• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "DAFTAR PUSTAKA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Abstract

Introduction: Severe visual impairment considered as the best-corrected visual acuity of 20/160 – 20/400, or visual field diameter 20º or less, resulted by many pathological process in the eye, one of them is papil atrophy.

Objective: To report a case of severe visual impairment in patient papil atrophy, steps of examination and the medical management.

Case report: A 50 years old woman was consulted from Sukabumi District General Hospital to low vision department of Cicendo National Eye Hospital.

Her chief complaint was gradually blurred vision on both eyes since 30 yeas ago.She also has headache and nausea.She has hypertension before and she didn’t take medicine regularly. On the examination, the best corrected visual acuity was 2/32 f-2 in the right eye and 3/40 f-1 in the left eye. Other visual function impairments were decreased such as contrast sensitivity (Hiding Heidi Low Contrast Test, 10% on both eyes), color vision impairment, and diffuse visual field defect. The light reflex were decrease. In indirect ophthalmoscope examination, there were palor on temporal papil in both eyes. Ancillary examination was done and has concluded that atrofi papil on both eyes as underlying disease. She was worked up with a near spectacles prescription and counsellingg. Conclusion: Papil atrophy causes irreversible visual impairment, includes reduced visual acuity, contrast sensitivity, visual field, near work, and color vision. These visual impairments can make someone to be a low vision patient and should be examined thoroughly and worked up to get the optimized quality of life of the low vision’s patient.

I. Pendahuluan

Pasien dengan kehilangan fungsi penglihatannya yang tidak dapat dikoreksi dengan standar optikal, medis maupun surgical membutuhkan rehabilitasi untuk melakukan aktivitas sehari-hari sehingga pasien low vision dapat mandiri dan mendapatkan kualitas hidup yang baik. Low vision menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) didefinisikan sebagai seseorang yang mengalami gangguan fungsi penglihatan meskipun telah diberikan pengobatan optimal dan atau dikoreksi dengan koreksi refraksi standar, dan memiliki tajam penglihatan kurang dari 6/18 (20/60) sampai dengan persepsi cahaya atau lapang pandang kurang dari 10o dari titik fiksasi, yang masih berpotensi menggunakan penglihatannya untuk kegiatan sehari-hari.Low vision dapat muncul dari berbagai

1

(2)

penyebab yaitu age macular degeneration, glukoma, retinopati diabetes, dan juga atrofi papil.1,2

Atrofi papil dihasilkan dari penyakit yang menyebabkan degenerasi akson dari sel ganglion, dan bermanifestasi sebagai perubahan warna dan struktur disc optik. Saraf optik berisi sekitar 1,2 juta akson dari sel-sel ganglion dari retina.

Akson memiliki selubung myelin yang disediakan oleh oligodendrocytes. Setelah rusak, akson tidak beregenerasi. Atrofi papil menyebabkan hilangnya sebagian akson perifer dengan menurunnya akson sentral sehingga tajam penglihatan sentral berkurang. Nervus optikus berperan untuk mempertahankan tajam penglihatan, penglihatan warna, lapang penglihatan dan sensitivitas kontras.3,4,5,6

II. Laporan Kasus

Seorang wanita berusia 50 tahun datang ke poli low vision di PMN RS Mata Cicendo dengan membawa surat rujukan dari dr SpM di RSUD Sukabumi untuk penatalaksanaan low vision. Keluhan pasien penglihatan buram secara perlahan di kedua mata sejak 30 tahun yang lalu. Melihat cahaya silau. Keluhan pusing, mual, muntah ada. Nyeri gerakan bola mata disangkal. Riwayat berobat ke RSUD Sukabumi baru beberapa bulan terakhir dan diberikan obat yang tidak diketahui namanya oleh pasien. Riwayat mata merah ataupun trauma kepala disangkal. Riwayat hipertensi ada, tidak rutin minum obat. Riwayat alergi, sakit diabetes , dan jantung disangkal. Riwayat penggunaan pil KB selama 18 tahun.

Pasien merupakan ibu rumah tangga, dengan aktivitas sehari-hari memasak. Terkadang pasien bekerja membantu memasak di tetangganya. Pasien ingin mengikuti kegiatan pengajian di lingkungannya, namun terhambat karena keterbatasan penglihatannya. Kegiatan membaca buku atau koran sangat jarang dilakukan oleh pasien.

Dari pemeriksaan refraksi koreksi penglihatan jauh dengan chart modifikasi ETDRS didapatkan visus dasar mata kanan 2/32 f-2 pinhole tetap dan visus dasar mata kiri 3/40 f-1 pinhole tetap. Hasil pemeriksaan refraksi objektif didapatkan pada mata kanan S +0,50 C-0,50 x 33º dan mata kiri S +0,50 C-0,50 x 136º. Dari hasil koreksi penglihatan jauh mata kanan dengan lensa S + 0,50

(3)

didapatkan visus 2/32 f-2. Koreksi dengan lensa S +0,50 C -0,50 x 140º juga didapatkan hasil visus 3/40. Sehingga disimpulkan dengan koreksi lensa spheris dan cylindris tidak didapatkan peningkatan tajam penglihatan yang bermakna.

Pada koreksi baca dekat dengan Bailey Lovie Reading Chart tanpa kacamata (unaided) pasien dapat membaca hingga 6,3 M dengan jarak 30 cm.

Saat diberikan lensa addisi S + 2,00 pasien dapat membaca hingga huruf berukuran 5,0 M atau N 40 dengan jarak 20 cm. Pada pemberian addisi lensa S + 3,00 pasien dapat membaca huruf hingga 4,0 M atau N 32 dengan jarak 20 cm, sedangkan saat diberikan lensa addisi S + 5,00 pasien dapat membaca hingga ukuran huruf 2,5 M atau N 20 dengan jarak 20 cm.

Pada pemeriksaan sensitivitas kontras dengan menggunakan Hidding Heidi, pasien dapat melihat kontras hingga 10% pada mata kanan dan kiri.

Pemeriksaan warna dengan Ishihara pada mata kanan didapatkan hasil 3/14 dan pada mata kiri demoplate. Selanjutnya, pemeriksaan dengan Amsler Grid pada mata kanan dan kiri tidak didapatkan adanya scotoma maupun metamorfosia.

Lapang pandang pasien diperiksa melalui Berneld Perimetry, sehingga didapatkan lapang pandang pada mata kanan di bagian temporal 90º, superior 50º, nasal 50º, dan di bagian inferior 70º. Sedangkan pada mata kiri didapatkan luas lapang pandang di bagian temporal 80º, superior 50º, nasal 60º, dan di bagian inferior 70º.

Pemeriksaan posisi bola mata pasien full orthotropia, dengan gerakan bola mata baik ke segala arah. Pemeriksaan tes konfrontasi positif di semua kuadran.

Tidak didapatkan adanya parese nervus VII, IX. Pada pemeriksaan segmen anterior dengan menggunakan slitlamp didapatkan hasil yang normal, hanya pada pupil mata kanan dan kiri , didapatkan bentuk bulat diameter 4 mm refleks cahaya direk dan indirek menurun, sehingga RAPD sulit dinilai. Pemeriksaan tekanan bola mata dengan menggunakan NCT didapatkan pada mata kanan 15,5 sedangkan pada mata kiri 13,8.

Pemeriksaan segmen posterior dengan menggunakan funduscopy indirect didapatkan kesan pada mata kanan dan kiri serupa dengan gambaran media jernih,

(4)

papil bulat, pucat di bagian temporal, a/v ratio fisiologis, c/d ratio sulit dinilai, retina flat, reflek fundus (+).

Pasien disarankan menjalani pemeriksaan foto fundus, OCT dan Humprey 10-2 dan 30-2. Hasil pemeriksaan foto fundus didapatkan kesan yang papil yang pucat di bagian temporal (bow tie atrophy) pada kedua mata.

Gambar 2.1 Pemeriksaan foto fundus pasien pada tanggal 8 Juli 2015

Selanjutnya pasien dilakukan pemeriksaan Humprey 30-2 dan 10-2. Dan didapatkan kesan defek lapang pandang yang difus pada kedua mata. Namun hasil reabilitas dari humprey ini rendah dan false positif yang tinggi, kemungkinan karena pasien tidak mengikuti instruksi pada saat pemeriksaan.

Di unit Low vision pasien didiagnosis Severe Visual Impairment, Susp atrofi papil ODS ec DD/ SOL, meningioma. Pasien mendapatkan kacamata baca addisi S + 3,00 dioptri untuk membantu membaca huruf ukuran 4,0 M pada jarak 33 cm, sehingga pasien dapat membaca huruf Al-Quran dengan ukuran yang besar. Serta dijelaskan untuk membaca semaksimal mungkin menggunakan kertas dan tulisan yang cukup kontras dan dapat juga ditingkatkan kontrasnya dengan lampu baca.

Dari hasil pemeriksaan tersebut pasien dikonsulkan ke unit Neuro Oftalmologi dan didiagnosa sebagai atrofi papil ODS ec DD/ susp SOL, ischemic, post inflamasi. Pasien mendapatkan terapi Citicholine 2x500 mg dan disarankan

(5)

untuk dikonsulkan ke Neurologi, dilakukan pemeriksaan MRI kepala dengan kontras, cek laboratorium lengkap dan TORCH.

III. Diskusi

Klasifikasi Low vision menurut The International Classification of Diseases, Ninth Revision, Clinical Modification ( ICD-9-CM), yaitu Moderate visual impairment dengan koreksi tajam penglihatan terbaiknya antara 20/60 – 20/160; Severe visual impairment yaitu kategori kedua dengan tajam penglihatan terbaiknya antara 20/160 – 20/400, atau diameter lapang pandangnya 20 derajat atau kurang; Profound visual impairment, dengan koreksi tajam penglihatan terbaiknya antara 20/400 – 20/1000, atau diameter lapang pandangnya 10 derajat atau kurang; Near total vision loss yaitu koreksi tajam penglihatan terbaiknya adalah 20/1250 atau kurang; Total blindness, yaitu tidak adanya persepsi cahaya.

Fungsi visual yang terganggu dalam low vision meliputi menurunnya tajam penglihatan, sensitivitas kontras, penglihatan warna, lapang pandang, penglihatan binokular dan sensitif terhadap glare. 1,2

Pada pasien ini masuk dalam kategori severe visual impairment, karena visus terbaiknya dengan koreksi adalah 2/32 f-1 pada mata kanan dan 3/40 pada mata kiri. Tajam penglihatan jauh pada mata kanan dan kiri setelah dicoba dengan lensa spheris dan cylindris tidak didapatkan peningkatan tajam penglihatan, sehingga pada pasien ini diputuskan tidak memberikan koreksi kacamata jauh.

Untuk melihat objek dengan jarak dekat pasien masih bisa melihat dengan cukup jelas, sehingga aktifitas sehari-hari yang memerlukan penglihatan dekat masih bisa dilakukan secara mandiri, namun untuk melihat obyek yang jauh pasien akan kesulitan untuk melihat.1

Tajam penglihatan dekat pada pasien ini tanpa addisi adalah 6,3 M pada jarak 30 cm. Untuk memenuhi kebutuhan mengikuti pengajian, pasien membutuhkan alat bantu (optical aid) untuk membaca huruf yang lebih kecil dari ukuran 6,3 M. Alat bantu membaca dekat untuk pasien low vision terdapat beberapa jenis, yaitu berupa kacamata baca, handheld magnifiers, dan stand magnifiers.1,2,7,

(6)

Kacamata baca merupakan cara yang paling sederhana untuk mendapatkan bayangan di retina tampak lebih besar dan lebih dekat ke mata. Sebagian besar pembesaran akan membentuk jarak pembesaran relatif, karena addisi yang lebih tinggi akan membutuhkan jarak baca yang lebih dekat. 1,2,7.8

Pada pasien ini dengan addisi S + 3,00 dapat membaca tulisan 4,0 M atau N 32, dan dengan lensa S + 5,00 dapat membaca tulisan 2,5 M atau N 20. Dengan menggunakan rumus pembesaran (M= Fxr), dimana M adalah magnifikasi, F kekuatan dioptri dan r adalah jarak, sebenarnya pasien dapat membaca huruf ukuran 1,0 M dengan lensa addisi + 12,5 D. Namun, dengan lensa spheris tinggi S+ 12,5 D akan menurunkan jarak baca menjadi 8 cm, sehingga akan lebih sulit untuk pasien mempertahankan jarak baca tersebut saat membaca Al Quran. Pasien disarankan untuk menggunakan kacamata spheris +3,00 untuk melihat tulisan lebih besar (4,0 M atau N 32), tetapi untuk mempertahankan jarak baca pasien akan cukup nyaman. Untuk itu, pasien disarankan untuk menggunakan Al Quran yang berukuran besar.1,2,9

Pasien telah mencoba penggunaan alat bantu stand magnifier 36 Dioptri di poli low vision. Dengan alat ini pasien dapat membaca tulisan ukuran 1,0 M dengan jarak sekitar 3 cm. Jarak antara mata, lensa dan tulisan saat membaca akan tetap stabil dengan alat ini, namun penggunaan alat ini membutuhkan posisi tertentu yang membuat pasien kurang nyaman. Pasien sudah merasa cukup menggunakan kacamata baca untuk melakukan kegiatan yang membutuhkan penglihatan dekat.1,2

Selain gangguan fungsi tajam penglihatan, pasien mengalami gangguan sensitivitas kontras. Penatalaksanaan dari gangguan ini adalah dengan meningkatkan kontras pada tulisan yang akan dibaca, yaitu dengan memilih tulisan yang lebih hitam dan dasar tulisan yang lebih putih. Selain itu, dengan pencahayaan yang baik akan meningkatkan kontras sehingga membantu pasien yang terganggu sensitvitas kontrasnya. 1,2,9

Pembesaran akan menurunkan kontras, sehingga perlu dipertimbangkan besarnya pembesaran yang diberikan. Pasien dengan gangguan sensitivitas kontras bisa menggunakan CCTV (closed-circuit television) untuk mendapatkan

(7)

peningkatan kontras dan pembesaran. Pada pasien ini penggunaan alat CCTV belum diperlukan karena pasien tidak membutuhkan untuk sering membaca dalam aktivitas sehari-hari.1,2,9

Pasien juga terkadang tidak mengenali orang-orang dengan jarak tertentu di sekitarnya karena keterbatasan penglihatan ini. Maka dari itu penting bagi pasien dan keluarga pasien untuk diedukasi mengenai kondisi pasien ini agar tidak menganggu fungsi sosial dari pasien tersebut. 1,9

Pemeriksaan penglihatan warna pasien low vision dengan menggunakan pseudoisokromatik Ishihara dinilai cukup sensitif dan praktis terutama untuk mendeteksi gangguan warna merah-hijau. Hasil pemeriksaan pada pasien ini adalah 3/14 pada mata kanan dan demoplate pada mata kiri. Hasil ini menunjukkan adanya gangguan persepsi warna akibat keterlibatan dari nervus optikus. 8

Penurunan fungsi penglihatan yang dialami pasien di atas ditatalaksana selanjutnya dengan konseling perihal penyakit pasien, gangguan fungsi penglihatan yang dialami, prognosis penyakit serta diberikan kacamata untuk koreksi tajam penglihatan dekat. Pasien ini tidak diberikan alat bantu low vision untuk jarak jauh, karena dari hasil pemeriksaan refraksi tidak didapatkan peningkatan yang signifikan. Pasien dianjurkan kontrol 6 bulan mendatang untuk mengevaluasi manfaat dan ukuran kacamata yang telah diberikan kepada pasien.8

Penanganan pada pasien low vision mencakup fungsi penglihatan, efek terhadap perekonomian, aspek fungsional yang berhubungan dengan aktivitas pasien sehari-hari, interaksi sosial, psikososial, dan hubungan interpersonal.

Penanganan yang tepat sesuai kebutuhan pasien low vision akan dapat mengoptimalisasi fungsi penglihatan pasien yang masih tersedia sehingga pasien low vision dapat mandiri dan berkarya. 1,2,9,10

Prognosis pada pasien ini adalah quo ad vitam dubia ad bonam, quo ad fungsionam dubia ad malam, karena penyakit atrofi papil ini belum dipastikan penyebabnya karena belum dilakukan pemeriksaan laboratorium dan MRI. Atrofi papil ini merupakan penyakit yang irreversible.

(8)

IV. Kesimpulan

Atrofi papil menyebabkan terjadinya gangguan fungsi penglihatan yang tidak dapat dipulihkan kembali dan dapat menyebabkan seseorang menjadi pasien low vision. Penanganan pada pasien low vision mencakup Rehabilitasi penglihatan untuk dapat mempertahankan aktivitas sehari-hari pasien sehingga efek terhadap perekonomian, interaksi sosial, psikososial, dan hubungan interpersonal pasien tidak terganggu.. Penanganan yang tepat sesuai kebutuhan pasien low vision akan dapat mengoptimalisasi fungsi penglihatan pasien yang masih tersedia sehingga pasien low vision dapat mandiri dan berkarya.

(9)

DAFTAR PUSTAKA

1. Skuta GL, Louis BC & Jayne SW. Clinical Optics. American Academy of Ophtalmology : San Fransisco, 2011-2012. hlm.283 – 307.

2. Decarlo DK, Woo S, Woo GC. Patient with Low vision. Dalam: Benjamin WJ, penyunting. Borish’s clinical refraction. Edisi ke-2. Missouri:

Butterworth Heinemann Elsevier; 2006. hlm. 1591-618

3. Wilhelm H, Schieffer U. Optic Disc Sign and Optic Neuropathies. Dalam : Wilhelm H, Schieffer U, Hart W, Penyunting. Clinical Neuro- Ophthalmology. Berlin Hiedelberg: Springer. 2007. hlm. 101-26.

4. Kanski JJ, Nischal KK. Ophthalmology Clinical Sign and Differential Diagnosis. Spain: Mosby. Edisi Ke-2.2000. hlm 248-85.

5. Skuta GL., Louis BC & Jayne SW. Neuro Ophthalmology.. American Academy of Ophtalmology : San Fransisco, 2011-2012. hlm.91 – 110.

6. Chane J. Optic Nerve Disorder Diagnosis and Management. USA:

Springer. 2007.hlm. 62-87.

7. Sloane AE, Garcia GE. Manual of Refraction. Boston: Little Brown &

Company. Edisi ke-3. 1979. hlm. 173-84.

8. Skuta GL, Louis BC & Jayne SW. Retina and Vitreus. American Academy of Ophtalmology : San Fransisco, 2011-2012. hlm. 33 – 54.

9. Jackson AJ, Wolffhson JS. Low vision Manual. Edisi ke-1. Philadelphia : Elsevier. 2007. Section 3: hlm 291-350.

10. Camphociaro B, Sacket CS. Assistive Devices & Resources for Older Adults with Age Related Vision Loss. Dalam : Houde SC, penyunting.

Vision Loss in Older Adults. New York : Springer. 2007. Hlm. 165-75

(10)

As originally reported by Köllner, and con_rmed by

others, diseases of the optic nerve tend to produce acquired red/green color vision defects. Optic atrophy will frequently result in an acquired defect of red/green discrimination

no matter what disease has damaged the optic nerve. Compression of the nerve by a tumor, damage by in_ammatory

disease or toxins, and demyelinating diseases can all produce the same result. Just as the etiology of damage to the

nerve is nonspeci_c, the location along the course of the optic nerve is equally indiscriminant. _e ganglion cell _- bers may be damaged in the anterior optic nerve or in the orbital or intracranial course of the nerve, resulting in the same acquired color vision defect.

_e type of acquired dyschromatopsia

Optie atrophy is the hallmark of damage to the reti nal ganglion cell s. Although atrophy is visualized at the level or the optic nerve head, it may result from damage to any portion of the ganglion ce ll s, from cell bodies to their synapses at the lateral geniculate nucleus. OptiC atrophy does not occur immediately but takes 4- 6 weeks from the time of axonal damage. Severe damage is usually easily identified by the chalky white appearance of the disc (Fig 3-2), with increased sharpness of the margins in contrast with the dull red

appearance of the peripapi llary retina, which is devoid of the normal softening effect of the overlying nerve fiber layer (NFL). Milder forms of atrophy, with less whitening of the

Referensi

Dokumen terkait

Published by English Language Education Department of UMG http://dx.doi.org/10.30587/jetlal.v6i1.4041 Authors retain copyright and grant the journal right of first publication with

CONCLUSION Based on both economic and political feasibility explained above, it can be concluded that the government is recommended to keep the policy because an increase in