• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM

N/A
N/A
an-Dika Collection

Academic year: 2023

Membagikan "MAKALAH EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam Dosen Pengampu : Dr. M. Sugeng Sholehuddin, M.Ag.

Disusun oleh:

MOH. NAWAWI ( 50222041 )

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KH. BDURRAHMAN WAHID PROGRAM PASCA SARJANA

MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PEKALONGAN

2023

(2)

KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat, bimbingan dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang dengan judul “Epistemologi Filsafat Pendidikan Islam”. Shalawat dan salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Rasulullah yang memberi cahaya petunjuk bagi seluruh alam.

Makalah epistemologi filsafat pendidikan Islam merupakan kajian dalama dunia filsafat yang berkaitan dengan filsafat. Epistemologi, sebagai salah satu cabang penting dalam dunia filsafat, berkaitan erat dengan sumber-sumber, alat-alat, dan batasan-batasan pengetahuan manusia. Dalam konteks pendidikan Islam, peran epistemologi sangatlah signifikan sebagai fondasi pemikiran dan metode pembelajaran. Tulisan ini bertujuan untuk mengangkat beberapa aspek sentral dalam epistemologi dalam kerangka filsafat pendidikan Islam. Diskusi dimulai dari pengenalan konsep dasar epistemologi Islam, eksplorasi pemahaman terhadap sumber-sumber ilmu, analisis hubungan antara iman dan akal dalam pencapaian pemahaman, serta pemaparan implikasi praktis dari pandangan epistemologis ini dalam konteks pembelajaran.

Di akhir tulisan ini, harapanku adalah agar makalah ini dapat memberikan sumbangan berharga bagi kemajuan dunia filsafat pendidikan Islam, serta berfungsi sebagai sumber rujukan bagi para pembaca yang tertarik pada bidang ini. Semoga Allah SWT memberkahi segala upaya kita dalam mengejar dan menyebarkan ilmu demi kebaikan umat manusia

.

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 1

C. Tujuan Penulisan ... 2

BAB II PEMBAHASAN ... 3

A. Pengertian Epistemologi ... 3

B. Perkembangan Epistemologi dalam Pendidikan Islam... 4

C. Epistomologi dalam pendidikan Islam ... 12

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN ... 11

A. Kesimpulan ... 17

B. Saran... 18

DAFTAR PUSTAKA ... 19

(4)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pendidikan memegang peranan penting dalam suatu negara, karena keberhasilan dan kemajuan suatu negara tercermin dari tingkat pendidikan warga negaranya. Salah satu bentuk pendidikan yang bekerja secara inovatif dan kreatif bagi para pengikutnya adalah pendidikan Islam. Pendidikan Islam bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah untuk membentuk pribadi yang sempurna, yaitu pribadi yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.1

Berbagai konsep yang tepat diperlukan dalam penyelenggaraan pendidikan Islam agar dapat menjadi kegiatan pendidikannya kepada tujuan yang dapat dicapai. Betapapun bagus dan sempurnanya konsep pendidikan, tidak akan ada artinya jika tidak didukung oleh konsep-konsep lain. Jadi harus ada kesinambungan di antara keduanya.

Ketidaktepatan penerapan praktis konsep-konsep tersebut menjadikan proses belajar mengajar menjadi sulit, oleh karena itu seluruh konsep filsafat pendidikan Islam merupakan prasyarat bagi efektifitas kegiatan pendidikan Islam.2

Tujuan Utama filsafat adalah menjelajahi kebenaran yang mendasar. Saat kebenaran ini disusun secara sistematus, ia akan membentuk landasan dari filsafat yang terstruktur sistematik umumnya terbagi menjadi tiga cabag utama: teori alam, teori nilai dan teori pengetahuan. Eksistensi ilmu pengetahuan sebagai hasil dari pemikiran menjadi pilar peradaban tempat manusia menmukan jati dirinya memahami esksistensinya, dan mengurangi kehidupan dengan lebih utuh. Timbulnya pertanyaan dalam diri manusia mendorongnya untuk berfikir merenung dan kemudian mencaru jawaban atas segala hal yang ada. Proses ini mengubah manusia menjadi makgluk yang mampu menemukan dan meraih pencerahan akan kebenaran dalam perjalananya.3

Dari latar belakang di atas, penulis ingin mencoba membahas dan mengurai lebih lanjut dengan tema “EPISTEMOLOGI DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM”.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apakah yang dimaksud dengan epistemologi?

2. Bagaimanakah perkembangan epistemologi dalam pendidikan Islam?

1 Taqwatul Uliyah, “Pola Pendidikan Dalam Islam Pada Masa Khulafaurrasyidin,” Jurnal An-Nur: Kajian Pendidikan dan Ilmu Keislaman 7, no. 1 (2021): 216–229

2 Yegi Rizki Pratama, “Konsep Filsafat Pendidikan Islam,” UIN Sunan Gunung Djati (n.d.): 6.

3 Moh. Hifni, “Ontologi Epistemologi Dan Aksiologi Dalam Keilmuan,” Stain Pamekasan, no. December (2018).

(5)

3. Bagaimanakah fungsi epistemologi pendidikan Islam?

C. TUJUAN PENULISAN

1. Untuk mengetahui ruang lingkup dan hakikat epistemologi.

2. Untuk mengetahui perkembangan epistomologi.

3. Untuk mengetahui pendekatan dan metode memperoleh ilmu pengetahuan

(6)

BAB II PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN EPISTEMOLOGI

Epistemologi berasal dari kata Yunani yang berarti pengetahuan. Kata tersebut berasal dari dua suku kata yakni. pengetahuan yang berarti logis dan pengetahuan yang berarti epistemik. Memahami etimologi, kita dapat mengatakan bahwa epistemologi adalah pengetahuan tentang pengetahuan.4

Secara konseptual, epistemologi adalah ilmu yang mempelajari keseluruhan proses penciptaan pengetahuan yang sejati.5 Lebih singkatnya, Epistemologi dapat diartikan sebagai disiplin yang membahas metode-metode pencarian dan pengantaran pengetahuan, yang menjadi elemen esensial dalam ranah pendidikan.6 Dengan kata lain, Epistemologi adalah ilmu yang mempelajari pengetahuan manusia tentang berbagai jenis dan ukuran kebenaran. Pertanyaan yang berkaitan dengan permasalahan epistemologis adalah, bagaimana pengetahuan dapat diperoleh? Jika ada skala (tingkatan) eksistensi, dari metafisik hingga fisik, bagaimana kita mengetahuinya? Menggunakan indera seperti kaum empiris, pikiran seperti kaum rasionalis, atau bahkan menggunakan intuisi seperti kaum urafa' (sufi)? Oleh karena itu, teori pengetahuan dan metode ilmiah harus dibahas dalam kaitannya dengan topik ini, serta topik-topik yang berkaitan dengan topik epistemologis.7

Mengenai asal usul ilmu, Terdapat dua sumber utama pengetahuan, yaitu yang berasal dari manusia dan yang diperoleh dari luar manusia. Pengetahuan manusia mencakup pemahaman tentang panca indera, ilmu pengetahuan (rasionalitas), dan filsafat. Namun, terdapat juga pengetahuan yang bersumber dari entitas di luar manusia, yang dikenal sebagai wahyu yang berasal dari Tuhan.8

Untuk penjelasan yang lebih terperinci, dapat dilihat contoh berikut: ambil contoh

"kursi" sebagai bagaimana pikiran kita menangkap konsep kursi. Dalam kehidupan sehari- hari, kita sering menjumpai beragam jenis kursi dengan karakteristik, bentuk, dan tujuan yang berbeda. Bergantung pada bentuk, fungsi, dan penggunaannya, kita mengenal kursi makan, kursi belajar, kursi goyang, kursi tamu, dan lain sebagainya. Namun, di balik

4 Ibid.

5 Ibid.

6 M.Pd.I. Dr. H. A. Marjuni, Filsafat Pendidikan Islam, ed. Alaudin University Press (Gowa, 2021).

7 Ibid.

8 Ibid.

(7)

perbedaan ini, semua objek yang kita sebut "kursi" tetaplah kursi, meskipun mungkin juga memiliki fungsi sebagai meja atau bahkan berperan sebagai objek lain (benda buatan) dalam berbagai bentuk, kadang-kadang berperan sebagai "kursi". Sebagai perbandingan, tindakan duduk merujuk pada aktivitas seseorang meletakkan seluruh tubuhnya dalam berbagai situasi, konteks, dan kondisi pada suatu benda atau objek, yang umumnya digunakan sebagai tempat duduk..9

B. PERKEMBANGAN EPISTOMOLOGI DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Epistemologi terus berkembang dalam dialektika absolutisasi model dan

model relativitas. Kesadaran akan hal ini juga semakin meningkat pengetahuan adalah pengetahuan manusia. Baik kecerdasan maupun akal budi tidak engetahui, hanya orang yang tahu. Kebenaran dan kepastian selalu merupakan kebenaran dan kepastian Kebenaran dan kepastian tidak bisa berdiri sendiri di dalam dan di luar kehidupan manusia. Kebenaran dan kepastian selalu berkaitan dengan sosialitas dan sejarah manusia.

Secara global, epistemologi mempengaruhi peradaban manusia. Sebuah peradaban secara alami dibentuk oleh teori pengetahuannya. Epistemologi mengatur semua aspek studi manusia, mulai dari filsafat dan ilmu-ilmu murni hingga ilmu-ilmu sosial. Epistemologi masyarakat memberikan kesatuan dan koherensi pada tubuh, pengetahuannya merupakan suatu kesatuan yang merupakan hasil pengamatan kritis ilmu pengetahuan terhadap keyakinan, keyakinan dan sistem nilai mereka. Merupakan epistemologi yang menentukan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Suatu bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang di dalam negeri karena didukung oleh penguasaan bahkan pengembangan epistemologi. Segala bentuk teknologi maju muncul dari pemikiran epistemologis, yaitu pemikiran dan pertimbangan yang berkisar pada bagaimana cara mewujudkan sesuatu, artinya menyediakan untuk mewujudkannya, dan sebagainya.

9 Fatkhul Mubin, “Filsafat Modern: Aspek Ontologis, Epistemologis, Dan Aksiologis,” Mengenal Filsafat Pendidikan (2020): 1–28, fatkhulmubin90@gmail.com.

(8)

C. EPISTEMOLOGI DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Tujuan epistemologi adalah mempelajari bagaimana pengetahuan diperoleh dan dipastikan untuk menemukan ciri-ciri umum dan hakikat pengetahuan manusia. Ruang lingkup epistemologi meliputi sifat sumber informasi, perolehan informasi, dan kriteria validitas informasi.10

Epistemologi pendidikan Islam meliputi pembahasan tentang nuansa pendidikan Islam, mulai dari hakikat pendidikan Islam, asal usul pendidikan Islam, sumber-sumber pendidikan Islam, metode membangun pendidikan Islam, unsur-unsur pendidikan Islam, pendidikan Islam. . . dll. hasil pendidikan Islam, berbagai jenis pendidikan Islam dll.

Epistemologi pendidikan Islam tidak hanya sekedar metode dan pendekatan perolehan ilmu pengetahuan dalam pendidikan Islam, tetapi mencakup banyak aspek. Epistemologi pendidikan Islam dengan demikian merupakan kajian filosofis tentang sumber-sumber pendidikan Islam, metode dan pendekatan penggunaan serta perlakuan terhadap sumber- sumber tersebut, serta nilai atau keunggulan pendidikan Islam.11

Ada beberapa metode yang dipakai dalam epistemologi pendidikan Islam:

1. Metode al-Bayani/al-Tabyin Bayani

Bayani merupakan epistemologi yang mencakup disiplin ilmu dari Arab (yaitu nahwu, fiqh, ushul fiqh, kalam dan balaghah). Setiap disiplin ilmu terdiri dari suatu kesatuan sistem bahasa yang menghubungkan topik-topik pembahasan.

Epistemologi ini dapat dipahami dari tiga sudut pandang, yaitu pengetahuan- aktivitas, pengetahuan-wacana, dan sistem pengetahuan. Sebagai kegiatan pengetahuan, bayani berarti “menunjukkan” dan “mengerti pengertian”. Sebagai wacana ilmu, bayan berarti dunia ilmu yang dibentuk oleh dunia Arab Islam murni, yaitu ilmu linguistik dan ilmu agama. Pada saat yang sama, sebagai sistem pengetahuan bayan, ia berarti seperangkat prinsip, konsep, dan aspirasi yang membentuk dunia tanpa dasar apa pun.12

Kronologi Bayan setidaknya dimulai sejak zaman Nabi SAW ketika beliau

10Asrori Rusman, Filsafat Pendidikan Islam (Sebuah Pendekatan Filsafat Islam Klasik), Riskesdas 2018, 2020.

11Ibid.

12 Ibid.

(9)

menjelaskan ayat-ayat yang sulit dipahami oleh para sahabatnya. Para sahabat kemudian menafsirkan Al-Qur'an berdasarkan ketetapan yang diberikan Rasulullah melalui teks tersebut. Selain itu, para Tabi'in mengumpulkan nash-nash Rasulullah dan para sahabat, kemudian menambahkan tafsirnya sendiri dengan dalil-dalil dan teks ijtihad sebagai pedoman utama. Akhirnya setelah para tabi’in muncul generasi yang menyajikan tafsir seperti para pendahulunya hingga berlanjut ke generasi lainnya.13

Bayani adalah cara berpikir khas Arab yang secara langsung maupun tidak langsung menekankan kewibawaan teks (naso) dan didasarkan pada nalar kebahasaan yang diselidiki dengan cara inferensi. Langsung berarti memahami teks sebagai informasi yang sudah jadi dan langsung menerapkannya tanpa berpikir: tidak langsung adalah memahami teks mentah tanpa interpretasi dan penalaran. Namun bukan berarti akal atau nalar bebas menentukan makna atau makna, melainkan harus tetap bertumpu pada teks. dalam pikiran atau akal tidak mempunyai kemampuan menyampaikan ilmu tanpa mengacu pada teks. Tujuan dari metode Bayan ini adalah aspek eksoteris (syariah).14

Dengan demikian, sumber ilmu Bayan adalah teks atau nash (al-Quran dan Hadits). Oleh karena itu, menurut epistemologi Bayani al-Jabir, beliau menaruh perhatian besar terhadap transmisi teks dari satu generasi ke generasi lainnya.

Sebagai sumber informasi, tergantung apakah penyajian teks menentukan keabsahan ketentuan yang dianut. Hal ini terutama terjadi pada masa hadis tadwin, ketika para ulama begitu ketat dalam memilih nash yang diterima. Misalnya, salah satu syarat yang diterima Bukhari untuk sebuah teks hadis adalah harus ada informasi positif tentang perawi, menjelaskan bahwa mereka bertatap muka dan siswa belajar langsung dari guru. Selain itu, ada beberapa kriteria cerita yang dapat diterima, seperti cerita tersebut harus benar, saleh, berakal sehat, berpenampilan kuat, dan lain-lain.15

2. Metode Ijbari

Kata "ijbari" merujuk pada istilah dalam bahasa Arab "ajbara yujbiru ijbaaran,"

yang mengandung arti memaksa, menekan, atau menguji dengan kuat. Orang yang melakukan tindakan ini disebut "al-Mijbir" atau "al-Jabbar." Salah satu atribut Tuhan adalah "al-Jabbar." Dalam konteks metodologis, pendekatan "al-Ijbari" sering

13 Mochamad Hasyim, “Epistemologi Islam (Bayani, Burhani, Irfani),” Al-Murabbi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 3, no. I (2018): 222, http://jurnal.yudharta.ac.id/v2/index.php/pai.

14 Wira Hadikusuma, “Epistemologi Bayani, Irfani Dan Burhani Al-Jabiri Dan Relevansinya Bagi Studi Agama Untuk Resolusi Konflik Dan Peacebuilding,” Jurnal Ilmiah Syi’ar 18, no. 1 (2018).

15 Ibid.

(10)

diidentifikasi dengan eksperimen atau uji coba. Langkah-langkahnya meliputi: (1) merumuskan hipotesis atau daftar pertanyaan; (2) menyiapkan materi atau objek yang akan diuji, seperti kera, anjing, atau gajah; bahan kimia, makanan, minuman, dan sebagainya; (3) mempersiapkan peralatan laboratorium yang dibutuhkan; (4) melaksanakan langkah-langkah yang telah ditetapkan; (5) melakukan analisis perbandingan, dan (6) merumuskan kesimpulan16

Metode ini digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan atau ilmu terapan. Al- Razi, apoteker dan ahli kedokteran klinis dengan bukunya al-Hawiy; Ibnu Sina, seorang ahli klinis dan kedokteran dalam bukunya al-Qanun fi al-Thibb, merupakan hasil penelitian eksperimental. Penggunaan metode Idzbari dalam pendidikan Islam nampaknya tidak banyak menarik minat dan perhatian di kalangan ulama dibandingkan dengan metode Bayan, Irfan atau Jadal. Metode Ijbar telah menarik minat besar di kalangan pendidik Barat yang telah menciptakan model dan pendekatan model pembelajaran, model penilaian, kurikulum dan teori motivasi dengan menggunakan teori-teori psikologi dasar. Kedepannya para pakar pendidikan Islam harus meningkatkan pengembangan pendidikan dengan metode ijbari.17

3. Metode Burhani

Berbeda dengan bayan dan irfan yang masih dikaitkan dengan kitab suci, burhani mengandalkan kekuatan akal, akal yang dijalankan melalui argumentasi logis. Perbandingan ketiga epistemologi tersebut adalah Bayani menghasilkan ilmu melalui analogi Furu dengan asal usul, Irfani menghasilkan ilmu melalui proses penyatuan spiritual dengan Tuhan, Burhani menghasilkan ilmu melalui prinsip logika prapengetahuan yang dianggap benar. Dengan demikian, sumber pengetahuan Burhan adalah akal, bukan teks atau intuisi. Hubungan ini membuat penilaian dan keputusan mengenai informasi yang masuk melalui indra.18

Menurut al-Jabir, banyak pemikir Islam, terutama dari dunia Islam bagian barat, yang banyak menerapkan epistemologi Burhan, seperti Ibnu Rusyd, al- Syatibi, dan Ibnu Khaldun. Ibnu Rusdy mencoba menerapkan landasan episteme Burhan dalam pembelaannya terhadap argumen sebab akibat. Dia menolak

16 Rusman, Filsafat Pendidikan Islam (Sebuah Pendekatan Filsafat Islam Klasik).

17 Ibid.

18 Hasyim, “Epistemologi Islam (Bayani, Burhani, Irfani).”

(11)

pandangan bahwa hubungan sebab-akibat dapat dipertahankan. Ia menolak pandangan Asy'ariyah dalam asas tajwiz (bolehnya) karena dianggap mengingkari hukum sebab-akibat. Menurut Ibnu Rusyd, mengingkari hukum kausalitas berarti melemahkan bangunan Burhan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu lainnya. Termasuk ilmu metafisika atau teologi, dan burhaninya dibangun atas proses menelusuri akibat suatu sebab lain sebelum sebab utamanya yaitu Allah swt.19

Epistemologi Burhan menggunakan silogisme untuk memperoleh pengetahuan. Dalam bahasa Arab silogisme diterjemahkan menjadi qiyas atau al- Qiyas al-Jami yang mengacu pada makna aslinya. Secara harafiah, silogisme adalah suatu bentuk argumen di mana dua proposisi, yang disebut premis, dirujuk bersama- sama dengan cara ini. Jadi keputusannya harus diikuti. Namun karena pengetahuan Burhan tidak semata-mata berasal dari hubungan-hubungan objek luar, sehingga harus melalui tahapan-tahapan sebelum diwujudkan melalui silogisme, yaitu:

Pertama, tahap pemahaman (ma'qulat). Tahapan ini merupakan tahapan dalam proses abstraksi terhadap objek-objek luar yang terlintas dalam pikiran, mengacu pada sepuluh kategori Aristoteles.

Kedua, tahap pernyataan (bagaimana). Suatu tahapan dalam proses pembentukan kalimat baik dari kalimat maupun makna yang ada. Kalimat ini harus mengandung subjek (maudu`) dan predikat (mahmul) serta hubungannya. Untuk menjamin pemahaman yang tak terbantahkan, suatu usul harus mempertimbangkan al-lafz al-khamsah (lima kriteria), yaitu spesies (nau`), genus (jins), diferensiasi (al- fashl) dan kecelakaan (arad).

Ketiga, tahap penalaran (tahlilat). Pada tahap ini, proses pengambilan keputusan didasarkan pada hubungan premis-premis yang ada, tempat dibuatnya silogisme. Menurut Al-Jabir, apabila seseorang menarik kesimpulan melalui silogisme, harus dipenuhi beberapa syarat: (1) mengetahui latar belakang rumusan premis-premisnya;

(2) terdapat konsistensi logis antara alasan dan kesimpulan; (3) kesimpulan yang diambil harus pasti dan benar.20

4. Metode Jadali

Kata "Jadal" berasal dari bahasa Arab "al-jidal" yang secara harfiah dapat diartikan sebagai wacana atau dialektika. Mulyadhi Kartanegara, sebagaimana telah

19 Rusman, Filsafat Pendidikan Islam (Sebuah Pendekatan Filsafat Islam Klasik).

20 Hadikusuma, “Epistemologi Bayani, Irfani Dan Burhani Al-Jabiri Dan Relevansinya Bagi Studi Agama Untuk Resolusi Konflik Dan Peacebuilding.”

(12)

disinggung sebelumnya, membagi konsep ini menjadi beberapa tingkatan, yaitu dari yang paling mendasar hingga paling kompleks: syi'ri (puisi), khitabi (retorika), Mughalithi (canggih), Jadali (dialektis), dan Burhani (demonstratif).

Mujamil Qomari memasukkan metode Jadal sebagai salah satu metode epistemologis dalam pendidikan Islam. Metode ini melibatkan kajian tentang ilmu pendidikan Islam melalui karya sastra yang dipresentasikan dalam bentuk diskusi (tanya jawab) antara dua atau lebih ahli, berdasarkan argumen yang didukung oleh landasan ilmiah. Pendekatan ini seringkali ditemukan dalam Al-Qur’an, contohnya melalui frasa "yas’aluunaka" (mereka bertanya kepadamu) dan "Qul" yang berarti mengatakan. Misalnya, hal ini terlihat dalam konteks penggunaan istilah tersebut dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas topik seperti pengeluaran (Q.S. al- Baqarah, 2:215), berperang di bulan Haram (Q.S. al-Baqarah, 2:217), khamar dan judi (Q.S. al-Baqarah, 2:219), anak yatim (Q.S. al-Baqarah, 2:220), haid (Q.S. al- Baqarah, 2:222), (Q.S. al-Maidah, 5:4), (Q.S. al-Anfaal, 8:1), dan (Q.S. al-Isra’, 17:85).21

Dialog menciptakan suasana saling terbuka, pertukaran pandangan yang saling memberi dan menerima, serta pemahaman mendalam terhadap cara berpikir individu yang terlibat dalam dialog. Dalam dialog, terdapat analisis introspektif diri, sikap menghargai sudut pandang, dan pendapat orang lain. Penting untuk dicatat bahwa dialog ilmiah tidak terpengaruh oleh ideologi, politik, atau faktor serupa;

fokusnya hanya pada pencarian kebenaran dalam ilmu pengetahuan

Dialog ilmiah memiliki peran signifikan dalam memperkaya peradaban dan kebudayaan, khususnya dalam ranah ilmu pengetahuan. Dialog mampu membentuk pemahaman yang jelas, meluas, dan komprehensif, serta membawa pengetahuan baru ke permukaan. Kualitas analisis yang tajam, pemikiran kritis yang mendalam, serta kemampuan menjawab pertanyaan dengan tepat dapat tumbuh dan berkembang melalui tradisi dialog ini.

Melalui dialog, kita dapat menemukan titik temu antara konsep teoritis- empiris dan normatif agama. Dengan dialog, muncul pemahaman tentang apa yang diharapkan oleh ilmu sosial dan apa yang diharapkan oleh ilmu agama. Pada akhirnya, semua ini berujung pada tujuan bersama: menciptakan kebahagiaan dan kedamaian dalam kehidupan manusia..22

Metode Jadal merupakan upaya menggali ilmu pengetahuan tentang pendidikan Islam dengan cara memperbaiki kelemahan-kelemahan suatu konsep atau penerapan pendidikan kemudian mengusulkan alternatif pemecahannya. Jadi yang

21 Rusman, Filsafat Pendidikan Islam (Sebuah Pendekatan Filsafat Islam Klasik).

22 Ibid.

(13)

menjadi dasar atau motif kritiknya bukanlah kemarahan, melainkan kecanggungan atau kelemahan yang perlu diperbaiki. Kritik diperlukan untuk menjamin keakuratan informasi. Kritik timbul dari proses pemikiran yang cermat, jernih dan mendalam untuk menemukan kekurangan dan kelemahan terhadap konsep, teori, pemikiran dan praktek yang dapat dikritisi.23

Dengan demikian, melalui kritik itu konsep atau teori tersebut diperkuat karena kelemahan-kelemahan teori dan konsep tersebut dapat dihilangkan. Saat ini konstruksi pendidikan Islam masih terkesan rapuh karena bertumpu pada peniruan pendidikan Barat yang diterima begitu saja. Metode kritis dapat digunakan untuk menunjukkan secara rinci kelemahan-kelemahan struktur pendidikan Islam dan kemudian memberikan dorongan untuk mendekonstruksi struktur pendidikan Islam.

Dengan demikian, konstruksi pendidikan Islam diperkuat.

5. Metode Irfani

Kata "Irfan" memiliki akar kata dalam bahasa Arab yaitu "arafa", "yu’rifu",

"irfaanan", dan "ma’rifah", yang secara harfiah mengandung arti pemahaman mendalam tentang hakikat segala sesuatu melalui persepsi batiniah, pengertian batin, hati nurani, atau intuisi. Mulyadhi Kartanegara menegaskan bahwa metode Irfan tidak bergantung pada observasi indrawi atau intelektual (kausal), melainkan lebih pada pengamatan intuitif.24

Metode Irfan digunakan dalam kerangka pemikiran Islam untuk memisahkan antara pernyataan lahir dan makna batin, baik itu dalam bahasa maupun Al-Qur'an.

Metode Irfan ini berdasarkan pada instrumen internal pengalaman, seperti qolb (hati), wijidan (pengetahuan dalam diri), basirah (penglihatan batin), dan intuisi.

Metode ini melibatkan pendekatan kasfi riyadoh (latihan spiritual yang melampaui pemahaman biasa), mujahadah (upaya keras dalam meraih pemahaman spiritual), dan manhaj ikhtishaf (pendekatan analogi). Tujuannya adalah untuk mengungkap dan mendapatkan pemahaman mendalam tentang rahasia-rahasia ilmu melalui analogi. Lebih jauh lagi, metode Irfan menolak kepercayaan mitologi dan justru berusaha membersihkannya dari unsur-unsur takhayul.

Pendekatan Irfan ini tidak hanya menghindari aspek-aspek takhayul, tetapi juga mendorong individu yang beriman untuk menjalani upaya pengembangan spiritual yang lebih mendalam dan bermakna.25

23 Ibid.

24Ibid.

25 Rangga Sa’adillah SAP, Dewi Winarti, and Daiyatul Khusnah, “Kajian Filosofis Konsep

(14)

Mulyadi Kartanegara dalam karyanya, "Al-Rasyidin dan Ja’fari,"

menguraikan bahwa dalam ranah intelektual Barat, hanya ada satu metode ilmiah yang diakui untuk mengembangkan pengetahuan, yakni metode tajrib (observasi atau eksperimen). Namun, dalam epistemologi Islam, selain metode tajrib, terdapat tiga metode lain yang masih belum dikenal atau digunakan oleh dunia intelektual Barat, yaitu bayan, irfan, dan Burhan.

Metode bayan digunakan oleh para mufassir untuk mempelajari ilmu Al- Quran dan Hadits. Sementara metode burhan diterapkan oleh para filosof dalam memahami hal-hal yang bersifat nonfisik. Para sufi pun menggunakan metode irfan untuk memahami dan membuktikan eksistensi hal-hal yang bersifat nonfisik.

Dalam perspektif ilmu-ilmu keislaman, jenis penalaran bayani (komunikasi dengan teks) cocok diterapkan oleh ulama Islam dalam upaya mereka mencari ilmu di bidangnya, terutama ketika berinteraksi dengan teks-teks wahyu. Contohnya, ilmu ushul al-Fiqh, takhrij al-Hadits, dan ilmu al-Yarh waat-Ta'dil. Melalui ilmu Ushul Fiqh, seorang ahli hukum Islam dapat memandu pemberian hukum-hukum Islam, dan melalui ilmu Takhrij al-Hadits, seorang ahli Islam dapat memberikan pernyataan yang bersifat ilmiah mengenai ilmu-ilmu keislaman.

Namun, di sisi lain, ulama yang memiliki tanggung jawab dalam ilmu selain ilmu agama juga perlu memahami dan berinteraksi dengan teks-teks Islam. Hal ini dikarenakan dalam interaksi mereka dengan teks, ilmu mereka akan terarah dan terbimbing sesuai dengan ajaran Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan..26

Padahal, jika dibandingkan epistemologi pendidikan Islam dengan pendidikan Barat, terlihat berbeda – dan jika dikaji dan dipikir lebih dalam, epistemologi pendidikan Islam terlihat lebih tua. Nata (2020) merupakan salah satu pakar yang memberikan optimisme terhadap epistemologi pendidikan Islam yang sehat. Namun kendala keberlanjutan penguatan epistemologi pendidikan Islam adalah kemauan. Pakar Pendidikan Islam. Konstruksi epistemologi pendidikan Islam tidak terlihat dan padat. Tokoh Pendidikan Islam. Islam didasarkan pada bangunan epistemologis Islam. Mereka cenderung menerima, meniru, meniru dan menggunakan teori, konsep dan yang berbeda. pendidikan yang terutama berasal dari Barat. Nata melanjutkan pendapatnya dengan mengutip pendapat Qomar yang tampaknya umat Islam yang disegani oleh para pakar pendidikan Islam belum sepenuhnya menyadari keberadaan, misi, peran dan implikasi epistemologis

Epistemologi Dan Aksiologi Pendidikan Islam,” Journal of Islamic Civilization 3, no. 1 (2020): 34–

47.

26A S Robbani and A M Haqqy, “Types of Bayani, Irfani, and Burhani Reasoning and Their Relevance to Islamic Education,” Islam in World Perspectives 1, no. 1 (2021): 38–46,

http://www.journal2.uad.ac.id/index.php/IWP/article/view/5633.

(15)

pendidikan Islam bagi masa depan pendidikan Islam. Mereka belum berkomitmen penuh untuk menciptakan epistemologi pendidikan Islam demi masa depan pendidikan Islam. Faktanya, sangat jelas bahwa setelah serangan para cendekiawan Islam terhadap epistemologi Barat, upaya untuk menenggelamkan dan menghancurkan epistemologi Islam yang tertanam dalam kitab Turat, misalnya, meningkatkan upaya untuk mengkritik dan menentang kitab tersebut. Ta’lim al- Muta’ karya Allim sebagai kitab usang sudah tidak layak lagi dipelajari di milenium ini. Tindakan tersebut justru tidak menghargai dan meninggikan karya ilmuwan, namun malah menghancurkan karya tersebut. Padahal buku tersebut berisi etika yang harus diikuti siswa saat berinteraksi dengan guru. Di era milenial yang belum mengenal perbedaan antara guru dan siswa, sangat diperlukan adanya pembatas etika yang dapat menjadi pedoman dalam hubungan guru dan siswa agar terdapat kearifan dalam pembelajaran. Nampaknya karena kemajuan zaman, konstruksi epistemologi pendidikan Islam dianggap sudah ketinggalan zaman.27 D. METODE EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM

Di antara berbagai metode epistemologis pendidikan Islam, secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga metode utama; metode rasional, metode empiris, dan metode intuisionistik.

a. Metode Rasional

Rasionalisme adalah gagasan filosofis bahwa akal adalah alat pengetahuan yang paling penting dan mengendalikan pengetahuan. Rasionalisme mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh melalui berpikir, alat berpikirnya berupa kaidah- kaidah logika atau prinsip-prinsip logis.Secara umum rasionalisme merupakan suatu pendekatan filosofis yang menekankan akal atau akal sebagai sumber utama pengetahuan. Artinya masukan pikiran lebih besar daripada masukan indera, sehingga diperbolehkan memiliki struktur internal (ide, kategori). Menurut rasionalisme, ilmu pengetahuan tidak mungkin berkembang hanya berdasarkan fakta dan data empiris (observasi). Pada masa klasik, cikal bakal aliran rasionalisme adalah Plato.28

Metode rasional adalah metode yang menitikberatkan pada penggunaan rasio untuk menciptakan pengetahuan dan digunakan untuk membakukan kebenaran.

Secara historis, metode pemikiran rasional, ilmiah, dan filosofis Islam berkembang

27 Sa’adillah SAP, Winarti, and Khusnah, “Kajian Filosofis Konsep Epistemologi Dan Aksiologi Pendidikan Islam.

28 N Butar-Butar, “Epistemologi Perspektif Barat Dan Islam,” Humantech: Jurnal Ilmiah Multidisiplin Indonesia 01, no. 02 (2021): 240–246,

(16)

pesat pada masa ekspansi Islam. Kontak dengan budaya Barat yang bersifat rasional, mengangkat Islam ke puncak ilmu pengetahuan dan peradaban pada masa Abbasiyah.

Secara garis besar, ada dua cara untuk mempelajari rasionalisme. Pertama, meragukan sesuatu (as-syak) dan kedua, debat-dialoq (mujjadi). Madzab syak pernah diperkenalkan oleh al-Ghozali sebagai cara untuk

untuk mendapatkan pengetahuan dan kebenaran. Dalam semangat ajaran Islam: wa la taqfu maa laisa laka bihi ilm (Jangan mengikuti apa yang tidak kamu ketahui).

Dari ayat ini kita memahami bahwa pikiran Al-Ghazal yang penuh keragu-raguan tidak pernah lepas dari wahyu dan keimanan. Sementara pikiran skeptisisme Barat yang mempertanyakan berbalik melawan rencana besar iman itu sendiri. Oleh karena itu, keraguan Al-Ghazal bukanlah keraguan seorang skeptis melainkan kritik terhadap ilmu pengetahuan.

Metode lainnya adalah argumentasi-dialoq (Mujjadi-Munadzarah-Hiwar) dalam semangat Al-Quran: “wa Jadilhum billati hiya ahsan” (dan mendiskusikannya dengan baik). Metode ini menekankan pada kekritisan analitis dan benar-benar mengoptimalkan pikiran tidak hanya untuk perolehan informasi tetapi juga untuk teknik pencarian kebenaran. Para ulama Islam yang tercatat dalam sejarah intelektual piawai dalam argumentasi, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, al-Asya’ari, al- Ghozali dan lain-lain. Misalnya saja Al-Ghozali yang membahas teologi Kristen melalui buku berjudul: ar-raddul jamil Liilahiyati 'isaa bishorihil injil.29

b. Metode Empirisme

Arti empiris adalah: keadaan bergantung pada bukti persepsi, atau pemahaman empiris adalah pengetahuan yang diperoleh setelah menelaah pengalaman kita. Maka mereka yang mengikuti aliran empirisme mengembalikan pengetahuan dalam segala bentuknya untuk merasakan pengalaman, pada zaman dahulu aliran empirisme ini digagas oleh Aristoteles, kemudian pada zaman modern F. Bacon, T. Hobbes, John Locke, David Hume dan John. Pabrik Stuart. Menurut Aristoteles, pengetahuan tentang pikiran adalah dasar dari segala pengetahuan.30

Dalam Islam, metode empirisme ini tidak bertentangan dengan metode rasional seperti dalam epistemologi Barat. John Locke selaku pendiri gerakan empirisme dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada informasi yang dapat masuk ke otak kecuali melalui indera. Pendapat seperti ini mengajak kita menerima

29 Yogi Prana Izza, “EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM (Mengurai Pendidikan Islam Sebagai Suatu Sistem Ilmu Pengetahuan),” At-Tuhfah 8, no. 1 (2019): 121–134.

30 Butar-Butar, “Epistemologi Perspektif Barat Dan Islam.”

(17)

pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan itu sama dengan pengalaman.

Epistemologi pendidikan Islam gaya empirisme ini tidak terlalu sulit ditelusuri. Para filosof muslim seperti al-Kindi, Ibnu Sina, Ibnu Rusd, al-Ghozali sekaligus merupakan pendukung rasionalisme dan imperialisme. Hal ini dapat ditunjukkan dengan pengetahuan mereka dalam ilmu-ilmu empiris seperti;

kedokteran, kimia, fisika, astronomi dan lain-lain. Suatu cara untuk memperoleh pengetahuan empiris umum melalui observasi dan eksperimen. Oleh karena itu, dalam perjalanan sejarah Islam ditemukan sebuah observatorium, yaitu ruangan khusus yang didedikasikan untuk pengamatan kosmis, yaitu yang didirikan oleh al- Ma'mun di Bagdad pada tahun 213 H dan di Maraqoh pada abad ke-7 Masehi.

direkturnya Nasiruddin kl -Thuli. Metode empiris ini juga digunakan dalam pendekatan penelitian “religius”, yaitu perbandingan agama. Seperti metodologi penelitian al-Bairun yang menggunakan metode historis dan deskriptif (at-Ta'rikh wa al-Washf) dalam bukunya

: Tahqiq ma lil Hindi min Maqulah. Menurut Al-Bairun, buku ini “hanya” bercerita tentang India karena didasarkan pada fakta sejarah yang lebih dekat dengan antropologi.31

c. Metode Intuisisme

Untuk melengkapi kelemahan kedua metode tersebut di atas (rasionalisme dan empirisme) yang tidak dapat mencapai sesuatu yang supranatural, maka metode intuisionisme ini melalui pemahaman spiritual menjadikan hati yang suci sebagai sumber pengetahuan yang utama. Para sufi biasanya tampil bersama Kasyf Ruhan.

Namun bagi filosof muslim seperti Ibnu Thufail, epistemologinya menjelaskan bahwa pemahaman dimulai dari panca indera. Persepsi dan pengalaman dapat digunakan untuk memperoleh informasi sensorik. Hal-hal metafisik dapat diketahui melalui intuisi. Marifa, katanya, dilakukan dengan dua cara: berpikir atau bermeditasi pikiran, seperti yang dilakukan para filsuf Islam; dan kasyf spiritual (tasawuf). Kesesuaian akal dan intuisi membentuk hakikat epistemologi Ibnu Thufail. Secara umum pengetahuan intuitif dapat diperoleh melalui metode sufi seperti tazkiyatun Nafs atau riyadhoh atau mujahadah. Dan banyak pemikir yang jarang menyebut mimpi. Berikut ini adalah penjelasannya:

a) Pertama adalah tazkiyatun nafs atau riyadhoh atau mujahadah. Tazkiyatun Nafs, riyadhoh dan mujahadah ditujukan untuk memerangi syahwat dan penyakit hati melalui latihan dalam suatu sistem yang sering disebut maqomat dan ahwal.

Maqoom atau terminal yang harus dilalui seorang siswa (salik) dalam proses

31 Yogi Prana Izza, “Epistemologi Pendidikan Islam,” At-Tuhfah 8, no. 1 (2019): 121–135.

(18)

belajar dan pendidikan. Didalamnya terdapat bermacam materi yang diajarkan dan dipraktekkan murid dibawah asuhan seorang guru (syeikh) . Dari proses tersebut akan muncul kondisi rohani yang disebut dengan Ahwal. Lebih lanjut Suhruwardi al-Maqtul menjelaskan secara rinci tahapan-tahapan dalam memperoleh pengetahuan. Dalam epistemologi Iluminsionisnya, ada empat tahapan. Tahap pertama, ditandai dengan kegiatan persiapan diri yaitu

“meninggalkan dunia” dengan cara uzlah selama 40 hari agar mudah menerima

“pengalaman”. Tahap kedua adalah tahap iluminasi (pencerahan), ketika seorang sufi bisa “melihat” an-nur al- ilhaiyyah (cahaya ilahi). Tahap ketiga, atau tahap konstruksi, yang ditandai dengan perolehan dan pencapaian pengetahuan tak terbatas, yaitu pengetahuan iluminasionis (al-ilm al-isyroqi) itu sendiri. Tahap keempat adalah pendokumentasian atau bentuk pengalaman

“melihat” yang ditulis ulang. Oleh karena itu, tahap ketiga dan keempat seperti yang didokumentasikan dalam tulisan-tulisan Suhrawardi merupakan satu- satunya komponen filsafat iluminasi, seperti yang diajarkan pada murid- muridnya.

b) Kedua, adalah mimpi. Metode memperoleh pengetahuan intuitif ini tentu saja akan dianggap kontroversial. Karena selama ini, mimpi hanya disebut sebagai

“bunga tidur”. Mimpi oleh sebagian orang juga disebut “halusinasi” tidur. Tetapi dalam konteks Islam, mimpi dapat dijadikan sumber pengetahuan. Hal ini dapat dilacak dari al-Qur’an, sunnah, maupun tradisi dan khazanah intelektual umat Islam. Di dalam al-Qur’an, kisah Nabi Yusuf As dan konspirasi saudara- saudaranya yang ingin mencelakakannya diawali dari mimpi Nabi Yusuf As yang diceritakan kepada ayahnya, Ya’kub As. Demikian pula ketika Yusuf As yang menafsirkan mimpi dua orang pemuda yang menemuinya ketika ia dipenjara. Dan menafsirkan mimpi rajanya tentang musim paceklik dan solusinya. Kisah-kisah tersebut diceritakan panjang lebar dalam al-Qur’an yang memberikan penegasan bahwa mimpi adalah sumber pengetahuan dan dapat dijadikan standar eksistensi kebenaran 1. Di dalam sunnah-nya, Rasulullah Saw menemukan petunjuk tentang memanggil orang- orang untuk sholat dengan azan melalui mimpi sahabatnya, Abdullah bin Zaid. Oleh karena itu Rasulullah Saw pernah bersabda sebagaimana yang diriwayatkan dari Nasa'i dan Tirmizi dari Abu Hurairah Ra berkata:

Rasulullah Saw bersabda : “mimpi itu ada tiga : Mimpi yang haq (benar), mimpi yang berasal dari diri orang itu sendiri, dan mimpi kesedihan yang berasal dari syetan”.

Namun kelemahan metode melihat intuitif atau spiritual adalah ekstasi yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Karena kata-kata hanyalah simbol yang

(19)

dibatasi oleh persepsi indra. Selain itu, pengetahuan intuitif memiliki objektivitas yang dipertanyakan. Namun pengetahuan yang terjadi dengan pola yang sama pada orang-orang tertentu dapat dianggap sebagai pengetahuan intersubjektif, dan pengetahuan yang didasarkan pada pengetahuan intersubjektif dapat digolongkan sebagai pengetahuan ilmiah.32

32 Izza, “EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM (Mengurai Pendidikan Islam Sebagai Suatu Sistem Ilmu Pengetahuan).”

(20)

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN

Epistemologi adalah ilmu yang membahas secara mendalam segenap proses penyusunan pengetahuan yang benar. Secara sederhana, epistemologi dapat dipahami sebagai ilmu tentang metode dalam menemukan dan mentransfer pengetahuan yang merupakan salah satu bagian utama pendidikan.

Epistemologi pendidikan Islam meliputi pembahasan yang berkaitan dengan seluk beluk pengetahuan pendidikan Islam, mulai dari hakikat pendidikan Islam, asal usul pendidikan Islam, sumber pendidikan Islam, metode membangun pendidikan Islam, unsur pendidikan Islam, sasaran pendidikan Islam macam-macam pendidikan Islam dan sebagainya.Mekkah. Guru pertama di Mekkah adalah Muaz bin Jabal yang mengajarkan Al- Qur‟an dan Fiqih.

Ada beberapa metode dalam Epistemologi Pendidikan Islam, antara lain:

1. Metode al-Bayani/al-Tabyin Bayani 2. Metode Ijbari

3. Metode Burhani 4. Metode Jadali 5. Metode Irfani

Sedangkan dalam pengelompokannya, epistemologi Pendidikan Islam dapat dikelompokkan menjadi tiga metode, yakni: a. Metode Rasional, b. Metode Empirisme, c.

Metode Intuisisme.

B. SARAN

Penjelasan dari makalah ini mungkin masih ada kekurangan materi dan/atau kesalahan-kesalahan dalam mengetik maupun penulisan, penulis meminta maaf sebesar- besarnya. Dan dimohon untuk pembaca harap memberikan saran dan/atau kritiknya agar dapat menggugah penulis untuk lebih giat lagi dalam menulis.

(21)

DAFTAR PUSTAKA

al-Toumy al-Syaibany, Omar Mohammad. 1984. Falsafah Pendidikan Islam. Terj. Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang.Butar-Butar, N. “Epistemologi Perspektif Barat Dan Islam.” Humantech: Jurnal Ilmiah Multidisiplin Indonesia 01, no. 02 (2021): 240–246.

https://journal.ikopin.ac.id/index.php/humantech/article/download/1028/600.

Dr. H. A. Marjuni, M.Pd.I. Filsafat Pendidikan Islam. Edited by Alaudin University Press. Gowa, 2021.

Hadikusuma, Wira. “Epistemologi Bayani, Irfani Dan Burhani Al-Jabiri Dan Relevansinya Bagi Studi Agama Untuk Resolusi Konflik Dan Peacebuilding.” Jurnal Ilmiah Syi’ar 18, no. 1 (2018).

Hasyim, Mochamad. “Epistemologi Islam (Bayani, Burhani, Irfani).” Al-Murabbi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 3, no. I (2018): 222. http://jurnal.yudharta.ac.id/v2/index.php/pai.

Hifni, Moh. “Ontologi Epistemologi Dan Aksiologi Dalam Keilmuan.” Stain Pamekasan, no.

December (2018).

Izza, Yogi Prana. “Epistemologi Pendidikan Islam.” At-Tuhfah 8, no. 1 (2019): 121–135.

———. “EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM (Mengurai Pendidikan Islam Sebagai Suatu Sistem Ilmu Pengetahuan).” At-Tuhfah 8, no. 1 (2019): 121–134.

Mubin, Fatkhul. “Filsafat Modern: Aspek Ontologis, Epistemologis, Dan Aksiologis.” Mengenal Filsafat Pendidikan (2020): 1–28. fatkhulmubin90@gmail.com.

Pratama, Yegi Rizki. “Konsep Filsafat Pendidikan Islam.” UIN Sunan Gunung Djati (n.d.): 6.

Robbani, A S, and A M Haqqy. “Types of Bayani, Irfani, and Burhani Reasoning and Their Relevance to Islamic Education.” Islam in World Perspectives 1, no. 1 (2021): 38–46.

http://www.journal2.uad.ac.id/index.php/IWP/article/view/5633.

Rusman, Asrori. Filsafat Pendidikan Islam (Sebuah Pendekatan Filsafat Islam Klasik). Riskesdas 2018, 2020.

Sa’adillah SAP, Rangga, Dewi Winarti, and Daiyatul Khusnah. “Kajian Filosofis Konsep

Epistemologi Dan Aksiologi Pendidikan Islam.” Journal of Islamic Civilization 3, no. 1 (2020):

34–47.

Uliyah, Taqwatul. “Pola Pendidikan Dalam Islam Pada Masa Khulafaurrasyidin.” Jurnal An-Nur:

Kajian Pendidikan dan Ilmu Keislaman 7, no. 1 (2021): 216–229.

Referensi

Dokumen terkait

Journal Homepage: http://publikasi.mercubuana.ac.id/index.php/profita Jurnal Profita: Komunikasi Ilmiah Akuntansi dan Perpajakan Copyright Transfer Agreement Form Manuscript ID

, vila Andriuun d, Kom- penier, Vlln S,,,i,.\Jeren 00 Crolllora l'ocrden hot woord: da LOliJe mllilte ,prottou, "'Üzendo ol' do I/llo bdllindolilig du~r brgrooti'lg iu de }~e.flte