• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari Kyoto Protocol 1997 Ke Paris Agreement 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Dari Kyoto Protocol 1997 Ke Paris Agreement 2015"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Global: Jurnal Politik Internasional Global: Jurnal Politik Internasional

Volume 18 Number 1 Article 4

5-15-2016

Dari Kyoto Protocol 1997 Ke Paris Agreement 2015 : Dinamika Dari Kyoto Protocol 1997 Ke Paris Agreement 2015 : Dinamika Diplomasi Perubahan Iklim Global Dan Asean Menuju 2020 Diplomasi Perubahan Iklim Global Dan Asean Menuju 2020

Andreas Pramudianto

Center for Human Resource and Environmental Studies, Post-Graduate Program, University of Indonesia, [email protected]

Follow this and additional works at: https://scholarhub.ui.ac.id/global

Part of the Defense and Security Studies Commons, International and Area Studies Commons, International Relations Commons, Law Commons, and the Political Theory Commons

Recommended Citation Recommended Citation

Pramudianto, Andreas (2016) "Dari Kyoto Protocol 1997 Ke Paris Agreement 2015 : Dinamika Diplomasi Perubahan Iklim Global Dan Asean Menuju 2020," Global: Jurnal Politik Internasional: Vol. 18 : No. 1 , Article 4.

DOI: 10.7454/global.v18i1.119

Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/global/vol18/iss1/4

This Article is brought to you for free and open access by the Faculty of Social and Political Sciences at UI Scholars Hub. It has been accepted for inclusion in Global: Jurnal Politik Internasional by an authorized editor of UI Scholars Hub.

(2)

DARI KYOTO PROTOCOL 1997 HINGGA PARIS AGREEMENT 2015:

DINAMIKA DIPLOMASI PERUBAHAN IKLIM GLOBAL DAN ASEAN MENUJU 2020

Andreas Pramudianto Universitas Indonesia

Email: [email protected]

Abstrak

Participating countries in the international climate change initiatives face another challenges when the 15th UNFCCC Conference of the Parties (COP) was only concluded by a non-legally binding pact. The 15th COP became a problematic issue when the second period of Kyoto Protocol Commitment will end in 2018. In order to proceed, The Commitment would require an international agreement with a certain degree of institutionalized mechanism. Prospects of an international commitment – in regards to global climate changes issue – became ambiguous as Russia, Japan and Canada had withdrew from the second commitment. This unfavorable situation, however, did not stand for a long period of time. Involved parties in global climate change initiative agreed to extend the Kyoto Protocol 2nd commitment until 2020. Concurently, there are also an alternative to supercede The Kyoto Protocol as members of 21st UNFCCC COP signed the new Paris Agreement. With this newly signed agreement, international negotiation on climate change re-found its direction once again to be in line with the establishment of the Ad-Hoc Working Group on Paris Agreement (APA), which would effectively function as a steering committee in 2020. With this newly agreed Paris Agreement and established APA, UNFCCC member countries, including ASEAN members, should prepare themselves and get ready for other international negotiation and commintment on the global climate change isues. In particular for ASEAN, with its institutional refinement in the recent years, the Association should be able to actively engage and posit constructive views in the international dialog on climate change.

Kata kunci

Copenhagen Accord 2009, Kyoto Protocol 1997, Paris Agreement 2015, ASEAN

Pendahuluan

Konvensi Perubahan Iklim PBB (United Nations Framework Convention on Climate Change,UNFCCC) dihasilkan di New York, Amerika Serikat tanggal 9 Mei tahun 1992 dan ditandatangani di Rio De Janerio, 4 Juni tahun 1992 pada Earth Summit

(3)

atau Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (KTT Bumi). Dua tahun kemudian yaitu pada tanggal 21 Maret tahun 1994, UNFCCC atau Konvensi Perubahan Iklim mulai diberlakukan. Dengan berlakunya Konvensi Perubahan Iklim maka dimulailah Pertemuan Para Pihak atau Conferences of the Parties (COP) yang berfungsi untuk mempertemukan pihak-pihak yang menyepakati berbagai komitmen dan tindak lanjut UNFCCC. Conference of the Parties (COP) pertama diadakan di Berlin, Jerman pada tahun 1995 yang menghasilkan Mandat Berlin (Berlin Mandate). Selanjutnya COP UNFCCC dan hasil yang dicapai dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 1. Daftar COP UNFCCC dan Hasil Penting Yang Dicapai.1 Conference of the

Parties

Tempat Hasil Terpenting Keterangan COP ke-2, dari tanggal

8-19 Juli tahun 1996

Jenewa, Swiss Geneva Ministerial

Declaration Para pihak sepakat untuk menghubungan antara Ad Hoc Group on Article 13 dan the Ad Hoc Group on the Berlin Mandate

COP ke-3, dari tanggal 1-10 Desember tahun 1997

Kyoto, Jepang Protokol Kyoto atau Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change

Protokol ini merupakan pelaksanaan dari UNFCCC 1992 dan bersifat mengikat secara hukum atau legally binding

COP ke-4, dari tanggal 2-13 November tahun 1998

Buenos Aries, Argentina

Buenos Aries Action

Plan Mengatur mengenai

mekanisme keuangan, pengembangan dan transfer teknologi, kesiapan program kerja untuk penerapan Protokol Kyoto COP ke-5, dari tanggal

25 Oktober hingga 5 November tahun 1999

Bonn, Jerman Implementation Buenos Aries Action Plan

Mempersiapkan pedoman untuk National

Communication.

COP ke-6, dari tanggal 13-24 November tahun 2000 dan COP ke-6 Tambahan dari tanggal 16-27 Juli tahun 2001

Den Haag, Belanda (COP ke-6) dan Bonn, Jerman (COP ke-6 bis)

The Bonn Agreements on the implementation of the Buenos Aires Plan of Action

Diadakan dua kali dikarenakan terjadi

“deadlock”

COP ke-7, dari tanggal 29 Oktober- 10 November tahun 2001

Marakesh, Maroko

Marakesh Ministerial

Declaration Mengakui pentingnya World Summit on Sustainable Development (WSSD) yang akan diadakan di Johanesburg, Afrika Selatan.

COP ke-8, dari tanggal 23 Oktober- 1

November tahun 2001

New Delhi, India

New Delhi Declaration on Climate Change and Sustainable Development

Deklarasi ini ditandatangani pada tanggal 1 November 2001 oleh Menteri dan perwakilan delegasi yang hadir dalam COP ini.

COP ke-9, dari tanggal 1-12 Desember tahun 2003

Milan, Italia National

Communication from Annex I, Special Climate Change Fund and Least Developed Countries Fund

Negara-negara Annex I untuk pertamakalinya

menyampaikan Laporan Komunikasinya kepada COP dan sekertariat UNFCCC

(4)

Lanjutan dari Tabel 1.

COP ke-10, dari tanggal 6-17 Desember tahun 2004

Buenos Aries, Argentina

Buenos Aries

Programme Para pihak sepakat untuk membentuk Standard

electronic format for reporting Kyoto Protocol units.

COP ke-11, dari tanggal 28 November- 9 Desember tahun 2005

Montreal, Kanada

Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention

Pada COP ke-11 ini bersamaan diadakan

Conferences of Meeting of the Parties (CMP) Kyoto Protocol 1997.

COP ke-12, dari tanggal 6-17

November tahun 2006

Nairobi, Kenya Nairobi Framework Bersamaan dengan CMP ke-2 Kyoto Protocol

COP ke-13, dari tanggal 3-14 Desember tahun 2007

Bali, Indonesia Bali Road Map and

Bali Action Plan Bersamaan dengan CMP ke-3 Kyoto Protocol

COP ke-14, dari tanggal 1-12 Desember tahun 2008

Poznan, Polandia

Advancing the Bali

Action Plan Bersamaan dengan CMP ke-4 Kyoto Protocol

COP ke-15, dari tanggal 7-18 Desember tahun 2009

Copenhagen, Denmark

Copenhagen Accord Bersamaan dengan CMP ke-5 Kyoto Protocol

COP ke-16, dari tanggal 29 November- 10 Desember tahun 2010

Cancun, Mexico Cancun Agreement and Cancun Adaptation Framework

Bersamaan dengan CMP ke-6 Kyoto Protocol

COP ke-17, dari tanggal 28 November- 9 Desember tahun 2011

Durban, Afrika Selatan

Ad Hoc Working Group on the Durban Platform for Enhanced Action

Bersamaan dengan CMP ke-7 Kyoto Protocol

COP ke-18, dari tanggal 26 November- 7 Desember tahun 2012

Doha, Qatar Doha Gateway and

Doha Amandement Bersamaan dengan CMP ke-8 Kyoto Protocol. Menyepakati Protokol Kyoto Periode Komitmen ke-II yang dimulai 1 Januari 2013 hingga 31 Desember 2020.

COP ke-19, dari tanggal 11-22

November tahun 2013

Warszawa, Polandia

Warsaw International Mechanism For Loss And Damage Associated With Climate

Bersamaan dengan CMP ke-9 Kyoto Protocol

COP ke-20 dari tanggal 1-12

November tahun 2014

Lima, Peru Lima Call for Climate

Action Bersamaan dengan CMP ke-

10 Kyoto Protocol COP ke-21 dari

tanggal 30 November – 12 Desember tahun 2015

Paris, Perancis Paris Agreement Bersamaan dengan CMP ke- 11 Kyoto Protocol.

Paris Agreement merupakan pengganti Kyoto Protocol 1997 yang akan dimulai tahun 2020

COP ke-22 Tahun Maroco, Maroko ? Direncanakan dilaksanakan pada bulan November- Desember Tahun 2016

(5)

Hasil-hasil di atas menunjukan bahwa perundingan rezim perubahan iklim berlangsung sangat dinamis. Perubahan dari tahun ke tahun dari perundingan satu ke perundingan lainnya sering tidak dapat diduga. Sebagai contoh pada COP ke-6 terjadi deadlock dan rezim ini terancam terhenti dikarenakan adanya perbedaan pendapat di antara negara-negara maju. Namun berkat kepiawaian diplomasi Jan Pronk sebagai presiden Cop ke-6, maka diadakan pertemuan kembali yang dikenal dengan COP ke-6 bis (Tambahan) dan mencapai kesepakatan penting yaitu melanjutkan proses perundingan atas rezim ini dengan menghasilkan Bonn Agreement. Contoh lain adalah proses perundingan untuk menggantikan Protokol Kyoto 1997 yang sering mengalami kegagalan, bahkan beberapa negara maju yang termasuk annex I 9seperti Jepang, Russia, dan Kanada) sudah tidak ingin berpartisipasi lagi dalam rezim Kyoto. Akan tetapi, pengganti Protokol Kyoto 1997 berhasil disepakati melalui Paris Agreement 2015 yang ditandatangani pada tanggal 22 April tahun 2016.

Hasil yang menggembirakan ini tentu saja harus disikapi oleh negara-negara anggota dan pihak lainnya termasuk Association of South East Asia Nations (ASEAN).

ASEAN telah mengubah keorganisasiannya yang kini bersifat rules based dan memiliki legal personality melalui Piagam ASEAN (ASEAN Charter 2007) yang telah membentuk Masyarakat ASEAN (ASEAN Community). Dengan perubahan keorganisasian ASEAN ini, maka ASEAN harus mempersiapkan diri dalam kerangka baru rezim perubahan iklim dengan harapan di regional ASEAN paling tidak mampu menangani dampak dari perubahan iklim baik melalui proses adaptasi dan mitigasi serta dukungan keuangan dan teknis lainnya.

Operasionalisasi UNFCCC melalui Protokol Kyoto 1997

UNFCCC merupakan kerangka perjanjian internasional yang masih bersifat umum, yang berisikan arahan-arahan secara garis besar dan belum bersifat operasional.

Berdasarkan Pasal 17 UNFCCC diperlukan Protokol untuk lebih mengoperasionalkan UNFCCC agar tujuan konvensi dapat tercapai. Pada COP ke-3 UNFCCC di Kyoto, Jepang disepakati The Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change atau Protokol Kyoto tahun 1997 sebagai operasionalisasi UNFCCC tahun 1992, yang ditandatangani di Kyoto, Jepang tanggal 11 Desember tahun 1997 dan telah diberlakukan sejak 16 Februari tahun 2005. Selama ini pelaksanaan Kyoto Protokol 1997 dilakukan melalui 3 mekanisme yaitu Emmission Trading (ET), Joint Implementation (JI) dan Clean Development Mechanism (CDM) dan Para Pihak terbagi

(6)

kewajibannya yang tercantum dalam dalam dua Annex. Annex I untuk negara-negara yang wajib menurunkan emisinya pada angka tertentu yang umumnya diemban oleh negara-negara maju dan negara-negara dalam masa transisi. Sedangkan negara-negara Non-Annex yang umumnya negara-negara berkembang, tidak dibebani kewajiban untuk menurunkan emisi namun harus melaporkan status emisinya dan dapat berpartisipasi dalam menurunkan emisi melalui kerjasama dengan negara yang termasuk Annex I.

Hingga saat ini masih banyak negara-negara yang belum mampu memenuhi target penurunan emisi terutama negara-negara yang termasuk dalam Annex I. Target emisi yang harus diturunkan adalah sebanyak 5 % dari base line di tahun 1990 pada periode Komitmen I. Dengan baseline, emisi masing-masing negara di tahun 1990, setiap negara yang termasuk Annex I memiliki komitmen yang berbeda untuk mengurangi emisinya, misalnya Austria berkewajiban mengurangi 13% tingkat emisinya dibandingkan level emisinya di tahun 1990.2 Bahkan laporan Panel Antar Pemerintah mengenai Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change, IPCC 5th Assessment Report) justru menunjukan adanya peningkatan rata-rata suhu permukaan bumi.3 Karena itu upaya penurunan emisi sangat penting, baik yang dilakukan secara sendiri-sendiri maupun bekerjasama dengan pihak lainnya diantaranya melalui proses mitigasi maupun adaptasi.

Mitigasi yang dilakukan diantaranya melalui proyek, kegiatan atau program berdasarkan mekanisme Kyoto (Kyoto Mechanism) melalui ET, JI dan CDM, dan mekanisme non-Kyoto seperti Land Use Land Use Change for Forestry (LULUCF), Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) atau mekanisme lainnya seperti Debt Swap for Nature (DSN). Sedangkan adaptasi dilakukan dengan berbagai cara yang pada prinsipnya adalah kemampuan untuk menyesuaikan dampak dari perubahan iklim. Adaptasi dapat dilakukan melalui cara penyesuaian tata ruang, mengubah sikap dan perilaku manusia, hemat energi, dan lain-lain. Untuk melaksanakan Protokol Kyoto 1997 dilakukan melalui dua Periode Komitmen. Periode Komitmen I berlangsung 1 Januari tahun 2008 dan berakhir 31 Desember tahun 2012.

Sedangkan saat ini berlangsung Periode Komitmen ke-II yang dimulai tanggal 1 Januari tahun 2013 hingga 31 Desember tahun 2018 (diperpanjang hingga tahun 2020). Dalam Periode Komitmen ke-II sudah beberapa negara maju telah mengundurkan diri (withdrawl) terutama negara yang termasuk Annex I. Selanjutnya untuk tahun 2018 ke atas, memunculkan ketidakpastian terutama setelah berakhirnya Kyoto Protokol 1997.

(7)

Ketidakpastian ini dirasakan sejak akan berakhirnya Periode Komitmen I dan tentu saja akan membahayakan masa depan rezim perubahan iklim serta dampak perubahan iklim yang akan semakin sulit dikendalikan. Melalui proses perundingan yang sangat dinamis terutama dalam Conferences of the Parties (COP), Conference of the Meeting of the Parties (CMP) maupun badan tambahan yaitu Subsidary Bodies on Scientific, Technical Advance (SBSTA) dan Subsidary Bodies on Implementation (SBI) diperlukan langkah yang lebih tegas. Maka COP ke-11 tahun 2005, yang diadakan di Montreal Kanada membentuk kelompok kerja bersifat ad-hoc mengenai Further Commitments for Annex I Parties under the Kyoto Protocol (AWG-KP), yang mengatur pelaksanaan Kyoto Protokol pasca 2012. AWG-KP bertugas untuk membahas pelaksanaan Protokol Kyoto 1997 Pasca Periode Komitmen I (2008-2012). AWG-KP juga memutuskan bahwa Protokol Kyoto 1997 pada periode Komitmen II (2013-2018) harus diperpanjang hingga 2020.

Pada COP ke-12 UNFCCC di Nairobi, Kenya, disepakati kerangka untuk proses adaptasi dan pada COP ke-13 UNFCCC di Denpasar, Bali, Indonesia disepakati Bali Action Plan yang mengarahkan pada visi jangka panjang dalam menangani perubahan iklim. Protokol Kyoto 1997 yang berisi komitmen penurunan emisi yang dikuantifikasi/dihitung (quantified emission-reduction commitments) khususnya negara- negara yang termasuk Annex I, yang ternyata dianggap tidak adil. Hasil ini kemudian mempengaruhi dalam perundingan berikutnya pada COP ke-14 UNFCCC di Poznan, Polandia. Ketidaksepakatan mengenai angka kewajiban emisi yang harus diturunkan kemudian diperparah dengan terjadinya krisis yang melanda negara-negara maju pada waktu itu mepengaruhi komitmen mereka. Komitmen dalam menangani perubahan iklim semakin tidak jelas dan menjadi kenyataan dalam COP ke-15 UNFCCC tahun 2009 di Copenhagen, Denmark. Harapan perlunya penurunan emisi yang lebih dalam (deep cut), progresif dan ambisius agar dampak perubahan iklim dapat dikurangi melalui kesepakatan mengikat (legally binding) di antara negara maju dan negara berkembang yang lebih progresif terutama untuk mengganti Protokol Kyoto di Tahun 2020, gagal disepakati pada COP ke-15 di Kopenhagen, Denmark. Walaupun demikian Copenhagen Accord menjadi kesepakatan yang paling realistis pada saat itu walaupun tidak mengikat secara hukum. COP ke-15 UNFCCC juga menegaskan dalam Keputusannya melalui Decision 2/CP.15, FCCC/CP/2009/11/Add.1 tertanggal 30 Maret 2009 yang pada prinsipnya menyatakan bahwa negara-negara harus bekerja sama secara jangka panjang

(8)

untuk menangani perubahan iklim dengan dasar kebersamaan dalam konteks pembangunan berkelanjutan.4

Setelah COP ke-15 UNFCCC ketidakpastian akan masa depan rezim perubahan iklim kembali dirasakan oleh para pihak UNFCCC. Selain hasil yang tidak memuaskan pada COP ke-15 UNFCCC juga adanya beberapa negara Annex I yang mengundurkan diri di Periode Komitmen ke-II yang tentu saja mempengaruhi masa depan rezim.

Apalagi Russia, Jepang, Kanada sebagai pemain utama di Periode Komitmen ke-I, ditambah Amerika Serikat yang sejak awal tidak berpartisipasi, menambah semakin jelasnya posisi Protokol Kyoto 1997 yang semakin rapuh. Di sisi lain, keputusan penting agar tidak ada jeda antara tahun 2018-2020 terutama pada periode Komitmen II juga belum berhasil diputuskan.

Dari Protokol Kyoto 1997 Menuju Paris Agreement 2015

Di antara harapan yang suram tersebut ternyata ada setitik harapan yang cerah.

Dalam COP ke-16 UNFCCC tahun 2010 di Cancun, Meksiko telah disepakati Cancun Agreements yang menegaskan bahwa para pihak akan bertindak bersama dalam kerangka kerja sama jangka panjang untuk mencapai tujuan UNFCCC seperti tercantum dalam Pasal 2 melalui pencapaian tujuan global (global goal) dengan dasar kebersamaan, yang sesuai dengan common but differentiated responsibilities and respective capabilities.5 Expresi para pihak dalam COP ke-16 menunjukan bahwa tujuan jangka panjang global dalam kerangka penurunan emisi gas rumah kaca agar tidak melebihi suhu rata-rata dibawah 2°C setalah masa pre-industrial, yang konsisten dengan dasar kebersamaan dan ilmu pengetahuan merupakan ekspresi yang secara tidak langsung diperlukan kesepakatan lebih lanjut, tegas dan jelas bahkan lebih mengikat.

Pada COP ke-17 UNFCCC di Durban, Afrika Selatan, para pihak kemudian sepakat untuk membentuk Ad Hoc Working Group on the Durban Platform for Enhanced Action dengan mandat untuk menyelesaikan negosiasi pada tahun 2015 dalam rangka mengembangkan protokol, instrumen hukum lain atau sebuah kesepakatan bersama yang memiliki kekuatan dan keterikatan secara hukum di bawah sebuah skema UNFCCC yang berlaku untuk semua pihak. Durban Platform merupakan dasar untuk menyepakati bentuk, sifat dan cara memberlakukan dari perjanjian internasional yang akan disepakati tahun 2015 sebagai pengganti Protokol Kyoto 1997. Dalam kenyataannya, berbagai bentuk perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup saat ini sudah berkembang termasuk yang bersifat hard law maupun soft law.6 Sehingga

(9)

diperlukan kejelasan bentuk dan sifat keterikatan dari perjanjian internasional tersebut apakah termasuk soft law ataupun hard law. Namun, kesepakatan awal adalah perjanjian internasional tersebut adalah bersifat hard law, sebagai pengganti Protokol Kyoto 1997 dan berada dalam kerangka UNFCCC dimana tujuan yang dicapai berdasarkan keputusan No. 1/COP 16 adalah mempertahankan suhu iklim bumi berada di bawah 2 derajat Celcius.

Selanjutnya, pada COP ke-18 UNFCCC di Doha, Qatar, disepakati Doha Gateway dan Doha Amandement yang selanjutnya memperjelas status Periode Komitmen ke-II yang akan diakhiri pada tanggal 31 Desember tahun 2020. Dengan demikian maka tidak ada jeda setelah berakhirnya Periode Komitmen ke-II Protokol Kyoto 1997. COP ke-18 UNFCCC juga telah mengumumkan dimulainya periode Komitmen ke-II UNFCCC yang dimulai pada tanggal 1 Januari tahun 2013 dan akan berakhir pada 31 Desember tahun 2020. Pada COP ke-19 UNFCCC di Warsawa, Polandia, juga disepakati suatu mekanisme penting dalam persoalan ganti rugi yang disebut Warsawa International Mechanism Loss and Damage Associated with Climate yang akan diintegrasikan ke dalam perjanjian internasional yang baru. COP ke-19 UNFCCC juga memutuskan untuk mendorong Ad Hoc Working Group on the Durban Platform for Enhanced Action (AWDP) untuk semakin cepat menyelesaikan target pembentukan Rancangan perjanjian internasional yang baru.7

Pada pertemuan berikutnya yaitu COP ke-20 UNFCCC di Lima, Peru, disepakati Lima Call for Climate Action yang salah satunya menegaskan bahwa kesepakatan internasional yang baru akan mengikat secara hukum dan akan diterapkan oleh semua pihak konvensi (convention applicable to all Parties). Selain itu AWDP juga menegaskan akan menyelesaikan pekerjaannya dengan rancangan perjanjian internasional baru pada sebelum Mei tahun 2015 dan akan disampaikan menjelang COP ke-15 di Paris, Perancis. Selain itu para pihak juga diminta untuk menyampaikan Kontribusi Niat Nasional yang Ditentukan atau Intended Nationally Determined Contributions (INDC) sebelum berlangsungnya COP ke-15 UNFCCC di Paris, Perancis tahun 2015.

Dengan demikian, semakin jelas arah rezim perubahan iklim dan keputusan yang terpenting adalah saat dilaksanakan COP ke-21 UNFCCC pada tahun 2015 di Paris, Perancis. Namun di sisi lain, menjelang COP ke-15 UNFCCC terjadi teror yang menganggu Paris, Perancis sehingga muncul ketidakpastian dan mengancam

(10)

dilaksanakannya COP UNFCCC. Namun peristiwa tersebut justru menjadi titik balik karena hampir semua pimpinan negara-negara maju hadir dalam COP ini.

Paris Agreement 2015: Masa Depan Rezim Perubahan Iklim Tahun 2020

Menurut Maljean-Dubois, et. al., perjanjian internasional sebagai pengganti Protokol Kyoto 1997 harus dalam kerangka Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim atau United Nations Framework Convention on Climate Change tahun 1992, menerapkan prinsip applicable to all, bersifat multilateral dan rezim harus didasarkan pada aturan (rules based regime) serta didasarkan pada ketentuan “protocol, another legal instrument or an agreed outcome with legal force.”8 Dalam Pasal 2, 3 dan 4 UNFCCC 1992 pada prinsipnya menegaskan tujuan konvensi, prinsip-prinsip serta komitmen-komitmen harus dicapai. Tujuan UNFCCC 1992 yaitu menstabilkan gas-gas rumah kaca untuk mencapai tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim global. Agar tujuan UNFCCC 1992 tercapai, maka diperlukan tindak lanjut melalui perangkat hukum yang bersifat mengikat baik berupa Amandemen maupun Protokol. Beberapa perangkat yang dicapai untuk melaksanakan UNFCCC diantaranya Protokol Kyoto 1997, Amandemen Doha 2012 dan Paris Agreement 2015.

Pada COP ke-21 UNFCCC yang diselenggarakan pada tanggal 30 November yang rencananya sampai dengan 11 Desember 2015, namun berakhir sehari kemudian, di Paris, Perancis telah berakhir. COP ke-15 UNFCCC ini dihadiri oleh sebagian besar pimpinan negara-negara berpengaruh seperti Amerika Serikat, Cina, Russia dan Negara- negara Uni Eropa seperti Jerman, Inggris dan beberapa negara Uni Eropa lainnya termasuk Perancis yang kini bertindak sebagai tuan rumah dan juga Sekretaris Jenderal PBB, Ban Kim Moon. Hadir juga delegasi yang mewakili badan-badan PBB dan non- PBB, organisasi non Pemerintah, individu atau tokoh lingkungan, industriawan, masyarakat adat, ilmuwan yang berpengaruh serta organisasi lainnya seperti organisasi keagamaan, wanita, serta masyarakat sipil lainnya.

Draft Agreement yang disusun oleh Ad Hoc Working Group on the Durban Platform for Enhanced Action yaitu Paris Agreement 2015 telah berhasil diadopsi oleh lebih dari 156 negara. Hasil yang dicapai paling tidak telah berhasil menunjukan arah terpenting bagi pembangunan di masa mendatang khususnya dalam kerangka pembangunan berkelanjutan yang rendah karbon. Keberhasilan adopsi Paris Agreement 2015 menjadi penting untuk menindaklanjuti Protokol Kyoto 1997 dengan pendekatan yang berbeda yakni diterapkannya prinsip applicable for all. Dibanding dengan Protokol

(11)

Kyoto 1997, Paris Agreement 2015 lebih mencerminkan partisipasi yang luas serta menjamin negara-negara maju untuk tetap berkomitmen pada penurunan emisi hingga tahun 2030 agar tidak lebih dari 2 derajat celcius dan mempertahankan rata-rata 1,5 derajat celcius suhu bumi. Melalui Intended Nationally Determined Contribution (INDC), yang diusulkan oleh para pihak yang berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional yaitu prinsip kebersamaan tetapi berbeda tanggung jawab atau principle equity and common but differentiated responsibilities dan prinsip menghormati kemampuan dalam perbedaan kondisi nasional yang ada atau respective capabilities in the light of different national circumstances.

Paris Agreement 2015 terdiri dari 29 Pasal yang diadopsi pada tanggal 12 Desember tahun 2015 dan rencananya akan ditandatangani oleh Para Pihak pada tanggal 22 April tahun 2016 di New York, Amerika Serikat pada saat Hari Bumi (Earth Day).

Paris Agreement 2015 dibentuk dan untuk mengejar pencapaian tujuan dari UNFCCC 1992 yang didasarkan pada prinsip-prinsip yang disepakati para pihak, seperti dinyatakan dalam bagian pembukaannya:

In pursuit of the objective of the Convention, and being guided by its principles, including the principle of equity and common but differentiated responsibilities and respective capabilities, in the light of different national circumstances.

Sedangkan tujuan konvensi tercantum pada Pasal 2 UNFCCC 1992 yang menyatakan bahwa:

The ultimate objective of this Convention and any related legal instruments that the Conference of the Parties may adopt is to achieve, in accordance with the relevant provisions of the Convention, stabilization of greenhouse gas concentrations in the atmosphere at a level that would prevent dangerous anthropogenic interference with the climate system.”

Penegasan mengenai pentingnya peran pemerintah nasional dan berbagai aktor lainnya serta perangkat peraturan perundang-undangan nasional juga dinyatakan dalam Paris Agreement 2015 bahwa:

“Recognizing the importance of the engagements of all levels of government and various actors, in accordance with respective national legislations of Parties, in addressing climate change.

(12)

Untuk lebih meningkatkan kesadaran secara global dari adanya perubahan iklim diperlukan pendidikan dan pelatihan yang dinyatakan bahwa:

“Affirming the importance of education, training, public awareness, public participation, public access to information and cooperation at all levels on the matters addressed in this Agreement.

Selanjutnya ditegaskan dalam Paris Agreement 2015 agar dapat meningkatkan penerapan konvensi terutama mencapai tujuan dan memperkuat respon global akibat dari adanya perubahan iklim dalam konteks pembangunan berkelanjutan dilakukan dengan upaya untuk menekan suhu rata-rata global agar tidak boleh lebih dari 2 derajat celcius pada dan berupaya untuk menekan di tingkat 1,5 derajat celcius sebelum pre-industri.

Disebutkan dalam Pasal 3 Paris Agreement 2015 bahwa para pihak harus mengambil tindakan yang ambisius melalui kontribusi nasional yang ditentukan (NDC) dan melihat perkembangan dari waktu ke waktu serta memperhatikan kebutuhan Negara-negara berkembang. Beberapa ketentuan lainnya mengatur NDC, Loss and Damage, Global Stocktake, Measuring Report and Verification (MRV), Peningkatan Kapasitas Negara- negara Berkembang, Pendanaan, Target, Mekanisme Non-Pasar, Adaptasi Global, Memperkuat Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Pendidikan Perubahan Iklim, Pelatihan, Kesadaran Masyarakat, Partisipasi Publik dan Akses Informasi untuk Publik, Kerangka Transparansi dan beberapa ketentuan lainnya.

Sementara Pasal 20 menyatakan bahwa Agreement ini akan terbuka untuk ditandatangani dan ratifikasi, acceptance atau approval oleh negara dan organisasi ekonomi regional terintegrasi atau regional economic integration organizations yang menjadi pihak UNFCCC. Mulai terbuka untuk ditandatangani di Markas PBB New York, Amerika Serikat dari tanggal 22 April tahun 2016 hingga 21 April tahun 2017.

Bagaimanapun juga Agreement ini terbuka untuk aksesi (accession) dari tanggal ditutupnya penandatangan. Instrumen ratification, acceptance, approval atau accession didepositkan di tempat penyimpanan (depositary) yaitu di Sekretariat Jenderal PBB.

Pasal 21 menyatakan Agreement ini akan berlaku pada hari ke 33 sesudah tanggal paling sedikit 55 pihak UNFCCC melaporkan jumlah paling sedikit 55 persen dari perhitungan jumlah gas rumah kaca global yang telah didepositkan instruments ratification, acceptance, approval, accession. Mengingat tujuan yang dibatasi berdasarkan ayat 1 pasal ini “total global greenhouse gas emissions” yang berarti jumlah paling up-to-date

(13)

yang dikomunikasikan selama ini atau sebelum tanggal adopsi Agreement oleh para pihak UNFCCC.

Dengan demikian, Paris Agreement 2015 masih akan dikembangkan terutama dalam mempersiapkan modalitas, aturan dan keputusan-keputusan serta keorganisasian melalui COP, CMP, SBSTA, SBI maupun pertemuan lainnya yang akan datang. Karena itu peran Ad Hoc Working Group on Paris Agreement (APA) yang merupakan kesepakatan dari COP ke-15 UNFCCC sangat penting. APA akan memulai sidang pertamakalinya pada bulan Mei tahun 2016 di Bonn, Jerman yang akan membahas modalitas, prosedur dan pedoman agar Paris Agreement 2015 dapat dipersiapkan secara operasional dan mampu menggantikan Protokol Kyoto 1997.

ASEAN dalam Rezim Perubahan Iklim

ASEAN pada awal berdirinya belum memiliki peran berarti dalam persoalan lingkungan hidup. Baru pada tahun 1977 setelah dicanangkannya ASEAN Environmental Programme (ASEP) ke I dan II, maka mulai banyak kesepakatan di bidang lingkungan hidup mulai dicapai. Penegasan keterlibatan ASEAN dalam isu lingkungan hidup global dimulai sejak dicanangkannya Manila Declaration on the ASEAN Environment tahun 1981. Selanjutnya ditegaskan kembali dalam Bangkok Declaration on the ASEAN Environment tahun 1984. Namun kedua produk tersebut masih belum bersifat mengikat secara hukum (legally binding). Baru pada tahun 1985, negara-negara ASEAN sepakat membentuk ASEAN Agreement on the Conservation of Nature and Natural Resources yang merupakan produk hukum internasional regional namun hingga saat ini belum berlaku penuh. Dalam ASEAN Agreement 1985 inilah pembangunan berkelanjutan menjadi bagian penting terutama dalam perlindungan konservasi dan sumber daya alam di regional ASEAN. Dua tahun kemudian konsep pembangunan berkelanjutan ditegaskan kembali melalui Jakarta Resolution on Sustainable Development tahun 1987. Pada saat pertemuan di Kuala Lumpur, Malaysia tahun 1990, disepakati Kuala Lumpur Accord on Environment and Development yang kemudian dilanjutkan dengan Singapore Resolution on Environment and Development tahun 1992, Bandar Seri Begawan Resolution on Environment and Development tahun 1994 yang semuanya merupakan keinginan ASEAN agar lingkungan hidup menjadi lebih baik.

Isu perubahan iklim belum masuk dalam dokumen yang dihasilkan ASEAN.

Baru pada pertemuan di Jakarta, Indonesia dicanangkan Jakarta Declaration on

(14)

Environment and Development pada tanggal 18 September 1997. Untuk pertama kalinya isu perubahan iklim secara tegas mulai masuk dalam dokumen kesepakatan ASEAN.

Pada bagian 11 Deklarasi Jakarta 1997 ini menyatakan “to urge developed countries to commit targets of limitation and reduction of greenhouse gas emissions under the Berlin Mandate.” Masuknya Mandat Berlin 1995 menjadi bagian penting karena merupakan Conference of the Parties (COP) UNFCCC pertama, yang di Berlin, Jerman. Selain itu ASEAN dalam deklarasinya ini ingin mengingatkan dan menegaskan kembali komitmen untuk membatasi dan mengurangi emisi gas rumah kaca terutama bagi negara-negara maju.

Awal dari Deklarasi Jakarta 1997 inilah ASEAN kemudian aktif untuk menyikapi isu perubahan iklim yang semakin berkembang. Pada KTT ASEAN-Asia Timur (East Asia Summit, EAS) ke-3 di Singapura tahun 2007 disepakati Singapore Declaration on Climate Change, Energy and the Environment. Pada saat menjelang COP ke-13 UNFCCC di Bali, Indonesia, tahun 2007, ASEAN menegaskan perannya melalui ASEAN Declaration on the 13th session of the Conference of the Parties to the UNFCCC and the 3rd session of the CMP to the Kyoto Protocol. Dua tahun kemudian ditegaskan di Singapura pada Pertemuan ke-11 Menteri Lingkungan Hidup ASEAN (ASEAN Ministerial Meeting on Environment, AMME) tahun 2009 melalui Singapore Resolution on Environmental Sustainability and Climate Change. Kemudian menjelang COP ke-15 UNFCCC di Kopenhagen, melalui KTT ASEAN ke-15 negara-negara ASEAN kembali membuat pernyataan bersama untuk menyikapi perundingan di COP ke-15 UNFCCC melalui ASEAN Joint Statement on Climate Change to COP-15 to the UNFCCC and CMP-5 to the Kyoto Protocol. Pada KTT ASEAN ke-16 di Hanoi, Vietnam tahun 2010 dicanangkan ASEAN Leaders’ Statement on Joint Response to Climate Change.

Menjelang COP ke-17 UNFCCC di Durban, Afrika Selatan melalui KTT ASEAN ke-19 para pemimpin ASEAN menyepakati ASEAN Leaders’ Statement on Climate Change to COP-17 to the UNFCCC and CMP-7 to the Kyoto Protocol. Pada tahun 2014, posisi ASEAN menjelang COP ke-20 UNFCCC disampaikan oleh Mynmar dalam Joint High Level Segment Conference of the Parties ke-20 dan Meeting of the Parties ke-10 Protocol Kyoto di Lima, Peru, dengan menyatakan sikapnya melalui ASEAN Joint Statement on Climate Change 2014 dan setahun kemudian juga menerbitkan ASEAN Joint Statement on Climate Change 2015. Dalam menyikapi Agenda Pembangunan Post-2015 atau Sustainable Development Goals (SDGs), di mana

(15)

salah satu tujuannya adalah perubahan iklim, para pemimpin ASEAN melalui KTT ASEAN ke-27 di Kuala Lumpur, Malaysia pada tanggal 21 November 2015, telah menegaskan sikapnya melalui Declaration on ASEAN Post 2015 Environmental Sustainability and Climate Change Agenda 2015. Dalam deklarasi ini ditegaskan mengenai dukungan ASEAN terhadap COP ke-21 UNFCCC yang akan diselenggarakan di Paris, Perancis.

Hampir semua negara ASEAN telah menjadi pihak UNFCCC tahun 1992 dan Protokol Kyoto 1997. Demikian juga dengan Paris Agreement 2015 dimana negara- negara anggota ASEAN kelihatannya berkeinginan untuk terlibat dan menjadi pihak, paling tidak terlihat dari dikirimnya Intended Nationally Determined Contribution (INDC) oleh semua negara ASEAN. Karena itu dorongan dari deklarasi ini telah menjadi petunjuk dasar bagi negara-negara anggota ASEAN untuk terlibat aktif dalam rezim perubahan iklim.

Setelah ASEAN menandatangani Piagam ASEAN 2007, maka dalam struktur keorganisasian ASEAN yang khusus menangani perubahan iklim adalah Kelompok Kerja ASEAN mengenai Perubahan Iklim (ASEAN Working Group on Climate Change, AWGCC). Keanggotaan AWGCC terdiri dari akademisi, masyarakat sipil, perusahaan maupun individu yang memiliki reputasi. Beberapa kali pertemuan AWGCC telah diadakan diantaranya pertemuan ke-2 AWGCC tanggal 19 - 21 April tahun 2011 di Hanoi, Vietnam, Pertemuan ke-4 AWGCC diadakan di Siem Reap, Kamboja tanggal 27- 28 Maret tahun 2013, Pertemuan ke-6 AWGCC diadakan di Viantiane, Laos tanggal 12 Mei Tahun 2015. Selama ini KTT ASEAN (ASEAN Summit), ASEAN Ministerial Meeting (AMM), ASEAN Informal Ministerial Meeting (AIMM), ASEAN Official Environmental Meeting (ASOEN) telah menghasilkan kesepakatan dan dokumen- dokumen mengenai perubahan iklim. Kesepakatan ini akan menjadi dasar bagi ASEAN dalam menyikapi perubahan iklim sebagai salah satu isu global yang tentu saja akan mempengaruhi regional Asia Tenggara.

Peran ASEAN di Masa Mendatang

Sejak ASEAN menyepakati Piagam ASEAN tahun 2007, terjadi perubahan penting terutama dalam keorganisasian ASEAN. Pada mulanya ASEAN belum memiliki dasar hukum yang kuat dalam bertindak sebagai organisasi karena pendiriannya hanya didasarkan pada Bangkok Declaration 1967. Dengan berlakunya Piagam ASEAN, maka organisasi ini berubah menjadi rule based dan memiliki legal personality. Diharapkan

(16)

perubahan ini akan menjadikan ASEAN lebih memperkuat perannya terutama dalam proses negosiasi dan pengambilan keputusan mengenai perubahan iklim di tingkat global.

Selain itu dengan diberlakukan ASEAN Communities 2015, ASEAN akan memiliki berbagai organisasi yang dapat dikembangkan terutama dalam kerangka menghadapi perubahan iklim yang semakin diperhatikan di masa mendatang. ASEAN harus bertindak secara keorganisasian dengan memperkuat kelembagaan yang ada maupun yang baru dibentuk. Terbentuknya ASEAN Working Group on Climate Change (AWGCC) akan mendorong peran ASEAN di bidang perubahan iklim menjadi lebih baik. Demikian juga peran dari KTT ASEAN (ASEAN Summit), Pertemuan Menteri Lingkungan ASEAN (ASEAN Environmental Ministerial Meeting, AMM), Pertemuan Informal Menteri Lingkungan ASEAN (ASEAN Informal Environmental Ministerial Meeting, AIEMM), Pertemuan Pejabat Tinggi ASEAN Bidang Lingkungan Hidup (ASEAN Official Environmental Meeting, ASOEN) yang telah dan akan menghasilkan kesepakatan dan dokumen-dokumen mengenai perubahan iklim harus semakin aktif.

Dengan demikian, partisipasi ASEAN dalam perundingan rezim perubahan iklim diharapkan meningkat dan dapat memberikan sumbangan yang berarti. Dalam kerangka penerapan Paris Agreement 2015 yang dimulai tahun 2020, ASEAN Community harus dipersiapkan dan mampu mengantisipasi berbagai bencana akibat perubahan iklim.

Banjir, topan badai, kebakaran hutan merupakan bencana yang harus diperhitungkan dan akan mempengaruhi iklim di Asia Tenggara. Kesadaran masyarakat ASEAN harus ditingkatkan terutama adanya perubahan iklim. Tidak cukup hanya melalui pendidikan, pelatihan, kesadaran masyarakat seperti yang diamanatkan dalam UNFCCC tahun 1992, Protokol Kyoto tahun 1997 maupun Paris Agreement tahun 2015. Selain itu diperlukan riset dan pengembangan mengenai bagaimana menangani perubahan iklim. Pendanaan, alih teknologi, peningkatan kapasitas, pengembangan sumberdaya manusia yang mampu beradaptasi dan melakukan mitigasi perubahan iklim harus dilakukan dalam tingkat ASEAN. Diperlukan inovasi dan kreatifitas dalam membangun masyarakat ASEAN yang lebih peduli pada perubahan iklim agar bencana di masa mendatang dapat dicegah.

KTT ASEAN ke-27 yang menghasilkan Declaration on ASEAN Post 2015 Environmental Sustainability and Climate Change Agenda, telah mendorong agar negara-negara anggotanya terlibat aktif dalam menangani dampak perubahan iklim melalui mitigasi dan adaptasi serta dukungan teknis dan keuangan. Dorongan ini akan dapat memberikan makna yang berarti terutama dalam diplomasi ASEAN di rezim

(17)

perubahan iklim. Walaupun sebagai organisasi regional, ASEAN diharapkan mampu menjadi pelindung bagi negara-negara anggotanya bahkan negara-negara Asia-Pasifik dalam menghadapi perubahan iklim global. Di masa mendatang perubahan iklim semakin kompleks permasalahannya dan hasil dari COP ke-21 UNFCCC berupa Paris Agreement 2015 akan menjadi panduan atau pedoman dalam menangani perubahan iklim di masa mendatang. Karena itu penting bagi ASEAN untuk mengkonsolidasikan program serta kegiatannya agar sesuai dengan Paris Agreement 2015 sebagai kesepakatan yang diakui secara global.

Kesimpulan

Kebijakan yang semata-mata mementingkan pembangunan tanpa memperhatikan aspek lingkungan hidup khususnya perubahan iklim menjadikan pembangunan yang tidak berkelanjutan dan hasilnya adalah bencana kemanusiaan.

Walaupun Protokol Kyoto 1997 dalam pelaksanaanya terutama periode Komitmen II (2013-2020) telah ditinggalkan oleh beberapa negara seperti Russia, Jepang dan Kanada, optimisme rezim perubahan iklim di masa mendatang tetap terjaga dengan disepakatinya Paris Agreement 2015 sebagai hasil dari COP UNFCCC ke-21. Sebagai kesepakatan masa depan, Paris Agreement 2015 telah memberikan peluang untuk partisipasi yang lebih luas bagi negara-negara berkembang, diantaranya melalui penyampaian INDC dan sesuai prinsip-prinsip yang telah disepakati dalam Konvensi Perubahan Iklim tahun 1992. Paris Agreement 2015 merupakan salah satu solusi yang paling memungkinkan di masa depan dalam rangka menangani dampak perubahan iklim dikarenakan ketegasan diantaranya untuk menahan temperatur global dibawah 2 derajat celcius. Di sisi lain, Paris Agreement 2015 bukanlah satu-satunya solusi dalam menyelesaikan perubahan iklim karena banyak solusi alternatif lainnya yang harus dikembangkan oleh semua pihak.

ASEAN harus dapat melihat peluang dan manfaat yang disediakan berbagai perjanjian internasional yang ada, termasuk Paris Agreement 2015. Bagi ASEAN yang terpenting adalah keberadaan rezim perubahan iklim harus dapat dimanfaatkan dan dapat dijadikan sebagai arus utama dalam pembangunan ASEAN agar lebih sejahtera dan mampu mengantisipasi serta menghindari dampak dan bencana dari adanya perubahan iklim. Tindakan untuk berpartisipasi dalam rezim perubahan iklim ini sama dengan menyelamatkan ASEAN dari bencana yang semakin meningkat di kemudian hari seperti banjir, topan badai, kebakaran hutan dan kerusakan lainnya akibat perubahan iklim.

(18)

Padahal biaya yang berbentuk kehilangan dan kerusakan atau loss and damage akibat perubahan iklim lebih mahal dibandingkan dengan upaya pencegahan. ASEAN harus melaksanakan dengan berbagai cara untuk mengatasi perubahan iklim termasuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Paris Agreement 2015 di regional Asia Tenggara sehingga ASEAN akan terlihat manfaatnya bagi masyarakat Asia Tenggara.

Akhirnya kesepakatan yang dicapai dalam tingkat global diharapkan dapat bermanfaat di tingkat regional. ASEAN harus dapat memanfaatkan peluang kerjasama diantara negara-negara pihak peserta rezim perubahan iklim terutama dalam menangani dampak perubahan iklim di tingkat regional Asia Tenggara bahkan dapat memerankan di tingkat Asia dan Pasifik melalui mitra kerjasamanya.

Daftar Pustaka

Amsir, Achmad Abdi, Roland A. Barkey dan Adi Suryadi Culla, Tanpa Tahun.

“Kebijakan Lingkungan Pemerintah Indonesia Pasca Ratifikasi Protokol Kyoto (Sebuah Kajian Tentang Kebijakan Kelembagaan Dalam Implementasi Program Clean Development Mechanism (CDM) Di Indonesia”, diakses melalui

http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/7198d7043cd814063377147d9ce25b01.Pdf Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN. ASEAN Selayang Pandang. (Jakarta:

Departemen Luar Negeri RI, 2007)

Bodansky, Daniel, dan Lavanya Rajamani. “ Key Legal Issues in the 2015 Climate Negotiations.” dalam Center for Climate and Energy Solutions Policy Brief, 2015.

Djafar, Zainuddin. “Piagam ASEAN, Legalitas Tonggak Baru Menuju Integrasi Regional?” Jurnal Hukum Internasional Vol. 6, (2009)

Elliott, Lorraine. “ASEAN and environmental governance: rethinking networked regionalism in Southeast Asia.” Procedia-Social and Behavioral Sciences 14 (2011), 61-64

Elliot, Lorraine. “Climate Change, Migration and Human Security in Southeast Asia.”

dalam Elliott, Lorraine, J. J. Ewing, B. Mayer, G. Hugo, B. P. Resurreccion, E.

E. Sajor, dan T. Nurlambang. Climate Change, Migration and Human Security in Southeast Asia. (Singapura: S. Rajaratnam School of International Studies, 2012)

(19)

Koh, Kheng Lian. ASEAN Environmental Law, Policy and Governance: Selected Documents. Volume 1. (Singapura: World Scientific, 2009)

Maljean-Dubois, Sandrine, Thomas Spencer, dan Matthieu Wemaere. "The Legal Form of the Paris Climate Agreement: A Comprehensive Assessment of Options." CCLR (2015): 68.

Murdiyarso, Daniel. CDM: Mekanisme Pembangunan Bersih. (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003)

_________. Protokol Kyoto Implikasinya Bagi Negara Berkembang. (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003)

_________. Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim. (Jakarta:

Penerbit Buku Kompas, 2003)

Pramudianto, Andreas. Hukum Perjanjian Lingkungan Internasional: Implementasi Hukum Perjanjian Internasional Bidang Lingkungan Hidup di Indonesia.

(Malang: Setara Press, 2014)

__________. “Peran ASEAN Dalam Mengembangkan Hukum Lingkungan Internasional Regional.” Proseding Seminar Hukum Nasional. (Surakarta:

Universitas Muhamadiyah Surakarta, 2014)

__________. “Paris Agreement 2015: Masa Depan Bagi Perubahan Iklim (2020-2030)”

(Makalah yang tidak diterbitkan, Universitas Indonesia, 2015)

__________. “Paris Agreement 2015 and ASEAN”, Presentasi pada Seminar Post- COP21 Climate Change: What Lies Ahead for Southeast Asian Countries and the ASEAN Region (Jakarta: The Habibie Center, 2016)

Steni, Bernardinus. 2010. Perubahan Iklim, REDD, dan Perdebatan Hak: Dari Bali Sampai Copenhagen, Jakarta: Perkumpulan HuMa.

__________. “Poin-poin Kunci dari Perjanjian Paris.” (Makalah yang tidak diterbitkan, Universitas Indonesia, 2016)

Voigt, Christina. 2014. Equity in the 2015 Climate Agreement Lessons from Differential Treatment in Multilateral Environmental Agreements dalam Climate Law 4, Leiden: Koninklijke Brill NV.

(20)

Catatan Belakang

1 Bentuk modifikasi dari Andreas Pramudianto, “Indonesia’s Position in Regional Development:

International Environmental Law in ASEAN,” dalam 1st Asian Researcher Symposium, 2016; dan UNFCCC, Calendar Recent Sessions, diakses dari http://unfccc.int/meetings/items/6240.php

2Achmad Abdi Amsir, Roland A. Barkey dan Adi Suryadi Culla, “Kebijakan Lingkungan Pemerintah Indonesia pasca-Ratifikasi Protokol Kyoto: sebuah Kajian Tentang Kebijakan Kelembagaan dalam Implementasi Program Clean Development Mechanism (CDM) di Indonesia,”Pascasarjana Universitas Hasanuddin (2010), 1-9.

3 Intergovernmental Panel on Climate Change, Fifth Assessment Report, diakses dari https://www.ipcc.ch/report/ar5/

4 Christina Voigt, “Equity in the 2015 Climate Agreement.” Climate Law 4.1-2 (2014), 50-69.

5 Decision 1/CP.16, FCCC/CP/2010/7/Add.1 tertanggal 15 Maret tahun 2011

6 Andreas Pramudianto, Hukum Perjanjian Lingkungan Internasional: Implementasi Hukum Perjanjian Internasional Bidang Lingkungan Hidup di Indonesia, (Malang: Setara Press, 2014).

7 Decision 1/19 on Further advancing the Durban Platform.

8 Maljean-Dubois, et. al. 2015. The Legal Form of the Paris Climate Agreement: a Comprehensive Assessment of Options, diakses melalui http://ssrn.com/abstract=2616421.

Referensi

Dokumen terkait

Beton hijau diharapkan dapat memenuhi kewajiban lingkungan, yaitu Glavind & Munch-Petersen, 2000 1 reduksi emisi CO2 sebesar 21% berdasarkan Protokol Kyoto Tahun 1997; 2 mengurangi