KONSEP KE-PRIYAYI-AN YANG TEREFLEKSI
DALAM NOVEL PARA PRIYAYI KARYA UMAR KAYAM DAN GADIS PANTAI KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER-)
David
SetiadiUniversitas
Muhammadiyah
Sukabumi Pos-el: idaitesL0@y ahoo. comYati
AksaFIB
Universitas
PadjajaranM. Adji
FIB
Universitas
PadjajaranInti Sari
Novel Para P riyayikaryatJmar Kayarn d anGadis PantaikaryaPramoedya Ananta Toer merefleksikan gejala sosial ketika kedua novel diterbitkan. Dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra dan konsep priyayi dalam tinjauan historis, penelitian ini mengunggkapkan cermin sosial yang muncul dalam kedua novel tersebut. Konsep ke-priyayi-an: status ke-priyayi-ao jenis priyayi, pola kepercayaan, kritikterhad apke-piyayl-ary merupakanupayakedua pengaranguntuk memberikan konsep nilaike-priyayi-ansebagai bagian dari penuangan gagasan sosio-kultural dalam wacana sastra.
Kata kunci: budaya Jaw a, priy ayi, nov el
Abstract
Research on the nooel Pnra Priynyi by Umnr Knyam and Gadis Pantni by Pramoedya Annntn Toer is an annlysis of social phenomenn sre created wlrcn the second nooel. By using the sociological appronch and the concept of liternry nristocracy in the historical reoiew, tltis study rerteal social mirror that appears in the second noztel. Based on the results of tlrc study, zohich appenrs nristocrncy concept include; aristocracy stntus, type of nristocracy, tlrc pattern ofbeliefs, criticism of aristocracy, a second attempt to giae tlrc concept the author aristocracy ualue as part of tlw socio-cultural cnsting ideas inliternry discourse.
Key words: Jaoanese culture, priyayi, noael
1.. Pendahuluan
Salah satu
yang menarik dalam
perkem-bangan
sastraIndonesia modern adalah
ba- nyak karya sastra yang mengangkat persoalanlokalitas budaya.
Persoalanbudaya menjadi menarik diangkat dalam
sebuahkarya
sastra dengan asumsi bahwa karya sastra dapat dija-dikan
sebagai dokumen sosial.Hal ini
menan- dakan bahwa karya sastratidak
diciptakan da-lam situasi kekosongan budaya (Teeuw,
2002:21).Dalam
sastraIndonesia,
persoalanbudaya bermunculan sebagai bagianyang
tidak
terpisahkan dari latar belakang budaya penulis.Sesuai dengan
penuturan Damono
(2000:11), novelyang dikarang
oleh pengarang Jawa ta-hun
1950-an adalahdunia
rekaan yangdihuni oleh para
priyayi. Bagi seorangUmar
Kayamdan
Pramoedya,tentunya
budaya Jawa men- jadi bagian dari identitas mereka sebagai orang Jawa.Novel
ParaPriyayi (Umar Kayam) dan
GadisPantai (Pramoedya A.T.) mengangkat
1
Naskah masuk tanggal 14 April 2013. Editor: Drs. Herry Mardianto. Edit I: 25-30 April2013. Edit II: 22-25Mei2013.69
persoalan budaya. Hal
ini
tampak dari aktivitas tokoh dalam kedua novelini
yang menjalankan segaiaritus
budaya sebagai priyayi yang kental dengan kebudayaan Jawa yang melekat. Kehi- dupan priyayi dalam kedua novelini tidak
bisadilepaskan dari
kebudayaan Jawayang
men-jadi
pedoman dalam menjalankan kehidupan.Dengan mengangkat
persoalan budaya, kedua novel tersebut dianggap menjadi bagian dokumen sosiokultural
yang menggambarkan fenomena budayaketika karya
sastra tersebut diciptakan. Dalam penelitian ini penulismemilih
novel P ara P riynyi kary aUmar Kayam dan Gadis Fantaikarya
PramoedyaAnanta Toer
sebagai objekyang
akan dianalisis dalam sebuah per- bandingan.Para Priyayi dan Gadis Pantai bercerita ten- tang kebudayaan Jawa.
Namun,
cermin buda- ya yang terdapat dalam dua novel tersebutdi-
gambarkan berbeda. Perbedaan tersebut rneru- pakanciri
khas pengarang kedua novelini
da-lam
menuangkan gagasannya tentang konsep budaya Jawa tersebut.Di samping ltu,
priyayiyang merupakan bagian dari kebudayaan
Jawa digambarkan dalam kedua novelini
seba- gai manusia (tokoh) yang menjalankan kebuda- yaan Jawa dengan konsisten. Keduahal
terse-but
menarik dianalisis dalam kaitannya antara sastra dengan rnasYarakat.Penetitian
ini
akan mengungkapkan bagai- mana konsep ke-priyayi-an Jawa dalam kedua novel tersebut dipandang sebagai cerminan za- man ketika karya tersebut dibuat. Ditambah de- ngan konteks sosial yang menjadi bagiandari kritik kedua
pengarang dalammenilai ke-pri-
yayi-an pada saat keduanovel ini
diciptakan.Secara khusus penelitian
ini
bertujuan un-tuk
mendeskripsikan dan menginterpretasikankonsep priyayi
sebagaimanayang tercermin dalam nor,*l
Para Priyaylkarya Umar
Kayamdan
Gadis PantaiKarya Pramoedya Ananta
Toer.Hasil
penelitian diharapkan dapat mem-berikan manfaat bagi masyarakat
pembaca akademis, seperti mahasiswa, dosen, dan pene- 1iti, dalam upayauntuk
menelaah kembali kon-sep ke-priyayi-an yang masih ada rialarn struk-
tur masyarakat Indonesia kontemporer. Di
samping itu, hasil
penelitianini
diharapkan da- pat memberikankontribusi
bagi pembangunandi
Indonesia, khususnya dalam bidang budaya sebagai ranah yang strategisuntuk
menanam-kan nilai-nilai kearifan lokal
guna menunjang penguatankarakter
masyarakat Indonesia.2.
LandasanTeori dan Metode Penelitian
Pemilihannovei
Para Priyayikarya
UmarKayam dan
Gadis,Pantaikarya Pramoedya Ananta
Toer sebagai objekpenelitian
dengan alasanbahwa
keduanya menggambarkan ke-hidupan priyayi
dengan segala macamaktivi-
tasnya dalam berbudaya. Penelitian ini memba- tasi kajian terhadap pola
prilaku
priyayi dalamwujud
aktivitas yangmeliputi
status ke-priy ayi- an,jenis
priyayi,pola
kepercayaan, dankritik terhadap
ke-priy ay i- an.Data yang diambil berupa
kutipan-kutipan dari
keduanovel
tersebut menunjukkan bebe- rapahal
berkaitan dengan aktivitas ke-priyayi- an. Analisis data dengan metode deskriptif ana-litik
digunakanuntuk
menemukan konsep ke- priyayi-am dalam keduanovel yang
dianalisis"Untuk menjawab beberapa masalah dalam
penelitian ini digunakan beberapa teori yang me-liputi
sosiologi sastra dan tinjauan historis ter-hadap
priyayi.2.1Sosiologi
SastraWellek
danWarren
(1990:111) mengemu-kakan beberapa pendapat mengenai ragam
pendekatan terhadap karya sastra. Setidaknyaterdapat tiga jenis
pendekatanyang
berbedaditam
sosiologi sastra. P ertama,sosiologi Penga-rang, profesi
pengarang,institusi
sastra. Per- masalahan yang berkaitandi sini
adalah dasar ekonomiproduksi
sastra, latar belakang sosial, dan ideologi pengarang yangterlihat dari
ber- bagai kegiatan pengarangdi luar
karya sastra.Kedua, adalah isi karya sastra, tujuan, serta hal- hal lain yang tersirat dalam karya sastra
itu
sen-diri,
dan yang berkaitan dengan masalah sosial.Ketiga,
permasalahan
pembacadan dampak karya
sastra.Hal
tersebuttidak
terlepasdari
sosialkarya sastra. fungsi
sosial pengarangdalam
sebuah sistem PendapatWellek dan
Warren tersebutti-
sosialdanlingkungannya. Williams (dalamDa- dak
berbedajauh
denganyang diungkapkan mono,
1979:55)mengungkapkan bahwa
ada oleh Escarpit (2005:22-23) bahwa semuafakta tujuh
macamcaruyangdigunakan
oleh penga- sastramenyiratkan
adanyahubungan antara rang untuk
memasukan gagasan sosialnya kepenulis, buku, dan
pernbaca. Secaraumum dalam novel:
(1)mempropagandakannya
Ie- kaitan tersebut dapat pula merupakanhubung-
wat novel, (2) menambahkan gagasan ke dalam an pencipta,karya, dan publik. novel,
(3)memperbantahkan
gagasan dalamLebihlanjut,Escarpitmenitikberatkanpene- novel,
(4)menyodorkannya
sebagai konversi,litiannya pada
sistemreproduksi
sastrayang
(5)memunculkan
gagasan sebagaitokoh,
(6)dikaitkan
denganfaktor
ekonomidan sumbe,
melarutkan gagasan dalam keseluruhandunia penunjang kepentingan ekonomi tersebut. fiksi,
dan (7) menampilkannya sebagai super- Berdasarkanpenelitiannya terhadapreproduksi struktur.
karya sastra di Inggris danPrancis
memperlihat-
Sosiologi sastramerupakan
telaah sastrakan bahwa faktor lingkungan yang kondusif
yang berpusat pada persoalan hubungan karya memperlihatkan penyemaian pengaranguntuk
sastra dengan pengarang, pengarang denganbanyak menghasilkan karya
sastra.Dengan
pembaca, pembacadengan karya. Dalam
te-proporsi
sebanyak 1.4%,lingkungankeagama-
laah sosiologi sastraini dikaji
sampai seberapaan memegang peranan penting dalam per- jauh nilai
sastradapat berfungsi
sebagai alat kembangan sastradi Inggris
dan Prancisabad penghibur dan pendidik masyarakat (fungsi
ke-L9.
sosialrakyat).'
Dalam
penciptaankarya
sastra, adaber- Ada beberapa hal yang harus dipertim-
bagai hal yang secara
tidak
langsungmemben-
bangkan mengapa sastramemiliki kaitan
erattuk
karya sastraitu
sendiri. Seperti konteksso-
dengan masyarakat dan dengandemikian
ha-sial ketika karya itu dibuat dan pengarang rusditelitidalamkaitannyadenganmasyarakat
yangmerupakan produk dari
keadaansosial.
sebagai berikut:Karya sastra yang tercipta
tidak dilihat sebatas (1) karya
sastraditulis oleh
pengarang, dan biografi pengarang sebagaiindividu,
tetapiha-
pengarang adalah anggota masyarakat,rus dihubungkan dengan sifat-sifat kolektif Q) karya sastra hidup
dalam masyarakat, me-
yang menjadi bagian dari pendapat kolektif nyerap
aspek-aspek kehidupan yang
ter-
suatu masyarakat ketika karya
tersebut dicip- jadi dalam
masyarakat,
takan' (3) medium karya sastra, baik lisan maupun
Setidaknya karya
sastra mempunyai dua tulisan merupakan
kompetensi masyara-
makna, yakni makna niatan (amanat) dan mak- kat yang dengan sendirinya mengandung
na muatan
(tema). Makna niatan
adalah mak-
masalah-masalah kemasyarakatan,
na yang dikehendaki oleh pengaran& sedang- $) di
dalam karya sastra terkandung estetika,
muatan
(tema). Maknaniatan
adalahmak-
masalah-masalah kemasyarakatan, na yang dikehendaki oleh pengaran&sedang- $) di
dalam karya sastra terkandung estetika,kan makna muatan adalah makna yang ada etika, bahkan juga logika, dan :;
dalam struktur karya itu sendiri'
Keduajenis (5) karya
sastraadalah hakikat intersubjek-
makna karya sastra itu jelas bertolak daripeng-
tifitas masyarakat menemukan citra dunia-alaman-pengalaman sastrawan, baik peng- nya dalam
suatu karya.alaman yang diperoleh dari interaksi
sosialmaupun pengalaman yang diperoleh dalam Oleh
karenaitu, Damono
(2002:11) men-interaksi religiusnya
(Jabrohim, 2002:158).Ke-
jelaskan bahwa salah satu gagasan atau konsepduanya menjadi
satu kesatuandalam sebuah
sosiologi sastra adalahbahwa
sastra merupa-Konsep Ke-priyayi-an yang Terefleksi dalam Novel Pora PriyayiKarya Umar Kayam dan Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer
77
kan cerminan zamannya. Konsep
ini
dilatarbe-lakangi oleh pandangan bahwa karya
sastramerupakan
cermin,langsung dari berbagai struktur
sosial.Novel
PnraPriyayi dan
Gadis Pantai dapat dijadikan sebagai cerminkehidup- an
manusiapada
zamanrtya.2.2
Konsep Priyayi dalam Tinjauan Historis
Stratifikasi sosial masyarakat dalam sistempemerintahan Hindia
Belanda menempatkan golonganpribumi
(inlander) pada tingkatan ter-akhir
dalam sebuahhierarki.
Pada kenyataan- nya, golonganpribumi
terbagi lagi dalam bebe-rapa tingkatan.
Khusus dalam masyarakat Ja-wa, seperti yang dikemukakan oleh
Magnis- Suseno (2003:12)bahwa orang
Jawasendiri
membedakandua
golongan sosial,yaitu
wongcilik
(orang kecil) dan kaum priyayi. Wong cilikterdiri dari
sebagian besar massapetani
dan merekayang
berpendapatanrendah di
kota, sedangkankaum priyayi
adalahpegawai
dan orang-orang intelektual. Suseno menambahkan satu golongan dalam klasifikasi tersebut, yang menurutnya merupakan kelompok ketiga, mes-kipun kecil namun
tetapmempunyai
prestise yang cukuptinggi, yaitu
kaumningrat
(ndara), apabiladilihat
dari gayahidup
dan pandanganduniawinya
golonganini tidak
begitu berbeda dengan golongan priyayi.Geertz
(1981:5- 9) dalam penelitiannya
membagi masyarakat Jawa menjadi tiga ting-
katan yaitu:
(1) abangan, (2) santri, dan (3) pri-
yayi. Geertz melihat perbedaan antara tiga
status sosial masyarakat Jawa terletak
dalam
penekanan elemen kehidupan berdasarkan ga-
ya hidup
masing-masing. Abangan lebih
me-
nekankan pada elemen animistis, santri mene-
kankan pada elemen islamisme, danpriyayime-
nekankan pada elemen hinduisme.
Menurut
Bachtiar (dalam Geertz, 1981:ix) Penggunaan istilah-istilah abangary santri, danpriyayi untuk mengklasifikasikan
masyarakat Jawadalam
golongan-golongan agamatidak-
lah tepat karena ketiga golongan yang disebut- kan tersebuttidak
bersumber pada satu sistemklasifikasi yang sama. Abangan dan santri ada-
lah penggolongan menurut
ketaatan mereka menjalankanibadah
agama Islam, sedangkanpriyayi merupakan penggolongan
sosial. De-ngan demikian, apabila dilihat dari
ketaatan dalam menjalankan agama (Islam),priyayi
da-pat
digolongkan menjadi Priyayi abangan danpriyayi
santri.Ong Hok Ham (2004:20-21) mengemuka-
kan bahwa
keberadaankaum priyayi
sebagai pegawaitelah
adadalam
tatanan negaratra-
disional (kerajaan)di
Nusantara. Secara etimo-logis
priyaul beraqaldari
katayayi yaitu adlk raja dalam arti
ab'strak.Kaum priyayi
adalahsekelompok kecil orang yang diberi
jabatan atau mendapat mandatdari
rajauntuk
mem- bantu pemerintahan. Priyayi dalamarti di
atas berfungsi sebagai alat raja, danlebih
merupa- kan elitepolitik
danelit
penguasa.P ada zaman modern pemeritahan
kolonial
Belanda,pemerintah
Hindia-Belanda terkenalmemakai dual
systempemerintahan, yakni
Binnenlnndsch Bestuur (BB)
yang terdiri
atas orang-orang Belanda, dankaum priyayi yang
merupakan penguasa lokal dengan
struktur
pe-merintahan yang disusun oleh
Belanda (OngHok Ham,
2004,24).Hal ini didasarkan
pada kenyataan bahwarakyat lebih patuh dan
taat kepada penguasa lokal dibandingkan penguasa Belanda.Cara seseorang
mendapatkan statts pri- yayi dapat ditempuh
dengan beberapa cara.Hal ini sesuai dengan pendapat Soekanto
(2006:239) yang mengklasifikasikan status so- sialmenjadi (\)
ascribed status, (2) achieaed sta- tus, (3) assigned status. Ascribed status adalah kbdudukan seseorang dalam masyarakat tanpamemerhatikan perbedaan rohaniah dan
ke- mampuan" Kedudukan tersebut diperoleh kare-na kelahiran atau diwariskan
secaraturun- temurun.
Achieaed status
adalah kedudukan yang
diperoleh
seseorang dengan caradiperjuang-
kan disertai
dengan usaha-usahayang
dise- ngaja.Kedudukan ini bersifat terbuka untuk
siapa saja tergantung dari kemampuan masing-
masing dalam
mengejar serta mencapaituju-
annya. Assigned status adalah kedudukan yang diperoleh seseorang karena pemberian sebagai penghargaan jasadari kelompok
tertentu.3.
PembahasanNovel
Para Priyayidan
Gadispantai pada
dasarnya berceritatentang kaum priyayi. Ke- priyayian
yang melekat padatokoh
dalam ke-dua novel ini
selaludipertentangkan
denganorang
kebanyakan sebagai bagianyang tidak terpisahkan dari keberadaan priyayi dalam hierarki
masyarakat Jawa.Priyayi dan
orang kebanyakan berada dalam oposisi biner. priyayi sebagai sosok yang menguasai (dengan kekua- saannya)dan
orang kebanyakanyang
beradadi bawahnya
(yang dikuasai).Dalam melihat konsep priyayi kedua novel
ini, perlu ditinjau pula
bagian-bagianpenting yang menunjukkan ciri khas
masing-masingpengarang dalam menampilkan
sosoktokoh priyayi.
3.1 Status Ke-priy
ayi-an
Novel
Para Priyayi dan Gadis Pantai meng- gambarkan dengan jelas cara seseorang men-dapatkan
status sebagai seorangpriyayi.
Para Priyayi melalui tokoh Sastrodarsono danLantip
mendapat status ke-priyayi-an dengan caradi-
perjuangkan (achieo ed status), sedangkan tokoh Bendoro mendapat status ke-priy ayi-anmelalui
garis keturunan (ascribed status), diperoleh sejaklahir.
Sastrodarsono dengan usaha
yang gigih
melaluijalur pendidikan,
mendapatkan status priyayi sebagai seorangmantri
guru.Walaupun
kedudukanmantri guru
dalamstruktur
ke-pri- yayi-an sebagai priyayikecil, tetapi
setidaknya Sastrodarsono telah berhasil memasukidunia priyayi,
"Orantg
tua
saya adalahpetani
desa jekek, petani desa yang benar-benar asli.,., merekamenginginkan
pada satuwaktu
salah se- orang anggota keluarganya bisa maju men-jadipriyayi. Mereka inginbetul saya tetap se- kolah. Setiap kali saya menyatakan keingnan saya untuk keluar sekolah karena tidak kra- sary Bapak akan
tidak
segan-segan meng- ambil cemeti, memukuli saya. Maka tidak adapilihan
lain bagi saya selain terus sekolah."(Kayam, 1992:30).
Kutipan di
atas mengambarkan kegigihanorang tua
Sastrodarsono dalam mengarahkan anaknyauntuk
tetap sekolah agar menjadipri- yayi
dandapat mengangkat
status sosial ke-luarga.
Denganmenempuh pendidikary
Sas- trodarsono dapat membuktikan bahwadirinya mampu
menjadi seorahg priyayi.Hal
yang samaterjadi
pada sosok Lantip.Melalui jaiur pendidikan, Lantip
dapat meng-ubah
status sosialnyamenjadi
seorang priyayi yang selanjutnya menjadi sokogurt
dalam trah keluarga besar Sastrodarsono."...Mulai
besok anakmu akan sudah harus ikut saya ke Karangdompol, sekolah di seko- lah saya. Pumpung saya belum pensiun saya lebih gampang memasukkan dia di situ. Ka- lau saya sudah pensiun akan lebih susah cara memasukkan, wong sekarang gupermen mau lebih menyaring lagi." (Kayam, 1992:20).Sastrodarsono menganggap
bahwa
usiaLantip sudah
cocokuntuk
sekolah, sehinggaLantip diminta
bersekolahdi
Karangdompol.Dalam
prosesbelajar, Lantip
sesuai dengan namanya, merupakan seorang anakyang
cer- das. Dengan cepat ia dapat menguasai pelajaran yang didapatkannyadi
sekolah."Dalamwaktu
yang relatif singkat saya su- dah dapat membaca dan menulis seperti me- reka, dan berhitung pun saya kuasai dengan cepat.Mungkin
karena saya senang belajar dan bergaul dengan teman-teman, saya be- gera mereka terima sebagai pemimpin mere- ka." (Kayam,1992:22).Kecerdasan
Lantip membuat ia
dengan mudah menyelesaikan pendidikan di setiap jen- jang.Lantip akhirnya
menjadi seorang sarjanadan mendapat
pekerjaan sebagai seorang do- sendi
almamaternya.Konsep Ke-priyayi-an yang Terefleksi dalam Novel Poro Priyayi Karya Umar Kayam dan Gadis
pantai
7gKarya Pramoedya Ananta Toer
Dengan
melihat
gambaran Sastrodarsono danLantip
dalam mendapatk an ke-priy ayi-an, terlihat jelas bahwafaktor pendidikan
menjadi bagian penting daiam mendapatkan status ter-hormat di
tengah masyarakat.Melalui
usaha keras, belajar dengan sunguh-sungguh,akhir-
nya keduatokoh
tersebut dapat menapaki du- nia ke-p r iy ny i- an seb agai seoran gpendidik
(gu-ru
dan dosen).Tokoh
Sastrodarsono danLantip
menda-patkan
statuske-priyayi-annya melalui
kerja keras, halini
berbeda dengan Bendoro dan Ga- dis Fantai seperti yang digambarkan oleh Pra- moedya dalamnovel
Gadis Pantal. Tokoh Ben- doro dalam novel Gadis Pantalmerupakanpro-
totipedari
seorangpriyayi. Kehadirannya
da- lam cerita digambarkan sebagai seorang priyayitulen yang mendapat
status ke-priyayi-annyamelalui
garis ketur unan (as crib e d- s t atu s), statusyang diperoleh
sejaklahir.
Dengan demikiary Bendorotidak perlu
kerja kerasuntuk
menda-pat pengakuan
sebagaipriyayi.
Sejaklahir
iasudah dibekali
dengan segala macamatribut
sosialyang
dapat menjadikannya sebagai pri- yayi, mt:Jaidari
kekayaary kekuasaan, dan ke- hormatan. Oleh karenaitu,
sosok Bendorodi-
gambarkan sebagai seorang priyagung, priyayi agung yang kedudukannya tinggi."...mulai hari ini kau jadi istri seorang pembe- sar, ...orang kaya, ...tinggal di gedung besar,
... orang yang berku asa...." (Toer, 2003:12, 13, 14).
Kutipan di
atas menggambarkan kebesar-an
seorang Bendoroyang terhormat dan
ter-pandang. Bendoro dengan status
ke-priyayi- annya,hadir
sebagai seorang pembesar yangdiakui
dandihormati di
dalam masyarakat.Bendoro mendapatkan
status ke-priyayi-annya dari
trnh pendahulunya sebagai priyayi.Status priyn+i yang didapatkan,
dilengkapi
pu-la dengan
segalamacam pengakuan
secara massaldari
masyarakat,baik
menyangkut ke-dudukan,
kehormatan,maupun hal
lainnya.Kenyataan yang berbeda
dialami
oleh Ga-dis Pantai dalam
mendapatkan statuske-pri-
yayiannya
Gadis Pantaimenjadi
seorang pri-yayi
setelahdinikahi oleh
Bendoro. Siatusnya sebagaiistri
Bendoro membuat kedudukannyameningkat menjadi priyayi
dengangelar
MasNganten. Status ke-priyayi-an Gadis Pantai
merupakan statusyang didapat melalui
pem- berian (assigned status) yan g diberikan oleh Ben- doro. Dengan status pemberian tersebut, Gadis Pantai dan keluarganya mendapatkedudukan yang terhormat dalam
masyarakat.Penjelasan
di
atas setidaknya rnenunjuk- kan berbagai macam cara seseorang untuk men-dapatkan
sebuah qstatusdalam
masyarakat,baik melalui
garisketurunan
(asuibed status), perjuangan (achieaed status,) melaluijalur
pen-didikan, dan pemberian
(assigned status)dari
seseorang atau lemba gayangberwenang mem-
berikan
status tersebut.3.2|enis Priyayi
Sesuai penuturan Ong Hok Harn (2002:24),
pemerintah Hindia-Belanda menggunakan
dual systent pemerintahan. Dalamkaitan
terse- but, pendudukpribumi
dijadikan pegawai oleh pemerintah sebagai abdi dengan istilah pangreh prnja,Jenis
priyayi
yangterdapat dalam
kedua novelini
menggambarkan sosok priyayi sebagai pangreh praja.Hal ini
dapatterlihat dari
gam-baran
sosok Sastrodarsonodan
Bendoro. Ke-duanya merupakan priyayi yang mengabdi
pada pemerintah sebagaimantri guru
dan bu-pati.
Sastrodarsonomenjadi priyayi
setelah ia menyelesaikanpendidikan
sebagai calon guru.Melalui jalur pendidikan,
Sastrodarsono men-jadi
seorangguru bantu di
sebuah sekolahdi
KArangdompol. Setelah mengabdi beberapa la- ma,ia
berhak menjadimantri
guru.;:"Beberapa tahun lagi, kalau saya
rajin
dan setia kepada gupermery saya akan menjadi guru penuh sekolah desa. Itu akan lebih me- mantapkan kedudukan saya sebagai priyayi, sebagai abdi gupermen." (Kayam, 1992:29).Kutipan di
atasmenunjukkan
perjuang- an Sastrodarsono dalam mendapatkan status-nya sebagai
mantri guru
(gurupenuh)yang di- akui oleh
pemerintah Hindia-Belanda, meski- punmantri
guru merupakan kedudukan teren- dah sebagai priyayi. Sastrodarsono setidaknya berhasil mengubah statusnya dalam masyara-kat
sebagaiorang terhormat
dengan menjadipriyayi
(kecil).Gambaran yang sama pada sosok Bendoro dalam Gadis Pantai. Bendoro selain sebagai pe- nguasa
lokal
setempat,ia pun
dalamstruktur pemerintahan Hindia-Belanda ditempatkan
sebagai bupati yang
memiliki
kedudukan di ba, wah seorang residen. Dengan posisi sepertiitu,
Bendoro beradadi
antara residen sebagai bagi- anwakil
pemerintahkolonial
dan orang keba- nyakan sebagai wargalokal
yang dikuasai."Dia seorang pembesar, Nak, orang berkua- sa, sering
dipanggil
Bendoro Bupati. Tuan besar residen juga pernah datang ke rumah- nya, Nak. Semua orang tahu." (Toea 2003:12).Bendoro
digambarkan
sebagai seseorangyang memiliki kedudukan yang tinggi
dalam masyarakat,ia dikenal
sebagai seorangbupati
yang kedudukannya beradadi
bawah residen.Pemanfaatan orang
pribumi
sebagai penguasa lokal, seperti yang terlihat pada tokoh Bendoro, merupakan usahapolitis
pemerintahkolonial untuk
mendapatkan orang-orangyang patuh terhadap penguasa setempat melalui
sosok pembesar (priyayi).Tuntutan dalam mencegah timbulnya konflik
dan selalumenunjukkan
sikap hormat merupakan hal penting dalam pengaturan per-gaulan masyarakat Jawa. Sesuai dengan pernyataan
Magnis-Suseno (2003 :23), masy a- rakat Jawa sangat mengharapkan agar kesela- rasandalam
masyarakat dapat dipertahankan danuntuk itu perlu
diciptakan suasanarukun.
Hal
ini
terlihat dalam Gadis Pantai sebagai har-moni antara sosok orang kebanyakan yang patuh
dan mengabdi pada Bendoro."Aku
tak bisa.""Ikuti
saja apa Bendoro lakukan.""Aku
tak bisa.""Wanita utama mesti belajar-mesti bisa me- legakan
hati
Bendoro, ingat-ingatlahitu."
(Toer, 2003:35).
Kutipan di
atasmenunjukkan
kepatuhan yang harus dilakukan Gadis Pantai. Sikapatuh
dan rela mengabdi merupakan suatu hal yang wajib dilakukan oleh orang kebanyakan karenahal ini
merupakan bagiandari
proses pencip-taan
kerukunan.Persamaan
tokoh
Sastrodarsono dan Ben-doro
sebagaiabdi
pemerintah Hindia-Belanda merupakan hal yang menarik dari kedua novelini.
Keduatokoh
tersebut memegang perananpenting
sebagai perantara antarapemerintah
dengan masyarakat dalam sebuahstruktur
pe- merintahankolonial. Menilik
dari peran setiaptokoh
tersebut, ada perbedaan mendasar padaaplikasi
dari ke-priyayi-anyang disandang da-lam interaksi
dengan masyarakat.Sastrodarsono dengan
perannya
sebagai mantri guru/ mengabdikan dirinya sebagaiguru
sekolah rakyatdi
Karangdompol. Sebagai man-tri
guru yang merupakan priyayi kecil (rendah), Sastrodarsono mengabdikandirinya
pada gu- permen (pemerintah)untuk
mencerdaskan kehi- dupan masyarakatdi
desa tempat ia mengabdi." ..., sayaduduk di boncengan belakang sepe- da Fongers Ndoro Kakung yang mengkilap
itu
dengan memegang tas yang berisi sabak atau batu tulis, grip, buku tulis, dan pensil.Di sampingitu saya masihharus juga meme- gang kencang-kencang satu bungkusan berisi termos berisi teh manis hangat dan sebung- kus pisang goreng buatNdoro Kakung. Desa Karangdompol, ada diseberang kali Madiun.
Setiap hari Ndoro Guru dan saya harus naik getek, sampan penyebrangan, bersama ba-
Berdasarkan
kutipan di
atas terlihat bagai- mana pengabdian Sastrodarsono dalam meng- emban tugas sebagai mantri guru. Terlepasdari kedudukannya
sebagai priyayi kecil, perannya sebagaiguru
sangat besar dalam memberikanpendidikan bagi
masyarakatsekitar
desa Ka-rangdompol.
Konsep Ke-priyoyi-an yang Terefleksi dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam dan Gadis pontai Karya Pramoedya Ananta Toer /3
Ketimpangan peran priyayi
sebagai abdi masyarakatterlihat dalam novel
Gadis Pantni.Bendoro sebagai priyagung (priyayi agung) de- ngan jabatan sebagai seorang
bupati,
menem-patkan
perannya sebagai orang besar dengan segala kekuasaan yangdimilikinya.
Sikaployal, patuh,
dan nrim.o masyarakatterhadap
tokoh Bendoro merupakan gambaranpola kerukun- an guna menciptakan harmonisasi di
antara penguasa dan masyarakatyang
dikuasainya."Sst. Jangan keras-keras," bujang memper-
ingatkan. "Di sini yang boleh
terdengar hanya suara pembesar yang datang bertamu ke rnari. Dan Bendoro sendiri tentu." (Toer,2003:19).
Bendoro hadir sebagai seorang priyayi
yang harusdilayani
dandihormati
oleh setiapabdi yang
bekerjadi kediamannya/
dan jugaoleh orang
kebanyakanyang kedudukannya
beradadi
bawah priyayiagung
(bupati).Terlepas
dari
kesamaan jenis priyayiyang
disandang oleh Sastrodarsono dan Bendoro se-bagai pegawai pemerintah kolonial, cara men- dapatkan status ke-priyayi-an sangat berpenga-
ruh
besar terhadappola perilaku
kedua tokoh tersebut. Seperti telah dijelaskan pada subbab sebelumny a, cat aseseorang mendapatkan statuske-priyayian dapat membentuk
kepribadiaan ketika ia telah mencapai statuspiyayi
yang di-inginkan.
3.3
Pola
KepercayaanPcla kepercayaan sebagai bagian
dari
un- sur budaya, memegang peranan penting dalam perkembanganbudaya yang dinamis.
Berda- sarkanpola
ketaatandalam
menjalankan sis- tem kepercayaan, priyayi dibagi menjadi priya-yi
abangan danpriyayl santri.
Perbandingan antara priynyi abangan dan santriterlihat
jelas dalam kedua novelini.
Kayam dalam Parn Pri-ynyi
menggambarkan sosokpriynyi
abangan, sedangkan Pramoedya menggambarkan sosok priyayi santri yang taat (dengan segala ketaatan yang dilakukannya dalam novel Gndis Pantai).Sastrodarsono merupakan seorang abang- an yang selalu menjaga kerukunan dalam men-
jalani kehidupannya. Kerukunan
merupakan salah satu bagiandari
amalankaum
abangandalam
menyeimbangkan penguasaandiri
de-ngan alam
sebagaibagian dari
harmonisasi.Agama
(Islam)yang
telahdikenal
oleh Satro- darsonodiakuinya
sebagai ajaran,namun
da-lam praktik ritualitasnya tidak
dengan serta- merta menjadi kewajibanuntuk
dilakukan olehdirinya maupun
keluarganya."Saya harus mengakui dengan
jujur
bahwa pengaruh agam{ dari embah-embah sayadi
Kedungsimo... Tentu saya selalu mengatakan bahwa agama keluarga kami adalah Islam.Tetapi keislaman kami ya hanya sampai per- nyataanresmi itu. Saya tidak pernah tergerak
untuk mengirim
anak-anak saya belajarmengaji
kepada seorangguru mengaji."
(Kayam, 1992:71).
Kutipan di
atas menunjukkan bahwaritus
agamatidak menjadi
bagianpenting bagi
se- orang abangary agama (Islam) hanyadijadikan identitas.
Bagi Sastrodarsonoyang
abangan, konsep sepi ing pamrih sebagai bagian dari etika Jawa merupakan peganganhidup
Siapa yang sepi ing pamrih daningat
akan kenyataan yang sebenarnya,kedudukan, ketergantungannya pada
YangIllahi,
akanmendapatkan
tempatdi dunia
dan akhirat.Penggambaran pola kepercayaan yang
berbeda terdapat dalam Gndis Pantal. Pramoe-dya menampilkan
sosok Bendoro sebagai pri-yayi
santri, selalu menjalankan kewajibannya sebagai seorang santri dengan cara mengamal-kan ritual menurut
ajaran agamaIslam.
Ben-doro,
sebagai seorang santri,mendirikan
k/zal- wat berupa sebuah ruangan khusus."
lni
khalw at," bujang itu berbisik."Ktalutat?"
" Iy a Khalw at. J angan salah sebut
-
khalw at."Bujang itu tak membetulkannya lagi. Mereka masuk.
Ruang itu luas, sangat luas, persegi panjang.
Lampu listrik teram-temaram menyala di dua
tempat, tergantung rendah pada tali kawat.
Tak ada perabot
pun di sana-kecuali
dua lembar permadani-
selembar disana, selem-bar di
dekatpintu
merekamasuk."
(Toer, 2003:34).Kutipan di
atas menunjukk an bahw a khal-wat merupakan
salahsatu media yang digu- nakan oleh
Bendorountuk
mendekatkandiri dengan Tuhan.
Khalwatdigunakan
Bendorountuk
sembahyang,berzikir, mengaji, dan iba-dah
lainnya.Selain menjalankan ritual
keagamaan,Bendoro melengkapi kesantriaannya
dengan menunaikan ibadah haji, Bendoro menyempur- nakan bagiandari pola
kepercayaannya seba- gaipriyayi santri.
Bendoro selainmenjadi
se- orang umara (pemimpin) dalam lingkungan ke-raton, ia
jugabertindak
selaku ulama denganmengajarkan agama Islam. Sosok Bendoro
dengan segalaritus
keagamaanyang dilaku- kannya, mencerminkan pola
kecenderungan keagamaan yang ia anut, Bendoro merupakanpriyayi
santri.Perbedaan sosok Bendoro dengan Sastro- darsono dalam menjalankan pola kepercayaan,
menjadikan kedua novel ini menarik dalam
konteksmelihat kaitan
sezamanketika
agama (Islam khususnya) berkembang di Jawa.Klasifi-
kasi ketaatan seorang priyayi dalam menjalan- kan agama dibagi menjadi priyayi abangan danpriyayi
santri.3.4
Kritik Terhadap
Ke-priyayi-an
Pramoedya dan Kayam
mengambarkankehidupan priyayi
dengan segalatradisi
yangmelingkupinya. Tradisi priyayi yang
ag:ung/mengabdi, teratur, menampakkan sisi kelam
sosokpriyayi
sebagai sebuahambiguitas dari
keberadaannya. Sebagai priyayi, Bendoro dan Sastrodarsono mempertahankan segala tradisi,nilai, dan norma-norma
ke-priy ayi-anny a.Dalam
Gsdis Pantni, Bendoromenunjuk-
kan kehalusanbudi
dan tingkah lakunya seba- gai seorang priyayi, dandi
sisi lain hal tersebutmenunjukkan
sebuah ambiguitas. Perkawinanpercobaan yang
dilakukan
oleh Bendoro terha- dap Gadis Pantai menunjukkan ambiguitas ter- sebut. Halini
semakin mengukukuhkankrititik yang ingin disampaikan Pramoedya
dengan mempertentangkandua sudut yang
berbeda.Ambiguitas
tersebutmuncul
denganmerujuk perilaku
Bendoro,di
satu sisi memperlihatkan kehalusan budi, sedangkan di sisi lain memperli- hatkan keburukannya sebagai priyayi yang de- ngan semena-mena memperlakukan (perempu- an)demi
kebutuhan hasrat libidonya.Sastrodarsono dalam Para Priyayl berusa- ha melestarikan segalii tradisi priyayi lewat ke- luarga yang dibangunnya. Hingga tiga generasi
dalam trah
Sastrodarsono,kehidupan
priyayidipertahankan
sebagai bagiandari tradisi
ke-luarga priyayi
Jawa.Upaya
mempertahankan ke-p riy ny i - an menj adi sebuahkritik
yang disam-paikan oleh
Kayam.Di
satu sisiKayam ingin menunjukkan bahwa
status ke-priyayi-an me- rupakan jaminan bagi generasi penberus dalam trah Sastrodarsono agar menjadi orang terpan-dang
dalam masyarakat.Namury di
sisi yang lain Kayam melalui tokoh Lantip menggariskanbahwa
status sosialdalam
masyarakat harus didapatkanmelalui
perjuangary salah satunyamelalui jalur
pendidikan.Melalui
karyafiksi,
Kayam menggunakan pola sanepn yang biasa dilakukan oleh pujangga Jawauntuk
menyamarkan muatan yang sebe- narnyaingin
disampaikan. Hal tersebutterlihat dari gambaran perilaku berbudaya yang di- tampilkan
dalam ParaPriyayi,
gambaran peri- laku berbudaya seolah merupakanhalyangfak- tual
te4adi dalam kehidupan masyarakat Jawa pada umumnya.Persoalan
budaya
Jawayang digambar- kan dalam novel ini
setidaknya melipu.ti per- soalan perubahan sosial, dampak terhadap si- fat budaya yang dinamis, dan terutama tentang mobilitas sosial. Kayam bermain ganda dengan perannya sebagai seorang sosiologdan
satra-wan
(budayawan) dalam novelini.
Sebagai se-orang ilmuan
sosial (sosiolog),ia
sadar sepe- nuhnya terhadap arus perubahan yang ada da-Konsep Ke-priyoyi-an yangTerefleksi dalam Novel Poro Priyayi Karya Umar Kayam dan 6odis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer 77
lam
perkembangan berbudaya dan berbangsa.Namun,
sebagai sastrawan ia berusaha meng- gunakan estetika bahasa yang diciptakanuntuk
menggambarkankontruksi
masyarakat dalam sebuah wacana perubahan sosial,Ada
beberapafaktor
yang menjadi alasanuntuk
menduga bahwa Para Priyayl diciptakan dalam kerangkakritik
sosial yang terselubung (sanepa): (1)kedudukan
sastra sebagai sebuah seni mampu menyamarkan muatan yang sebe-tulnya ingin
disampaikary (2)kondisi
sosiopo-litik
pada masaitu
mengekang kebebasan ber- pendapat yang dikerangkai dengan aturan sub-versif, dan
(3) profesi Kayam sebagai seorangakademisi dan dekat
denganlingkungan
ke- kuasaan menyebabkan ia tidak bisa melakukankritik
secara terbuka.Kritik
sosial dalam ParaPriyayi, sesuai per-nyataan Yus Kayam
(2005:228)merupakan kumpulan
kegelisahan dalam menemukanjati diri,
sebagaiindividu
dan jatidiri
sebagai bang- sa Indonesia. Lebih lanjut, Yus Kayam menya-takan bahwa
beradadi luar negeri
membuat seorangKayam punya banyak waktu untuk berpikir,
merenung, dan tentu saja menulis tan- pa diganggu pekerjaan lainnya. Dengan demi- kian, jarak yang jauh membuat Kayam bisa le-bih objektif dalam menilai Indonesia
dalamnovel
Para Priyayi.Pola yang sama terdapat dalam Gadis Pan-
fal.
Sesuaipenuturan Fakih
(2003:16), Gadis Pantai memberikan wacanabaru
guna mema-hami
neoliberalisme.Novel ini
bergunauntuk melawan dan memperjuangkan nasib kaum
tertindas. Jikamelihat
konstelasipolitik
Indo- nesiapada
dekadetahun
'60-an,ketika
karyaini
pertamakali terbit
sebagai cerita bersam-bung, memungkinkan bahwa karya ini
me- mangmemiliki
muatan sosial yang erat kaitan- nya dengan ideologi realisme sosialis dalam ber- kesenian. Pramoedyaluruh
dalam ideologi ter- sebut, sehingga tema perjuangan sosialis (realis- me sosialis) sangatmungkin
ada di setiap karyayang
diciptakannya.Karya tersebut dibuat tahun
1,962dan
muncul sebagai cerita bersambung. Lewat karya tersebut dapat dilihat perspektif politis kecende- rungan keberpihakan Pramoedya terhadap ideo-logi
berkesenianyang diyakininya.
Penerbitanpertama kali
Gadis Pantai sebagaibuku
padatahun
1987 yangditerbitkan
oleh HastaMitra
dibingkai oleh konstelasipolitik
orde baru yangrepresif
danmiliteristik (menurut
Pramoedya sebagai lawanisme) membuat novel Gadis Pantai lahir sebagai bentukkritik
sosial sezaman. Pener- bitan sebagai buku membuat Gadis Pnntal men- jadi utuh sebagai ngvel jika dibandingkan ketikaia
menjadi cerita bbrsambung.Ada
beberapafaktor yang
menyebabkanpenerbitan Gadis Pantai
sebagaibuku tahun
1.987:(1) faktor kepengarangan
Pramoedya yang mempunyai nama besar dalam konstelasi sastra Indonesia modern, (2) Pramoedya dijadi-kan simbol perlawanan
terhadap pemerintah Orde Baru (dilihat dari karya-karyanya), dan (3) novel Gadis Pantai mendapat tempat di hati pem- baca yang tidak lagi loyal terhadap pemerintahOrde
Baru.Sesuai
penuturan Rosidi
(2006:21),pada
masa Orde Barubuku-buku
Pram yangditulis dan diterbitkan
sebelum pengarangnyadita-
hary dilarang di Indonesia, tetapi dicetak ulangdi
Malaysia, dijadikanbuku
bacaanwajib
parapelajar Malaysia
selamabertahun-tahun. Hal
ini membuktikan bahwa
sebagai sastrawan yangjuga
tahananpolitik
(tapol), Pramoedyamelalui karya-karyanya
(terularna Gadis Pan-tai) mendapat pengakuan
dunia
internasional.Melalui
karya-karyanya, Pramoedyadijadikan
simbol perlawanan bagi sesama eksponen yang menentang pemerintahOrde
Baru.Berdasarkan pemaparan
di
atas; cerita da- lam kedua novel tersebut berperan sebagaikritik
terhadap lawanisme dengan alasan: pertama,
dati
segi materi teks,
ini ditulis
dengan obsesi meng-kritik
basis legitimasi kekuasaan para penguasa Jawa (priynyi) secarapolitik
bergunauntuk
me- ngetahui relasi komponen alus dan kasardari
seorang priyayi.Kedua,
dari
segi metodologis, pengetahu- an-pengetahuan yang ada dalam teks sebagian besar diperoleh melalui proses metafisis, sebuah proses yang merupakan hasil dari kontemplasikedua pengarang dalam melihat
fenomena yang terjadi di sekitarnya bergunauntuk
mem-bentuk pola pemikiran
dengan rasa kemanu- siaan yang tinggi.Dengan demikian, rangkaian peristiwa yang terjadi dengan segala macam konflik
yang menimpa Gadis Pantai dalam Gadis Psn- tni, Sastrodarsono dan
Lantip
dalam Para Pri- yayi merupakan bagian dari pengetahuan akan gagasanyang timbul dari
pengarang, denganorientasi memberikan nilai
kemanusiaan dan sebuah keberanianbaru bagi
pembacanya.4. Simpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa
konsep ke-priyayi- anyang muncul
dalam keduanovel ini meli- puti
aspek status ke-priyayi-an,jenis
priyayi,pola
kepercayaantdan kritik
terhadapke-pri-
ynyi-an. Bendoro dalam Gadis Pantal mendapat status ke-priy ayi-annya melaluijalur
keturunan (ascribed status), sedangkan Sastrodarsono danLantip
mendapat status ke-priyayi-annya mela- luijalur pendidikan
(achieued status). Di sisi lairu tokoh Gadis Pantai mendapat status ke-priyayi- anmelalui
perkawinan dengan Bendoro (assig- ment stntus).Kedua tokoh prototipe priyayi dalam
ke-dua novel tersebut merupakan priyayi yang
menjadi abdi bagi pemerintahkolonial Hindia
Belanda. Sastrodarsonomenjadi priyayi yang
berprofesi sebagai seorangmantri
gurudi
desaKarangdompol,
sedangkan Bendoromenjadi bupati yang kedudukannya
beradadi
bawahseorang residen. Keduanya menjadi priyayi yang
dalamkonstruksi
pemerintahan modern sebagai pangreh praja,kedudukan tinggi
bagi orangpribumi di Hindia.
Sistem kepercayaan
yang muncul
dalam kedua novelini ditampilkan
berbeda oleh ma-sing-masing pengarang. Melalui Sastrodar-
sono,pola
keagamaan priyayi abanganditam- pilkan
dengan menjunjungtinggi nilai
falsafahhidup
orang Jawa, Berbeda dengan Sastrodar- sono, tokoh Bendoro dapat dikategorikan seba- gai priyayi santri yang saleh, ia melakukan iba- dah sesuai ajaran agama Islam sebagai sebuahkewajiban. Bendoro sembahyang di
khalwat dan mengajari Gadis Pantai sholat dan mengaji.Bendoro
hadir
priyayi yang taat dalam menja-lankan ibadah
agama Islam.Daftar Pustaka ,.
Damono, Sapardi
Djoko.
1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaandan
pengembangan Bahasa.-.
2000. Priyayi Abangan. Yogyakarta:Bentang Budaya.
-.
2002. PedomanPenelitian
Sosiologi Sastrn. Jakarta: Pusat Bahasa.Escarpit, Robert.
2005. Sosiologi Sastra(ter-
jemahan Ida Sundari H.). Jakarta: Yayasan
Obor
Indonesia.Fakih, Mansour.
2003.Analisis
Gender dan Transformnsi Sosinl.Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.Geeftz,
Clifford.
1981. Abangan, Santri, Priyayi:Dalam Mnsynrakat lnwa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Jabrohim.
2002. Metodologi Penelitian Sastra.Yogyakarta:
Hanindita.
Kayam, Umar. 1992. Para Prryayi. Jakarta: Grafiti.
-.
1999. lalan Menikung: Para Priyayi 2.Jakarta:
Grafiti.
Kayam,
Y.
2005."Dunia
MasKayam".
DalamA. Siregar dan Faruk H.T. (Ed.),
Umar Kayam: Luar Dnlam. Yogyakarta: Pinus.Magnis-Suseno, Franz. 2003. Etika
lawa.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ong Hok Ham.
2002.Dari
Soal Priyayi sarupaiNyi
Blorong: RefleksiHistoris
Nusantara.Jakarta: Penerbit
Buku
Kompas.Rosidi, Ajip.
2006. Pramoedya: Kenangnn 52T ahun.
Dalam
Horison-XXXXI.Konsep Ke-priyoyi-an yang Terefleksi dalam Novel Poro Priyoyi Karya Umar Kayam dan Gadis Pontoi Karya Pramoedya Ananta Toer
Soekanto, Soerjono. 2006.
Sosiologi:Suatu - . 2003. Realisme Sosialis dan
Sastra
Pengantar. Jakarta: CV. Rajawali.
lndonesia. Jakarta: Lentera Dipantara.
Teeuw,
A.
1988. Sastra danllmu
Sastra.]akarta: Wellek,
Renedan Austin Warren.
1990. TeoriPustaka
Jaya.
Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.Toer,
PramoedyaAnanta.
2003. Gadis Pantai.Jakarta: