ALLAH SWT
Defriansyah (301210032) Hakiki
Abstrak : Ayat-ayat terkait Allah SWT pada Alquran memiliki dua sisi yang berbeda. Satu sisi Alquran mengatakan bahwa Allah dapat dilihat namun ada juga yang mengatakan sebaliknya. penelitian ini menggunakan metode labrary research dengan mengambil jenis penelitian kepustakaan. adapun Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana Pandangan para ulama tentang Allah dan mengetahui penafsiran ayat-ayat Terkait Allah di dalam Alquran. penelitian ini menemukan bahwa Allah tidak pernah dilihat dengan mata kepala, oleh nabi Musa maupun Rasulullah saat di dunia. Adanya Allah SWT bisa disebut sebagai Ru’yatullah yang mana menurut para arifbillah Allah bisa saja terjadi dengan bashirah di dunia, tetapi ru’yatullah yang hakiki hanya bisa dirasakan oleh orang beriman setelah mereka masuk surga. Di dalam Tafsīr alQuran al-‘Adzīm dan Tafsīr al-Munīr, menjelaskan ru’yatullah itu akan terjadi di akhirat secara langsung dengan mata kepala. Tetapi melihat Allah di dunia itu tidak bisa dikarenakan kebesaran dan keagungan-Nya yang Maha Tinggi dan Maha Suci.
Manusia tidak akan dapat menjangkau hakikat zat Allah dan sifat-Nya dengan pandangan mata tidak juga dengan akal. Jadi dapat disimpulkan, ru’yatullah adalah suatu perkara yang gaib yang wajib diimani yang hanya diperoleh oleh hamba yang beriman dan beramal saleh sebagai tambahannya di akhirat, sedangkan orang-orang kafir tidak. Maka oleh sebab itu berlomba-lombalah dalam kebaikan untuk memperoleh ridha Ilahi dan pertemuan dengan-Nya.
Kata Kunci : Allah SWT, Ru’yatullah, Sifat dan zat
Pendahuluan
Dalam kajian teologi Islam, pemahaman mengenai sifat dan zat Allah merupakan aspek fundamental dan mendalam. Sifat dan zat Allah merupakan topik yang kompleks dan sering kali menjadi subjek perdebatan di kalangan ulama dan cendekiawan Islam. pentingnya menggunakan wahyu dalam landasan utama untuk memahami kebenaran teologis, bukan semata-mata keterbatasan rasio manusia. Dalam konteks ini, pemahaman terhadap nash (teks Alquran dan hadis) menjadi kunci utama dalam merumuskan pandangan mengenai sifat dan zat Allah. wahyu digunakan sebagai pijakan utama dalam memahami aspek-aspek metafisik, termasuk sifat dan zat Allah. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam terkait sifat dan zat Allah, serta relevansinya dalam konteks teologi Islam. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang sifat dan zat Allah. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi kontribusi positif dalam pengembangan pemikiran teologis Islam yang berlandaskan pada wahyu dan nash sebagai sumber kebenaran utama.
ALLAH SWT
Konsep Keesaan Allah adalah bersifat esa dan tunggal ia hanyalah satu-satunya Tuhan yang layak disembah dan tidak ada Tuhan selain-Nya. Konsep keesaan Allah ini telah banyak tercermin pada ayat-ayat Al-Qur'an yang menegaskan bahwa Allah adalah Maha Esa dan Allah memiliki 99 sifat-sifat yang terkandung dalam Asmaul Husna makna dan implikasi dari setiap sifat-sifat Allah seperti Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Bijaksana, Maha Kuasa.
Menjadi Penjelasan yang membantu umat Islam untuk lebih memahami karakter dan sifat-sifat Allah Swt. Kekuasaan Allah yang mutlak atas segala sesuatu yang menciptakan alam semesta, pemelihara segala makhluk, dan pengatur segala urusan. Konsep kekuasaan Allah ini lah yang memberikan keyakinan dan harapan kepada umat Islam bahwa Allah Maha Kuasa atas segala hal. sifat kasih sayang dan keadilan Allah yang selalu memberikan rahmat-Nya kepada hamba- Nya, serta Maha Adil yang memberikan balasan sesuai dengan perbuatan manusia. Ini lah karakteristik ketuhanan yang di miliki oleh Allah yang dapat di buktikan melalui Ayat-ayatnya.
Ru’yatullah
Ru’yat Allah berasal dari kata ru’yat dan Allah, ru’yat secara bahasa berarti melihat. Berasal dari kata ةيؤر ىريي ىار yaitu melihat dengan mata kepala ataupun mata telanjang1. Menurut Ibnu Qayyim ru’yat adalah merupakan wujudi (sesuatu yang pastikeberadaannya) yang berkaitan dengan sesuatu yang ada. Sesuatu yan paling berhak untuk dilihat adalah sesuatu yang paling sempurna. Oleh karena itulah Allah yang paling berhak untuk dilihat dari pada yang lain-Nya, karena wujudNya adalah yang paling sempurna dari semua wujud yang ada.2 Ru’yat adalah melihat dengan objek yang dilihat dari arah yang saling berhadapan dan itu dibarengi dengan adanya sikap mengerti akan objek tersebut. Pada dasarnya kata ru’yat dilakukan dengan media pancaindera seperti firman Allah:
Artinya: Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim, sesungguhnya kamu benar- benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin. (Q.S. al-Kautsȧr: 6-7).
Namun, bisa juga menggunakan imajinasi seperti firman Allah:
Dan jika kamu (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, lalu mereka berkata:
“Kiranya Kami dikembalikan (ke dunia) dan tidak mendustakan ayat-ayat Tuhan Kami, serta menjadi orang-orang yang beriman,” (tentulah kamu melihat suatu Peristiwa yang mengharukan). (Q.S. al-An’ām: 27).
Melihat bisa juga dengan pikiran, seperti dalam firman Allah:
1 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Penerbit PustakaProgressif, 2002), hlm. 460.
2 Ibnu Qayyim, Berbicara Tentang Tuhan, Terjemahan M. Romli dan Henri, (Kampong Melayu Kecil: Mustaqim, 2004), hlm. 127.
Artinya: Dan ketika syaitan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka dan mengatakan: “Tidak ada seorang manusiapun yang dapat menang terhadapmu pada hari ini, dan Sesungguhnya saya ini adalah pelindungmu.” Maka tatkala kedua pasukan itu telah dapat saling lihat melihat (berhadapan), syaitan itu balik ke belakang seraya berkata: “Sesungguhnya saya berlepas diri daripada kamu, Sesungguhnya saya dapat melihat apa yang kamu sekalian tidak dapat melihat, Sesungguhnya saya takut kepada Allah dan Allah sangat keras siksa-Nya.”
(Q.S. al-Anfāl: 48).
Melihat bisa juga dengan hati seperti dalam firman Allah:
Artinya: Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. (Q.S. al-Najm: 11).
Kata kerja dari kata ru’yat bisa beroperasi sebagai kata transitif dengan bantuan kata ila sehingga mengharuskan untuk diartikan dengan makna penglihatan yang menuntut kepada pengambilan pelajaran. Firman Allah:
Artinya: Dan apakah mereka tidak memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka? tidak ada yang menahannya (di udara) selain yang Maha Pemurah. Sesungguhnya Dia Maha melihat segala sesuatu. (Q.S. al-Mulk: 19)
Penafsiran Ru’yatullah Ibnu Katsir
Ibnu Katsīr menafsirkan Q.S. Yūnus: 26, pada ayat ini mengabarkan bahwa barang siapa yang memperbaiki amalnya di dunia dengan beriman dan melakukan amal shaleh maka ia akan mendapatkan kebaikan di akhirat sebagaimana firman Allah “Tidak ada Balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (Q.S. al-Rahmān: 60)3
Firman Allah ziādah (tambahannya). Yakni melipat gandakan pahala amal kebaikan menjadi sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat di tambah lagi dengan tambahan seperti itu, atau bisa juga bermakna Allah akan memberikan kepada mereka di surga berupa istana, bidadari dan keridhaann-Nya, dan yang paling mulia dari semua itu adalah melihat Allah sebagai tambahannya.4
3 Ibnu katḥīr. Tafsīr Ibnu Katsīr, Terjemahan Arif Rahman Hakim, (Jawa tengah: Insan Kamil, 2015), Jilid 5, hlm. 346-347.
4 Ibnu katḥīr. Tafsīr Ibnu Katsīr, hlm. 347.
Diriwayatkan bahwa maksud ziādah adalah melihat wajah Allah sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh ulama salaf dan khalaf dan banyak hadis Rasulullah yang menjelaskan hal itu.
Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa ziādah bermakna melihat wajah Allah.5
Pada penafsiran Q.S. Qāf: 35, Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki, maksudnya apapun yang mereka pilih pasti akan mereka dapatkan jenis kesenangan apapun yang mereka minta pasti akan dihadirkan bagi mereka. Dan pada sisi Kami ada tambahannya, sama seperti firman Allah yūnus: 26 yang bahwasanya tambahan itu adalah melihat Allah.6
Penafsiran Q.S. al-Qiyāmah: 22-23, wajah-wajah pada hari kiamat yang berseri-seri, diambil dari kata nadhirah yang berarti bagus, senang, cerah, gembira, Kepada Tuhannya mereka melihat. Yakni melihat Allah dengan terangterangan. Sebagaimana yang diriwayatkan Imam Bukhari: “Sesungguhnya kalian kelak pada hari kiamat akan melihat Rabb kalian dengan terang- terangan.7
Penafsiran Q.S. al-Muthaffifīn: 15, Sekali-kali tidak Sesungguhnya mereka pada hari itu benar- benar tertutup dari (rahmat) Tuhan mereka. Yakni kelak pada hari kiamat mereka akan mendapatkan tempat tinggal dengan menempati Sijjīn. Bersamaan dengan itu mereka akan terhalang dari melihat Rabb yang menciptakan. Imam Syafi’i berkata: “Ini adalah bukti pada hari itu orang-orang akan dapat melihat Allah. Dan merupakan suatu yang menunjukkan pemahaman terhadap ayat 22-23 Q.S. al-Qiyamāh.” Beliau berkata: “Penutup disingkap sehingga orang- orang mukmin dan orang-orang kafir terhalang dari melihat-Nya, kemudian orang-orang kafir terhalang dari melihat-Nya, sementara orang-orang mukmin dapat melihat-Nya setiap hari.8 Penafsiran Q.S. al-Insyiqaq: 6, Hai manusia, Sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, Maka pasti kamu akan menemui-Nya. Yakni sesungguhnya engkau telah berusaha berjalan menuju Rabb-mu dan melakukan suatu amal perbuatan. Maka pasti kamu akan menemuiNya. Kemudian engkau pasti akan bertemu dengan kebaikan atau keburukan apa yang telah Kamu lakukan. Ada beberapa orang yang mengembalikan zamir kepada Allah yakni mereka akan menemui Rabb. Maka kedua pendapat tersebut saling terkait.9 Penafsiran Q.S. Yūnus: 7, di dalam ayat ini Allah berfirman seraya mengabarkan keadaan orang- orang yang celaka yang telah mengingkari perjumpaan dengan Allah pada hari kiamat kelak.
Mereka tidak mengharapkan dari pertemuan dengan Allah tersebut, jiwa mereka hanya merasa tenang dan tentram dengan kehidupan dunia ini.10
Penafsiran Q.S. Yūnus: 45, di dalam ayat ini Allah mengingatkan manusia akan hari kiamat dan mereka akan dibangkitkan dari kuburan-kuburan mereka kemudian digiring menuju padang masyar. Pada saat itu mereka melihat azab, mereka merasa bahwa tinggal di dunia hanya sesaat pada siang hari. Sesungguhnya rugilah orang-orang yang mendustakan Pertemuan mereka dengan Allah dan mereka tidak mendapat petunjuk. karena mereka menjadikan diri mereka dan
5 Ibnu katḥīr. Tafsīr Ibnu Katsīr, hlm. 347
6 Ibnu katḥīr. Tafsīr Ibnu Katsīr, Jilid 9, hlm. 553-554.
7 Ibnu katḥīr. Tafsīr Ibnu Katsīr, Jilid 10, hlm. 448.
8 Ibnu katḥīr. Tafsīr Ibnu Katsīr, jilid 9, hlm. 580-581.
9 Ibnu katḥīr. Tafsīr Ibnu Katsīr, hlm. 444.
10 Ibnu katḥīr. Tafsīr Ibnu Katsīr, Jilid 5, hlm. 323.
keluarga mereka merugi pada hari kiamat. Sebagaimana firman Allah: “Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan.” (Q.S. al-Mursalāt: 15)11
Penafsiran Q.S. al-Ankabūt: 23, Dan orang-orang yang kafir terhadap ayatayat Allah dan Pertemuan dengan Dia. Yakni mereka mengingkari dan kufur terhadap waktu yang dijanjikan.12 Penafsiran Q.S. al-Sajdah: 10, ayat ini mengabarkan orang-orang musyrik tentang anggapan mustahil mereka akan hari kiamat dimana mereka mengatakan apakah bila kami telah lenyap dalam tanah apakah kami benar-benar akan berada dalam penciptaan yang baru? Mereka menganggap hal tersebut mustahil, yang apabila Dia menghendaki sesuatu Dia cukup mengatakan: “Jadilah” maka jadilah, oleh karena itu Allah berfirman: “Bahkan mereka ingkar akan menemui Rabbnya.13
Secara umum penafsiran Ibnu Katḥīr terkait ayat-ayat ru’yatullah dalam bentuk ziadah memiliki makna melipat gandakan pahala amal kebaikan dan bisa juga bermakna Allah akan memberikan kepada mereka di surga berupa istana, bidadari dan keridhaann-Nya, dan yang paling mulia dari semua itu adalah melihat Allah sebagai tambahannya. Beliau mengatakannya dengan melihat Allah langsung dengan mata kepala pada ayat-ayat yang secara terang-terangan menyebutkan tentang kesempatan melihat Allah, serta pengharaman orang-orang kafir melihat Allah, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat tersebut menjadi bukti pada hari kiamat orang-orang akan dapat melihat Allah, orang-orang kafir terhalang dari melihat-Nya, sementara orang-orang mukmin dapat melihat-Nya setiap hari. Pada ayat al-Mulaqāh, beliau mengatakan bahwa Allah akan membangkitkan mereka pada hari kiamat untuk mempertanggung jawabkan amalannya dan akan bertemu dengan Allah. Tapi kebanyakan manusia tidak beriman menyangkut pertemuan dengan Tuhannya dan hari yang dijanjikan.
Sifat dan Zat Allah Swt
Sifat dan Zat Allah Menurut Muhammad Abduh terbagi menjadi dua bagian sifat yaitu ةفصلا ةيدوجولا (sifat wujud) dan ةفصلا ةيعمسلا (sifat sam‟i). Pembagian ini disebabkan sifat wujud dapat diidentifikasi melalui argumen logis dan sifat sam‟i diperoleh melalui informasi wahyu.14 Sifat- sifat yang termasuk kepada sifat wujud adalah al-wujud, al-qidam, al-baqa, al-„ilm, alhayat, al- iradah, al-qudrah, al-ikhtiyar dan al-wihdah. Sedangkan yang masuk kategori sifat sam‟i adalah al-kalam, al-sam‟u, dan albashar.
Keberadaan sifat-sifat Allah ini diungkapkan secara jelas sebagai berikut:
Bahwa sesungguhnya sifat-sifat Allah yang wajib diyakini (oleh orang beriman) adalah bersumber dari petunjuk akal dan informasi yang diberikan oleh syariat Islam. Keyakinan ini juga merupakan keimanan seluruh nabi-nabi yang diutus oleh Allah kepada umat yang berbeda- beda. Sebagian dari sifat-sifat itu ada yang disebut secara jelas oleh syariat dan dapat diterima
11 Ibnu katḥīr. Tafsīr Ibnu Katsīr, hlm. 363-364.
12 Ibnu katḥīr. Tafsīr Ibnu Katsīr, Jilid 5, hlm. 17.
13 Ibnu katḥīr. Tafsīr Ibnu Katsīr, hlm. 171.
14 Muhammad Eka Putra Wirman : Sifat dan Zat Allah Menurut Muhammad Abduh 193 Abduh, Risalah al-Tauhid,: 33-35, 44
oleh akal dengan penggambaran yang layak untuk Allah. Karena analisis rasional saja tidak cukup untuk memahami semua itu, maka diperlukan perangkat iman yaitu ketundukan dan kepercayaan bahwa Allah memiliki sifatsifat itu sesuai dengan informasi wahyu yang disampaikan oleh para Rasul Allah.15
Pendapat Ahlussunnah yang juga dapat diyakini sebagaimana terkait posisi sifat-sifat Allah ini namun ditolak oleh para Mu‟tazilah. Argumen Mu‟tazilah bahwa apabila Allah memiliki sifat maka sifat itu haruslah qadim dan jika sifat-sifat itu qadim maka jumlah qadim akan banyak sekali di samping zat Allah yang qadim. Meyakini adanya sifat-sifat yang qadim selain Zat Allah (ta‟addud alqudama‟) menurut Mu‟tazilah akan menciderai pemahaman tauhid. Mu‟tazilah menambahkan, sebaliknya, apabila sifat Allah itu tidak qadim tetapi hadits (baru) maka hal itu juga mustahil karena zat Allah yang qadim bersatu dengan sifatNya yang hadits. Mu‟tazilah juga mengumpamakan pengakuan terhadap sifat Allah sama dengan keyakinan kaum Nasrani tentang tiga tuhan dalam konsep trinitas.16
Argumen Mu‟tazilah tentang sifat Allah dibantah oleh Ahlussunnah dengan argumen logis yang panjang dan memuaskan. Yang merujuk kepada pendapat Imam Asy‟ari sebagai berikut:
هريغ لا لاو وى لا لاو هريغ لاو وى يى اهيف لاقي لا تافصلا نأ Artinya: Sifat sifat (Allah) itu tidak boleh dikatakan sebagai Zat dan juga tidak boleh bukan Zat, namun juga tidak boleh dikatakan bukantidak Zat dan juga bukan-tidak selain Zat. Sulayman Dunya, tt : 330.
Secara logis apabila dikatakan sifat tidak sama dengan zat (ريغلا = bukan itu) semestinya yang tergambar adalah lawan dari bukan itu (ريغ للا ). Tetapi al-Asy‟ari menafikan keduanya sambil tetap menegaskan wujud eksistensi dan esensi sifat-sifat itu. Ungkapan ini memang merepotkan logika, tetapi al-Asy‟ari memiliki pandangan yang lebih luas melewati apa yang tertuang dalam kata-kata. Esensi sifat adalah suatu wujud yang bersifat filosofis-logis dan abstrak sehingga tidak dapat dipersonifikasikan dalam wujud fisik (al-wujud al-khariji). Sesuatu yang tidak eksis secara wujud fisik (ghair maujud fi al-kharij) maka harus ditanggalkan darinya segala pengertian tentang wujud fisik (al-khariji). Menanggalkan wujud fisik itulah yang disebut dengan “sifat itu bukan zat”( واهل)dan karena tetap harus mengakui keberadaannya maka pada waktu bersamaan harus disebutkan ungkapan tidak pula selain zat (واهلل) yaitu lawan kata dari bukan zat (واهل) . Dengan logika seperti ini, kita dapat berkeyakinan bahwa sifat adalah eksistensi dan esensi yang ada dan unik. Ketiadaannya tidak mungkin terjadi begitu pula dengan keberadaannya tidak mungkin pula dalam bentuk yang menghilangkan eksistensi lainnya.
Ketika menjelaskan posisi sifat dengan zat, kita harus memastikan bahwa sifat Allah mesti diyakini ada, namun keberadaannya di luar pengertian benda fisik (fi al-kharij). Oleh karena itu seluruh pengertian fisik harus dicopot dari definisi sifat atau menetapkan kategori al-nafyu.
15 Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid,:48
16 Sulayman Dunya,tt:: 328
Kalau sifat diyakini ada, maka sifat haruslah berbeda dari yang di-nafyi-kan sehingga menjadi nafyu al-nafyi (mengingkari pengingkaran).17
Dengan dua langkah ini maka al-Asy‟ari dan kemudian diikuti oleh Abduh berkesimpulan bahwa sifat-sifat Allah wajib diyakini keberadaannya. Penjelasann pada kitab Hasyiah:
ونأو ،تافصلا رخأ ىلإ رداق ملاع ونأ دقتعت نأ اعرش كيلع بجاولاو ... )ريغ( لاقي لا امك )ريغ لا( تافصلل لاقي لاف
،وكردت نع رصاق كنإف كلذ ءارو اميف رظنت نأ كل سيلو ،راثلأا نم رظانلا ومهفي ام ىلع امىريغو ةردقلاو ملعلاب فوصوم ا همحر ةعدبلا للاض نع هدعبو ،ةنسلا دنع وفوقوو ،خيشلا ماقمب ردجأ لمحلااذىو Artinya: Tidak boleh dikatakan bahwa sifat itu bukan-tidak zat dan juga tidak boleh bukan zat…
yg wajib diyakini sesuai dengan ajaran agama adalah bahwa Allah Maha Mengetahui („alim) dan Maha Berkuasa (qadir), Allah juga mempunyai sifat al-„ilm dan al-qudrah dan lainnya (Pen: al-sama‟, al-iradah, al-kalam wa al-bashar) sebagaimana yang dipahami ulama- intelektual dari hadis (ajaran agama). Tidak dibenarkan untuk menganalisis hakekat dan rahasia dari semua ini karena kamu tidak akan sanggup untuk mengetahuinya. Pemahaman seperti ini sangat tepat untuk menjelaskan dengan benar pendapat alSyeikh (al-Asy‟ari) yang senantiasa berpegang kepada sunnah Rasulullah dan juga sikapnya yang jauh dari kesesatan (ahli) bid‟ah karena mendapatkan rahmat dari Allah.18
Pendapat al-Asy‟ari dan analisis terkait sifat adalah penjelasan filosofis yang brilian yang menjadi konsumsi orang-orang tertentu (al-khawas). Penjelasan ini bahkan tidak ditemukan dalam tulisan dan syarah ulama Asy‟ariah terdahulu.sampai bahkan adanya kritik kepada para pengikut Imam al-Asy‟ari yang tidak memahami dengan benar ungkapan al-Asy‟ari tentang sifat Allah tersebut. Para pengikut al-Asy‟ari banyak yang mengatakan bahwa sifat Allah adalah sesuatu yang berwujud secara fisik dan berbeda dengan zat
(اهتاذل دوجولا ةبجاو اهنأو ،جراخلا يف وتاذ ىلع ةدئاز ةفص)
apabila ada orang yang mengungkapkan perkataan di atas (bahwa sifat Allah adalah sesuatu yang lebih dari zat, berdiri sendiri dan juga disebut dengan wajib al-wujud) maka mereka tidak pantas untuk menyebut diri sebagai pengikut Imam al-Asy‟ari, kelompok Asy‟ ariah atau juga pengikut Ahlussunnah. Mereka sesungguhnya sekelompok orang bodoh yang mengatakan sesuatu yang tidak mereka ketahui tentang Allah meskipun pendapat mereka dihiasi dengan perkataan yang indah dan menawan.19
Dapat di sadari bahwa ungkapan seperti di atas tentang sifat Allah (bahwa sifat Allah adalah sesuatu yang lebih dari zat, berdiri sendiri dan juga disebut dengan wajib al-wujud) telah lama diyakini oleh sebagian kelompok Asy‟ariah. Sebuah ungkapan yang sangat bertentangan dengan tauhid karena dapat menimbulkan kesalahpahaman dalam memahami sifat dan zat Allah, dan menganggap sifat Allah bisa berdiri sendiri di luar zat Allah. Perkataan ini telah memberikan pandangan yang buruk terhadap Imam al-Asy‟ari, oleh karena itu ada penjelasan yang dalam dan
17 Sulayman Dunya,ttp. 331
18 Sulayman Dunya,tt : 332
19 Sulayman Dunya, tt : 333
luas sebagai bentuk pembelaan dan penghormatan terhadap ulama besar yang dijadikan rujukan dalam persoalan teologis.
Dalam tesis Zainal Arifin (yang dijadikan kajian pada beberapa pembahasan sebelum ini) disebutkan bahwa apakah sifat itu identik dengan zat atau tidak; atau apakah sifat itu selain zat dan bukan selain zat? Kedua ungkapan Zainal ini perlu diklarifikasi secara utuh agar dapat dilihat posisinya sesungguhnya dalam memahami sifat-sifat Allah. Ungkapan Zainal yang mungkin benar jika dilihat di buku Risalah Tauhid yang memang dirancang sederhana, namun mendalam, tidak menyinggung secara jelas hubungan antara sifat dan zat Allah.
Sifat dan zat Allah jelas tertulis dalam Hasyiah, ternyata ada sebagian penulis keliru dalam mendiskripsikan sikap sesungguhnya tentang sifat-sifat Allah, kendatipun katanya, merujuk kepada buku Hasyiah. Kesimpulan yang keliru tersebut mengatakan bahwa pendapat lebih cenderung kepada peniadaan sifat-sifat Allah20. Kekeliruan pemahaman tentang sikap ternyata tidak hanya sekadar itu bahkan ada kekeliruan yang lebih fatal lagi seperti ungkapan berikut ini:
“sangat meragukan bahwa konsep itu berasal dari al-Asy‟ari sendiri, karena salah satu ungkapan pendiri aliran ini membawa kepada pendapat sebaliknya (meniadakan sifat)”.21
Penjelasan sebelum ini sudah cukup untuk menjelaskan pendapat tentang hubungan sifat dan zat Allah, maka penjelasan berikut ini akan mengungkapkan bahwa al-Asy‟ari dengan tegas menyatakan bahwa teori sifat-zat itu adalah pendapatnya yang orisinil bukan tambahan pengikutnya. Abduh menulis dalam Hasyiah sebagai berikut:
نأ كلذو قيفوتلا يف فقاوملا بحاص لوق نم برق ام ىلع وباتك نم لوقنملا خيشلا لوق يف رظنلا دنع تفقو دق :لوقأ انأو هريغ لا لاو وى لا لاو هريغ لاو وى يى :اهيف لاقي لا تافصلا نأ وتلاقم يف ركذ دق خيشلا Saya (Abduh) berkata: (terkait masalah sifat dan zat ini) saya telah mempelajari secara seksama perkataan al-Syeikh (al-Asy‟ari) yang terdapat dalam bukunya yang mendekati apa yang disebutkan oleh pengarang al-Mawaqif (al-Idji), yaitu bahwa al-Syeikh telah menyebutkan dalam bukunya bahwa [sifat-sifat (Allah) tidak boleh disebut: sama dengan zat, atau bukan zat, atau juga bukan selain zat dan juga tidak pula bukan lain dari zat].22
Dalam paragraf ini beliau menyatakan dengan jelas bahwa ia sudah mempelajari dengan sungguh-sungguh bahwa ungkapan “sifat-sifat (Allah) tidak boleh disebut: sama dengan zat, atau bukan zat, atau juga bukan selain zat dan juga tidak pula bukan lain dari zat” merupakan perkataan Imam al-Asy‟ari yang tidak dikeragui lagi. Sehingga tidak ada alasan dan dalil yang mengatakan Abduh meragukan ungkapan tersebut berasal dari al-Asy‟ari seorang imam yang sangat dikagumi dan dibelanya. Apalagi jika rujukan yang terkait dengan hal ini adalah buku Hasyiah dalam bahasa Arab dengan editor Sulayman Dunya tersebut.
Jika pernyataan yang terang benderang ini ingin diberi penafsiran, maka mungkin saja kesimpulannya berbeda dari teks yang tertulis, tetapi apabila yang dimaksud adalah perkataan Abduh secara implisit, maka Abduh menyatakan bahwa Imam al-Asy‟ari memiliki pendapat
20 (Harun Nasution, 198:. 74)
21 Harun Nasution, 198:. 74
22 Sulayman Dunya, tt : . 330
yang jelas tentang sifat dan hubungannya dengan zat Allah. Adapun jika terjadi distorsi pemahaman dari pernyataan yang sangat jelas dan clear-cut dari Abduh itu, maka mungkin tidak lebih dari sikap prejudice yang tidak bertanggungjawab atau sekedar sikap “pokoknya berbeda”
dengan yang lain. Tetapi apabila mengacu kepada teks yang tertulis dan dapat diakses dengan mudah, maka sekali lagi Abduh mengatakan dengan sungguh-sungguh bahwa Imam al-Asy‟ari mengatakan tentang sifat-sifat Allah seperti teks yang tertulis di atas.
Mungkin timbul pertanyaan investigatif, kenapa dua kesalahan fatal di atas dapat terjadi, sementara penulis ungkapan tersebut juga merujuk kepada buku Hasyiah? Jawabannya, ternyata penulis ungkapan itu telah keliru mengambil argumen Abduh sehingga menukilkan sesuatu yang bukan menjadi objek langsung dari pembahasan sifat-sifat Allah. Penulis ungkapan itu menukil tulisan Abduh yang berbunyi:
يف باحصلأا تاعدتبم نم فيراعتلا هذى لعل لب ،لاصأ "نيريغلا" فرع ونأ خيشلا باتك نم لقن اميف انيلإ لصي مل :لوقأ ويجوت Artinya: Saya (Abduh) mengatakan: belum sampai kepada kami sama sekali apa yang dinukil dari karangan al-Syeikh (al-Asy‟ari) bahwa beliau memberikan definisi tentang “al-ghairaini”, boleh jadi definisi ini hanya karangan dari kolega (Asy‟ariah) saja untuk memberikan penjelasan tentang “la „ainiah” dan “la ghair”
Pada paragraf ini dijelaskan bahwa Abduh kaget dengan definisi tentang نيريغلا yang dinisbahkan kepada al-Asy‟ari sementara Abduh tidak mendapatkan definisi tersebut dari buku-buku beliau.
Penisbahan kepada Imam al-Asy‟ari ini kata Abduh lebih dikarenakan adanya semangat yang menggebu-gebu dari kelompok Asy‟- ariah untuk menguatkan pendapat mereka dan ingin mendapatkan legitimasi dengan menciptakan definisi نيريغلا yang seakan-akan datang dari al- Asy‟ari. Hal serupa banyak terjadi terhadap hadis Nabi, ada sebagian perawi hadis yang menisbahkan suatu perkataan kepada Nabi sementara Nabi tidak pernah mengucapkan perkataan tersebut kendatipun ungkapan itu mengandung kebenaran.
Paragraf yang menuliskan definisi نيريييغلا tidak berbicara tentang definisi sifat menurut al- Asy‟ari, begitu pula tidak membi-carakan hubungan keduanya. Pembahasan tentang نيريغلا jelas berbeda dengan pembahasan tentang sifat-sifat Allah, kedua konteks itu berbeda. Abduh membahas tentang نيريييييغلا karena al-Dawwani menu-lisnya dalam penjelasan akidah Adhududiyah. Dalam analisisnya Abduh justru mengatakan bahwa pembahasan tentang نيريغلا yang dilakukan sebagian ulama Asy‟ariah ini meletihkan logika karena ti-dak menghasilkan suatu kesimpulan yang bermutu. Abduh menu-liskan:
؟انب رم يذلاوحنلا ىلع )نيريغلا( يف ملاكلاب لغتشي نأ لقاعب قيلي Artinya: Apakah pantas bagi orang yang berakal untuk menghabiskan waktu membahas tentang
“al-ghairaini” dengan model seperti yang kita sudah saksikan ini?
Abduh menyarankan kalaupun definisi itu diterima maka harus dikembalikan kepada pemahaman al-Asy‟ari tentang ا ةينيع dan ريغ ل . Sifat wajib (al-sifah al-lazimah) bagi Allah bukanlah zat itu sendiri dan juga bukan sesuatu di luar zat itu sendiri Sifat (al-shifat) dan yang disifati (al-maushuf) bukan sesuatu yang berbeda. Pengertian khas al-Asy‟ari ini sangat berbeda
dengan pemahaman Mu‟tazilah yang mengharuskan sifat adalah zat, dan bahkan berbeda dengan pemahaman sebagian teolog Asy‟ariah yang mengatakan sifat berbeda dengan zat dan berdiri sendiri di luar zat.
Seperti disebutkan panjang lebar di atas bahwa menurut alAsy‟ari sifat adalah suatu wujud yang harus diyakini ada dan bukan zat serta bukan pula selain zat Allah.23 Abduh menuliskan dengan jelas tentang la „ainiah” dan “la ghair tersebut sebagai berikut
لا اهنإ وأ ،هريغ اهنإ وأ ،ونيع اهنأ :للاها تافص يف لوقت نأ عدبلا نم نأ – للاها ومحر – )يرعشلأا( خيشلا دارم نوكي دقو هريغ لا اهنإ وأ ،ونيع
“Maka sesungguhnya maksud syeikh (al-Asy‟ari) – yang dirahmati Allah – adalah bahwa merupakan suatu perbuatan bidah jika mengatakan bahwa sifat Allah itu sama dengan „ainuhu
(ZatNya), atau selain dari ZatNya, atau bukan „ainuhu (ZatNya), atau bukan ghairuhu (selain ZatNya)”24
Penjelasan dari pendapat Imam al-Asy‟ari ini ditambah oleh Abduh dengan ungkapan dan contoh sebagai berikut:
لاجر ةرشع اهيف سيل وأ ،ديز ريغ رادلا يف سي
“Di dalam rumah itu tidak ada Zaid dan tidak selain Zaid, atau di dalamnya tidak ada 10 laki- laki.”25
Dengan contoh ini Abduh ingin menjelaskan pengertian sifat Allah sebagaimana yang sering dipakai dalam pengertian kebahasaan. Ungkapan di atas artinya menurut Abduh adalah bahwa di dalam rumah ada Zaid. Meskipun tubuh Zaid tidak ada di rumah, tapi unsur-unsur Zaid ada di rumah itu, seperti baju, kendaraan, atau perlengkapan Zaid lainnya. Unsur-unsur itu sudah cukup untuk mewakili nama Zaid apabila dikatakan “di dalam rumah ada Zaid”. Tubuh Zaid memang tidak ada, tetapi unsur-unsur terkait Zaid ada, maka secara kebahasaan (Arab) status Zaid tidak bisa dihilangkan begitu saja dari apa-apa yang ada di dalam rumah itu. Unsur-unsur yang terkait Zaid tidak dapat pula disamakan dengan tubuh Zaid (la huwa) dan juga tidak dapat dikatakan tidak ada hubungan dengan Zaid (la ghairuhu).
Beberapa penulis keliru dalam memahami contoh al-Dawwani yang juga dijelaskan oleh Abduh di atas. Salah satu kesalahan dalam memahami contoh Abduh ini seperti terdapat dalam paragraf di bawah ini:
Menurut aliran Asy‟ari jika dalam ungkapan “tidak ada di rumah selain Zaid , sifat-sifat dan bahagian-bahagian Zaid dianggap lain dari Zaid, sifat dan bahagian itu termasuk dalam hal-hal yang tak ada di rumah, sedang sifat dan bahagian tersebut ada di sana; karena Zaid tidak bisa berwujud tanpa sifat dan bahagian itu. Dalam pendapat Muhammad Abduh argumen ini adalah lemah, karena yang dimaksud dalam ungkapan “tidak ada di rumah selain Zaid” adalah tiap orang kecuali Zaid dan bukan sifat dan bahagian Zaid.26
23 Sulayman Dunya, tt : . 330
24 Sulayman Dunya,tt :. 331
25 Sulayman Dunya,tt : 306
26 Harun Nasution, 73
Ungkapan di atas ini ingin mengatakan bahwa kalimat ي سيل ريغ ديز berarti yang berada di rumah adalah tiap orang kecuali Zaid dan bukan pula sifat dan bagian dari anggota tubuh atau milik Zaid. Karena ini kutipan langsung, setelah dirujuk kepada Hasyiah, ternyata kutipan itu telah menghilangkan satu kata penting yaitu kata يفنل (li nafyi) sehingga berakibat fatal dalam memahami contoh yang dikemukan Abduh ini. Paragraf tulisan Abduh yang dinukil adalah:
كلوقف(ديز ريغ رادلا يف سيل) .كلذ وبشي ام وأ هاوس ملاع وأ،هاوس ناسنإ وأ ، هاوس لاجر لك يفنل قوسم Artinya: Perkataan kamu (tidak ada orang dalam rumah kecuali Zaid) dimaksudkan untuk menafikan setiap orang selain Zaid, atau manusia selain Zaid, atau tanda selain Zaid dan (contoh lain) yang semisal dengan itu27
KESIMPULAN
Berdasarkan Pemnagahsan di atas dapat di simpulkan bahwasannya Allah SWT merupakan pokok utama dalam pemahaman teologi Islam. Allah SWT adalah Zat yang Maha Esa dan Maha Kuasa, serta memiliki sifat-sifat yang harus diyakini oleh umat Islam. Pemahaman yang benar terhadap sifat-sifat Allah sangat penting dalam memperkuat keyakinan dan keimanan umat Islam.
Adapun Ru'yatullah, yang mana mengacu kepada keyakinan umat Islam bahwa manusia akan melihat Allah SWT di akhirat nanti. Konsep ini menunjukkan kepercayaan akan keadilan Allah dan balasan yang akan diterima oleh setiap individu atas amal perbuatannya di dunia. Ru'yatullah juga menjadi salah satu motivasi bagi umat Islam untuk beribadah dan berbuat kebaikan dalam kehidupan mereka.
Kemudian Sifat dan Zat Allah, membahas tentang kompleksitas konsep sifat-sifat Allah dan hubungannya dengan zat-Nya. Pemahaman yang benar terhadap sifat-sifat Allah, baik yang bersumber dari akal maupun wahyu, merupakan hal yang sangat penting dalam ajaran Islam.
Sifat-sifat Allah seperti al-ilm, al-qudrah, dan lainnya harus diyakini oleh umat Islam sesuai dengan petunjuk agama.
Secara keseluruhan, pemahaman yang benar terhadap Allah SWT, Ru'yatullah, dan Sifat dan Zat Allah merupakan fondasi utama dalam keimanan dan keyakinan umat Islam. Konsep-konsep ini memberikan arah dan panduan bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan mereka dengan penuh keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Semoga Karya ini dapat menjadi referensi dan berguna bagi para pembaca dan teman-teman sekalian.
27 Sulayman Dunya, tt : 307