Sebagian besar responden dengan motivasi intrinsik tinggi memiliki partisipasi tinggi dalam sosialisasi kelas ibu hamil (65,5%) dan responden dengan motivasi intrinsik rendah sebagian besar memiliki partisipasi rendah dalam sosialisasi kelas ibu hamil (88,9%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama menjadi kader tidak berhubungan dengan keikutsertaan kader dalam sosialisasi kelas ibu hamil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan sarana dan prasarana tidak berhubungan dengan keikutsertaan kader dalam sosialisasi kelas ibu hamil.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan tokoh masyarakat tidak berhubungan dengan keikutsertaan kader dalam sosialisasi kelas ibu hamil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan bidan tidak berhubungan dengan keikutsertaan pengurus dalam sosialisasi kelas ibu hamil. Variabel yang berhubungan dengan partisipasi pengurus dalam sosialisasi kelas ibu hamil adalah pengetahuan, motivasi intrinsik dan partisipasi dalam organisasi lain.
Gambaran Harga Diri
Gambaran Successful Aging
Hubungan antara Harga Diri dengan Pencapaian Successful
Karakteristik Demografi Res- ponden
Skor harga diri lansia perempuan di desa Karangtengah sebesar 29,00 termasuk kategori harga diri tinggi (skor harga diri tinggi berkisar antara 26-40) (Wisudawati, 2015). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang sangat kuat dan bermakna secara statistik antara harga diri dengan pencapaian sukses menua pada lansia wanita di Desa Karangtengah (r=0,866, p=0,000). Harga diri yang tinggi dapat mengurangi terjadinya masalah fisik, psikologis dan sosial yang terjadi pada lansia (Franak et al., 2015).
Hal ini mengindikasikan bahwa harga diri yang tinggi dapat meningkatkan pencapaian sukses menua terutama dalam hal kesejahteraan psikologis. Lansia yang memiliki harga diri yang tinggi akan mudah beradaptasi dengan keadaan yang menghadang di usia tuanya. Terdapat hubungan positif yang sangat kuat secara statistik signifikan antara harga diri dengan pencapaian sukses menua pada lansia wanita di Desa Karangtengah.
Analisis Univariat
Karakteristik Responden Analisis univariat
Analisis selanjutnya adalah mencari hubungan beban kerja dengan kinerja bidan konsultan ASI menggunakan uji korelasi Pearson dengan tingkat kepercayaan 95%. Tingkat beban kerja bidan konsultan ASI dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu ringan, sedang dan berat. Distribusi frekuensi tingkat beban kerja bidan konsultan ASI di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ditunjukkan pada Tabel 3.
Berdasarkan Tabel 3 diperoleh distribusi frekuensi tingkat beban kerja sebanyak 45 responden yaitu sebagai berikut sebanyak 11 orang (24,4%) responden menyatakan tingkat beban kerja ringan, 34 orang (75,6%) responden merasa beban kerjanya sedang dan tidak ada yang merasakan beban kerja yang berat dalam menjalankan tugasnya sebagai bidan konsultan asi di puskesmas. Beban kerja sedang yang dialami sebagian besar responden mungkin karena rangkap tugas di puskesmas. Karena intensitas kerja yang tinggi, konsultan ASI dan bidan memiliki waktu luang yang sedikit dan hal ini mengindikasikan adanya tekanan kerja mental.
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen beban kerja dan fungsi variabel dependen obstetri konselor ASI. Berdasarkan tabel 5 terlihat bahwa sebagian besar (72,7%) responden yang mempersepsikan beban kerja ringan berkinerja baik sebagai bidan. Setelah dilakukan pengujian dengan uji Pearson diperoleh nilai signifikansi 0,144 (>0,05) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara beban kerja dengan kinerja bidan konsultan ASI di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Setelah dilakukan pengujian korelasi antara beban kerja dengan kinerja menggunakan uji pearson didapatkan p = 0,144 (>0,05). Meskipun secara statistik disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara beban kerja dengan kinerja, ditemukan bahwa sebagian besar bidan yang merasa beban kerja tingkat sedang berkinerja buruk dan sebaliknya untuk bidan konsultan ASI yang Saran ke Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten. /Kota di Daerah Istimewa Yogyakarta agar melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap beban kerja dan kinerja bidan ASI agar menjadi lebih baik.
Merupakan tanggung jawab kepala Puskesmaen untuk menghitung kembali beban kerja bidan dengan tugas yang lebih banyak, yang juga ditambah dengan tugasnya sebagai pembina ASI, sehingga kinerjanya sebagai bidan pembina.
Hubungan Tingkat Konsumsi Energi dengan Status Gizi
Pengisian energi yang tidak sesuai dengan kebutuhannya akan menyebabkan anak mengalami status gizi kurus (Almatsier, et al., 2011). KESIMPULAN DAN SARAN Terdapat hubungan antara tingkat konsumsi energi dengan status gizi anak sekolah, sedangkan jumlah anggota keluarga dan pengetahuan tentang gizi tidak memiliki hubungan yang bermakna. Hubungan Asupan Makronutrien Dengan Status Gizi Anak Sekolah Dasar Di Pesisir Kota Makassar.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan posisi kerja duduk dengan kelelahan fisik pada pekerja batik tulis. Mereka bekerja rata-rata lebih dari 7 jam sehari dan telah bekerja lebih dari 5 tahun.Posisi duduk 8 pembatik masih membungkuk ke depan, posisi duduk tidak lurus antara kepala dan leher. Dengan meletakkan wajan berisi lilin di tempat yang mudah dijangkau, para pembatik akan mengeluarkan tenaga lebih sedikit sehingga rasa lelah akan lebih lambat dirasakan.
Ada hubungan postur punggung dengan kelelahan fisik pekerja batik Tidak ada hubungan antara posisi kepala dan leher dengan kelelahan fisik pekerja batik. Untuk pembatik, disarankan untuk mengambil posisi punggung tegak saat membatik. Pembatik tidak menerapkan jarak jangkauan maksimal untuk menunda timbulnya kelelahan. Seseorang dikatakan dalam status gizi baik jika tidak menunjukkan tanda-tanda gizi buruk, baik akut maupun kronis.
Tingkat status gizi optimal tercapai bila kebutuhan gizi optimal terpenuhi (Amosu et al., 2011). Tingkat pemberian ASI dan praktik pemberian ASI eksklusif secara keseluruhan berkontribusi terhadap status gizi anak, selain itu pengenalan makanan pada anak di atas 6 bulan sangat mendukung perubahan status gizi (Muchina dan Waithaka, 2010).
Kejadian Stunting Berdasarkan Pemberian ASI Eksklusif
Distribusi proporsi kasus dan kontrol berdasarkan variabel bebas, p-value, odds ratio dengan CI 95% pada anak balita di Kota Banda Aceh (n=96). Di lapangan, kebanyakan bayi baru lahir tidak langsung diberikan ASI, melainkan diberikan susu botol karena ASInya belum keluar. Jika ASI sudah keluar, ibu memberikan ASI, namun terlebih dahulu ASI yang keluar pertama kali dibuang, dan tidak segera diberikan kepada bayi dengan alasan sekresi pertama masih kotor.
Rendahnya pemberian ASI eksklusif menjadi salah satu pemicu terhambatnya tumbuh kembang anak balita di Kota Banda Aceh akibat kejadian masa lalu dan akan berdampak pada masa depan anak tersebut. gizi seimbang sehingga tercapai tumbuh kembang anak yang normal. Oleh karena itu, ibu harus dan harus menyusui bayinya secara eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan dan terus memberikan ASI sampai 68 Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia, Volume 8, Nomor 2, Juli 2016, hal.
Kejadian Stunting Berdasarkan Pemberian MP-ASI
Jika MP-ASI diberikan terlalu dini, sementara usus bayi tidak dapat menyerap makanan, bayi sering mengalami konstipasi atau masalah buang air besar, sehingga kesehatan bayi terganggu, yang dapat menimbulkan penyakit lain, dan akibatnya pertumbuhan akan terganggu. (Brotherton, 2006). . Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan formal ibu berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan tentang gizi, dengan semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka semakin tinggi pula tingkat pengetahuan ibu sehingga dapat menyerap informasi tentang pengetahuan praktis di lingkungannya.
Kejadian Stunting Berdasarkan Kelengkapan Imunisasi
Selain itu, nilai OR sebesar 3,5 (CI artinya anak balita yang menderita gangguan pertumbuhan memiliki risiko 4 kali lebih besar disebabkan oleh anak balita yang tidak mendapatkan imunisasi lengkap dibandingkan dengan anak balita yang mendapatkan imunisasi lengkap di Banda Aceh. Kota Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ihsan et al.2012) bahwa terdapat hubungan yang bermakna (p=0,010) antara status imunisasi dengan status gizi balita. Rasio prevalensi status gizi pada anak balita berdasarkan status imunisasi adalah 2,1, artinya status imunisasi merupakan faktor risiko balita.
Faktor lain Menurut (Girma dan Genebo, 2007), infeksi juga diketahui dapat menekan reaksi imunologis normal dengan menghabiskan energi tubuh. Apabila balita tidak memiliki kekebalan terhadap penyakit, maka balita akan lebih cepat kehilangan energi fisik akibat penyakit menular, karena reaksi pertama akibat infeksi adalah mengurangi nafsu makan anak, sehingga anak menolak makanan yang diberikan kepadanya. ibu. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa imunisasi dasar sangat penting bagi imunitas balita, hal ini sejalan dengan tujuan nasional yaitu imunisasi dasar lengkap harus mencapai target 100,0%.
Makanan tidak dapat dicerna dengan baik dan ini berarti penyerapan nutrisi terganggu, yang dapat memperburuk status gizi. Karena reaksi pertama pada tubuh anak adalah penurunan nafsu makan, sehingga anak menolak makanan ibu, penolakan makan berarti penurunan penyerapan zat gizi pada tubuh anak. Dampak akhir dari masalah ini adalah tidak tercapainya pertumbuhan optimal sejalan dengan laju pertambahan usia, yang akan meningkatkan prevalensi stunting (Brotherton, 2006).
Kejadian Stunting Berdasarkan Pendapatan Keluarga
Peserta yang pernah mengalami kecelakaan kerja dalam 2 tahun terakhir sedang dan sisanya belum pernah mengalami kecelakaan kerja. Setelah peserta mengikuti pelatihan pencegahan kecelakaan, terjadi peningkatan nilai rata-rata kesadaran responden terhadap kecelakaan kerja antara sebelum pelatihan (pre-test) dan sesudah pelatihan (post-test I) dari B. Kecelakaan kerja yang sering terjadi di kalangan pedagang adalah luka bakar (combustio) akibat kebakaran, air panas, tersengat listrik dan lain-lain.
Berdasarkan Tabel 1 nilai rata-rata pengetahuan responden tentang kecelakaan kerja antara sebelum pelatihan (pretest) dan sesudah pelatihan (posttest I) meningkat yaitu dari 12,5250 menjadi 13,3250. Wilcoxon memperoleh nilai p = 0,001 (<0,05) yang berarti ada perbedaan yang signifikan pengetahuan tentang kecelakaan kerja pedagang kecil antara sebelum (pretest) dan sesudah pelatihan (posttest I). Perbedaan tingkat pengetahuan tentang kecelakaan kerja pada pedagang kecil sebelum pelatihan (Pretest) dan dua minggu setelah pelatihan (Postest II).
Perbedaan pengetahuan tentang kecelakaan kerja pada pedagang kecil sebelum (pre-test) dan dua minggu setelah pelatihan (Posttest II). Berdasarkan Tabel 2, terdapat peningkatan nilai rata-rata pengetahuan responden tentang kecelakaan kerja pada pedagang kecil antara sebelum pelatihan (Pretest) dan dua minggu setelah pelatihan (Postest II), masing-masing dari 12,5250 menjadi 13,2500 atau meningkat sebesar 4,67%. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Wilcoxon diperoleh nilai p yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan pengetahuan tentang kecelakaan kerja pada pedagang kecil antara sebelum (Pretest) dan dua minggu setelah pelatihan (Postest II).
Perbedaan pengetahuan luka bakar sebelum latihan (Pretest) dan dua minggu setelah latihan (Postest II). Perbedaan pengetahuan luka bakar sebelum latihan (Pretest) dan dua minggu setelah latihan (Postest II). Data kecelakaan kerja di lapangan, baik di sektor formal maupun informal, merupakan fenomena gunung es.
Sebagian besar kecelakaan industri disebabkan oleh tindakan tidak aman dan kondisi lingkungan yang tidak aman. Kecelakaan kerja yang sering terjadi pada pedagang kecil disebabkan oleh kebakaran, minyak panas, air panas atau uap panas. Pemberian pelatihan dapat meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam upaya pencegahan kecelakaan kerja dengan menerapkan perilaku aman pada pedagang kecil.