• Tidak ada hasil yang ditemukan

evaluasi pemilu serentak 2019

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "evaluasi pemilu serentak 2019"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

E VALUASI P EMILU S ERENTAK 2019 DAN T ANTANGAN D EMOKRASI

I NDONESIA KE D EPAN

Prosiding

SEMINAR NASIONAL XXVIII AIPI

Jakarta, 10 Desember 2019

(3)

Diterbitkan atas kerja sama:

Pusat Penelitian Politik,

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2 Politik-LIPI)

Gedung Widya Graha LIPI, Lt. III & XI | Jl. Jend. Gatot Subroto KAV-10, Jakarta 12710 Tlp. / fax : 021 - 520 7118 | Website: www.politik.lipi.go.id

Twitter: @PolitikLIPI dengan

Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI)

Gedung Widya Graha LIPI, Lt. III | Jl. Jend. Gatot Subroto KAV-10, Jakarta 12710 Website: www.aipi-politik.org | Twitter: @aipipolitik

Desain cover & Tata letak isi: Prayogo x + 184 hlm; 21 x 29,7 cm

ISBN: 978-602-5991-65-3 Cetakan pertama, Februari 2021

Prosiding

Seminar Nasional XXVIII AIPI

“EVALUASI PEMILU SERENTAK 2019 DAN TANTANGAN DEMOKRASI INDONESIA KE DEPAN”

SUSUNAN PANITIA PELAKSANA SEMINAR NASIONAL XXVIII AIPI Panitia Pelaksana

Penanggungjawab : Alfitra Salamm

Ketua: Lidya Christin Sinaga

Sekretaris : Nina Andriana dan Sutan Sorik

Bendahara : Faudzan Farhana dan Eristya Puspitadewi Irwanto Seksi persidangan: Ridho Imawan Hanafi dan Pandu Prayoga Seksi makalah: Hayati Nufus dan Diandra Megaputri Mengko

Seksi acara: Mouliza Kristhopher Donna Sweinstani dan Defbry Margiansyah Seksi umum: Prayogo

Seksi dokumentasi: Fatmawati Fitri Mulyadi Reviewer: Alfitra Salamm

Editor: Lidya C. Sinaga dan Ridho Imawan Hanafi

(4)

Daftar Isi

iii vii

1

17

25

37

51

63

75

83 Kata Pengantar ...

Pernyataan Politik AIPI Mengenai Evaluasi Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 dan Tantangan Demokrasi Indonesia ke Depan ...

Makalah Peserta

• Demokratisasi dan Tantangan Kelembagaan Partai Politik di Indonesia:

Suatu Analisa Politik dalam Periode Pemilu Tahun 2009-2019

Prof. Dr. Sri Zul Chairiyah, MA & Dr. Ujang Komarudin, M.Si ...

• Masalah dan Solusi Pemilihan Umum Serentak Tahun 2019

Dr. Slamet Riadi, M.Si & Rusmawaty Bte. Rusdin, S.Sos., MA ...

• Pemilihan Umum Serentak (Concurrent Elections) 2019 dan Tantangan Konsolidasi Demokrasi

Dr. Asrifai, S.I.P., M.Si ...

• Jejaring Kelembagaan Bawaslu dalam Penanganan Pelanggaran Pemilihan Umum Serentak Tahun 2019

Andi Setiawan, S.I.P, M.Si & Hilmi Handala ...

• Tinjauan Pelaksanaan Hak untuk Hidup Bagi Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) Pada Pemilu 2019

Zsabrina Marchsya Ayunda & Okta Rina Fitri ...

• Rendahnya Politik Perempuan dalam Pemilu Serentak 2019 di Kota Pangkalpinang dan Strategi Penguatan: Partisipasi versus Rekapitulasi Margarita, ST., MM ...

• Hate Speech dalam Regulasi Hukum Pemilu di Indonesia

Agung Marsallindo ...

• Partisipasi Masyarakat dalam Tata Kelola Penyelenggaraan Pemilu di Era Revolusi Industri 4.0

Triono ...

(5)

vi

Daftar Isi

• Analisis Pseudo Populist Argentina dan Indonesia: Serta Pengaruh Post Truth Media dalam Melegitimasi Pseudo Populist di Indonesia

Rusdi. J. Abbas & Rahmadha Akbar Syah ...

• Ancaman Amandemen UUD 1945: Surutnya Kedaulatan Rakyat dan Menguatnya Kedaulatan Parlemen

Efriza ...

• Penyederhanaan Tata Kelola Pemilu melalui Parliamentary Threshold Sholahuddin Al-Fatih ...

• Urgensi Perbaikan Administrasi Pemungutan dan Penghitungan Suara:

Refleksi Pemilu 2019

Guid Cardi ...

• Efektivitas Penggunaan Sistem Informasi data Pemilih (Sidalih) pada Pemilu Serentak Tahun 2019

Muhammad Johan Komara ...

• Menakar Kerja Oposisi dalam Isu-Isu Valensi di Lingkaran Oligarki Pasca-Pemilu 2019

Aryo Wasisto ...

95

109

123

137

149

171

(6)

PEMILIHAN UMUM SERENTAK (CONCURRENT ELECTIONS) 2019 DAN TANTANGAN KONSOLIDASI DEMOKRASI

Dr. Asrifai, S.I.P., M.Si1

ABSTRAK

Pemilihan Umum Serentak 2019 bukan hanya dimaknai sebagai pergantian kepemimpinan secara konstitusional dan agenda rutin, tetapi harus dijadikan sebagai momentum dalam pencapaian konsolidasi demokrasi. Fase demokrasi ditandai dalam tiga trayektori, yaitu membangun demokrasi, transisi demokrasi, dan konsolidasi demokrasi. Konsolidasi demokrasi pada Pemilu 2019 mendapat tantangan karena beberapa hal. Pertama, masyarakat sipil menjadi terbelah terutama setelah penetapan pasangan calon presiden yang hanya menetapkan dua pasangan. Kedua, kemerdekaan berserikat dan bersuara dengan literasi digital yang rendah. Ketiga, penegakan dan kepatuhan terhadap hukum masih lemah. Keempat, oligarki ekonomi dan politik di level pusat dan daerah yang menyandera pemerintahan hasil pemilu. Untuk mencegah agar agenda konsolidasi demokrasi tidak dibajak, maka penting untuk mengkondisikan beberapa agenda. Pertama, menciptakan kondisi pengembangan masyarakat sipil yang bebas. Kedua, menciptakan masyarakat otonomi. Ketiga, kepatuhan pada rule of law.

Keempat, pelembagaan ekonomi masyarakat. Terakhir, pelembagaan budaya demokrasi.

Kata Kunci: Pemilu Serentak 2019, konsolidasi demokrasi, masyarakat sipil, rule of law, pelembagaan budaya demokrasi

I. PENDAHULUAN

P

emilihan umum bukan hanya dimaknai sebagai pergantian kepemimpinan secara konstitusional dan agenda rutinitas, tetapi harus dijadikan sebagai momentum dalam mencapai konsolidasi demokrasi. Oleh karena itu, Pemilu Serentak (concurrent elections) tahun 2019 yang pertama kali bagi Indonesia dimaknai tidak sekadar memilih presiden dan wakil presiden, anggota legislatif dan dewan perwakilan daerah secara serentak, tetapi juga menjadi wadah keluar dari zona transisi demokrasi untuk memasuki fase lebih maju yakni konsolidasi demokrasi atau deepening democracy.

1 Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tadulako Palu, Sulawesi Tengah.

Email: [email protected]

(7)

26

Pemilihan Umum Serentak 2019 dan Tantangan Konsolidasi Demokrasi Oleh: Asrifai

Fase demokrasi ditanda dalam tiga trayektori, pertama membangun demokrasi, kedua transisi demokrasi, dan ketiga konsolidasi demokrasi (Eko, 2003). Pemilu 1999 dimaknai sebagai era pembangunan demokrasi. Pasca berakhirnya era kepemimpinan Soeharto, dianggap sebagai gerbang memasuki pembangunan demokrasi yang lebih baik, karena selama 32 tahun pencapaian demokrasi hanya sebagai prosedural semata.

Sedangkan fase transisi demokrasi ditandai dengan pencapaian demokrasi dalam jalur yang lebih baik ke arah lebih substantif. Pemilu 2004 sampai Pemilu 2014 sebagai pemilu dalam era transisi demokrasi. Pencapaian demokrasi pada saat itu belum menunjukkann hasil secara substantif selain model prosedural seperti dalam fase membangun demokrasi.

Pencapaian demokrasi yang lebih tinggi adalah konsolidasi demokrasi. Pada era konsolidasi demokrasi, pencapaian bukan hanya demokrasi prosedural ala Robert Dahl, tetapi sudah mencapai hal yang lebih substantif. Pada fase ini kepala pemerintahan dan anggota legislatif yang lahir dari pemilu merupakan primus inter pares yang mampu mengagregasi dan mengartikulasi kepentingan menjadi regulasi yang berpihak pada kepentingan rakyat. Mantan sekjen PBB Kofi Annan menyebutkan bahwa pemilu tidak hanya memilih pemimpin tetapi juga menentukan kebijakan sebuah negara.2

Pemilu Serentak 2019 menunjukkan kondisi yang berdampak pada pencapaian konsolidasi demokrasi. Di satu sisi pemilu yang baru pertama kali dilakukan bersamaan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden secara bersamaan, menunjukkan tingkat kenaikan tingkat partisipasi masyaakat dalam pemberian suara yakni 81,69% untuk pemilu legislatif dan 81,97% untuk pemilihan presiden. Sementara partisipasi masyarakat pada pemilu 2014 untuk pemilihan legislatif sebanyak 75,2% dan pemilihan presiden 70% (data KPU). Di sisi lain kondisi masyarakat sipil terbelah yang membuat kondisi pencapaian demokrasi stagnan dan mendapat tantangan.

Syamsudin Haris menyebut bahwa ada tiga yang membuat demokrasi tertatih yaitu karena warisan kolonialisme, sistem otoriter yang terlalu lama sejak 1940 hingga 1998 dan kegagalan konsolidasi politik sipil.3 Kondisi pencapaian demokrasi substantif mendapatkan tantangan dan mengalami kondisi yang stagnan dalam pencapaian demokrasi yang lebih maju. Kondisi konsolidasi demokrasi pada pemilu 2019: pertama, masyarakat sipil menjadi terbelah sehingga tidak terkonsolidasi dengan baik terutama setelah penetapan pasangan calon presiden yang hanya menetapkan dua pasangan.

Kedua, kondisi kemerdekaan berserikat dan bersuara dengan literasi digital yang rendah sehingga hoax merajalela pada tahapan kampanye.4 Ketiga, kepatuhan terhadap law enforcement yang rendah: pelanggaran dan penegakan hukum pemilu masih banyak: laporan Bawaslu menguraikan bahwa pelanggaran pada tahapan kampanye masih mendominasi dalam pemilu serentak. Pelanggaran lainnya soal netralitas aparat

2 Annan Kofi, 2000, Deepening Democracy a Strategy for Improving the Integrity of Elections.

3 https://m.bisnis.com/amp/read/20181211/15/868364/peneliti-senior-lipi-indonesia-gagal- konsolidasikan-civil-society.

4 https://amp.katadata.co.id/berita/2019/04/24/perludem-identifikasi-lima-masalah- pemilu-2019.

(8)

negara, oleh Aparatur Sipil Negara (ASN), anggota polisi, pelanggaran keterlibatan pejabat non parpol, pelanggaran keterlibatan pejabat BUMN. Pemilu Serentak 2019 juga masih dibajak dengan pelanggaran politik uang, bahkan terdapat intimidasi terhadap pengawas pemilu.5 Keempat, munculnya oligarki ekonomi dan politik di level pusat dan daerah6 yang bisa menyandera pemerintahan hasil pemilu. Berangkat dari permasalahan tersebut tulisan ini menguraikan konsep konsolidasi demokrasi dari beberapa ahli dan 5 (lima) agenda konsolidasi demokrasi agar tidak dibajak.

II. Konsolidasi Demokrasi

Konsolidasi demokrasi dimaknai sebagai stabilitas dan ketahanan demokrasi.7 Stabilitas dan ketahanan demokrasi dapat dilihat dalam perjalanan sistem dan kondisi rasionalitas masyarakat, terutama dalam memilih pemimpin dan menyikapi perbedaan dalam pilihan. Konsolidasi sebagai (proses) penggabungan beberapa elemen demokrasi untuk bersama-sama secara padu memfasilitasi demokratisasi politik. Unsur yang terlibat dalam konsolidasi demokrasi adalah lembaga atau institusi politik, elite, kelompok- kelompok kepentingan maupun masyarakat politik.8 Unsur penting lainnya dalam demokrasi adalah adanya kesepakatan bersama menyangkut “nilai-nilai politik” yang bisa mendekatkan dan mempertemukan berbagai elemen politik di atas menjadi suatu kekuatan yang relatif pada selama transisi menuju demokrasi.

Konsolidasi dipahami sebagai sebuah proses panjang yang mengurangi kemungkinan pembalikan demokratisasi, mencegah erosi demokrasi, menghindari keruntuhan demokrasi yang diteruskan dengan melengkapi demokrasi, pendalaman demokrasi dan mengorganisir demokrasi secara berkelanjutan.9

Poin ini yang harus diperhatikan di Indonesia saat ini, jangan sampai terjadi pembalikan demokratisasi setelah beberapa waktu berada dalam zona transisi menuju demokrasi substantif. Konsolidasi demokrasi ditandai oleh pembiasaan perilaku dan norma serta kepercayaan, di mana elite politik percaya pada legitimasi demokrasi dan saling menghargai hak satu sama lain untuk mendapatkan kekuasaan berdasarkan rule of law dan konstitusi, serta organisasi masyarakat dan partai politik mendukung atau setidaknya tidak menolak demokrasi aturan dan lembaga konstitusional negara.10 Konsolidasi demokrasi mencakup tiga agenda besar, yaitu (1) kinerja politik dan ekonomi rejim pemerintah demokratis; (2) institusionalisasi politik (penguatan birokrasi, partai politik, parlemen, pemilu, akuntabilitas horizontal, dan penegakan hukum); dan (3)

5 Laporan kinerja Bawaslu RI 2019, Menegakkan Keadilan Pemilu; Memaksimalkan Pencegahan, Menguatkan Pengawasan 2019.

6 https://krjogja.com/web/news/read/85615/Oligarki_Parpol_Perburuk_Demokrasi_Indonesia.

7 Guillermo O’ Donnel dan Phillipe C. Schmitter, 1993, Transisi Menuju Demokrasi, Jakarta:

LP3ES.

8 Ibid.

9 Schelder Andreas, 1998, What is Democratic Consolidation? Journal of Democracy, 9.2.

10 Larry Diamond, Juan Linz dan Seymour Martin Lipset (eds.), 1989, Democracy in Asia (Boulder, Colorado: Lynne Rienner.

(9)

28

Pemilihan Umum Serentak 2019 dan Tantangan Konsolidasi Demokrasi Oleh: Asrifai

restrukturisasi hubungan sipil-militer yang menjamin adanya kontrol otoritas sipil atas militer di satu pihak dan terbentuknya civil society yang otonom di pihak lain.11

Terdapat beberapa agenda untuk melancarkan konsolidasi demokrasi:

Memperluas akses warga negara terhadap sistem peradilan dan membangun suatu rule of law yang sesungguhnya; Mengendalikan perkembangbiakan korupsi politik yang dapat meningkatkan sinisme dan pengasingan dari proses politik; Penguatan pembuatan hukum dan kekuasaan investigatif badan legislatif sehingga menjadi badan yang profesional dan independen; Desentralisasi kewenangan negara dan penguatan pemerintahan daerah, sehingga demokrasi dapat lebih responsif dan bermakna bagi seluruh warga negara di seluruh wilayah suatu negara; Menciptakan partai- partai politik yang mampu memobilisasi dan merepresentasikan kepentingan yang berkembang di masyarakat—bukan hanya kepentingan personal para pemimpin dan lingkungan para politisi belaka; Membangun kekuatan masyarakat sipil dan media yang independen yang dapat memelihara modal sosial, partisipasi warga, membatasi tetapi memperkuat kewenangan konstitusional dari negara; Memperkenalkan, baik di dalam maupun di luar sistem persekolahan, program pendidikan warga yang baru yang dapat menumbuhkan kemampuan untuk berpartisipasi dan meningkatkan toleransi, nalar, moderasi, dan kompromi, yang merupakan tanda dari kewargaan yang demokratis.12

Agenda besar tersebut sudah dimulai sejak berakhirnya era Orde Baru dan semakin terkonsolidasi dengan pemberian desentralisasi yang luas kepada daerah, serta diperkuat dengan pilkada langsung yang sudah dimulai sejak tahun 2005. Arah dan agenda tersebut semakin diperdalam dengan pemilu serentak 2019 langsung yang dilaksanakan secara serentak nasional nanti di tahun 2024. Agenda konsolidasi memerlukan adanya peningkatan aturan hukum baru, penumbuhan lembaga-lembaga baru dan penguatan kapasitas lembaga-lembaga negara, sistem kepartaian, dan masyarakat sipil. Dalam keyakinan Diamond apabila upaya-upaya tersebut berhasil, maka dalam waktu 10-15 tahun akan terjadi transformasi dari demokrasi elektoral menuju suatu demokrasi liberal atau demokrasi konstitusional yang stabil.

Dari berbagai makna, pendekatan, agenda, dan model konsolidasi demokrasi seperti di atas, konsep Linz dapat membingkai konsolidasi demokrasi dalam pemilu serentak 2019. Demokrasi terkonsolidasi adalah suatu rezim politik yang di dalamnya demokrasi yang sebagai suatu sistem yang kompleks dari institusi-institusi, aturan- aturan dan dorongan penghalang yang terpola telah menjadi satu-atunya aturan yang berlaku (the only game in town).13

Linz menyebutkan ada lima kondisi yang diperlukan agar demokrasi terkonsolidasi atau the five arenas of cosolidated democrated: pertama, Kondisi pengembangan masyarakat sipil yang bebas, Linz mendefenisikan masyarakat sipil sebagai ruang politik

11 Schelder Andreas, 1998, op cit.

12 Ibid.

13 Linz, Juan J. and Alfred C. Stepan. 1996. Problems of Democratic Transition and Consolidation:

Southern Europe, South America, and Post-Communist Europe. Baltimore, MD: Johns Hopkins University Press.

(10)

tempat kelompok-kelompok, gerakan-gerakan dan upaya individual di-organisasikan dan relatif otonom berusaha menyuarakan nilai-nilai, mendirikan perkumpulan dan menggalang solidaritas serta memperjuangkan kepentingan mereka. Kondisi ini sebagai arena tempat tokoh-tokoh politik bersaing mendapatkan hak yang sah untuk menjalankan kontrol atas kekuasaan publik dan aparat negara antara masyarakat sipil saling melengkapi dan bukan saling meniadakan.

Kedua, masyarakat politik yang otonom; Kondisi yang memungkinkan pengembangan masyarakat politik yang otonom; kepatuhan dari seluruh pelaku politik utama, terutama dari para pejabat pemerintahan. Konsolidasi demokrasi menuntut semua warga negara mengembangkan penghargaan terhadap institusi- institusi pokok masyarakat politik yang demokratis (parpol, legislatif, pemilu dan aturan pemilu, kepemimpinan politik dan aliansi antar partai politik). Masyarakat politik pada akhirnya menjembatani atau melakukan intermediasi antara negara dengan masyarakat politik. Ketiga, kepatuhan pada rule of law; kepatuhan dari seluruh pelaku politik utama, terutama para pejabat pemerintah pada penegakan hukum.

Kepatuhan terhadap sistem hukum yang berlaku menjadi mutlak terlihat dalam konsolidasi demokrasi dalam suatu negara. Keempat, a usable bureaucracy. Harus terdapat birokrasi negara yang dapat dipergunakan oleh pemerintah. Birokrasi yang dimanfaatkan oleh pemerintah dan para pemimpin demokratis. Demokrasi modern memerlukan kapasitas efektif untuk mengatur dan memerintah, untuk itu perlu adanya keadaan yang berfungsi dari birokrasi negara yang dapat digunakan oleh pemerintahan demokratis. Kelima, masyarakat ekonomi yang terlembagakan. Masyarakat ekonomi yang terlembagakann merupakan kondisi kelembagaan ekonomi dari pemerintahan terpilih. Konsolidasi mensyaratkan norma, lembaga dan pengaturan yang menjadi mediasi antara negara dan pasar. Pemilu dan pengaruhnya terhadap bidang ekonomi sangat penting, kepastian akan terbentuknya pemerintah hasil pemilu yang bersih dan efesien mendukung konsolidasi demokrasi.

III. Menghindari Pembajakan Agenda Konsolidasi Demokrasi

Pemilu Serentak 2019 sebagai bagian dari demokrasi elektoral banyak memberikan dampak terhadap pengembangan institusional kenegaraan maupun terhadap pengembangan kapasitas politik formal masyarakat. Pemilu serentak 2019 memberi ruang bagi masyarakat untuk terlibat dalam aktivitas elektoral.

Konsolidasi demokrasi dalam pemilu serentak 2019 terciptanya demokrasi sebagai suatu sistem yang kompleks dari institusi-institusi, aturan-aturan dan dorongan dorongan penghalang yang telah menjadi satu-satunya aturan yang berlaku dimana semua pihak tunduk dan mengakui regulasi sistem pemilihan serentak adalah sistem yang harus dijadikan sebagai rule of the game. Untuk menghindari pembajakan konsolidasi demokrasi ada beberapa agenda yang harus diperhatikan:

(11)

30

Pemilihan Umum Serentak 2019 dan Tantangan Konsolidasi Demokrasi Oleh: Asrifai

1. Kondisi Pengembangan Masyarakat Sipil yang Bebas

Pemilu Serentak 2019 dalam aspek pengembangan masyarakat sipil yang bebas penting dalam konsolidas demokrasi. Kondisi ini sebagai arena bagi masyarakat untuk menyuarakan dan memperjuangkan aspirasi serta tempat tokoh-tokoh politik bersaing mendapatkan hak yang sah untuk menjalankan kontrol atas kekuasaan publik dan aparat negara antara masyarakat sipil saling melengkapi dan bukan saling meniadakan.

Untuk melancarkan konsolidasi demokrasi seperti ini Diamond menyarankan membangun kekuatan masyarakat sipil dan media yang independen yang dapat memelihara modal sosial, partisipasi warga, membatasi tetapi memperkuat kewenangan konstitusional dari negara. Pengembangan masyarakat sipil yang bebas tidak dimaknai dengan dengan kebebasan yang tidak bertanggung jawab. Suara mayoritas harus menghormati dan mengakui pilihan warga yang berbeda dan minoritas sehingga tidak terjadi tirani mayoritas. Pentingnya memperkenalkan program pendidikan warga demi meningkatkan pendidikan politik warga negara. Pengembangan pendidikan politik juga dalam rangka meningkatkan literasi politik sehingga dalam kontestasi pemilihan umum, ujaran kebencian (hate spech) dan hoax tidak gampang dimainkan dalam mencapai tujuan.

Konsolidasi demokrasi dalam penguatan masyarakt sipil pentingnya elite harus mempunyai sikap, pilihan, tindakan dan keyakinan yang kuat pada demokrasi dan membangun konsensus bersama untuk konsolidasi demokrasi. Konteks ini elite terutama pasangan calon telah memperlihatkan konsensus bersama bahkan calon presiden Prabowo Subianto berada dalam kabinet Indonesia Maju.

Selain itu penting untuk memperkenalkan, baik di dalam maupun di luar sistem program pendidikan warga yang baru yang dapat menumbuhkan kemampuan untuk berpartisipasi dan meningkatkan toleransi, nalar, moderasi, dan kompromi, yang merupakan tanda dari kewargaan yang demokratis. Kemampuan untuk berpartisipasi dengan keterlibatan warga negara secara otonom dalam pemilihan umum. Tingkat partisipasi masyarakat pada pemilu 2019 untuk pemilihan legislatif sebanyak 81,69%

untuk pemilu presdien sebanyak 81,97%. Sementara partisipasi masyarakat pada pemilu 2014 untuk pemilihan legislatif sebanyak 75,2% untuk pemilihan presiden 70%.

Partisipasi masyarakat pada pemilu 2009 untuk pemilihan legislatif sebanyak 70,9%

untuk pemilihan presiden sebanyak 71,7%. Kedua, tingkat keterlibatan masyarakat dalam aktivitas pemantauan pemilu serentak 2019 untuk memberikan informasi dan atau laporan terhadap dugaan pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh peserta dan penyelenggara pemilihan.

2. Masyarakat Politik yang Otonom

Konsolidasi demokrasi menuntut semua warga negara mengembangkan penghargaan terhadap institusi-institusi pokok masyarakat politik yang demokratis (parpol, legislatif, pemilu dan aturan pemilu, kepemimpinan politik dan aliansi antar partai politik).

Parpol berperan dalam mendorong dan mengembangkan penghargaan terhadap

(12)

institusi-institusi pokok masyarakat yang demokratis. Namun pada Pemilu 2019 parpol memunculkan oligarki dengan membuat batasan ambang batas presidential threshold sebesar 20 persen atau 25 persen suara dalam pemilihan legislatif sebelumnya. Idealnya dalam masyarakat politik yang otonom pemilih harus diizinkan untuk memilih calon bukan hasil pemilu sebelumnya. Kondisi ini yang memunculkan pembelahan masyarakat sipil yang memunculkan hanya dua pasangan. Olehnya penting mendorong dilakukan modernisasi partai politik serta menaikkan ambang batas parlemen untuk keikutsertaan pada pemilu berikutnya sehingga terjadi penyederhanaan partai.

Konsolidasi demokrasi merujuk pada pelembagaan penguatan daya penetrasi masyarakat ke dalam ranah dan aktivitas politik formal di tingkat pusat maupun ditingkat daerah. Pemilu serentak 2019 ajang bagi penguatan peran masyarakat yang berlangsung secara terus menerus atau dalam pemerintahan terpilih lima tahun berikunya. Melalui cara ini keterlibatan masyarakat dalam aktivitas rutin pemerintah dapat dilaksanakan dengan berbagai isu dan mekanisme.

Pemilu Serentak 2019 terlihat bagaimana kebebasan masyarakat dalam mengikuti kontestasi pemilu serentak 2019 dalam proses kandidasi atau kebebasan warga negara dalam memenuhi hak-hak konstitusional warga negara untuk dipilih dan memilih.

Pada pemilu serentak yang harus mendapatkan perhatian kemandirian media dalam pemberitaan yang memiliki kecenderungan tidak netral dalam pemilu.

Pengembangan masyarakat sipil yang bebas dalam pemilu serentak 2019 terwujud dalam kebebasan warga negara untuk terlibat dalam menentukan hak pilihnya (right to vote). Penyelenggara harus memastikan setiap warga negara yang memenuhi syarat dapat menggunakan hak pilihnya. Dalam pemilu setiap orang yang sudah dewasa (adult) memiliki hak pilih (right to vote), dan memiliki hak untuk menentukan pilihannya.

3. Kepatuhan pada Rule of Law

Pemilu Serentak 2019 dalam aspek rule of law, dapat dipotret pada proses penanganan pelanggaran administrasi pemilu, pelanggaran kode etik, penanganan pelangaran pidana pemilu dan sengketa pemilu. Pelanggaran administrasi pemilu adalah pelanggaran yang meliputi tata cara, prosedur dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilihan dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilihan yang dilakukan oleh KPU. Pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu adalah pelanggaran terhadap etika penyelenggara pemilihan yang berpedoman pada sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu yang dilakukann oleh KPU atau Bawaslu. Tindak pidana pemilu, merupakan pelanggaran atau kejahatan terhadap ketentuan pemilihan sebagaimana diatur dalam UU Pemilihan. Sengketa pemilu adalah sengketa yang diajukan oleh peserta pemilu terhadap putusan penyelenggara pemilu atau antar peserta pemilu. Sengketa pemilu terdiri dari sengketa proses (sengketa pencalonan) yang ditangani oleh Bawaslu dan sengketa hasil pemilihan (perselisihan hasil pemilu) ditangani oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

(13)

32

Pemilihan Umum Serentak 2019 dan Tantangan Konsolidasi Demokrasi Oleh: Asrifai

Pelanggaran pada tahapan kampanye masih mendominasi dalam pemilu sereatak 2019 dalam bentuk pelanggaraan kampanye di tempat ibadah sebanyak 49, pelanggaran kampanye ditempat pendidikan sebanyak 33, pelanggaran kampanye menggunakan fasilitas pemerintah 226. Selain itu bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh ASN sebanyak 134, anggota polisi 1 orang, pelanggaran keterlibatan pejabat non parpol 11, pelanggaran keteribatan pejabat BUMN 7 orang. Pemilu serentak 2019 juga masih dibajak dengan pelanggaran politik uang sebanyak 67 kasus, kampanye tanpa izin 1.363 bahkan terdapat intimidasi terhadap pengawas pemilu sebanyak 20 kasus (Laporan Kinerja Bawaslu 2019).

Aspek kepatuhan hukum terutama pada aspek penerimaan peserta pemilu terhadap hasil penetapan pemilu dapat dilihat dari jumlah gugatan dalam perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) yang diajukan ke Mahkamah Agung (MA). PHPU pemilu serentak 2019 sebanyak 325 pemohon atau lebih sedikit dari pemilu tahun 2014 sebanyak 903 pemohon. Sementara pemilu tahun 2009 jumlah pemohon PHPU sebanyak 628 (data MK).

Untuk mencapai konsolidasi demokrasi, diperlukan penegakan hukum yang baik dan harus didukung kemandirian masyarakat sipil. Pemerintahan demokratis menghormati dan menjunjung tinggi supremasi hukum. Hukum yang terkandung dalam semangat konstitusionalisme adalah kondisi yang sangat diperlukan. Semangat konstitusionalisme membutuhkan lebih dari sekedar aturan oleh mayoritas.

Konstitusionalisme mengandung sebuah konsensus yang relatif kuat mengenai konstitusi dan terutama untuk dijadikan sebagai aturan yang mengikat bersama. Agenda konsolidasi memerlukan adanya peningkatan aturan hukum, penumbuhan lembaga- lembaga baru dan penguatan kapasitas lembaga-lembaga negara, sistem kepartaian, dan masyarakat sipil.

4. Pelembagaan Masyarakat Ekonomi

Pemilu Serentak 2019 dalam aspek pelembagaan masyarakat ekonomi, konsolidasi demokrasi mensyaratkan pengaturan secara sosio politik dapat menjadi mediasi antar negara dan pasar. Pemerintahan yang akan terbentuk akan direspon oleh pasar baik secara positif maupun sebaliknya. Konsolidasi demokrasi akan terwujud dengan pelembagaan ekonomi bagi kepentingan rakyat. Oligarki ekonomi khususnya pemilik modal tidak mendapat tempat dan kesempatan mengendalikan pemerintah hasil pemilu. Terdapat korelasi positif antara pertumbuhan ekonomi dan demokrasi sebagaimana dikemukakan Hyden. Sisi pertama pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan berperan sebagai penopang tumbuhnya demokrasi. Sisi kedua terdapat korelasi antara pertumbuhan ekonomi dengan munculnya rezim otoriter birokratis, yaitu pertumbuhan ekonomi justru ditopang keberadaan rezim otoriter birokratis.

(14)

5. Pelembagaan Budaya Politik Demokrasi

Pelembagaan budaya politik demokrasi memberi penekanan bahwa budaya politik demokrasi (toleran, egalitarian, kompromis) sebagai prasyarat bagi terwujudanya konsolidasi demokrasi dengan ciri dan fokus, yaitu relasi horisontal antar-warga masyarakat dan relasi vertikal antara elit-massa atau pemerintah rakyat. Secara horisontal, demokrasi mengajarkan tentang pluralisme, yaitu semangat saling menghargai perbedaan dan melewati batas-batas etnis, agama, daerah, bahasa dan unsur-unsur primordial lainnya. Secara vertikal, demokrasi mengajarkan bahwa pemerintah dan rakyat atau antara elite dengan massa bukan berdasar kepada klientelisme, paternalisme atau patrimonialisme, namun berdasarkan kepada prinsip kewarganegaraan.

Agenda konsolidasi demokrasi tersebut membingkai konteks prilaku, sikap, konstitusi dalam sebuah negara yang mencapai konsolidasi demokrasi. Dari segi perilaku, rezim demokratis dalam sebuah negara kosolidasi jika ada tokoh-tokoh nasional, sosial, ekonomi, politik utama yang tidak menggunakan sumber-sumber penting dalam mencapai tujuan mereka dengan menciptakan rezim non demokratis atau dengan memisahkan diri pada negara.

Dari sikap, konsolidasi demokrasi jika mayoritas opini publik, bahkan di tengah permasalahan ekonomi yang berat dan ketidakpuasan yang mendalam terhadap yang berwenang, tetapi berpegang pada keyakinan bahwa prosedur-prosedur dan institusi demokrasi merupakan cara yang paling tepat mengatur kehidupan kolektif, dan jika dukungan bagi alternatif-alternatif anti sistem sangat kecil atau kurang lebih terisolasi dari kekuatan-kekuatan prodemokrasi.

Dari segi konstitusi, demokrasi yang terkonsolidasi adalah kekuatan-kekuatan pemerintah dan non pemerintah sama-sama tunduk dan terbiasa dengan upaya-upaya pencegahan konflik di dalam batas-batas undang-undang, prosedur dan institusi tertentu yang ditetapkan melalui proses demokratis.

Esensi dari konsolidasi demokrasi adalah terbentuknya sikap dan perilaku warga negara di tingkat elite maupun massa, dalam konteks pemilu serentak 2019, akan dilihat dari sikap dan perilaku masyarakat (elite dan massa) dalam menyikapi pelaksanaan pemilihan serentak tersebut. Syarat bahwa konsolidasi akan terbentuk, maka elite, organisasi dan massa semuanya harus percaya bahwa sistem (electoral system dan electoral process pemilihan serentak) yang dipakai layak dipatuhi dan dipertahankan, baik dalam tataran norma maupun dalam tataran prilaku. Bahwa apapun hasil dan siapapun yang memenangkan pemilu serentak 2019 sepanjang sesuai dengan mekanisme dan peraturan yang berlaku maka elit dan massa harus tunduk dan menerimanya. Inilah esensi dasar konsolidasi demokrasi dalam pemilu serentak 2019 langsung.

IV. KESIMPULAN

Kondisi konsolidasi demokrasi pada pemilu 2019 mendapat tantangan karena beberapa hal: pertama, masyarakat sipil menjadi terbelah terutama setelah penetapan pasangan

(15)

34

Pemilihan Umum Serentak 2019 dan Tantangan Konsolidasi Demokrasi Oleh: Asrifai

calon presiden yang hanya menetapkan dua pasangan. Kedua, kemerdekaan berserikat dan bersuara dengan literasi digital yang rendah. Ketiga, penegakan dan kepatuhan terhadap hukum masih lemah, hal ini terlihat pada banyaknya pelanggaran dalam tahapan pemilu serentak 2019. Keempat, oligarki ekonomi dan politk di level pusat dan daerah yang menyandera pemerintahan hasil pemilu.

Untuk mencegah agar agenda konsolidasi demokrasi agar tidak dibajak penting untuk menciptakan agenda: pertama, kondisi pengembangan masyarakat sipil yang bebas. Pemilu serentak 2019 dalam aspek pengembangan masyarakat sipil yang bebas penting dalam konsolidas demokrasi. Kondisi ini sebagai arena bagi masyarakat untuk menyuarakan dan memperjuangkan aspirasi serta tempat tokoh-tokoh politik bersaing mendapatkan hak yang sah untuk menjalankan kontrol atas kekuasaan publik dan aparat negara antara masyarakat sipil saling melengkapi dan bukan saling meniadakan. Kedua menciptakan masyarakat otonomi, konsolidasi demokrasi merujuk pada pelembagaan penguatan daya penetrasi masyarakat ke dalam ranah dan aktivitas politik formal di tingkat pusat maupun ditingkat daerah. Pemilu serentak 2019 ajang bagi penguatan peran masyarakat yang berlangsung secara terus menerus atau dalam pemerintahan terpilih lima tahun berikunya. Ketiga, kepatuhan pada rule of law, untuk mencapai konsolidasi demokrasi, diperlukan kemandirian masyarakat sipil dan harus didukung penegakan hukum yang baik. Pemerintahan demokratis menghormati dan menjunjung tinggi supremasi hukum. Hukum yang terkandung dalam semangat konstitusionalisme adalah kondisi yang sangat diperlukan. Keempat pelembagaan ekonomi masyarakat dan kelima, pelembagaan budaya demokrasi. Terdapat korelasi positif antara pertumbuhan ekonomi dan demokrasi. Sisi pertama pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan berperan sebagai penopang tumbuhnya demokrasi. Sisi kedua terdapat korelasi antara pertumbuhan ekonomi dengan munculnya rezim otoriter birokratis, yaitu pertumbuhan ekonomi justru ditopang keberadaan rezim otoriter birokratis. Kelima, pelembagaan budaya politik demokrasi, memberi penekanan bahwa budaya politik demokrasi (toleran, egalitarian, kompromis) sebagai prasyarat bagi terwujudnya konsolidasi demokrasi dengan ciri dan fokus, yaitu relasi horisontal antar-warga masyarakat dan relasi vertikal antara elite-massa atau pemerintah rakyat. v

DAFTAR PUSTAKA

Anders Uhlin, 1997, Democracy and Diffusion: Transnational Lesson-Drawing among Indonesian and the “Third Wave of Democratization” (Richmond Surrey: Curzon Press).

Annan Kofi, 2000, Deepening Democracy a Strategi for Improving the Integrity of Elections.

Arend Lijphart, 1997, The Politic of Accommodation: Pluralism and Democracy in the Netheralans (Berkeley: Univeristy of California Press, 1968); “Typologies of Democratic System” Comparative Political Studies, No. Q 1968; “Consociational Democracy” , Word Politics, 21, january 1969; dan Democracy in plural Societies (new Haven: Yale University Press).

(16)

Batemen, Heather and Katy Mc Adam, 2003, Dictionary of Human Resource and Personel Management. Third Edition. London: A&C Black Publishers L.td.

Berman, Evan M, 2006, Performance and Productivity in Public ad Nonprofit Organization, Second Edition. London: M.E Sharpe.

David Held, Models of Democracy (Cambridge: Polity Press, 1987) dan Democracy and the Global Order (Stanford, california: Stanford University Press.

Gaffar Afan, 2000, Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, Pusaka Pelajar, Yogyakarta.

Guy S Goodwin-Gill, Pemilu Jurdil, Pengalaman dan Standar Internasional, PIRAC, the Asia Foundation, 1999.

Guillermo O’ Donnel dan PhillipeC. Schmitter, 1993, Transisi MenujuDemokrasi Jakarta, LP3ES.

Karim Rusli, 2006, Pemilu Demokratis Komptitif, Yogyakarta, Tiara Wacana.

Larry Diamond, Juan Linz dan Seymour Martin Lipset (eds.),1989, Democracy in Asia (Boulder, Colorado: Lynne Rienner).

Linz, Juan J., and Alfred C. Stepan. 1996. Problems of Democratic Transition and Consolidation:

Southern Europe, South America, and Post-Communist Europe. Baltimore, MD: Johns Hopkins University Press.

Merriam, Sharan B 1998, Case Studi Research in Education A Qualitative Aprroach San Francisco: Jossey – Bass Publisher.

Robbins, Stephen P. 1996. Organizational Behaviour: Concepts, Controversies, Aplications.

Seventh Edition. New York: Prentice Hall International, Inc.

Schelder Andreas, 1998, What is Democratic Consolidation?, Journal of Democracy 9.2.

Sutoro Eko, 2003, Transisi Demokrasi Indonesia, Runtuhnya Rezim Orde`Baru Jogyakarta:

APMD Press.

Referensi