• Tidak ada hasil yang ditemukan

Definisi dan Klasifikasi

N/A
N/A
AGUS SALIM

Academic year: 2024

Membagikan " Definisi dan Klasifikasi"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Definisi Epelipsi

Epilepsi adalah gangguan neurologis kronis yang ditandai dengan kecenderungan otak untuk menghasilkan kejang berulang tanpa pemicu eksternal.

Gangguan ini disebabkan oleh aktivitas listrik yang tidak terkendali dalam jaringan otak, yang dapat memengaruhi kesadaran, gerakan, dan sensasi individu (WHO, 2023). Menurut definisi dari International League Against Epilepsy (ILAE), diagnosis epilepsi dapat ditegakkan apabila terjadi dua atau lebih kejang tanpa pemicu dalam interval lebih dari 24 jam (ILAE, 2022).

Epilepsi dapat dibagi menjadi dua tipe utama berdasarkan asal kejangnya, yaitu kejang fokal (terbatas pada satu bagian otak) dan kejang umum (melibatkan kedua belahan otak). Kejang fokal sering kali ditandai dengan gangguan sensorik atau motorik yang terbatas, sementara kejang umum umumnya menyebabkan kehilangan kesadaran dan kontrol motorik tubuh (Santoso et al., 2021). Di Indonesia, prevalensi epilepsi di masyarakat cukup tinggi, dengan sekitar 1-2 per 1000 orang mengalaminya, dan tingkat pengobatan yang belum optimal di beberapa daerah (Darmawan et al., 2021).

Penyebab epilepsi dapat beragam, mulai dari faktor genetik, cedera kepala, infeksi otak, hingga stroke. Faktor lingkungan dan infeksi seperti meningoencephalitis juga dapat memperburuk kondisi epilepsi, terutama pada anak-anak (Suwanda, 2022). Pengobatan epilepsi di Indonesia sebagian besar mengandalkan obat antiepilepsi, meskipun sekitar 30% dari penderita mengalami epilepsi yang tidak dapat terkontrol dengan pengobatan (Rachmawati & Gunawan, 2023).

Penting untuk meningkatkan pemahaman masyarakat dan tenaga medis terkait epilepsi, baik dalam hal diagnosis, penanganan, maupun terapi alternatif seperti stimulasi otak dalam kasus yang tidak merespons obat (Suryani et al., 2023).

Pengelolaan yang tepat dapat mengurangi dampak epilepsi terhadap kualitas hidup penderitanya, namun keterbatasan akses ke layanan kesehatan yang memadai di beberapa wilayah di Indonesia masih menjadi tantangan besar.

1.2 Pravalensi Epelepsi

Epilepsi adalah gangguan neurologis kronis yang ditandai dengan kejang berulang akibat aktivitas listrik abnormal di otak. Secara global, epilepsi mempengaruhi sekitar 50 juta orang, dengan prevalensi yang lebih tinggi di negara- negara berkembang. Menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun 2022 diperkirakan sekitar 70% dari individu dengan epilepsi tinggal di negara-negara dengan sumber daya kesehatan yang terbatas, termasuk Indonesia (WHO, 2022).

(3)

Di Indonesia, prevalensi epilepsi diperkirakan mencapai 10 per 1.000 penduduk. Meskipun angkanya relatif rendah dibandingkan dengan beberapa negara berkembang lainnya, insiden epilepsi di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang lebih tinggi pada kelompok usia tertentu, yakni anak-anak dan lanjut usia (Kementerian Kesehatan RI, 2023). Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti ketidaktahuan masyarakat, kesulitan dalam diagnosis, serta kurangnya akses terhadap pengobatan yang tepat.

Tantangan utama dalam penanganan epilepsi di Indonesia meliputi akses layanan kesehatan yang terbatas, terutama di daerah-daerah terpencil. Banyak penderita epilepsi di Indonesia yang tidak mendapatkan diagnosis atau perawatan yang memadai, yang memperburuk kualitas hidup mereka. Selain itu, stigma sosial terkait epilepsi sering kali menjadi penghalang bagi penderita untuk mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan. Stigma ini, seringkali disebabkan oleh ketidaktahuan atau pemahaman yang salah tentang penyakit ini, berkontribusi terhadap keterlambatan dalam pencarian pengobatan dan isolasi sosial yang lebih besar.

Kurangnya edukasi dan pelatihan bagi tenaga medis mengenai epilepsi juga merupakan masalah yang perlu diatasi. Menurut Kemenkes RI (2023), di beberapa daerah di Indonesia, kurangnya pemahaman tentang epilepsi di kalangan tenaga kesehatan sering menyebabkan kesalahan diagnosis dan pengobatan yang tidak optimal.

Namun, terdapat upaya untuk meningkatkan kesadaran dan penanganan epilepsi di Indonesia. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah meluncurkan berbagai program untuk meningkatkan diagnosis dan akses pengobatan bagi penderita epilepsi. Program-program ini mencakup penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya pemahaman mengenai epilepsi dan penurunan stigma yang sering melekat pada penderita epilepsi.

Sebagai kesimpulan, meskipun epilepsi menjadi masalah kesehatan yang signifikan di Indonesia, adanya tantangan besar terkait dengan akses layanan kesehatan, stigma sosial, dan edukasi dapat diatasi melalui kolaborasi antara pemerintah, tenaga medis, dan masyarakat. Upaya-upaya ini akan memperbaiki kualitas hidup penderita epilepsi dan memperluas akses mereka ke perawatan yang lebih baik.

1.3 Faktor Risiko A. Genetik

Faktor genetik memainkan peran yang signifikan dalam predisposisi terhadap epilepsi, terutama pada epilepsi yang bersifat herediter. Mutasi pada gen-gen tertentu telah diidentifikasi sebagai penyebab terjadinya epilepsi.

Salah satu contohnya adalah mutasi pada gen SCN1A, yang sering ditemukan pada individu dengan sindrom Dravet, yaitu bentuk epilepsi berat yang muncul pada usia dini. Selain itu, mutasi pada gen DEPDC5 juga dapat

(4)

meningkatkan risiko epilepsi, terutama pada kasus epilepsi fokal yang tidak terkontrol. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa gangguan pada gen pengkode saluran ion, protein pengatur neurotransmiter, dan jalur sinyal seluler berkontribusi besar terhadap kejadian epilepsi (Setyawan et al., 2023).

B. Trauma Kepala

Cedera kepala, terutama yang melibatkan cedera otak traumatik (TBI), meningkatkan risiko seseorang untuk mengalami epilepsi. Trauma kepala yang parah dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan otak dan mengubah fungsi sistem saraf, yang meningkatkan kemungkinan terjadinya kejang.

Beberapa studi menunjukkan bahwa individu yang mengalami trauma kepala berat memiliki risiko mengembangkan epilepsi post-traumatik hingga tiga kali lipat dibandingkan dengan individu tanpa riwayat cedera kepala (Prasetyo et al., 2022). Cedera kepala yang tidak diobati atau tidak ditangani dengan baik dapat memperburuk kondisi tersebut dan menyebabkan epilepsi yang lebih sulit untuk dikelola.

C. Infeksi Otak

Infeksi otak seperti meningitis dan ensefalitis dapat merusak jaringan otak dan memicu gangguan neurologis jangka panjang, termasuk epilepsi.

Meningitis, yang disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus di membran otak, dapat menyebabkan peradangan yang merusak jaringan otak dan berujung pada pengembangan epilepsi. Begitu juga dengan ensefalitis, peradangan pada otak yang umumnya disebabkan oleh infeksi virus, yang dapat mengubah struktur dan fungsi otak. Sebuah penelitian oleh Iskandar et al.

(2021) mengungkapkan bahwa sekitar 10% pasien dengan ensefalitis akan mengembangkan epilepsi, terutama jika infeksi memengaruhi bagian otak yang terlibat dalam pengaturan aktivitas listrik.

D. Gangguan Perkembangan Otak

Malformasi otak yang terjadi selama perkembangan prenatal dapat meningkatkan risiko epilepsi fokal pada anak-anak. Malformasi kortikal, seperti gangguan pembentukan lapisan otak atau kelainan pada struktur korteks otak, dapat memengaruhi cara otak mengatur aktivitas listrik. Kondisi ini dapat menyebabkan gangguan jaringan saraf yang menyebabkan kejang.

Penelitian yang dilakukan oleh Kusnadi et al. (2022) menunjukkan bahwa gangguan perkembangan otak pada periode prenatal, terutama yang melibatkan mutasi genetik atau paparan lingkungan yang merugikan, berhubungan erat dengan peningkatan prevalensi epilepsi fokal pada anak- anak.

1.4 Patofisiologi

Patofisiologi epilepsi berkaitan erat dengan ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi dalam sistem saraf pusat. Pada kondisi normal, otak memiliki keseimbangan antara neurotransmitter eksitatorik, seperti glutamat, dan neurotransmitter inhibitorik, seperti GABA (asam gamma-aminobutyric),

(5)

yang mengatur aktivitas neuronal. Ketidakseimbangan antara keduanya dapat menyebabkan gangguan pada aktivitas listrik otak, memicu depolarisasi neuron yang berlebihan dan menghasilkan kejang. Proses ini sering diperburuk oleh beberapa faktor, termasuk gangguan kanal ion, inflamasi, dan perubahan struktural pada jaringan otak. Misalnya, pada epilepsi fokal, pembentukan jaringan epileptogenik di area tertentu otak dapat meningkatkan kecenderungan neuron untuk memicu serangan kejang (Yolanda et al., 2019).

Gangguan pada saluran ion, seperti saluran natrium atau kalium, dapat mengubah respons neuron terhadap sinyal, berkontribusi pada pembentukan pola kejang. Selain itu, peradangan dalam jaringan otak juga dapat memperburuk kondisi ini, dengan meningkatkan eksitasi neuron atau merusak fungsi inhibisi oleh GABA (Khairani et al., 2023). Pembentukan jaringan epileptogenik, terutama pada epilepsi fokal, menggambarkan adanya perubahan struktural yang menetap dalam otak, yang berperan dalam mempertahankan kondisi epileptik (Fithri et al., 2021). Dalam pengobatan epilepsi, terapi bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan ini, baik dengan meningkatkan aktivitas GABA atau mengurangi efek eksitatorik glutamat melalui penggunaan obat antiepilepsi yang sesuai (Fithri et al., 2023).

1.5 Tanda dan Gejala

Epilepsi adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan kejang berulang.

Kejang-kejang ini dapat dibagi menjadi dua kategori utama berdasarkan area otak yang terlibat, yaitu kejang fokal dan kejang generalisasi.

A. Kejang Fokal

Terjadi ketika gangguan hanya melibatkan sebagian otak. Kejang ini bisa terbagi lagi menjadi dua jenis: kejang fokal sederhana, yang tidak memengaruhi kesadaran dan sering kali hanya menyebabkan gerakan otot yang tidak terkendali pada bagian tubuh tertentu, dan kejang fokal kompleks, yang mempengaruhi kesadaran penderitanya sehingga menyebabkan kebingungan atau hilangnya kesadaran. Kejang fokal sering kali dikaitkan dengan gangguan struktural pada otak, seperti fokal cortical dysplasia, yang dapat diidentifikasi melalui pencitraan. (Suryawijaya et al., 2023; Khairin et al., 2022).

B. Kejang Generalisasi

Memengaruhi seluruh otak dan mencakup berbagai manifestasi klinis, termasuk kejang tonik-klonik (kejang yang menyebabkan tubuh kaku diikuti dengan gerakan berulang), kejang absens (kehilangan kesadaran yang cepat), dan kejang atonik (di mana otot tubuh tiba-tiba kehilangan kekuatan, yang dapat menyebabkan penderitanya jatuh) (Suryawijaya et al., 2023; Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan, 2021). Kejang-kejang ini biasanya disertai dengan gangguan kesadaran yang lebih luas, yang menyebabkan kebingungan dan kelelahan pasca-kejang (Suryawijaya et al., 2023).

(6)

Kedua jenis kejang ini memerlukan pendekatan diagnostik dan terapeutik yang berbeda, dan pengelolaannya harus disesuaikan dengan tipe kejang serta etiologi penyebab epilepsi tersebut. Penanganan yang tepat dapat membantu mengontrol gejala dan meningkatkan kualitas hidup penderita epilepsi.

1.6 Clinical Pathway

Penatalaksanaan epilepsi melibatkan pendekatan yang terstruktur, dimulai dengan langkah diagnostik yang mencakup penggunaan Electroencephalogram (EEG) untuk mendeteksi aktivitas listrik abnormal di otak, serta pencitraan otak menggunakan MRI atau CT scan untuk mengidentifikasi lesi struktural yang dapat berperan dalam terjadinya kejang (Yankes Kemenkes, 2024).

Setelah diagnosis ditegakkan, pengelolaan epilepsi umumnya melibatkan terapi farmakologis dan non-farmakologis. Terapi farmakologis utama terdiri dari obat-obatan antiepilepsi seperti sodium valproate, carbamazepine, dan lamotrigine, yang dipilih berdasarkan jenis kejang dan respons pasien terhadap obat tersebut.

Dalam beberapa kasus, jika pengobatan dengan obat tidak efektif, prosedur medis seperti operasi otak atau stimulasi saraf vagus dapat dipertimbangkan. Pendekatan non-farmakologis, termasuk perubahan gaya hidup dan diet ketogenik, juga penting untuk mendukung kontrol kejang (Yankes Kemenkes, 2024).

1.7 Clinical Pathway

Penatalaksanaan epilepsi melibatkan pendekatan yang komprehensif dengan fokus pada diagnosa yang akurat dan manajemen yang tepat. Pendekatan diagnostik untuk epilepsi umumnya mencakup pemeriksaan EEG (elektroensefalogram) yang berguna untuk mengidentifikasi aktivitas listrik abnormal yang terjadi di otak. EEG dapat mengungkapkan pola gelombang yang tidak normal, seperti gelombang lambat atau gelombang spike yang berulang pada pasien dengan gangguan epilepsi Selain itu, pencitraan otak menggunakan MRI (Magnetic Resonance Imaging) atau CT Scan juga sangat penting untuk mendeteksi adanya lesi struktural atau kelainan anatomi yang mendasari epilepsi, seperti gangguan migrasi neuron atau disgenesis kortikal yang dapat lebih jelas terlihat pada MRI dibandingkan dengan CT scan (Dwi, 2023).

Dalam hal manajemen epilepsi, terapi terbagi menjadi dua kategori utama:

farmakologis dan non-farmakologis. Pendekatan farmakologis melibatkan pemberian obat antikonvulsan yang bertujuan untuk mengendalikan frekuensi kejang. Pemilihan obat antiepilepsi harus disesuaikan dengan jenis epilepsi dan respons pasien terhadap pengobatan tersebut. Sementara itu, terapi non- farmakologis seperti intervensi bedah atau stimulasi saraf juga bisa dipertimbangkan, terutama pada pasien yang tidak merespon dengan baik terhadap terapi medis konvensional atau yang mengalami efek samping dari pengobatan jangka panjang (Halim, 2022).

(7)

1.8 Farmakologi dan Efek Samping Obat

Obat antiepilepsi (AED) berfungsi untuk mengendalikan kejang pada pasien epilepsi. Pilihan obat tergantung pada jenis kejang yang dialami pasien, yang dibagi menjadi kejang parsial (fokal) dan kejang umum. Obat yang sering digunakan untuk kejang parsial meliputi karbamazepin, lamotrigin, dan topiramate, sementara untuk kejang umum, asam valproat adalah pilihan yang lebih umum (Aryani, 2023).

Obat-obat antiepilepsi dapat dibagi menjadi dua kategori berdasarkan spektrum tindakannya: spektrum sempit dan spektrum luas. Obat dengan spektrum luas, seperti levetiracetam dan asam valproat, efektif untuk mengobati berbagai jenis kejang, sedangkan obat dengan spektrum sempit, seperti karbamazepin, lebih cocok untuk kejang parsial (Aryani, 2023).

Namun, penggunaan AED sering disertai dengan efek samping, yang bervariasi dari ringan hingga berat. Efek samping ringan termasuk kelelahan, pusing, mual, gangguan penglihatan, dan perubahan berat badan. Sementara itu, efek samping yang lebih serius meskipun jarang dapat mencakup sindrom Stevens- Johnson, anemia aplastik, gangguan hati, dan gangguan psikotik. Penggunaan obat antiepilepsi jangka panjang juga dapat menyebabkan masalah kesehatan lainnya, seperti osteoporosis, yang memerlukan perhatian khusus terkait kecukupan kalsium dan vitamin D pada pasien (Aryani, 2023).

1.9 Terapi Non Farmakologi

Diet ketogenik telah terbukti efektif dalam mengurangi frekuensi kejang pada pasien dengan epilepsi refrakter (DRE), terutama yang tidak merespon terapi obat konvensional. Penelitian menunjukkan bahwa diet yang kaya lemak dan rendah karbohidrat ini dapat membantu mengontrol kejang, terutama pada kondisi seperti kejang fokal dan sindrom West. Meskipun mekanisme kerjanya masih belum sepenuhnya dipahami, diyakini bahwa diet ini berhubungan dengan mekanisme kerja obat anti-epilepsi (OAE). Dalam praktiknya, diet ketogenik dapat menjadi terapi alternatif yang efektif untuk pasien dari bayi hingga dewasa, namun jenis diet yang digunakan harus disesuaikan dengan kondisi pasien untuk memperoleh hasil terbaik (Sukarya et al., 2023).

(8)

DAFTAR PUSTAKA

Aryani, R., 2023. Korelasi Efek Samping Antiepilepsi terhadap Ketaatan Pasien Epilepsi di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau. Jurnal Manajemen dan

Pelayanan Farmasi.

https://journal.ugm.ac.id​:contentReference[oaicite:7]{index=7}.

Darmawan, A. T., Kurniawan, I. B., & Lestari, N. K. (2021). Prevalensi epilepsi di Indonesia: Sebuah kajian epidemiologi. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 19(1), 12-18.

Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan. (2021). "Epilepsi: Gejala dan

Penanganan." Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Retrieved from https://yankes.kemkes.go.id

Dwi, F. (2023). Evaluasi Diagnostik pada Epilepsi Menggunakan EEG dan Pencitraan Otak. Jurnal Kedokteran Indonesia, 31(2), 105-112.

Fithri, A.K., Pambudi, D.S., Amri, I.F. (2021). "Penerapan Terapi Obat Anti Epilepsi Berdasarkan Mekanisme Aksi", Jurnal Farmasi Indonesia.

Halim, A. (2022). Pendekatan Non-Farmakologis dalam Penatalaksanaan Epilepsi.

Jurnal Neurologi Indonesia, 27(3), 198-203.

International League Against Epilepsy (ILAE). (2022). ILAE classification of epilepsy. Retrieved from https://www.ilae.org/

Iskandar, M., Suryani, N., & Utami, N. (2021). "Keterkaitan Infeksi Ensefalitis dengan Kejadian Epilepsi pada Anak: Sebuah Tinjauan Literatur." Jurnal Kedokteran Anak Indonesia, 45(1), 35-40.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2023). Laporan Situasi Epilepsi di Indonesia. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Khairin, K., et al. (2022). "Karakteristik Penderita Epilepsi." Jurnal Universitas Brahma. Retrieved from https://jurnal.unbrah.ac.id

Kusnadi, K., Susanto, M., & Prasetyo, A. (2022). "Peran Malformasi Kortikal dalam Perkembangan Epilepsi Fokal pada Anak." Jurnal Neurologi Indonesia, 19(3), 58-64.

Prasetyo, A., Widyastuti, T., & Rahayu, E. (2022). "Hubungan Trauma Kepala Berat dengan Epilepsi Post-Traumatika: Studi Komparatif pada Pasien dengan Cedera Otak." Jurnal Kedokteran Saraf Indonesia, 22(2), 113-118.

Rachmawati, D., & Gunawan, A. (2023). Pengobatan epilepsi refrakter di Indonesia:

Tinjauan tentang pilihan terapi. Jurnal Neurologi Indonesia, 14(3), 215-220.

Santoso, H., Yuliana, E., & Prasetyo, D. A. (2021). Epilepsi: Diagnosis dan penanganan terkini. Jurnal Kesehatan Indonesia, 27(2), 77-84.

Setyawan, P., Haryanto, S., & Budiyono, B. (2023). "Mutasi Gen SCN1A dan DEPDC5 dalam Epilepsi Herediter: Tinjauan Literatur." Jurnal Genetika dan Epilepsi, 5(2), 76-82.

Sukarya, F., et al. (2023). Ketogenic diet therapy for drug-resistant epilepsy in Indonesia: A review. Indonesian Journal of Neurology, 21(5), 333-339.

(9)

Suryani, F., Utami, D., & Putra, I. G. (2023). Pengaruh edukasi masyarakat terhadap penanganan epilepsi di daerah pedesaan. Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia, 16(1), 105-111.

Suryawijaya, N., et al. (2023). "Pengetahuan Masyarakat tentang Epilepsi dan Perilaku terhadap Penyandang di Masyarakat." Collosum Neurology.

Retrieved from https://collosumneurology.org

Suwanda, S. (2022). Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian epilepsi pada anak- anak di Indonesia. Pediatri Indonesia, 62(2), 85-90.

World Health Organization (WHO). (2022). Epilepsy: A Global Perspective on Prevalence and Treatment. WHO. Retrieved from https://www.who.int/news- room/fact-sheets/detail/epilepsy

World Health Organization (WHO). (2023). Epilepsy. World Health Organization.

Retrieved from https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/epilepsy Yankes Kemenkes. (2024). Pedoman Nasional Penyelenggaraan Kesehatan (PNPK)

Epilepsi. Diakses dari https://yankes.kemkes.go.id

Yolanda, N.G., Sareharto, T.P., Istiadi, H. (2019). "Faktor Risiko dan Terapi Epilepsi:

Sebuah Kajian Komprehensif", Jurnal Kedokteran Diponegoro, 8(1), 378- 389.

Referensi

Dokumen terkait

Diabetes mellitus, lebih sederhana disebut diabetes, adalah suatu kondisi kronis yang terjadi ketika ada peningkatan kadar glukosa dalam darah karena tubuh tidak dapat

Beberapa studi sebelumnya menyebutkan epilepsi dan kognitif memiliki hubungan yang kompleks dimana perubahan kemampuan kognitif dan perilaku dapat dipengaruhi oleh kejang