• Tidak ada hasil yang ditemukan

811760430 EPISTEMOLOGI ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM

N/A
N/A
Muhammad Ilham Askar

Academic year: 2025

Membagikan "811760430 EPISTEMOLOGI ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

EPISTEMOLOGI ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM ABSTRAK

Dewasa ini, ilmu pengetahuan dengan berbagai rumpun, cabang, dan ranting-rantingnya telah berkembang sangat pesat dan luas. Selain terdapat rumpun ilmu agama Islam, terdapat pula rumpun ilmu-ilmu umum. Rumpun ilmu agama mencakup Al-Qur'an/Ilmu tafsir, hadis/ilmu hadis, fikih/ilmu fikih, kalam, filsafat, tasawuf, sejarah dan kebudayaan Islam, serta pranata sosial, atau dikelompokkan lagi menjadi Al-Qur'an/Hadis, akidah/akhlak, fikih/ibadah, dan kebudayaan Islam. Adapun ilmu-ilmu umum mencakup ilmu alam seperti fisika, kimia, dan biologi (basic science) dengan berbagai cabang dan penerapannya (applied science), seperti kedokteran, farmakologi, dan astronomi; ilmu sosial, seperti sejarah, sosiologi, dan antropologi dengan berbagai cabang dan penerapannya (applied science), seperti ilmu ekonomi, politik, pendidikan, manajemen, dan sebagainya.

Rumpun ilmu agama lahir dari kalangan ahli agama, sedangkan rumpun ilmu umum lahir dari kalangan ahli ilmu umum. Kedua rumpun ilmu tersebut pernah tidak saling bertegur sapa, saling mencurigai, saling menyerang, dan menyalahkan, serta keadaan ini masih terus berlangsung hingga saat ini. Akibatnya, masyarakat menjadi terbelah dalam suasana yang dikotomis, berat sebelah, miring, dan pincang. Lahirnya berbagai rumpun, cabang, dan ranting ilmu tersebut disebabkan oleh metode penelitian yang melahirkannya yang berbeda-beda.

Metode ini dalam filsafat ilmu dikenal sebagai epistemologi ilmu. Uraian pada bab ini memfokuskan kajiannya pada epistemologi ilmu yang berkembang di kalangan ahli agama dan ahli ilmu umum, sambil mencari titik persamaan dan perbedaannya serta upaya untuk mempertemukan keduanya.

A. PENGERTIAN EPISTEMOLOGI

Setiap buku filsafat ilmu pada umumnya memuat kajian tentang epistemologi ilmu. Namun, pada umumnya pembahasannya kurang fokus sehingga kesannya kurang memadai. Pengertian epistemologi dari segi bahasa dan istilah, misalnya, tidak disinggung secara langsung. Dalam hal epistemologi, dijelaskan bahwa persoalan utama yang dihadapi oleh setiap epistemologi pengetahuan pada dasarnya adalah bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar dengan memperhitungkan aspek ontologi dan aksiologi masing-masing. Demikian pula masalah yang dihadapi epistemologi keilmuan, yakni bagaimana menyusun pengetahuan yang benar untuk menjawab permasalahan mengenai dunia empiris yang akan digunakan sebagai alat untuk meramalkan dan mengontrol gejala alam.

Lebih lanjut, Jujun S. Suriasumantri menjelaskan bahwa penelaahan ilmiah diarahkan pada deskripsi hubungan berbagai faktor dalam suatu konstelasi yang menyebabkan timbulnya sebuah gejala dan proses atau mekanisme terjadinya gejala tersebut. Misalnya, kegiatan ilmiah ingin mengetahui mengapa secangkir kopi yang diberi gula menjadi manis. Hubungan antara gula dan kopi yang diberi gula menjadi manis itulah yang menjadi pokok pengkajian ilmiah.

Dari penjelasan tersebut, tampak bahwa epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana suatu ilmu disusun atau terbentuk, dengan melihat faktor-faktor yang menyebabkannya. Artinya, mempelajari atau menemukan faktor-faktor yang menggerakkan

(2)

atau menyebabkan suatu gejala atau fenomena terjadi, kemudian disusun secara sistematik dan komprehensif.

Penjelasan tentang epistemologi ilmu dapat dijumpai dalam buku "Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam" yang diedit oleh Adian Husaini dan rekan-rekan. Dari tiga belas topik yang dibahas, termasuk pengantar dari K.H. Didin Hafiduddin, terdapat empat topik terkait dengan epistemologi ilmu, yaitu "Urgensi Epistemologi Islam" oleh Adian Husaini; "Prinsip-prinsip Dasar Epistemologi Islam" oleh Syamsuddin Arif; "Konstruksi Epistemologi Islam: Telaah Bidang Fiqih dan Ushul Fiqh" serta "Metodologi Ilmiah dalam Islam" oleh Adnin Armas.

Adian Husaini dalam pembahasan "Urgensi Epistemologi Islam" menjelaskan bahwa epistemologi biasanya didefinisikan sebagai cabang ilmu filsafat yang membahas ilmu pengetahuan secara menyeluruh dan mendasar. Secara ringkas, epistemologi disebut sebagai "

theory of knowledge" (AWM Pranarka, "Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar").

Syamsuddin Arif, ketika membahas prinsip-prinsip epistemologi Islam, menyatakan bahwa persoalan yang membelit wacana pemikiran Islam saat ini mencerminkan krisis epistemologis.

Oleh karena itu, perlu diuraikan kembali prinsip-prinsip (ushul) dan dasar-dasar (mabadi') epistemologi Islam yang telah dirumuskan oleh para ulama terdahulu (salaf) dan golongan Ahlussunnah wal Jamaah yang berpanduan pada Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW.

Setelah membahas tentang pengetahuan secara konseptual, proporsional, sumber ilmu pengetahuan, kritik narasumber, dan lainnya, ia menyimpulkan bahwa prinsip-prinsip epistemologis mencakup arti mengetahui, objek pengetahuan, sumber ilmu, validitas ilmu, dan lainnya dalam Islam.

Nirwan Hamid dalam tulisannya yang berjudul "Konstruksi Epistemologi Islam: Telaah Bidang Fiqh dan Ushul Fiqh" mengungkapkan bahwa ushul fiqih merupakan salah satu disiplin ilmu Islam yang meletakkan dasar epistemologi pemikiran Islam. Disiplin ini menggabungkan wahyu dan akal dalam satu bangunan epistemologi Islam. Wahyu, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah, ditempatkan di tingkat teratas karena bersumber dari Yang Mahatahu. Akal ditempatkan di tingkat lebih rendah secara hierarkis, mengisyaratkan agar akal tunduk kepada kebenaran wahyu.

Adnin Armas dalam tulisannya "Metodologi Ilmiah dalam Islam" tidak secara eksplisit membahas epistemologi Islam, namun ia mengemukakan bahwa metodologi dalam Islam berasal dari ilmu Hadis, ushul fiqih, dan tafsir. Ulama masa lampau menerapkan pendekatan ilmiah dalam menyelidiki kesahihan dan autentisitas Hadis, menerapkan nalar dalam kritik hadis pada tiap tahapannya. Nalar diterapkan dalam pembelajaran dan pengajaran Hadis, dalam menilai para periwayat dan kesahihan Hadis.

Jika pendapat-pendapat tersebut dipertemukan, maka yang dijumpai adalah bahwa epistemologi terkait erat dengan asal usul terbentuknya ilmu, cara-cara yang ditempuh dalam mengontruksi ilmu, dan cara-cara meneliti dan mengembangkan ilmu. Kuat dan lemahnya ilmu dapat diketahui dari konstruksi langkah-langkah yang ditempuhnya. Berikutnya dapat dilihat dari cara-cara yang ditempuh masyarakat primitif, masyarakat yang sudah mulai berpikir, dan masyarakat yang sudah maju di bawah ini.

(3)

B. TAHAPAN PERKEMBANGAN PEMIKIRAN MANUSIA

Tahapan perkembangan pemikiran manusia memiliki hubungan yang erat dengan timbulnya epistemologi ilmu pengetahuan. Auguste Comte misalnya membagi tahapan hidup manusia pada tahap primitif/mitos, metafisik, dan positivistik. Tahapan ini memiliki hubungan dengan perkembangan epistemologi ilmu sebagai berikut.

1. Tahap Primitif/Mitos

Masyarakat primitif menjelaskan tentang asal usul segala sesuatu yang terjadi di dunia ini sebagai berasal dari kekuatan gaib yang misterius yang menguasainya, yang membuat manusia tidak berdaya dan lemah di hadapannya; dan menerima dengan pasrah atas cerita mitologi yang menjelaskan penguasaan alam oleh makhluk gaib itu. Pancaindra dan akal manusia pada tahap primitif ini belum difungsikan; semuanya dikembalikan pada keyakinan hati nurani yang sulit dibuktikan secara empiris dan rasional. Dengan cerita ini, tampaknya Jujun S. Suriasumantri ingin mengatakan bahwa epistemologi atau cara mendapatkan pengetahuan pada masyarakat primitif cukup dengan memercayai adanya kekuatan gaib yang menguasai alam jagat raya ini melalui keyakinan hati nuraninya. Namun cara seperti ini sangat tidak menolong kemajuan umat manusia. Mereka membiarkan atau melestarikan alam semesta dengan sungguh-sungguh.

Mereka tidak berani mengeksplorasi hutan dan kekayaannya yang berlimpah ruah; tidak berani menggali isi perut bumi dengan segala kandungannya yang sangat berharga dan bernilai tinggi;

lautan yang luas dengan kandungannya, dan sebagainya.

Alam jagat raya memang jadi asri, terpelihara, dan terawat dengan baik, mereka tidak berani merusak hutan. Namun pada saat yang bersamaan hidup mereka sangat sederhana, kekayaan alam yang melimpah ruah tidak dapat menolong menyejahterakan hidup mereka; mereka makan dan minum serta memenuhi kebutuhan hidupnya hanya menunggu belas kasihan alam secara natural, misalnya dengan memanfaatkan ranting dan dahan pohon yang sudah mengering, ikan yang hanya dapat ditangkap secara tradisional, air mengalir dari tepian dinding gunung atau yang memancar dari perut bumi, bukan yang digali dari dalam tanah; kuda atau gajah yang bisa membantu mengangkut kayu atau bisa ditunggangi, demikian seterusnya.

Masyarakat primitif menganggap dan meyakini bahwa yang menggerakkan alam jagat raya ini adalah kekuatan gaib. Sesuai dengan pengetahuan mereka tentang gejala-gejala alam, maka mengontrol timbulnya gejala yang berupa malapetaka adalah identik dengan mengarahkan kelakuan para dewa yang bersangkutan. Maka bertumpuklah berbagai panganan dan sajian (sesajen) di batas kampung atau simpang jalan, sebab dewa-dewa ini, meminjam perkataan Isaac Asimov, bukan saja urakan, aneh, emosional, dan mudah mengamuk karena hal-hal kecil, melainkan juga mudah terpengaruh oleh "sogokan yang kekanak-kanakan." Sogokan ini tentu saja sebanding dengan lingkup kontrol yang diminta: dari segenggam garam, penyerahan kehormatan dalam orgy (pesta pora yang gila-gilaan) yang ritual sampai penyerahan kurban jiwa yang dibantai di muka altar.

Intinya, ketika pikiran masyarakat masih dikuasai oleh mitos dan keyakinan pada berbagai kekuatan yang menguasai alam, maka kegiatan penelitian dan kajian terhadap ilmu pengetahuan belum tampak. Dalam mitos Hindu misalnya, alam semesta ini dianggap terbagi dalam surga, bumi, dan neraka, yang letaknya berada satu di atas yang lain, sementara bumi

(4)

ditopang oleh ular naga yang di atasnya berbaring Mahadewa Vishnu yang sedang istirahat abadi. Matahari, bulan, dan planet-planet dihuni dewa-dewa khusus, di antaranya Rahu dan Ketu, dan secara berkala mempunyai kebiasaan untuk menelan matahari dan bulan. Itulah yang menyebabkan gerhana, dan hanya apabila manusia membunyikan bunyi-bunyian yang hiruk pikuk dan memberikan sedekah, Rahu dan Ketu yang jahat itu dapat ditakut-takuti sehingga mau melepaskan taring-taring mereka yang jahanam itu, dari dewa-dewa cahaya yang tidak berdaya. Sesungguhnya bukan hanya gerhana, akan tetapi segala sesuatu yang terjadi—banjir atau kekeringan, wabah penyakit atau gempa bumi, dianggap sebagai perbuatan salah satu dewa, yang di depannya manusia tidak berdaya. Manusia dapat mengambil hati padanya.

Paling tidak, ia dapat mengharapkan untuk bisa ambil bagian dalam kekuasaannya dengan jalan melakukan yoga atau menyiksa diri. Akan tetapi tidak ada hasrat manusia untuk mengendalikan atau mengelakkan kekuasaan dewa melalui suatu pemahaman yang rasional mengenai cara kerjanya. Dengan kata lain, wawasan tentang alam semesta yang diatur oleh suatu hukum tidak terdapat dalam gambaran yang pra-ilmiah mengenai benda-benda dan proses-prosesnya.

Selain adanya mitos, masyarakat primitif juga dikuasai oleh ajaran-ajaran agama yang mengekang pemikiran dan menjegal kegiatan ilmiah. Sebelum lahirnya biologi modern, khususnya sebelum diterbitkannya buku Darwin yang membuka zaman baru, The Origin of Species, pada 1859, manusia pada umumnya percaya akan aktus penciptaan yang khusus. Kitab Injil menyatakan bahwa Tuhan telah menciptakan keseluruhan alam semesta dalam waktu enam hari, di mana hari ketiga, kelima, dan keenam digunakan Tuhan untuk menciptakan makhluk hidup, termasuk manusia. Keyakinan seperti ini terjadi pada masyarakat primitif.

Adapun pada masyarakat berikutnya, pandangan ini akan mengalami pergeseran setelah manusia menemukan sebab-sebab yang lebih rasional dan dapat diamati secara empirik yang menjadi sebab terjadinya perubahan pada fenomena alam jagat raya serta kehidupan manusia.

2. Tahap Metafisis

Pada tahap metafisis ditandai oleh usaha manusia untuk mencoba menafsirkan dunia ini terlepas dari belenggu mitos. Mereka menatap kehidupan ini tidak lagi dari balik harum dupa dan asap kemenyan. Mereka tidak lagi berpaling kepada berbagai spekulasi namun bertanya langsung: "kepada angin, kepada awan, dan rumpun yang bergoyang." Dengan mempelajari alam mereka mengembangkan pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis seperti untuk pembuat tanggul, pembasmian hama, dan bercocok tanam. Berkembanglah lalu pengetahuan yang berakar pada pengalaman yang berdasarkan pada akal sehat (common sense) yang didukung oleh metode mencoba-coba (trial and error). Perkembangan ini menyebabkan tumbuhnya pengetahuan yang disebut "seni terapan" (applied arts) yang mempunyai kegunaan langsung dalam kehidupan badani sehari-hari di samping "seni halus" (fine arts) yang bertujuan untuk memperkaya spiritual. Pada tahap ini, akal sehat dan coba-coba mempunyai peranan penting dalam usaha manusia untuk menemukan penjelasan mengenai berbagai gejala alam.

Ilmu dan filsafat dimulai dengan akal sehat, sebab tak mempunyai landasan untuk permulaan lain untuk berpijak. Berdasarkan akal sehat, adalah sangat masuk akal setelah beberapa kali mengalami terbit dan terbenamnya matahari untuk menyimpulkan bahwa matahari berputar mengelilingi bumi. Itulah sebabnya banyak penemuan ilmiah yang mula-mula sukar diterima

(5)

oleh masyarakat, sebab bertentangan dengan akal sehat, seperti penemuan bahwa bukan matahari yang mengelilingi bumi melainkan sebaliknya.

Intinya pada tahap ini manusia sudah menemukan hal-hal yang bersifat metafisik, yaitu hal-hal yang melekat dan ada pada fisik yang menguasainya. Metafisik itu bukan lagi dewa atau kekuatan supernatural lainnya, melainkan hukum-hukum, aturan-aturan, dan ketentuan- ketentuan yang serba pasti yang ada di balik fenomena alam itu, dan yang menyebabkan alam menampilkan fenomena tertentu. Pada tahap ini peran mitos atau dewa sudah diganti dengan hukum-hukum, aturan, dan ketentuan-ketentuan yang serba pasti itu. Pergerakan alam jagat raya dengan segenap planet-planetnya terjadi karena di alam jagat raya itu ada hukum gravitasi bumi, hukum yang menyebabkan bintang, bulan, matahari, dan benda-benda ruang angkasa dapat beredar pada garis edarnya yang dapat diamati, dikuantifikasi, dihitung, diprediksi, dan ditentukan rumusannya sehingga menghasilkan ilmu astronomi yang berguna untuk menentukan bilangan waktu dalam satu jam, bilangan jam dalam satu hari, bilangan hari dalam satu bulan, dan bilangan bulan dalam satu tahun, dan seterusnya. Demikian pula ketika manusia melihat fenomena alam seperti gempa, banjir, longsor, wabah penyakit, tidak lagi dihubungkan dengan dewa yang marah, melainkan karena adanya hukum-hukum alam yang menguasai alam jagat raya tersebut, serta sebab-sebab yang dapat mendatangkan penyakit misalnya virus, musim yang terlalu panas atau terlalu dingin, sedangkan daya tahan tubuh yang lemah atau karena keletihan, tekanan batin, stres, dan sebagainya. Semua gejala tersebut sudah dapat dirumuskan menjadi pengetahuan, dan pengetahuan tersebut selanjutnya digunakan untuk memahami dan menjelaskan setiap gejala yang tampak. Keadaan inilah yang selanjutnya dapat menjadi pelita, petunjuk, pendamping, dan pengarah manusia dalam menjalani kehidupannya.

Inilah fungsi ilmu pengetahuan. Namun demikian, pada masyarakat metafisis, baru berada pada tahap pra-ilmiah, mereka sudah siap untuk memasuki kehidupan ilmiah, namun belum melakukan kegiatan ilmiah; mereka baru coba-coba saja.

3. Tahap Ilmiah (Positivisme)

Pada masyarakat ilmiah (positivisme) ini bukan saja menolak hal-hal yang bersifat mitologis, kekuatan gaib lainnya, melainkan sudah sepenuhnya mengandalkan hasil usaha pancaindra dan akal manusia berupa ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam bidang teknologi. Pada tahap ini, hal-hal yang berbau mistik, mitologi, atau keyakinan apa pun sudah digeser; "Tuhan sudah tidak diperlukan lagi." Dengan metode observasi dan eksperimennya, masyarakat ilmiah sudah menemukan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diyakini dapat mengatasi, menjawab, dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut suatu pendapat, bahwa metode eksperimen diperkenalkan di dunia Barat oleh filsuf Roger Bacon (1214-1294), dan kemudian dimantapkan sebagai paradigma ilmiah oleh Fransis Bacon (1561-1626). Sebagai penulis yang ulung dan fungsinya sebagai Lord Verulam, maka Francis Bacon berhasil meyakinkan masyarakat ilmuwan untuk menerima metode eksperimen sebagai kegiatan ilmiah. Namun demikian, sesungguhnya yang pertama kali mengembangkan metode eksperimen adalah sarjana-sarjana Muslim pada Abad keemasan Islam, ketika ilmu pengetahuan lainnya mencapai kulminasi antara abad IX dan XII Masehi. Semangat mencari kebenaran yang dimulai oleh pemikir- pemikir Yunani dan hampir padam dengan jatuhnya Kekaisaran Romawi dihidupkan kembali dalam kebudayaan Islam. "Jika orang Yunani adalah bapak metode ilmiah," simpul H.G. Well,

(6)

"maka orang Muslim adalah bapak angkatnya." Dalam perjalanan sejarah, maka lewat orang Muslimlah, dan bukan lewat kebudayaan Latin, dunia modern sekarang ini mendapatkan kekuatan dan cahayanya. Eksperimen ini dimulai ahli-ahli al-kimia yang pada mulanya didorong oleh tujuan untuk mendapatkan "obat ajaib untuk tetap awet muda (elixir vitae) dan

“rumus membuat emas dari logam biasa." Namun secara lambat laun berkembang menjadi paradigma ilmiah. Dengan demikian, singkatnya maka secara wajar dapat disimpulkan bahwa secara konseptual metode eksperimen dikembangkan sarjana Muslim, dan secara sosiologi dimasyarakatkan Francis Bacon.

Dengan adanya penelitian observasi dan eksperimen, maka rahasia alam jagat raya mulai dari benda-benda padat, benda-benda cair, gas, udara, atmosfer, ruang angkasa, tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia sudah dapat diketahui, dikenali, diidentifikasi, dikategorisasi, diberi label, nama, teori, dan seterusnya. Rahasia alam jagat raya itu adalah hukum-hukum, aturan- aturan yang serba pasti, hukum sebab akibat, hukum alam, natural of law yang bekerja secara sistemik di alam jagat raya itu. Hukum-hukum inilah yang menjadi objek kajian melalui metode observasi dan eksperimen dan ditemukan serta disusun menjadi ilmu pengetahuan yang setelah dipadu dengan teknik dan diterapkan menjadi teknologi. Pada saat teknologi canggih dalam berbagai bidang kehidupan, maka mitos, kekuatan gaib, dewa, dedemit, orang sakti mandraguna, bahkan "Tuhan," doa, dan jampi-jampi tidak diperlukan lagi. Inilah zaman positivisme yang melahirkan zaman modern.

Berhasil, sukses, dan bahagiakah manusia modern dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang meninggalkan Tuhan dalam memecahkan berbagai masalah dan meraih kebahagiaan hidup? Jawabnya ternyata tidak. Ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata telah disalahgunakan untuk tujuan-tujuan yang berbahaya seperti penggundulan hutan, peperangan, dan perbuatan jahat lainnya. Demikian pula masalah peredaran narkoba, korupsi, kerusakan moral, berbagai kejahatan lainnya ternyata tidak dapat dipecahkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih. Era modern dengan positivismenya tidak dapat memecahkan semua masalah dalam kehidupan. Di samping ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia yang seutuhnya membutuhkan agama, baik sebagai pedoman hidup maupun sebagai bidang studi yang akan memengaruhi wawasan, pemikiran, tindakan, dan sebagainya. Hasil penelitian di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat menyelesaikan masalah yang bersifat sosial, moral, ekonomi, politik, budaya, dan lainnya secara utuh dan tuntas. Karena hal-hal yang mengarahkan agar berbagai bidang kehidupan tersebut tidak menyimpang, lurus, dan tidak membahayakan manusia, butuh pada nilai-nilai luhur dan moralitas yang bersumber dari ajaran agama.

C. Epistemologi pada Ilmu Agama Islam

Pandangan hidup yang sekuler yang meremehkan agama cenderung menganggap bahwa agama tidak ada hubungannya dengan ilmu pengetahuan; agama hanya mengurus soal spiritual, nilai- nilai transendental, berhubungan dengan urusan akhirat (eskatologis), dan keimanan yang tidak dapat dijangkau oleh pancaindra dan akal pikiran. Agama mengatur hubungan dengan Tuhan, istana mengatur hubungan dengan dunia, dan perguruan tinggi atau lembaga ilmu pengetahuan mengatur hubungan dengan ilmu pengetahuan, dan antara satu dan lainnya tidak boleh saling mencampuri urusan. Perguruan tinggi atau lembaga ilmu pengetahuan agar memberikan

(7)

kebebasan kepada ilmu pengetahuan untuk melakukan kajian melalui penelitian observasi dan eksperimen, menggunakan pancaindra dan akal secara bebas, tanpa dipengaruhi atau dibatasi oleh ajaran atau aturan agama, agar hasil kajian dan penelitiannya itu dapat menghasilkan berbagai temuan yang memuaskan guna kepentingan manusia.

Terhadap agama yang ada di Barat, perlakuan kalangan perguruan tinggi atau lembaga keilmuan terhadap agama sebagaimana dikemukakan di atas mungkin benar, bahkan hal itu telah dilakukannya, sehingga ilmu di Barat dapat berkembang bebas dan telah digunakan apa saja oleh manusia. Namun perlakuan atau pandangan yang demikian terhadap agama Islam tidak sepenuhnya benar, dan tidak sepenuhnya salah dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut.

Pertama, dari sejak kelahirannya, Islam tidak pernah menghalangi, memusuhi, atau membelenggu perkembangan ilmu pengetahuan, malah sebaliknya, dari sejak awal kelahirannya Islam sudah mendorong umat manusia agar melakukan penelitian dan kajian ilmiah. Hal ini misalnya dapat dipahami dari kandungan ayat 1 s.d. 5 surah al-'Alaq (97) yang pertama kali diturunkan, yang di antaranya menyuruh manusia membaca dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu membaca data, fakta, tulisan, simbol, gejala, fenomena, kemudian diidentifikasi, dipahami, dikategorisasi, diklasifikasi, dibandingkan, disimpulkan, dan diverifikasi serta menghasilkan temuan teoretis yang menjadi bahan penyusunan ilmu pengetahuan.

Kedua, bahwa sehubungan dengan poin 1 tersebut, maka dari sejak awal Al-Qur'an ditujukan bukan untuk masyarakat primitif sebagaimana tersebut, melainkan untuk masyarakat yang sudah sampai pada tahap metafisis, yaitu masyarakat yang sudah menggunakan pancaindra dan akal pikirannya untuk memahami hukum-hukum Tuhan yang terdapat di alam jagat raya untuk dipahami rahasia, hikmah, hakikat, manfaat, dan tujuannya bagi kehidupan manusia. Hal ini sejalan dengan kandungan Al-Qur'an yang menyuruh manusia agar menggunakan pancaindra, akal pikiran, dan intuisinya guna memahami berbagai ciptaan Tuhan guna menghasilkan ilmu pengetahuan dalam rangka memahami ayat-ayat Tuhan, mendekatkan diri, mengagungkan, dan bersyukur kepada-Nya (QS. an-Nahl, 16: 78). Hal ini berbeda dengan agama di Barat yang pernah memusuhi ilmu pengetahuan, sehingga antara agama dan ilmu pengetahuan saling bermusuhan dan saling menghalangi dan merendahkan.

Ketiga, bahwa di antara mukjizat yang diberikan Tuhan kepada para nabi-Nya, hanya mukjizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW-lah yang bukan hanya untuk membuktikan kenabian Muhammad SAW, melainkan juga dapat dipraktikan oleh para pengikutnya guna mencapai kemajuan. Mukjizat tersebut adalah Al-Qur'an al-Karim yang dalam sejarah telah mendorong lahirnya kajian dalam bidang ilmu agama dan ilmu umum yang telah melahirkan para ulama dan ilmuwan Islam kaliber dunia yang pengaruhnya dapat dirasakan dalam kemajuan hidup manusia saat ini. Dengan kata lain, kemukjizatan Al-Qur'an terkait erat dengan kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini berbeda dengan mukjizat yang dialami para nabi terdahulu yang sifat dan bentuknya fisik, seperti membelah laut bagi Nabi Musa atau menghidupkan orang yang sudah mati bagi Nabi Isa a.s. Mukjizat tersebut hanya menimbulkan kekaguman, tapi tidak dapat dipraktikan oleh umat manusia.

(8)

Keempat, bahwa ruang lingkup ajaran Islam bukan hanya mengatur urusan hubungan manusia dengan Tuhan, urusan akidah, ibadah, dan akhlak, atau urusan keagamaan, kerohanian dan keakhiratan semata, melainkan juga mengatur hubungan manusia dengan alam jagat raya dan dengan sesama manusia, mengatur urusan keduniaan dan kemasyarakatan seperti sosial, ekonomi, politik, budaya, ilmu pengetahuan, dan sebagainya; dan di antara dua masalah besar (dunia dan akhirat) ini tidak terpisahkan, melainkan saling mengisi dan memengaruhi. Yakni akidah, ibadah, dan akhlak harus mendorong dan mengarahkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, di sisi lain, ilmu pengetahuan dan teknologi harus diarahkan untuk memperkuat akidah, ibadah dan akhlak mulia. Hal ini berbeda dengan ruang lingkup agama di Barat yang hanya membicarakan hubungan manusia dengan Tuhan, atau bicara soal keimanan, ibadah, dan akhlak saja. Oleh sebab itu, jika di dalam Islam terdapat konsep Islam tentang sosial, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, teknologi, dan sebagainya, walaupun dalam garis- garis besarnya atau prinsip-prinsipnya saja, maka di dalam agama lain hal yang demikian tidak akan dijumpai. Oleh sebab itu, jika dalam Islam ada ekonomi Islam, politik Islam, kebudayaan Islam, dan seterusnya, maka dalam agama lain jangan dipaksakan untuk misalnya menemukan ekonomi Majusi, politik Majusi, kedokteran Buddha, dan seterusnya.

Kelima, bahwa sejalan dengan pemikiran tersebut, maka jika Islam sebagai agama yang memperhatikan, mendorong, dan mengembangkan Ilmu pengetahuan, baik secara normatif maupun empiris, maka sudah dapat dipastikan bahwa di dalam Islam juga terdapat hal-hal yang berkaitan dengan epistemologi ilmu pengetahuan. Lebih khusus lagi dapat dikatakan bahwa di dalam kajian rumpun ilmu agama Islam juga berlaku atau terdapat epistemologi Islam. Hal yang demikian terjadi karena sifat dan watak ajaran Islam yang tidak memisahkan urusan dunia dan akhirat; individual dan sosial, spiritual dan material, fisik dan metafisik. Sebagaimana diketahui, bahwa ruang lingkup ilmu agama Islam antara lain tafsir/ilmu tafsir; hadis/ilmu hadis; fikih/ilmu fikih; theologi, filsafat; tasawwuf dan sejarah kebudayaan Islam. Semua ilmu ini sesungguhnya tidak hanya mengandung segi pembahasan tentang kandungan atau isi ajaran yang berasal dari Tuhan, melainkan juga berhubungan dengan keadaan masyarakat, lingkungan, pelaku, keadaan politik, ekonomi, kebudayaan, proses-proses dan lain sebagainya yang memengaruhi berbagai ilmu agama tersebut. Berbagai hal yang sifatnya non-ajaran (bukan kandungan Al-Qur'an dan Hadis) tersebut termasuk wilayah yang kepadanya dapat dilakukan penelitian empiris dan rasional, dengan menggunakan observasi dan eksperimen, sebagaimana yang dijumpai pada penelitian ilmu-ilmu umum. Dengan kata lain, bahwa metode observasi, eksperimen dengan langkah-langkahnya bukan hanya milik ilmu umum, melainkan juga milik ilmu agama. Bedanya dengan penelitian observasi dan eksperimen dengan yang digunakan pada ilmu umum dengan ilmu agama adalah bahwa dalam penelitian empiris berupa observasi dan eksperimen, atau penelitian sejarah berupa wawancara, angket, studi dokumen, dan sebagainya adalah bahwa jika pada ilmu umum, semua proses penelitian tersebut tanpa melihat aspek moral, kredibilitas akhlak, perilaku, dan kepribadian dari orang yang melakukan atau yang terlibat dalam proses kajian dan penelitian tersebut, maka dalam Islam, bahwa dalam melakukan penelitian ilmiah berupa penelitian observasi, eksperimen atau penelitian sejarah tersebut harus melibatkan moralitas dari orang yang melakukannya.

Sifat dan karakter epistemologi ilmu agama Islam, secara sepintas dapat dikemukakan atau ditunjukkan pada beberapa bidang ilmu agama Islam sebagai berikut.

(9)

1. Epistemologi Tafsir/Ilmu Tafsir

Tafsir atau ilmu tafsir ini isinya adalah hasil kajian atau pembahasan atau kajian secara mendalam dan saksama para ulama terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang jumlahnya 6666 ayat ke dalam bentuk penjelasan atau uraian yang bertujuan membantu umat Islam agar dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan kandungan Al-Qur'an. Penafsiran ini buat pertama kali ditugaskan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya: "Dan Kami turunkan kepada-mu (Muhammad) al-Dzikr (Al-Qur'an) agar engkau jelaskan kepada umat manusia apa yang Kami turunkan kepada mereka" (QS. an-Nahl [16]: 44).

Mandat yang diberikan Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW untuk menjelaskan kandungan Al-Qur'an dimandatkan lagi oleh Nabi Muhammad SAW kepada para ulama. Nabi mengatakan, bahwa para ulama itu adalah pewaris para nabi. Para ulama itu selanjutnya melaksanakan mandat tersebut, mereka bekerja keras melakukan kajian dan penelitian terhadap ayat-ayat Al-Qur'an dan telah melahirkan berbagai kitab tafsir yang mencapai puluhan judul, bahkan mungkin ratusan. Dalam melahirkan hasil kajian tafsir tersebut, para ulama mufasir selain menentukan langkah-langkah yang harus ditempuh juga menentukan syarat-syarat keilmuan yang harus dipenuhi oleh para mufasir dalam melakukan langkah-langkah tersebut.

Dalam setiap langkah tersebut terkait erat dengan kegiatan observasi, dan penelitian sejarah.

Adapun eksperimennya tidak dilakukan, karena sifat dan karakter ilmu ini berbeda dengan ilmu eksakta atau ilmu alam sebagaimana yang dikemukakan pada bagian lain.

Langkah-langkah penafsiran tersebut antara lain ada yang disebut tahlili dan maudhui. Pada langkah atau metode tahlili yang dilakukan adalah: mengikuti urutan atau susunan ayat Al- Qur'an mulai dari surat al-Faatihah hingga surat an-Naas yang dalam hal ini diyakini bahwa susunan surat tersebut bersifat tauqifi, yakni ketetapan dari Nabi Muhammad SAW yang sudah divalidasi oleh Jibril; mempelajari hubungan ayat dengan ayat lain yang dalam hal ini terkait dengan studi sejarah turunnya ayat; hubungan keserasian ayat dengan ayat yang dalam hal ini terkait dengan kandungan ayat Al-Qur'an dengan ayat lainnya; atau antara surat dengan surah lainnya; mempelajari makna atau kosakata atau prasara ayat-ayat Al-Qur'an, yang dalam hal ini terkait dengan kemampuan memahami karakter ayat atau lafaz Al-Qur'an yang sifatnya sangat beragam, yakni ada yang berbentuk awamir (perintah), nawahi (larangan), aam wa khas (umum dan khusus), muthlaq dan muqayyad (mutlak dan terbatas), mafahim (yang berbeda lafaz dan paham)-nya, mujmal (global) dan mubayyan (terang benderang), nasikh (yang menyalin-menghapus), dan mansukh (yang disaling-dihapus). Kajian terhadap sifat-sifat dan karakter redaksi ayat-ayat tersebut membutuhkan bantuan ilmu bahasa Arab yang tersendiri.

Langkah berikutnya mempelajari susunan redaksi ayat-ayat tersebut yang membutuhkan ilmu nahu dan sharaf.

Langkah selanjutnya mengkaji kandungan hukum yang terdapat pada ayat tersebut yang membutuhkan ilmu ushul fiqh dan kaidah fikih. Tahap selanjutnya mencari hubungan ayat dengan Hadis dan ayat dengan ilmu-ilmu bantu yang relevan, dan tahap selanjutnya menarik kesimpulan. Langkah-langkah dalam penafsiran Al-Qur'an ini ternyata terkait dengan analisis kesejarahan, analisis kebahasaan, analisis konten, dan analisis hukum, yang secara keseluruhan menggambarkan sifat integrated dari tafsir dan ilmu tafsir. Langkah ini masih ditambah lagi

(10)

dengan sifat dan karakter seorang mufasir yang selain harus memiliki persyaratan akademik keilmuan, juga persyaratan kepribadian yang menjamin kesahihan, atau kemungkinan penyalahgunaan atau penyimpangan dalam penafsiran Al-Qur'an. Imam Abu Hatim bin Hibban (w. 354 H) misalnya telah memberikan daftar hitam 19 orang yang tidak layak diterima pernyataannya. Berikut ini perinciannya: (1) orang-orang zindiq, yaitu orang-orang yang zahirnya Muslim namun sebenarnya kafir; (2) orang yang sengaja dan berani berdusta atas Rasulullah dengan alasan amar makruf nahi mungkar; (3) orang yang terang-terangan berdusta karena menganggap dusta itu boleh-boleh saja; (4) orang yang berdusta karena dan untuk kepentingan duniawi (istihlalalan); (5) orang lanjut usia yang sudah kacau pikirannya (al- mukhtalitan); (6) orang yang sok tahu dan menjawab apa saja yang ditanyakan kepadanya; (8) orang yang mengajar dan buku karangan seseorang yang tak pernah berguru langsung padanya;

(9) orang yang memutarbalikkan dan menyamaratakan otoritas semua narasumber; (10) orang yang mengajarkan sesuatu yang tidak pernah diajarkan oleh gurunya; (11) orang yang mengajarkan apa yang didapatnya dari buku semata-mata; (12) orang jujur namun sering keliru dan salah besar; (13) orang yang namanya sering dimanfaatkan oleh anaknya atau juru tulisnya;

(14) orang yang tidak tahu kalau karya tulisnya telah atau sering dimanipulasi; (15) orang yang pernah keliru tanpa disengaja, kemudian menyadari kekeliruan tersebut, akan tetapi membiarkannya tanpa koreksi; (16) orang fasik yang sering mengabaikan perintah agama dan banyak melanggar aturan agama secara terang-terangan; (17) orang yang tidak menyebutkan sumber asal karena tidak pernah ditemuinya; (18) orang yang mempropagandakan ajaran sesat;

(19) orang yang berdusta untuk menarik perhatian orang banyak dengan cerita, nasihat atau ceramah.

Selanjutnya dalam metode penafsiran maudlui (tematik), langkah-langkahnya antara lain: (1) menentukan tema atau topik yang akan dibahas sesuai dengan pertanyaan yang diajukan atau yang menarik dan perlu dibahas; (2) menghimpun ayat-ayat yang memiliki kesamaan tema dengan bantuan kamus Al-Qur'an, seperti Mu'jam al-Mufahras li Alfadz Al-Qur'an karangan Muhammad Fu'ad Abd al-Baqi, Fathurrahman, atau lainnya; (3) mencari hubungan ayat dengan bantuan ilmu asbab al-nuzul dan ilmu keserasian isi kandungan ayat; (4) mencari Hadis-hadis yang relevan dengan tema; (5) mencari ilmu bantu yang relevan untuk analisis; dan (6) menarik kesimpulan.

Dalam setiap langkah penafsiran, tampak selain memerlukan kajian kesejarahan juga kajian normatif. Namun demikian, harus diakui bahwa perhatian, penelitian, dan kajian para ahli terhadap tafsir dan ilmu tafsir dari perspektif metodologi ilmiah tampaknya belum ada yang melakukannya. Padahal, bahan untuk kajian ini sangat terbuka luas. Dalam hubungan ini, Hamid Fahmi misalnya menunjukkan sejumlah istilah, sebanyak 43 buah yang diderivasi dari kosakata Al-Qur'an dan Hadis Nabi yang berkaitan dengan kajian ilmiah. Istilah tersebut antara lain: ilmu, fiqh, ushul, ijtihad, ijma', qiyas, ‘aql, idrak, wahm, tadabbur, tafakkur, hikmah, yaqin, wahy, tafsir, taʼwil, ‘alam, kalam, nutq, zann, haqq, bathil, haqiqah, 'adam, wujud, sabab, khalq, khulq, dahr, sarmad, zaman, 'azal, abad, fitrah, kasb, ikhtiyar, syarr, halal, haram, wajib, mukmin, idarah, dan lain sebagainya yang menunjukkan adanya kerangka konsep keilmuan.

Namun demikian, kapan suatu ilmu Islam memiliki metode ilmiah tersendiri, tampaknya berproses, sebagaimana hal ini juga terjadi pada ilmu-ilmu umum. Dalam hubungan ini, Hamid dengan mengutip Alpp Arsalan mengemukakan bahwa kelahiran disiplin ilmu-ilmu Islam

(11)

tersebut melalui tiga tahap: (1) tahap problematik (problematic stage), yaitu tahap di mana berbagai problem subjek kajian dipelajari secara acak dan berserakan tanpa pembatasan pada bidang-bidang kajian tertentu; (2) tahap disipliner (disciplinary stage) yaitu tahap di mana masyarakat yang telah memiliki tradisi ilmiah bersepakat untuk membicarakan materi dan metode pembahasan sesuai dengan bidang masing-masing; (3) tahap penamaan (naming stage ), pada tahap ini bidang yang telah memiliki materi dan metode khusus itu kemudian diberi nama tertentu.

2. Epistemologi Hadis/Ilmu Hadis

Hadis atau ilmu Hadis termasuk ilmu yang tertua setelah Al-Qur'an, karena keduanya selalu datang berdampingan. Hadis atau ilmu Hadis diperlukan dalam rangka memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Al-Qur'an dan Hadis, sebagaimana yang diperintahkan di dalam Al-Qur'an: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan pemimpinan di antara kamu sekalian." (QS. an-Nisaa' [4]: 59). Sebagaimana halnya terhadap Al-Qur'an, terhadap Hadis pun diperlukan persyaratan intelektual, moral, dan kepribadian dalam memahaminya.

Hadis lahir pada masa Rasulullah SAW dan disaksikan oleh para sahabatnya, dalam suasana kehidupan masyarakat Mekkah dan Madinah yang memiliki latar belakang agama, etnis, budaya, situasi ekonomi, politik, pertanahan, keamanan, sosial, tradisi, dan lainnya yang beragam. Demikian pula tingkat kedekatan, kecerdasan, kecenderungan, kapasitas keagamaan, dan lainnya dari kalangan para sahabat yang beragam. Setelah itu, para sahabat juga berpindah tempat sesuai dengan perluasan Islam. Situasi politik dalam kaitannya dengan perebutan kekuasaan, pengaruh, dan lainnya menyebabkan para sahabat melakukan pabrikasi Hadis.

Demikian pula keadaan pribadi Rasulullah SAW, kecerdasan, kesungguhan, akhlaknya, serta hubungannya dengan keluarganya merupakan bagian yang tidak dapat diabaikan dalam memahami Hadis.

Dalam situasi yang demikian itu, maka para ulama dan peneliti Hadis memandang bahwa untuk dapat memahami Hadis juga diperlukan berbagai syarat, baik yang bersifat akademik, ilmiah dan intelektualitas, maupun yang bersifat kepribadian dan akhlak mulia. Dalam kaitan inilah, maka muncullah Hadis dan ilmu Hadis yang di dalamnya terdapat metodologinya yang memiliki sifat-sifat empiris dan rasional, yakni selain mempelajari konten Hadisnya juga mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan observasi, pengamatan, dan studi lapangan melalui wawancara dengan sejumlah para sahabat, tabi'in, dan tabi'it tabi'in yang menjadi perantara (sanad) Hadis dari Rasulullah hingga ke para perawi; serta melakukan analisis yang bersifat rasional terhadap kandungan Hadis tersebut. Dalam kaitan ini, Imam Bukhari misalnya menetapkan metodologi kajian Hadis yang bertumpu pada enam kriteria. Yaitu:

(1) Adanya perawi yang adil. Yaitu perawi yang karakter, perilaku, akhlak, dan kepribadiannya mulia, seperti taat menjalankan agama, selalu berkata benar, amanah, ikhlas, tawaduk, berbuat baik kepada sesama, dan suka menolong.

(2) Adanya perawi yang sempurna ingatannya. Yakni perawi yang dapat menghafal Hadis secara fasih dan tidak ada yang cacat. Untuk mengetahui hal ini, seorang peneliti Hadis seperti Imam Bukhari harus menemui, menelusuri, dan mewawancarai para narator dan perawi Hadis

(12)

tersebut satu per satu, kemudian menilai hasilnya, apakah termasuk kategori perawi yang kuat hafalannya atau pelupa. Hal ini harus dilakukan melalui studi tentang sejarah para tokoh serta menjumpainya langsung, mewawancarainya, dan menilai sikapnya; dan kemudian menuliskannya. Perawi yang adil terkait dengan sikap keagamaannya yang lurus atau sikap religiusitasnya, dan bukan adil dalam pengertian hukum, yaitu memberikan sanksi atau upah sesuai tingkat kesalahan atau kebaikannya, tetapi adil dalam arti yang kukuh dan teguh agamanya; sedangkan yang sempurna ingatannya terkait dengan kemampuan dan daya intelektualitasnya yang tinggi, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Imam Bukhari.

(3) Adanya sanad (rangkaian narasi) Hadis yang bersambung baik dari segi waktunya (mu'asharah), maupun dari segi fisik (liqa'). Untuk mengetahui keadaan tersebut diperlukan adanya penelitian empiris, observasi, dan wawancara lapangan, sebagaimana hal ini dilakukan oleh Imam Bukhari selama enam belas tahun dan enam belas negara yang ia kunjungi.

(4) Adanya matan (isi Hadis) yang tidak cacat, seperti matan tersebut tidak ada yang hilang, tidak ada yang tertukar, cacat, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan pada perlunya melakukan studi filologi dan studi dokumentasi.

(5) Adanya matan (isi Hadis) yang tidak bertentangan dengan kandungan Al-Qur'an dan Hadis mutawatir. Hal ini menunjukkan perlunya melakukan studi terhadap kandungan Al-Qur'an dari segi visi, misi, dan ajaran dasar Al-Qur'an, terutama dalam bidang akidah, ibadah, dan akhlak mulia; misalnya Hadis yang menyatakan bahwa anak hasil hubungan di luar nikah sebagai anak haram, jelas tidak sejalan dengan ajaran Al-Qur'an yang mengatakan bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan bersih, tidak berdosa;

(6) Adanya matan (isi Hadis) yang tidak bertentangan dengan hasil kajian ilmiah dan akal sehat.

Untuk itu diperlukan adanya kajian terhadap kandungan Hadis dari segi ilmu yang relevan.

Misalnya ketika ada Hadis yang mengatakan bahwa buah kurma adalah obat setiap penyakit, maka kebenaran Hadis ini memerlukan hasil penelitian tentang buah kurma. Dengan demikian, karakter Hadis dan ilmu Hadis sangat erat kaitannya dengan metode penelitian ilmiah, karena penelitian Hadis memerlukan penelitian sejarah, penelitian dokumentasi, penelitian tentang kepribadian, dan kajian terhadap konten Hadis itu sendiri. Dengan demikian, tampak jelas bahwa di dalam Hadis dan ilmu Hadis keberadaan epistemologi sudah terbentuk dan kukuh.

Seorang peneliti Hadis mirip dengan peneliti sejarah, dan karena orang yang ahli Hadis biasanya juga ahli sejarah, sebagaimana yang dijumpai Ibn Katsir yang menulis kitab Tafsir dengan pendekatan Hadis, sirah, dan sejarah. Ciri-ciri metodologi ilmiah seperti observasi, studi dokumentasi, dan studi sejarah di samping studi konten analisis sudah sangat tampak digunakan dalam kajian Hadis dan ilmu Hadis. Namun, kalangan para peneliti umum belum begitu memahami kerja keras para peneliti Hadis. Mereka mengira bahwa studi Hadis hanya menghafal Hadis, padahal studi Hadis erat kaitannya dengan penelitian sejarah dan konten Hadis dengan sangat detail, jelimet, butuh ketelitian, keuletan, ketekunan, dan kesabaran yang tinggi. Imam Bukhari misalnya, tercatat sebagai peneliti Hadis yang luar biasa. Penelitian Hadis yang ia lakukan membutuhkan waktu sekitar 16 tahun, mengunjungi 16 negara, berarti setiap satu negara satu tahun dan melakukan kegiatan penelitian Hadis sebagaimana disebutkan di atas. Tidak hanya itu, penelitian Hadis yang ia lakukan juga dengan menggunakan

(13)

pendekatan intuitif, yakni setelah secara scientific method dinyatakan sahih, ia masih melakukan shalat istikharah untuk meminta petunjuk dari Tuhan tentang Hadis yang diriwayatkannya itu. Dengan demikian, dalam penelitian Hadis ini terjadi perpaduan antara pendekatan observasi (burhani), bayani, ijtihadi, dan 'irfani.

3. Epistemologi Fikih, Ushul Fiqh dan Kaidah Fiqhiyah

Fikih selama ini dipahami sebagai ilmu yang mempelajari tentang hukum syariah yang diambil berdasarkan dalil-dalil yang terperinci. Adapun Ushul Fiqh adalah langkah-langkah yang ditempuh dalam menetapkan hukum, dan kaidah fiqhiyah adalah pedoman teknis yang lebih khusus guna memecahkan masalah yang spesifik. Dari batasan ini, tampak fikih terkait erat dengan kegiatan ilmiah, atau kegiatan intelektual, karena terkait dengan penalaran, atau penggunaan akal pikiran atau intelektualitas sebagai salah satu ciri kegiatan ilmiah. Namun demikian, fikih bukanlah penalaran liberal atau sepenuhnya mengikuti pendapat akal, melainkan pendapat akal yang dimbimbing, dijiwai, diarahkan, dan dibimbing oleh Al-Qur'an dan Hadis. Dibandingkan dengan tafsir/ilmu tafsir, Hadis/ilmu Hadis, fikih, Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqhiyah termasuk bidang ilmu agama yang memiliki epistemologi ilmu yang lebih maju dan canggih. Konstruk Epistemologi Islam: Telaah Bidang Fikih dan Ushul Fiqh yang dilakukan Nirwan Syarif misalnya menunjukkan, dan Prinsip-prinsip Dasar Epistemologi Islam yang dilakukan Syamsuddin Arif menunjukkan bahwa di dalam Fikih dan Ushul Fiqh sudah terdapat epistemologi ilmu. Terkait dengan Fikih dan Ushul Fiqh, Syamsuddin Arif mengatakan bahwa sebagai suatu ilmu yang diderivasi dari Al-Qur'an dan Sunnah, fikih memerlukan kerangka teoretik atau metodologi berpikir yang disebut Ushul Fiqh, yaitu pengetahuan tentang dalil-dalil fikih secara umum, cara mempergunakannya, serta pengetahuan tentang orang yang menggunakan dalil-dalil tersebut. Ia begitu penting dalam menderivasi hukum. Fungsi dan perannya mirip logika dalam filsafat. Jika logika dapat menghindarkan seseorang melakukan kesalahan (fallacy) dalam berargumentasi, maka ushul fiqih mencegah seorang faqih berbuat kesalahan dalam menderivasi hukum. Ushul Fiqh adalah disiplin ilmu yang memiliki prinsip-prinsip epistemologi, bukan sekadar metodologi penderivasian hukum. Masalah qath'i dan zhanni, syakk dan wahm, mutawir dan ahad, misalnya merupakan beberapa contoh yang sangat kental muatan epistemologinya, sebab di situ menyangkut persoalan sumber ilmu, validitas ilmu, dan tingkat kebenaran ilmu.

Selanjutnya, beberapa metode dalam penetapan hukum dalam ushul fiqh yang berbasis logika seperti ijma', qiyas, istihsan, al-'urf, istishab, syar'un man qablana, dan mazhab shahabi, jika dianalisis secara mendalam terkait pula dengan metodologi ilmiah. Di dalam qiyas, misalnya peranan logika atau akal sehat dalam mencari penyebab atau illat untuk menetapkan suatu kasus yang belum ada ketetapan hukumnya dengan sesuatu yang sudah ada ketetapan hukumnya di dalam Al-Qur'an sangat tampak kuat. Selanjutnya, dalam menggunakan istihsan, peranan logika dan analisis yang bersifat sosiologi sangat dipentingkan, sehingga diperoleh informasi yang lengkap tentang keadaan yang terjadi di masyarakat. Hal ini membutuhkan penelitian empiris dan sosiologis. Sementara itu, penggunaan uruf, istishab, syar'un man qablana dan mazhab shahabi membutuhkan kajian yang bersifat historis, sosiologis bahkan antropologis. Dengan demikian, muatan epistemologi ilmu dalam fikih, ushul fiqh dan kaidah fiqhiyah tampak cukup kuat. Demikian pula tujuan dari syariat Islam yang meliputi pemeliharaan agama, akal, jiwa, keturunan, dan harta benda terkait erat dengan masalah-

(14)

masalah sosial. Tujuan syariat tersebut terkait dengan hak-hak asasi manusia dan untuk menjamin keberlangsungannya butuh bantuan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang sangat luas. Dengan demikian, karakter epistemologi atau penelitian dalam fikih ini, selain menggunakan metode bayani (ekspplanasi), ijtihadi (rational exercise), ‘irfani (intuisi), burhani (demonstratif), bahkan ijbari (eksperimen). Semua metode ini merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan antara satu dan lainnya.

D. Epistemologi pada Ilmu Umum

Secara garis besar rumpun ilmu umum ada tiga. Pertama, ilmu alam (natural sciences), seperti fisika, kimia, biologi, dan penerapannya seperti astronomi, kedokteran, dan farmakologi.

Kedua, ilmu sosial (social sciences), seperti sosiologi, antropologi dan sejarah, serta penerapannya seperti ekonomi, pendidikan, manajemen, dan politik. Ketiga, filsafat yang mencakup kosmologi, psikologi, metafisika, dan etika. Dari segi metodologinya, ilmu alam (natural sciences) dan ilmu sosial (social sciences) bersifat empiris dan positivistik, yakni dengan menggunakan pancaindra, dan akal pikiran. Adapun filsafat bersifat spekulatif dan positivistik, yakni dengan melakukan perenungan, berpikir spekulatif, dialektif, reflektif, analisis, sistematik, komprehensif, sintesis, radikal, dan universal.

E. Epistemologi pada Ilmu Laduni

Ilmu laduni sebagaimana disebutkan pada uraian di atas adalah ilmu yang diberikan langsung oleh Allah kepada manusia yang dikehendaki-Nya. Oleh karena itu, ilmu ini disebut pula ilmu hudluri, serta berbagai nama lainnya seperti al-makrifah, al faidl, al-Isyraqiyah, dan al- Mauhubah. Sebagian besar ulama Islam menerima dan menggunakan ilmu ini. Adapun sebagian besar ilmuwan Barat menolak atau tidak menggunakannya. Di antara alasannya, penolakan ilmuwan Barat terhadap ilmu laduni ini karena ilmu ini tidak disertai usaha, hanya menunggu, tidak empiris, dan sulit diverifikasi. Adapun bagi ulama yang menerimanya, bahwa ilmu ini juga memiliki metode atau epistemologinya sendiri, yang disebut dengan nama taziyah al-nafs, yakni pem-bersihan diri melalui serangkaian kegiatan spiritual, seperti al-taubah, al- zuhud, al-ikhlas, al-qana'ah, al-taqwa, al-taqarrub, dan al-mahabah. Upaya-upaya ini, disebut pula dengan nama al-isti'dadiyah, yakni menyiapkan diri atau membuat diri dalam keadaan siap untuk menerima limpahan ilmu dari Tuhan.

E. Penutup

Berdasarkan uraian dan analisis sebagaimana tersebut, dapat dikemukakan kesimpulan sebagai penutup sebagai berikut. Pertama, bahwa epistemologi dalam arti yang sempit adalah cara atau metode suatu ilmu dikonstruksi atau dibangun. Adapun dalam arti yang luas, epistemologi dalam arti yang luas berbagai hal yang terkait dengan proses suatu ilmu disusun, baik dari segi sumber atau bahannya, maupun langkah-langkah yang harus ditempuhnya. Epistemologi berhubungan dengan proses bagaimana suatu ilmu dibentuk. Dengan epistemologi, seorang mahasiswa atau peserta didik bukan hanya mengetahui produk suatu ilmu, melainkan proses bagaimana ilmu tersebut dibentuk. Dengan mengetahui proses ini, maka seorang mahasiswa atau peserta didik tidak akan menjadi orang yang verbalistik atau orang yang hanya menjadi konsumen ilmu, melainkan menjadi seorang produser, atau tidak hanya menjadi muttabi' tetapi menjadi mujtahid. Dewasa ini epistemologi digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam

(15)

kajian ilmiah, dengan tujuan seorang peserta didik dapat memahami tentang sesuatu, atau memiliki ilmu tentang sesuatu yang dibangun atau dikonstruksi oleh dirinya sendiri. Untuk model pembelajaran konstruktivis melalui discovery learning dan inquiry menjadi salah satu metode yang diandalkan.

Kedua, Islam mengenal lima metode penelitian (riset) ilmu pengetahuan, yaitu metode riset bayani (explanation) atau riset ijtihadi (rational exercise) untuk ilmu agama; riset ijbari (eksperimen), riset burhani (demonstratif dan observasi) untuk ilmu alam dan ilmu sosial, riset jadali (berpikir dialektik, analisis, deduktif, reflektif, dan spekulatif) untuk ilmu filsafat, serta riset ‘irfani (menggunakan hati nurani) untuk ilmu ma'rifat dan semacamnya. Kelima riset ini satu dan lainnya saling berkaitan, karena potensi yang dimiliki manusia berupa pancaindra, akal, dan intuisi yang digunakan untuk melakukan riset tersebut adalah milik Tuhan. Adapun pada masyarakat Barat hanya dikenal tiga macam riset, yaitu riset ijbari, burhani, dan jadali.

Sementara riset bayani dan riset irfani yang berbasis pada wahyu dan intuisi tidak mereka akui, karena mereka menolak campur tangan Tuhan dalam pengembangan ilmu dan menganggap wahyu bukan bagian dari sumber ilmu. Metode riset bayani (explanation), ijtihadi (rational exercise), dan 'irfani pada umumnya digunakan untuk meneliti ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadis yang menghasilkan rumpun ilmu agama, seperti tafsir/ilmu tafsir, Hadis/ilmu Hadis, fikih, ilmu fikih, ilmu kalam, dan akhlak. Namun, metode penelitian bayani dan ijtihadi yang dikembangkan dalam tafsir/ilmu tafsir, Hadis/ilmu Hadis, fikih, dan ilmu fikih jauh lebih lengkap dan jelas dibandingkan dengan metode yang terdapat dalam ilmu kalam dan akhlak.

Selanjutnya, riset ijbari, burhani, dan jadali banyak digunakan oleh para ilmuwan Muslim dalam bidang kimia, fisika, biologi, astronomi, farmakologi, kedokteran, dan psikologi. Riset jadali digunakan dalam filsafat, sedangkan riset 'irfani digunakan dalam ilmu tasawuf.

Dilihat dari segi objek forma atau bentuknya, berbagai metode riset tersebut berbeda, namun jika dilihat dari segi objek materinya, yaitu berbagai hal yang diteliti berupa ayat-ayat Al- Qur'an, alam jagat raya, fenomena sosial, akal, dan intuisi adalah ciptaan Tuhan. Alat yang digunakan untuk melakukan penelitian tersebut berupa pancaindra, akal, dan intuisi adalah milik Allah SWT. Demikian pula, temuan yang dihasilkan melalui penelitian pada hakikatnya adalah penemuan hukum-hukum Tuhan yang terdapat di dalam Al-Qur'an, di alam jagat raya, di dalam masyarakat, di dalam diri manusia, dan di dalam hati manusia. Dengan adanya integrasi epistemologi ini, maka dengan sendirinya ilmu-ilmu yang dihasilkannya juga dapat berintegrasi. Integrasi ilmu tersebut misalnya dapat dijumpai pada sosok Ibn Sina (abad ke-11).

Selain menguasai metode bayani/ijtihadi yang menyebabkan ia menjadi seorang ahli Al- Qur'an, ia juga menguasai metode ijbari dan burhani yang menghasilkan ilmu kedokteran, riset jadali yang menjadikannya seorang ahli filsafat dan ilmu jiwa, serta menguasai riset 'irfani yang menjadikannya seorang ahli tasawuf (sufi).

Pengembangan ilmu pengetahuan di Barat banyak mengandalkan atau hanya mengakui ilmu pengetahuan yang dihasilkan melalui metode empiris dan positivistik yang bertumpu pada metode observasi, eksperimen, dan rasional dengan objek kajiannya hanya fenomena alam, fenomena sosial, dan filsafat. Objek-objek kajian ini dipahami secara alami dan natural, dalam arti hanya memahami yang tampak (fenomena), tunduk pada hukum sebab akibat (kausalitas), tanpa memahami adanya Tuhan sebagai pencipta alam dan hukum-hukum yang ada di

(16)

dalamnya. Dengan demikian, ilmu pengetahuan yang dihasilkan bercorak sekuler. Sementara itu, pengembangan ilmu pengetahuan pada umat Islam di zaman klasik meliputi kelima macam metode tersebut, dan menghasilkan lima rumpun ilmu, yaitu ilmu agama, ilmu alam, ilmu sosial, filsafat/humaniora, dan ilmu laduni. Adapun pengembangan ilmu pengetahuan pada umat Islam saat ini, pada umumnya hanya mengandalkan metode bayani/ijtihadi dan intuisi.

Metode ijbari, burhani, dan jadali kurang banyak digunakan, kecuali oleh para sarjana Muslim yang mengambil studi pada berbagai perguruan tinggi di Barat yang menggunakan metode penelitian ijbari, burhani, dan jadali dengan observasi, eksperimen, dan dialektika, sebagaimana tampak dalam kajian deskriptif kualitatif dengan pendekatan sosiologis, historis, antropologis, dan fenomenologis. Di masa yang akan datang, idealnya, Barat melengkapi metode empiris positivistik, melalui observasi, eksperimen, dan filosofisnya dengan metode bayani/ijtihadi dan irfani. Adapun umat Islam melengkapi metode perenialis normatifnya berupa metode bayani/ijtihadi dan irfani dengan metode observasi, eksperimen, dan filosofis.

Dengan cara demikian, akan terjadi integrasi epistemologis yang menimbulkan integrasi ilmu pengetahuan.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk itu, artikel ini berupaya mengkaji gagasan tentang epistemologi Psikologi Islam yang dibentuk berdasarkan pandangan wahyu tentang kemungkinan manusia memiliki

Jika dilihat dari perspektif Islam , maka keempat paradigma yang dibahas telah diakomodir dalam konsep epistemologi Islam, bahkan pandangan Islam tentang ilmu

Namun karena epistemologi sudah menjadi kata yang akrab dalam bahasa Indonesia maka epistemologi ilmu pengetahuan sama halnya dengan pengertian epistemologi yaitu suatu cabang

Jadi dapat diartikan secara epistemologi ada dua tahap cara mendapatkan pengetahuan, yaitu secara teoritis, dengan mempergunakan semua pengetahuan ilmiah (ilmu)

Namun karena epistemologi sudah menjadi kata yang akrab dalam bahasa Indonesia maka epistemologi ilmu pengetahuan sama halnya dengan pengertian epistemologi yaitu suatu cabang

Namun, akan lebih baik jika metode epistemologi Islam ditambahkan satu yaitu metode tafsir yang berkaitan dengan teks-teks firman Allah Swt (wahyu)..

Epistemologi pendidikan Islam lebih diarahkan pada metode atau pendekatan yang dapat dipakai membangun ilmu pendidikan Islam, dari pada komponen-komponen lainnya, karena

Secara istilah, epistemologi adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang sumber pengetahuan, metode, struktur, dan benar tidaknya suatu pengetahuan tersebut.13 Epistemologi diartikan