiasi tersebut tidak terlaksana sebagaimana mestinya karena pihak terpidana tidak pernah hadir memenuhi undangan dari bidang Datun Kejaksaan Negeri Metro. Setelah upaya secara non litigasi tidak membuahkan hasil, selanjutnya bidang Datung langsung bertindak memulihkan keuangan negara terhadap uang pengganti perkara korupsi yang dilakukan oleh terpidana TAJUDDIN,B.Sc tersebut secara litigasi dengan meminta Surat Kuasa Khusus dari Kepala Kejaksaan Negeri Metro untuk melakukan gugatan terhadap Mantan Terpidana Korupsi atas nama TAJUDDIN, B.Sc di Pengadilan Negeri Metro dengan cara Gugatan Sederhana berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia 115 Wawancara dengan Bobi Heryanto pada tanggal 19 Desember 2016. 78 Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana (Perma No. 02 Tahun 2015). Bahwa pelacakan aset yang dilakukan bidang Intelijen merupakan bagian tidak terpisahkan dalam rangka pemulihan keuangan negara dalam perkara korupsi, walaupun sesungguhnya pemulihan keuangan negara tersebut dimulai pada saat bidang Datun melakukan action setelah mendapatkan hasil dari pelacakan aset yang dilakukan oleh Bidang Intelijen, yaitu dengan cara mulai dari non litigasi (negosiasi dan mediasi) hingga dengan cara litigasi (menjalani persidangan sebagai penggugat).

Dalam rangka penyelesaian eksekusi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti perkara tindak pidana korupsi yang muaranya pengembalian keuangan negara melalui kebijakan eksekusi secara integral oleh lembaga Kejaksaan khususnya di Kejaksaan Negeri Metro antara lain terdapat dua jenis kegiatan yaitu yang dilakukan bidang Intelijen berupa pelacakan aset dan yang dilakukan oleh JPN baik secara litigasi maupun non litigasi yang berujung pada pengembalian keuangan negara kepada kas negara melalui PNBP Kejaksaan RI. Pada pelaksanaan eksekusi pidana tambahan berupa uang pengganti pidana korupsi UUTPK 3 tahun 1971 tersebut di Kejaksaan Negeri Metro tentunya mengalami kendala baik yang dialami bidang Intelijen maupun bidang Datun yang dapat menghambat proses dilakukannya eksekusi terhadap pembayaran uang penganti tersebut. Adapun dalam rangka pencarian harta kekayaan maupun aset lainnya baik hasil korupsi ataupun bukan hasil korupsi, baik milik tersangka, terdakwa, maupun milik terpidana korupsi misalnya, peranan bidang Intelijen sangatlah penting guna memudahkan dalam pelaksanaan eksekusi untuk pengembalian keuangan negara.

Dalam pelaksanaan di lapangan tentunya bidang Intelijen harus memahami terlebih dahulu permasalahan atau duduk perkara yang dialami oleh target yang akan dilakukan pelacakan aset sehingga nantinya dapat bidang Intelijen dapat melakukan pemetaan harta guna disita, dirampas, maupun digugat guna pengembalian keuangan negara. Selanjutnya apabila hasil pencarian harta atau pelacakan aset dari bidang Intelijen telah selesai

(12)

dilaksanakan dengan menyajikan 95 data yang valid, maka hasil pelacakan aset tersebut dapat digunakan untuk memudahkan bidang lain (misal bidang Pidsus untuk melakukan penyitaan, dan perampasan, ataupun untuk bidang Datun dalam melakukan gugatan) yang nantinya berguna untuk pembayaran uang pengganti perkara korupsi yang telah terjadi. Sehingga eksekusi pidana uang pengganti nantinya dapat terlaksana dengan terpidana membayar uang pengganti tersebut. Bahwa pelaksanaan pengembalian keuangan negara dalam perkara korupsi atas nama TAJUDDIN, B.Sc tersebut yang sebelumnya telah diputus berdasarkan putusan nomor : 53/Pid.B/2000/PN.M tanggal 05 Juli tahun 2000 dan perkara tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap, serta terpidana juga sudah menjalani pidananya namun belum membayar uang pengganti sejumlah Rp163.665.200,00 (seratus enam puluh tiga juta enam ratus enam puluh lima ribu dua ratus rupiah), sehingga Kejaksaan Negeri Metro melakukan upaya dengan kebijakan eksekusi secara integral yang dilakukan bidang-bidang yang ada di Kejaksaan Negeri Metro itu sendiri yaitu bidang Intelijen dan bidang Datun.

Bahwa dalam rangka melakukan upaya pelaksanaan eksekusi pembayaran uang pengganti tersebut bidang Intelijen melakukan kegiatan pelacakan aset mantan terpidana maupun ahli warisnya. Hal mana tersebut tentunya dalam melakukan pelacakan aset tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, banyak kendala yang dihadapi baik kendala teknis maupun kendala dari segi administrasi. Hambatan yang dialami tersebut berupa kendala- kendala antara lain: 1. Kendala Teknis Beberapa kendala teknis antara lain ; 121 Wawancara dengan Indria Qori Safitri pada tanggal 19 Desember 2016 96 - Kurangnya tenaga agen intelijen dilapangan yang mumpuni; - Kurangnya peralatan Intelijen yang memadai; - Kecilnya anggaran bagi kegiatan pelacakan aset di Kejaksaan Negeri Metro dibandingkan dengan jumlah permintaan pelacakan aset yang ada dari bidang Datun Kejaksaan Negeri Metro. 2. Kendala Non Teknis - Minimnya Data yang ada dari Bidang lain tersebut dalam melakukan permintaan pelacakan aset (hanya selembar petikan putusan yang sudah tidak terbaca lagi nomor dan tanggalnya); - Terpidana sudah tidak tinggal di alamat yang tertera pada identitas terdakwa dalam putusan Pengadilan atau sudah tidak ada ditempat tersebut; - Banyaknya aset berupa tanah yang belum memiliki sertifikat ataupun berupa kendaraan bermotor belum beratas namakan terpidana atau ahli warisnya (pada saat peralihan aset sampai sekarang masih atas nama penjual atau belum baik nama) 3. Kendala Administratif Adapun kendala administrasi disini maksudnya antara lain: Wilayah administratif yang telah pecah menjadi kabupaten sendiri sehingga untuk melakukan pelacakan aset diluar wilayah hukum Kejaksaan Negeri Metro atau diluar wilayah administratif Pemerintahan Kota Metro akan menjadi kendala yang dapat menghambat kegiatan pelacakan aset tersebut karena harus melalui birokrasi Pemerintahan dan administratif pada Kabupaten Lain; 97 Nomenklatur nama-nama daerah yang sudah berganti nama (yang sebelumnya desa/dusun/kampung berubah menjadi kelurahan atau nama kelurahan tersebut telah berganti nama).

Disamping kendala-kendala tersebut, menurut Bobi kendala yang prinsip justru terjadi manakala terpidana tersebut sudah tidak mampu lagi secara finansial untuk melakukan pembayaran uang pengganti yang seharusnya dibayar oleh terpidana. Misalnya terpidana tersebut merupakan pensiunan yang baru sembuh dari sakit stroke ringan yang diderita dimana istri terpidana telah meninggal dunia dan terpidana beserta kedua anaknya yang belum menikah masih tinggal di sebuah kontrakan yang posisinya saat itu sedang menunggak beberapa bulan, dan terpidana tersebut hanya memilki sebuah aset berupa 1 (satu) unit sepeda motor yang hanya bernilai rendah sementara aset tersebut hanya mampu menutupi sebagian kecil dari nilai uang pengganti yang harus dibayar terpidana tersebut. Selain itu tugas agen Intelijen sangatlah beragam tidak hanya melakukan pencarian aset terpidana namun ada tugas pokok lainnya yang harus dilakukan agen intelijen sementara jumlah agen intelijen pada Kejaksaan Negeri Metro sangat terbatas, sehingga diperlukan kemauan dan kemampuan dalam pelaksanaannya.

(13)

F. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Pengembalian keuangan negara dalam perkara korupsi khususnya yang telah melanggar

UUTPK 3 Tahun 1971 melalui kebijakan eksekusi secara Integral oleh lembaga Kejaksaan secara hukum pidana tidak dapat dilaksanakan eksekusinya dengan menggunakan ketentuan Pasal 18 UUTPK 31 tahun 1999 Jo. UUTPK 20 tahun 2001 karena UUTPK 3 tahun 1971 tidak mengatur mengenai tata cara pelaksanaan eksekusi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti tindak pidana korupsi yang tidak dibayarkan oleh terpidana tersebut, serta berdasarkan asas subsideritas maka aturan yang menguntungkan terpidana adalah yang dipakai yaitu UUTPK 3 tahun 1971. Untuk dapat melaksanakan eksekusi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti tindak pidana korupsi yang melanggar UUTPK 3 tahun 1971 tersebut seharusnya diatur tersendiri dengan instrumen Undang-undang. Pelaksanaan eksekusi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti tindak pidana korupsi khususnya yang melanggar UUTPK 3 tahun 1971 dapat terlaksana dengan baik apabila RUU perampasan aset segera diundangkan dengan memasukkan aturan mengenai adanya kewenangan Jaksa selaku eksekutor untuk melakukan perampasan aset terpidana korupsi maupun ahli warisnya 104 termasuk terpidana korupsi maupun ahli warisnya yang diputus dengan UUTPK 3 Tahun 1971.

2. Terjadinya hambatan dalam pelaksanaan pengembalian keuangan negara dalam perkara korupsi melalui kebijakan eksekusi secara integral oleh lembaga Kejaksaan khususnya yang diputus berdasarkan UUTPK 3 tahun 1971 dikarenakan tidak adanya pengaturan yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan eksekusi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti didalam UUTPK 3 tahun 1971 sehingga Jaksa selaku Eksekutor tidak dapat melaksanakan eksekusi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti tersebut menggunakan instrumen Pasal 18 UUTPK saat ini. Ditambah lagi dengan tidak adanya petunjuk teknis dan pelaksanaan bagi Jaksa selaku eksekutor untuk melakukan eksekusi terhadap terpidana maupun ahli warisnya yang secara nyata tidak mampu melakukan pembayaran uang pengganti tindak pidana korupsi tersebut.

Daftar Pustaka

A. Jurnal

Alrianto Tajuddin Jurisprudentie, Mulyadi, and Mulyadi Alrianto Tajuddin. “Penerapan Pidana Tambahan Uang Pengganti Sebagai Premium Remedium PENERAPAN PIDANA TAMBAHAN UANG PENGGANTI SEBAGAI PREMIUM REMEDIUM DALAM RANGKA PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA.” Jurisprudentie : Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah Dan Hukum. Vol. 2, December 7, 2015. http://journal.uin- alauddin.ac.id/index.php/Jurisprudentie/article/view/6848.

“EFEKTIVITAS PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan Tindak Pidana Korupsi Di Pengadilan Negeri Purwokerto) | Lukas | Jurnal Dinamika Hukum.” Accessed August 11, 2020.

http://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/article/view/142/166.

Indriana Pemerintah Daerah Provinsi Lampung, Yayan, Kata Kunci, Pengembalian Ganti Rugi Keuangan Negara, and Tindakan Pidana Korupsi. “PENGEMBALIAN GANTI RUGI KEUANGAN NEGARA PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI REPAYMENT OF COMPENSATION FOR STATE FINANCES IN CORRUPTION CASES.” Cepalo 2, no. 2 (September 12, 2018): 123–30. https://doi.org/10.25041/cepalo.v2no2.1769.

(14)

Julnius, Michael, and Christhopher Siahaya. “PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM TAHAP PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI.” LEX CRIMEN.

Vol. IV, May 1, 2015. https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/view/7781.

Jurnal Keadilan Progresif Keadilan Progresif, Jurnal, and Optimalisasi Nilai Kearifan Lokal Rembug Pekon Dalam Pengelolaan Taman Hutan Raya Wan Abdurahman Propinsi Lampung Sebagai Kawasan Hutan Konservasi Berbasis Masyarakat. “Implikasi Pengembalian Keuangan Negara Terhadap Putusan Hakim Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Dana Bantuan Program Nasional Pembangunan Masyarakat Mandiri Pedesaan Di Provinsi Lampung.” KEADILAN PROGRESIF 9, no. 2 (September 30, 2018). http://jurnal.ubl.ac.id/index.php/KP/article/view/.

Mahmud, Ade. “Problematika Asset Recovery Dalam Pengembalian Kerugian Negara (Ade Mahmud).” Jurnal Yudisial 11, no. 3 (December 26, 2018): 347–66.

https://doi.org/10.29123/jy.v11i3.262.

Marisi, Lambok, Jakobus Sidabutar, Kejaksaan Tinggi, and Kalimatan Barat. “Hukum Kepailitan Dalam Eksekusi Harta Benda Korporasi Sebagai Pembayaran Uang Pengganti.” Jurnal Antikorupsi Integritas 05, no. 2 (December 17, 2019): 75–86.

https://doi.org/10.32697/integritas.v5i2.474.

Munirah, Intan, and Mohd Din. “PEMBAYARAN PIDANA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA KORUPSI CRIMINAL SANCTION COMPENSATION PAYMENT AS LIABILITY FOR STATES FINANCIAL LOST IN THE CASE OF CORRUPTION.” Mohd.

Din, Efendi 19, no. 2 (August 27, 2311): 345–66. http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/kanun.

Munzil, Fontian, Imas Rosidawati Wr, and dan Sukendar. “Kesebandingan Pidana Uang Pengganti Dan Pengganti Pidana Uang Pengganti Dalam Rangka Melindungi Hak Ekonomis Negara Dan Kepastian Hukum 1.” Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM. Vol. 22. Kesebandingan Pidana, 2015.

https://journal.uii.ac.id/IUSTUM/article/view/4606.

Paeh, Karel Antonius. “PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA BERDASARKAN REKOMENDASI BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (BPK) HUBUNGAN DENGAN UNSUR KERUGIAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI.” Katalogis. Vol. 5, July 14, 2017. http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/Katalogis/article/view/8490.

Rambey, Guntur. “PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI MELALUI PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DAN DENDA.” DE LEGA LATA: Jurnal Ilmu Hukum. Vol. I. Januari-Juni, March 4, 2016. www.ejournal.unp.

Suhariyanto, Budi. “RESTORATIF JUSTICE DALAM PEMIDANAAN KORPORASI PELAKU KORUPSI DEMI OPTIMALISASI PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA.” Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 5, no. 3 (November 25, 2016): 421–38.

https://rechtsvinding.bphn.go.id/ejournal/index.php/jrv/article/view/153/88.

Suhariyanto Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan MA-RI Jl Jend Ahmad Yani Kav, Budi, and Jakarta Pusat. “Penerapan Pidana Uang Pengganti Kepada Korporasi Dalam Perkara Korupsi.” Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional. Vol. 7, April 30, 2018. https://rechtsvinding.bphn.go.id/ejournal/index.php/jrv/article/view/213.

“View of Peran Kejaksaan Dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Pada Perkara Tindak

Pidana Korupsi.” Accessed August 11, 2020.

http://journal.ilininstitute.com/index.php/IJoCL/article/view/147/128.

“View of UANG PENGGANTI SEBAGAI ALTERNATIF PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI.” Accessed August 11, 2020.

http://ejournal.unmus.ac.id/index.php/hukum/article/view/1924/1148.

Referensi

Dokumen terkait

Penyidik Tindak Pidana Korupsi di Polres Kutai Kartanegara menerangkan bahwa dalam rangka memberantas tindak pidana korupsi ada tiga institusi yang berwenang dalam melakukan

2 2022: Journal Of Juridische Analyse 51 menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan perbuatan pidana.24 Sanksi diartikan sebagai tanggungan, tindakan,