Artikel ini membahas tentang metode tafsīr tahlīlī yang merupakan salah satu dari empat cara menjelaskan isi Al-Qur'an. Metode tafsīr tahlīlī adalah suatu cara menjelaskan Al-Qur'an dari berbagai aspek berdasarkan urutan ayat-ayatnya. Hal ini terjadi karena belum seluruh isi Al-Qur’an dijelaskan secara rinci pada masa Rasulullah 3.
Quraish Shihab, Landasan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2012), hal. Sejalan dengan makna harafiah tersebut, KBBI mengartikan kata tafsir sebagai uraian atau penjelasan terhadap ayat-ayat Al-Qur'an. Al-Qur'an. Penjelasan yang termasuk dalam kategori Tafsīr al-Qur'an adalah penjelasan yang memenuhi minimal tiga syarat.
8 Nashruddin Baidan, Kaedah Pentafsiran Al-Quran: Kajian Kritis Suntingan Ayat-Ayat Serupa (Yogyakarta: Student Library, 2002), hlm. Teori ini beranggapan bahawa al-Quran adalah kitab suci yang mengikat umat Islam dan memerlukan penjelasan. Teori ini bermula daripada paradigma bahawa al-Quran adalah kitab Arab yang agung.
Mereka cuba mengenal pasti sumber-sumber yang menjadi asas tafsiran dan bagaimana ahli tafsir menggunakannya untuk mentafsirkan ayat-ayat al-Quran.
Tafsīrbi-al-maʾthūr atau tafsīr bi-al-riwāyah dapat digolongkan menjadi empat jenis, yaitu (1) tafsīr al-Qur'an bi-al-Qur'an, (2) tafsīr al-Qur'an bi-al- Sunnah, (3) tafsīr al-Qur'an bi-Qaul Shahābah, dan (4) tafsīr al-Qur'an bi-Qaul Ṭābiʿīn. Sedangkan Tafsīr bi-al-Raʾyī atau bi-al-Ijtihād dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu (1) tafsīr al-Qur'an bi-al-Raʾyi al-Mamdūh, (2) tafsīr al-Qur'an bi - al-Raʾyi al-Madhmūm, dan (3) tafsīr al-Quran bi-al-Izdiwāj. Jika dilihat dari aspek gaya, kajian tafsir Al-Qur’an digolongkan menjadi banyak jenis.
Tafsīr bi-al-maʾthūr atau tafsīr bi-al-riwāyah sendiri dapat dibedakan menjadi (1) tafsīr al-Qur'an bi-al-Qur'an, (2) tafsīr al-Qur'an bi-al-Sunnah, (3) tafsīr al-Qur'an bi-Qaul Shahābah, dan (4) tafsīr al-Qur'an bi-Qaul Ṭābiʿīn. Begitu pula dengan tafsīr bi-al-Raʾyī atau bi-al-Ijtihād yang dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu (1) tafsīr al-Qur'an bi-al-Raʾyi al-Mamdūh, (2) tafsīr al-Qur'an bi-al-Raʾyi al-Madhmūm, dan (3) tafsīr al-Quran bi-al-Izdiwāj. Dilihat dari cara penafsirannya, suatu karya tafsir atau penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dapat digolongkan menjadi (1) tafsīr ijmālī, (2) Tafsīr Taḥlīlī, (3) tafsīr muqāran, dan (4) tafsīr īŸīr.
Sedangkan jika dilihat dari segi coraknya, kajian tafsir Al-Qur’an digolongkan menjadi banyak jenis, antara lain, tafsīr sufi, tafsīr lughawī, tafsīr kelamī, tafsīr adabī ijtimāʿī, tafsīr tafsīr fisafīr, tafīr, tafsīr, tafsīr lughawī, tafsīr kelamī, tafsīr adabi ijhtimāʿī, tafsīr fisafīr, tafīr, tafīrī, tafīrī, tafīrī, tafīrī, tafīrī,īxhtimāī, jika dilihat dari segi gayanya. , tafsīr maqāshidī, tafsīr ʿilmī dll. Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa kedudukan metode Tafsir Tahlīlī dalam kajian tafsir Al-Qur’an merupakan bentuk pengklasifikasian tata cara kerja tafsir ditinjau dari metodenya. Kedua, mufasir meriwayatkan penafsirannya berdasarkan struktur urut ayat dan huruf dalam mushaf Al-Qur’an dari awal hingga akhir.
Mufasir menjelaskan dari ayat dan surah pertama di dalam al-Quran, kemudian diteruskan dengan yang kedua, ketiga, dan seterusnya hingga ke surah dan ayat terakhir dalam al-Quran Mushaf Uthmānī. Mereka yang cenderung kepada sains dan teknologi mentafsirkan al-Quran dari sudut teori sains atau keilmuan seperti Kitāb Tafsīr al-Jawāhir daripada al-Tanthwati al-Jauhari (lahir 1287 H/1862 M), dan sebagainya. Kaedah analisis relatif memberi peluang yang luas kepada pengulas untuk menyatakan pandangan dan idea mereka dalam mentafsir al-Quran.
Kelebihan yang kelima adalah tafsīr taḥlīlī ini memuat berbagai macam gagasan dari para mufassir, dimana para mufassir lebih leluasa dalam mengemukakan gagasan-gagasan baru dalam penafsiran Al-Qur'an. Tujuan para reformis ini tidak hanya memahami makna universal Al-Qur'an, namun juga mengubah realitas kontemporer. Al-Quran juga mampu membantu siapa pun untuk memahami ruh dalam konteks, pengetahuan, dan fase sejarahnya.
Luasnya cakupan metode tahlili, selain menjadi kelebihan, juga menjadi kelemahan bagi mufasir dalam menafsirkan Al-Qur’an secara subyektif. Pintu penafsiran terbuka lebar dalam metode ini, terkadang menafsirkan Al-Qur'an berdasarkan hawa nafsu dengan mengabaikan kaidah yang berlaku.
Di antara kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode taḥīlī dan ditulis tidak terlalu panjang adalah kitab Anwār al-Tanzīl wa-Asrār al-Taʾwīl karya Al-Bayḍāwī (w. 685 H). Selain kota Baiḍá menjadi tanah kelahirannya, Al-Bayḍāwī tumbuh dan belajar. Di kota inilah Al-Bayḍāwī menulis kitab tafsīr yang berjudul Anwār al-Tanzīl wa-Asrār al-Taʾwīl yang dikenal dengan Kitab Tafsīr al-Bayḍāwī.
Kitab Anwar al-Tanzīl wa-Asrār al-Taʾwīl (selanjutnya disebut Tafsīr al-Bayḍāwī) merupakan karya agung al-Bayḍāwī yang cukup dikenal di kalangan umat Islam. Meski dianggap sebagai karya rangkuman, namun al-Bayḍāwi dinilai berhasil meninggalkan gagasan-gagasan yang dianut para ulama yang mereferensikan kitab Tafsīr al-Bayḍāwī. Kitab Tafsīr al-Bayḍāwī merupakan kitab tafsir yang berupaya menggabungkan tafsir bi al-ma'thūr dan bi al-ra'yī.
Oleh itu, Al-Bayḍāwī bukan sahaja merakamkan kisah-kisah Nabi dan para Sahabat, tetapi juga menggunakan penaakulan rasional ijtihadnya dalam mentafsir al-Quran. Langkah pertama Al-Bayḍāwī menjelaskan tempat turunnya surat dan jumlah ayat dari surat yang ditafsirkan. Langkah kedua iaitu al-Bayḍāwī menerangkan maksud ayat tersebut satu persatu dari aspek dan aspek yang berbeza.
Langkah ketiga, al-Bayḍāwī memuat hadis-hadis pada hampir seluruh surat yang menjelaskan keutamaan surat yang baru saja ia tafsirkan. Aspek lain yang juga penting dalam Tafsīr al-Bayḍāwī adalah penjelasan hubungan batin (munāsabah) antara satu ayat dengan ayat lainnya. Selain menggunakan ayat-ayat Al-Qur'an dan berbagai jenis qiraʾat sebagai landasan penafsiran, al-Bayḍāwī juga sangat hebat dalam memberikan sebagian hadis.
Sementara itu, Al-Bayḍāwī mengurangi penggunaan cerita isrāiliyāt yang merupakan "bagian penting" dari kitab-kitab tafsir sebelumnya. Menurut al-Dhahabī, penggunaan kedua istilah ini menunjukkan bahwa Al-Bayḍāwī menyiratkan lemahnya kualitas cerita isrāiliyāt.51. Sebagai ahli tafsir yang tergabung dalam mazhab Ahlussunnah, penafsiran Al-Bayḍāwī tidak lepas dari paradigma tafsīr Sunni.
Setelah memberikan penjelasan yang cukup mengenai ayat tersebut, Al-Bayḍāwi menjelaskan pengertian atau konsep “iman” dan. Anwār Al-Tanzīl Wa-Asrār Al-Taʾwīl oleh Al-Bayḍāwī.” Dalam Kajian Kitab Tafsir yang disunting oleh A.