• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adapun teknik penulisan skripsi ini berpedoman kepada buku

“Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi yang disusun oleh TIM Institut Ilmu Al Qur‟an Jakarta- yang diterbitkan oleh IIQ Pers- tahun 2017.

Secara keseluruhan, Untuk mempermudah penulisan, peneliti membagi pembahasan skripsi ini ke dalam lima bab dengan rincian sebagai berikut:

Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang menyajikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua berisi Tinjauan umum tentang syarat-syarat mufassir.

Uraian ini meliputi Pengertian tafsir dan mufassir, Sejarah muculnya syarat-syarat mufassir, Urgensi syarat-syarat mufassir, Klasifikasi Syarat- Syarat mufassir yang diantaranya Syarat Syar’iyyah dan Akhlaqiyah, Syarat ‘Aqliyyah, Syarat Ilmiyyah, Syarat li Anwa’i at Tafsir.

Pada Bab ketiga penulis akan berusaha mengelompokkan kecenderungan syarat-syarat bagi mufassir disetiap periodenya. Mulai dari periode klasik yang dimulai dari ulama Mutaqaddimin, ulama muta’akhhirin dan ulama modern atau kontemporer yang meliputi Profil Tokoh-tokoh ‘Ulum Al-Qur’an pada masanya, Kondisi Keilmuan Masyarakat pada masanya, Kriteria mufassir disetiap periodenya.

Bab keempat adalah analisis syarat-syarat mufassir yang meliputi perkembangan syarat-syarat mufassir dalam literatur kitab ‘Ulumul Qur’an klasik hingga modern

Bab kelima merupakan penutup yang berisikan kesimpulan saran- saran bagi kajian selanjutnya

91 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Dari hasil analisa penulis bahwa kriteria bagi seorang mufassir ada sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. walaupun masih bersifat embriologi yakni belum tersusun secara sistematis. Sebab selama Nabi Muhammad masih ada, tidak ada seorangpun yang berani berbicara terkait makna Al- Qur’an. Nabilah satu-satunya mufassir yang mengetahui informasi secara langsung dari Allah.

Adapun syarat bagi mufassir pada periode sahabat dan tabi’in serta tabi’ut tabi’in tidak mengalami perbedaan yang berarti kecuali hanya perbedaan pada syarat syar’iyah dan akhlaqiyah menurut klasifikasi penulis.

Yaitu tidak terlalu percaya pada cerita-cerita isrâiliyyât yang didapat dari para pendeta, walaupun mereka telah menjadi seorang muslim.

Syarat mufassir yang tersirat dalam pernyataan Ibnu Abbâs, secara umum dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, pengetahuan tentang bahasa Arab dalam berbagai aspeknya. Kedua, pengetahuan tentang ilmu- ilmu Al-Qur’an, (sejarah turunnya, muhkam dan mutasyabih). Ketiga, pengetahuan tentang prinsip-prinsip pokok keagamaan. Keempat, pengetahuan tentang disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat.

Kelima, bagi mereka yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas tidak dibenarkan untuk menafsirkan Al-Qur’an.

Pada periode pertengahan yakni ulama mutaqaddimin dan ulama muta’akhirîn perkembangan ‘ulum Al-Qur’an semakin membaik. Walaupun pada masa ulama mutaqaddimîn keilmuan tidak begitu berkembang pesat dibandingkan dengan masa ulama muta’akhirîn. Hal ini ditandai dengan sistematika pembahasan persyaratan bagi mufassir pada masa ulama mutaqaddimîn yang masih berbentuk sederhana. Seperti yang disampaikan

92

oleh Ibnu Jârîr Ath Thabâri (310 H) dalam muqaddimah tafsirnya. Akan tetapi pada abad terakhir dari periode mutaqaddimin yang diwakili oleh Imam Badruddin Muhammad bin Abdullah Az Zarkasy memiliki perbedaan dalam menyebutkan syarat mufassir. Beliau menambahkan bahwa seorang mufassir harus banyak mendengar dan mengikuti kajian-kajian tentang segala hal tentang ‘Ulumul Qur’an dan harus memahami makna dhahir ayat dan makna bathin ayat.

Perbedaan semakin jelas setelah masuk pada periode ulama muta’akhkhirin. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa pada masa ulama muta’akhirîn menjadi puncak kejayaan dalam bidang ‘ulumul Qur’an. Hal ini ditandai dengan munculnya karya legendaris imam As Suyûti. Walaupun disisi lain ulama ‘ulumul Qur’an pada masa ini tidak sebanyak pada masa ulama mutaqaddimin. Akan tetapi keahlian yang dimiliki oleh ulama muta’akhirin lebih sistematis. Seperti prasyarat bagi mufassir telah menjadi sebuah kajian khusus dalam suatu bab dan lebih komperhensif dari masa sebelumnya. Tidak seperti pada masa ulama mutaqaddimîn yang masih memasukkan pembahasan syarat mufassir pada pembahasan umum kitab.

Dalam kitab karangan Imam As Suyuti al Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an merupakan kitab yang relatif lengkap dibandingkan dengan kitab-kitab sebelumnya bahkan menjadi satu-satunya ulama ‘ulumul Qur’an pada masa ini. Beliau membahas secara khusus terkait syarat-syarat mufassir yang harus dipenuhi seorang mufassir dalam kitabnya pada bab ke-78. Walaupun jika dibandingkan dengan masa setelahnya yakni periode modern, perkembangan

ulumul Qur’an jauh lebih pesat.

Pada periode modern-kontemporer seorang mufassir khususnya, diharuskan menguasai Ilmu-Ilmu modern seperti fisafat, Ilmu-ilmu sosial dan Sains bahkan ilmu-ilmu penunjang lainnya seperti politik dan ekonomi.

Sebab melihat begitu banyaknya fenomena-fenomena yang terjadi sehingga

93

melahirkan berbagai macam permasalah-permasalahn baru. Akan tetapi hal ini tidak bisa dipungkiri bahwa sangatlah sulit menemukan seorang yang memiliki keahlian yang komperhensif dalam berbagai disiplin Ilmu.

Menurut hasil analisis sederhana penulis, bahwa syarat-syarat yang dikemukakan oleh para ulama modern begitu rumit. Penulis lebih cenderung bahwa seseorang yang ingin menafsirkan Al-Qur’an tidak diharuskan untuk menguasai semua keilmuan yang disebutkan di atas. Mufassir hanya dituntut untuk fokus kepada keahlian masing-masing dalam mengeksplorasi makna Al-Qur’an. Hal ini dilakukan agar mendapatkan hasil yang maksimal dan dapat dipertanggung jawabkan. Seperti yang dikatakan oleh Quraish Shihab dalam bukunya Kaidah Tafsir. Bahkan ulama kita memperbolehkan suatu kelompok melakukan aktivitas penafsiran atau dilakukan secara kolektif.

Meskipun apa yang tercantum dalam tulisan ini bukanlah batasan yang final atau syarat mufassir yang mutlak terbatas pada point-point diatas karena begitu banyaknya etika (tata krama) yang umumnya dimiliki oleh manusia, tetapi setidaknya itulah garis besar yang menjadi pondasi fundamental bagi para mufassir.

Dokumen terkait