• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diskursus Syarat-Syarat Mufassir Era Klasik hingga Modern (Studi Perbadingan Kitab-Kitab Ulumul Qur’an )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Diskursus Syarat-Syarat Mufassir Era Klasik hingga Modern (Studi Perbadingan Kitab-Kitab Ulumul Qur’an )"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

Program Studi Ilmiah Al-Quran dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta. Dr.Muhammad Ulinnuha, Lc.MA selaku Ketua Program Studi Ilmu Al-Qur'an, Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) Jakarta. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama masa perkuliahan.

Teman-teman angkatan 2014, khususnya teman-teman lulusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir atas kebersamaannya.

Vokal

Kata Sandang

Ta' Marbȗthah (ة) apabila ia berdiri sendiri, wakaf atau diikuti dengan kata sifat (na'at), maka huruf tersebut diterjemahkan kepada huruf "h". Manakala ta' Marbȗthah (ة) yang diikuti atau disambungkan (di-washal) dengan kata nama (isim) diterjemahkan kepada huruf "t". Sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf besar, tetapi apabila ditransliterasi, maka berlaku ketentuan Ejaan Sempurna Indonesia (EYD), seperti menulis awal kalimat, huruf pertama nama negara, nama negara. bulan, nama peribadi. dan lain lain.

Penafsiran Al-Qur'an telah berkembang menyesuaikan diri dengan kecenderungan dan kecenderungan kelompok mufassir itu sendiri. Menurut Quraish Shihab, syarat yang ditetapkan oleh sebagian ulama adalah syarat bagi seorang mufassir yang ingin menafsirkan Al-Qur'an secara menyeluruh dengan ijtihadnya. Bahkan pada abad-abad awal terbentuknya kajian Ulumul Qur’an, belum ada sistematisasi syarat-syarat bagi mufassir.

Oleh karena itu, artikel ini mencoba menganalisis perbedaan penentuan syarat-syarat seorang mufassir yang dikemukakan oleh beberapa ulama dari zaman klasik hingga modern dengan mengkaji kitab-kitab 'Ulumul Qur'an dengan menggunakan pendekatan historis-sosiologis. Penelitian ini juga bersifat deskriptif. -analitis. Kesimpulan dari penelitian yang penulis lakukan adalah bibit kondisi mufassir sudah ada sejak zaman para sahabat. Dan mulai berkembang pada Abad Pertengahan, dimana penentuan syarat-syarat mufassir lebih lengkap dan sistematis dibandingkan masa-masa sebelumnya.

Latar belakang

Abu Bakar menjawab: “Di bumi manakah aku berpijak dan di surga manakah aku berlindung ketika aku mengutarakan pendapatku dalam Al-Qur’an.” Pada abad-abad berikutnya, sebagian ulama meyakini bahwa siapa pun bisa menafsirkan ayat-ayat Al-Quran asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti menguasai 'ilm nahwu, sharf, balâghah, isytiqâq3, 'ilm ushûl ad-dîn, 'ilm qirâ 'ât4, asbâb an nuzûl5, nâsikh wa mansûkh6 dan lain-lain. Dengan adanya perbedaan pemahaman Al-Quran dan Ulȗmul Quran pada era klasik hingga modern, maka konteks sosio-historis Al-Quran menjadi sangat penting.

Menurut Syekh Muhammad Hussein, adz-Dzâhâbi menghendaki seorang mufassir harus mengetahui ilmu bahasa dan rahasianya, mengetahui adat istiadat dan adat istiadat orang Arab, mengetahui keadaan orang Yahudi dan Nasrani ketika Al-Qur'an diturunkan. 7 Muhammad Quraish Shihab, Landasan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Penerbit Mizan, 1998), hal.46. Imam as-Suyûti: Dalam kitabnya al-Itqan menyebutkan berbagai jenis ilmu yang diperlukan dalam menafsirkan Al-Quran, yaitu: Ilmu Lughat, Ilmu Nahwû15, Ilmu Syaraf16, Ilmu Isytiqâq, Ilmu Balâghah (retorika, metafora).

Syarat ini diperuntukkan bagi mereka yang ingin menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an secara utuh. Jika mereka hanya ingin menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas satu ilmu saja, misalnya astronomi, maka tidak mutlak mereka harus mengetahui ilmu ushûl fiqh atau naskh mansûkh, atau ‘ilm al fiqh. Namun jika kondisi ini digantikan dengan obyektivitas akal, maka siapa pun yang objektif berpotensi memahami ayat-ayat Al-Qur’an dengan baik asalkan ia mempunyai syarat minimal;

Identifikasi Masalah

Diperkirakan para peneliti dan komentator terpenting suatu saat akan hilang karena tidak adanya kaidah ilmiah yang hanya tinggal kenangan. Sebab banyak ulama yang menyebutkannya tersendiri dan masing-masing tokoh ulama mempunyai syarat dan ketentuan yang berbeda-beda. Tulisan ini berupaya menganalisis perbedaan penentuan syarat tafsir yang dikemukakan oleh beberapa ulama zaman klasik hingga masa kini dengan mengkaji kitab-kitab 'Ulumul Qur'an dengan pendekatan sosio-historis, dan menemukan relevansinya dengan perkembangan sastra tafsir.

Penulis berupaya melakukan hal tersebut dengan mengklasifikasikan syarat-syarat tersebut agar perbedaan antara syarat mutlak mufassir dan syarat pendukung mufassir lebih mudah diketahui. Bagaimana kita bisa menambah kekayaan referensi tafsir ketika sebagian besar dari mereka merasa belum mumpuni untuk menafsirkan Al-Qur’an, dan hal ini berbanding terbalik dengan perkembangan dan kebutuhan zaman. Perlukah adanya harmonisasi atau bahkan inovasi dengan metode kerjasama yang tersaring sederhana terkait dengan tuntutan para mufassir modern, untuk meningkatkan motivasi masyarakat agar lebih memperhatikan Al-Qur'an?

Mengingat semakin minimnya kajian Al-Qur’an dapat menimbulkan kekacauan di kemudian hari. Hal ini nampaknya perlu untuk mensinergikan tuntutan para mufassir dengan kebutuhan zaman dan realitas permasalahan umat, agar ilmu pengetahuan tidak berhenti pada permasalahan klasik saja.

Batasan dan Rumusan masalah

Penulis berharap ilmu di bidang tafsir tidak hanya berhenti pada tataran mengetahui ilmu-ilmu Al-Qur’an tanpa adanya pengembangan penerapan Al-Qur’an untuk menjawab tantangan zaman khususnya di bidang tersebut. penafsiran. Melalui pertanyaan di atas, penulis memfokuskan pembahasan: Bagaimana pembahasan perkembangan kebutuhan mufassir dalam literatur tentang kitab 'Ulumul Qur'an dari masa klasik hingga modern.

Tujuan Penelitian

Tinjauan Pustaka

Di sisi lain majalah ini memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap materi yang akan penulis pelajari, karena telah dibahas berbagai pendapat tokoh, sehingga meringankan beban penulis dalam menggali informasi terkait pendapat tokoh tentang syarat-syarat. mufassir. Buku ini membahas tentang dinamika sejarah tafsir Al-Quran, memadukan pendekatan sejarah-periodik dan mendialogkannya dengan pendekatan filosofis-konseptual dalam memotret perkembangan mazhab tafsir dari era klasik, abad pertengahan hingga modern-kontemporer.20. Buku ini juga memberikan kontribusi yang besar bagi penelitian kami karena memungkinkan penulis memahami kondisi masyarakat klasik hingga modern dan membaca peta konsep pola pikir para ulama pada masa itu, sehingga mempengaruhi penentuan kebutuhan penafsir.

Karena tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi sosial dan latar belakang seseorang mempengaruhi cara berpikirnya. Jurnal ini menjelaskan pentingnya syarat bagi mufassir khususnya pengetahuan Qaw’id secara Tafsîr dan Arab. Jurnal ini tidak fokus membahas pendapat para ulama tentang syarat mufassir.

Penyebutan syarat-syarat mufassir hanyalah sekedar penegasan bahwa syarat-syarat yang ditetapkan oleh para ulama adalah wajib bagi seorang mufassir, khususnya ilmu Qaw’id baik secara Tafsîr maupun bahasa Arab. Namun jurnal ini juga memberikan kontribusi kepada penulis mengenai referensi yang digunakan, yang dapat menjadi referensi tambahan bagi penulis.

Metodologi Penelitian

  • Jenis Penelitian
  • Pendekatan
  • Sumber Data
  • Teknik Pengumpulan Data

Data primer adalah sumber data yang diperoleh secara langsung dari sumber asli (bukan melalui media perantara). Sumber data utama penulisan tesis ini adalah kitab Muqadimah fî Ushûl at-Tafsîr karya Ibn Taymîyah, kitab Mabâhits fi 'Ulumi Al-Qur'an karya Manna al Qhaththan, kitab al Itqon fi 'Ulumi Al-Qur'an oleh Jalaluddin. Al-Quran oleh Imam Az Zarkasyi dan kitab Tafsir Mufassirûn oleh Muhammad Husain Adz Dzahabi.

Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dari data pihak lain). Data sekunder dalam penelitian ini adalah tafsir yang dijadikan acuan yaitu buku Kaidah Tafsir karya M. Quraish Shihab, Dinamika sejarah penafsiran al-Qur'an karya Abdul Mustaqim. Ulûmul Qur'an karya Ayatullah Muhammad Baqir Hakim, Muhammad Abdul Adzim Al-Zarqani Manâhilul 'Irfan fi 'Ulûm Al-Qur'an, Perkembangan Tafsir Al-Qur'an di Indonesia oleh Nasruddin Baidan, Kajian Islam Komprehensif karya Abudin Nata dan buku buku-buku yang berkaitan dengan sejarah penafsiran klasik hingga modern.

Pengumpulan datanya dilakukan melalui pengamatan tidak langsung, yaitu melalui pengamatan dan pencatatan yang tampak pada obyek penelitian, dan dilakukan secara tidak langsung pada tempat kejadian atau pada saat kejadian.21 Dan menggunakan metode dokumentasi untuk data primer dan data sekunder. Data utama yang dimaksud adalah buku-buku tentang kaidah eksegesis dan sejarah eksegesis, khususnya bab yang menjelaskan syarat-syarat eksegesis. Data sekunder merupakan bahan pustaka yang mempunyai kaitan langsung maupun tidak langsung dengan data primer.

Teknik dan Sistematika Penulisan

Kerana selama Nabi Muhammad masih ada, tiada siapa yang berani bercakap tentang makna Al-Quran. Kelima, mereka yang tidak memenuhi syarat di atas tidak dibenarkan mentafsir al-Quran. Pada masa pertengahan, yaitu ulama mutaqaddimin dan ulama muta’akhirîn, perkembangan ulama al-Qur’an semakin baik.

Beliau menambah bahawa seorang ahli tafsir hendaklah banyak mendengar dan mengikuti kajian tentang segala sesuatu tentang 'Ulumul Qur'an dan hendaklah memahami makna zahir ayat dan makna batin ayat tersebut. Kerana tidak dapat dinafikan bahawa pada zaman para ulama muta'akhirîn adalah puncak kejayaan dalam bidang 'Ulumul Qur'an. Walaupun sebaliknya ulama al-Quran pada zaman ini tidaklah seramai zaman ulama mutaqaddimin.

Dalam kitab yang ditulis oleh Imam As Suyuti al Itqan fi 'Ulum, Al-Quran merupakan kitab yang relatif lengkap dibandingkan kitab-kitab sebelumnya bahkan merupakan satu-satunya kitab Ulumul Quran saat ini. Penulis lebih cenderung bahwa seseorang yang ingin menafsirkan Al-Qur'an tidak diharuskan menguasai semua ilmu-ilmu tersebut di atas. Mufassir hanya dituntut untuk fokus pada keahliannya masing-masing dalam menggali makna Al-Qur'an.

Saran

Walaupun apa yang dikemukakan dalam pasal ini bukanlah batasan atau syarat final bagi mufassir, yang mutlak dibatasi pada poin-poin di atas karena banyak sekali etika (akhlak) yang dimiliki oleh masyarakat pada umumnya, setidaknya garis besar itulah yang menjadi landasan. dari mufassir. Semoga Allah mengampuni segala kesalahan dan kekeliruan, baik disengaja maupun tidak disengaja, dalam kitab suci ini. Abu Syuhbah, Muhammad, Al-Isrâiliyât wa Al-Maudhû‘ât fî Tiang At-Tafsîr, KSA: Maktabah As-Sunnah, 1408 H.

Fahd, Ar-Rumy bin Abdurrahman bin Sulaiman, Buhûts fî Ushûl At-Tafsîr wa Manâhijuhu, KSA: Maktabah At-Taubah, 1419 H. Muchlas, Imam, Metodes om die Koran te interpreteer, Malang: UMM Press, 2003, Abd Mustaqim, Historiese, Abd Mustaqim Dinamika Tafsir Al Qur'an, Yogyakarta: idees. Al-Thabari, Abu Ja'far Muḥammad ibn Jarīr, Jāmi' al-Bayān 'an Ta`wīl Áyi al-Qur`ān, juz 5.

Referensi

Dokumen terkait