• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ... - UNISMA Repository

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ... - UNISMA Repository"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

AGUNG dalam PERKARA PIDANA di INDONESIA

Skripsi

Diajukan Untuk memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Kesarjanaan Dalam Ilmu Hukum

Oleh M Iman Permana

21501021028

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM MALANG MALANG

2020

(2)

2

AGUNG dalam PERKARA PIDANA di INDONESIA

Skripsi

Diajukan Untuk memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Kesarjanaan Dalam Ilmu Hukum

Oleh M Iman Permana

21501021028

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM MALANG MALANG

2020

(3)

PERKARA PIDANA DI INDONESIA M Iman Permana

Fakultas Hukum Universitas Islam Malang Jl. Mayjen Haryono Nomor 193, Kota Malang

Email: Permana.empret@yahoo.coom ABSTRACT

The case adjournment by the Attorney General obtained from absolute authority by law experienced many developments, one of which was a change in the mechanism for giving deponering, after the Constitutional Court Decision Number 29 / PUU-XIV / 2016 submitted by Irwansyah Siregar and Dedi Nuryadi. The Petitioner questioned Article 35 letter c of Law 16 of 2004 concerning the Attorney General's Office of the Republic of Indonesia and its explanation, regarding the phrase must pay attention to the suggestions and opinions of the relevant state power agencies and the public interest. This research is a normative legal research, which is carried out by examining library materials, which are secondary data and legislation as primary legal materials. This study uses a conceptual approach, a legal approach, a case approach, and a comparative approach. Based on this research, several problems were found. What is the ratio of the Constitutional Court to Decision Number 29 / PUU-XIV / 2016 regarding the granting of deponering by the Attorney General in criminal cases in Indonesia? What is the mechanism for granting deponering by the Attorney General after the Constitutional Court ruling?

Keyword : Prosecutor’s Office, deponering, Decision of the Constitutional

(4)

Penyampingan perkara oleh Jaksa Agung yang diperoleh dari kewenangan mutlak oleh undang-undang mengalami banyak perkembangan, yakni salah satunya adalah perubahan tentang mekanisme pemberian deponering, setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-XIV/2016 yang diajukan oleh Irwansyah Siregar dan Dedi Nuryadi.

Pemohon memperosalkan Pasal 35 huruf c UU 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia beserta penjelasannya, tentang frasa wajib memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang berkaitan dan kepentingan umum. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, yang merupakan data sekunder dan aturan perundang-undangan sebagai bahan hukum primer.

Penelitian ini menggunakan pendekatan konseptual, pendekatan undang-undang, pendekatan kasus dan pendekatan perbandingan. Berdasarkan penelitian tersebut ditemukan beberapa masalah Apa ratio decidendi Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 29/PUU- XIV/2016 tentang pemberian deponering oleh Jaksa Agung dalam perkara pidana di Indonesia Bagaimana mekanisme pemberian deponering oleh Jaksa Agung sesudah putusan Mahkamah Konstitusi?

Kata Kunci : Kejaksaan, deponering, Putusan Mahkamah Konstitus

1. Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

2. Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang 3. Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

(5)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia berhak menentukan cita- cita hukumnya sendiri, lahirnya Hukum Acara Pidana Nomor 8 Tahun 1981 merupakan karya terbesar bangsa Indonesia menggantikan H.I.R (Het herziene Inland Reglement). Salah satu yang terdapat dalam KUHAP ialah asas oportunitas. Asas oportunitas ialah asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum.1

Di Indonesia dikenal lembaga kejaksaan ialah badan yang khusus diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan disebut penuntut umum. Kejaksaan Republik Indonesia (Kejaksaan RI) merupakan lembaga negara yang diatur dalam Undang-undang Nomor 16 tahun tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Kejaksaan memiliki wewenang yang khusus karena wewenang penuntutan dipegang oleh jaksa yang menjadi penuntut umum sebagai monopoli, artinya tiada badan lain yang boleh melakukan itu. Ini disebut dominus litis di tangan penuntut umum atau jaksa.2

1 A.Z Abidin. (1980) Sejarah dan Perkembangan Asas Oportunitas di Indonesia, Jakarta, Nusa Media h. 12.

2 Andi Hamzah, (2017), Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta; Sinar Grafika. h. 16.

(6)

2

Kejaksaan Republik Indonesia dalam menjalankan kerja-kerjanya dipimpin langsung oleh Jaksa Agung. Perwujudan asas oportunitas atau hak mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum ini hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung, istilah ini dikenal dengan deponering. Hak mengenyampingkan perkara ini diakui dalam Pasal 35 huruf c undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang berbunyi sebagai berikut:

“Jaksa Agung dapat mengenyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum”

Menurut Pasal Ini, penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan delik jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum.

Jadi, demi kepentingan umum, seseorang yang melakukan delik tidak dituntut.

Dalam praktek untuk terjaminnya kepastian hukum dalam rangka pelaksanaan asas oportunitas, Jaksa Agung menuangkannya dalam surat penetapan atau keputusan yang salinannya diberikan kepada yang berkepentingan khususnya kepada yang dikesampingkan perkaranya demi kepentingan umum.3

Alasan demi kepentingan umum inilah jaksa agung dapat mengenyampingkan perkara, namun tidak setiap kasus perkara pidana dapat dikesampingkan perkaranya demi kepentingan umum. Artinya, kepentingan umum inilah harusnya oleh undang- undang diberikan tafsir secara eksplisit. Selain daripada itu mekanisme pengajuan deponering Jaksa Agung hanya perlu mengeluarkan surat penetapan atau keputusan.

Dari uraian diatas, mekanisme kewenangan jaksa agung mengeluarkan deponering menjadikan timbulnya ketidakpastian hukum. Dengan tolak ukur kepentingan umum yang multitafsir dan proses pengambilan keputusan deponering terkesan subjektif Jaksa Agung. Selain itu hal ini akan berpotensi disalahgunakan,

3 Suharto Rm, (2004), Penuntutan dalam Praktek Perdilan, Jakarta: Sinar Grafika, h.10.

(7)

3

dimana setiap perkara dapat dikesampingkan hanya dengan satu surat dan pertimbangan Jaksa Agung dan menyebabkan pelanggaran dan kerugian hak konstitusional warga negara Indonesia untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum serta perlakuan yang sama dihadapan hukum dan terbebas dari perlakuan diskriminatif, sebagaimana tertuang dalam UUD NKRI 1945.

Pada tahun 2010, dalam kasus Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah dalam penanganan kasus dugaan suap yang menimpa dua orang pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Jaksa Agung mengeluarkan deponering atas desakan dari masyarakat dan dua mantan anggota tim 8. Deponering ini dikeluarkan demi kepentingan umum yang dalam upaya menjaga KPK tetap dapat berfungsi memberantas korupsi.4

Pada tahun 2016, Kasus kembali menimpa pimpinan Komisi pemberantasan Korupsi, Kali ini kepada Abraham samad dengan kasus pemalsuan data kependudukan di Sulawesi selatan, dan Bambang Widjayanto dengan kasus dugaan memperngaruhi saksi dalam persidangan sengketa pemilihan Bupati Kabupaten Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi. Dua kasus ini muncul bersamaan di kepolisian tak lama KPK menetapkan calon Kapolri waktu itu Komisaris Jendral Budi Gunawan sebagai tersangka kasus dugaan rekening gendut.5

Dari berbagai kasus diatas menunjukkan bahwa pasal 35c Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menimbulkan berbagai implikasi, utamanya bagi masyarakat Indonesia yang mencita-citakan keadilan dapat terwujud di Indonesia, Karena siapapun sama di depan hukum tanpa terkecuali,

4 BBC News, 2010, Kejaksaan Keluarkan Seponering Bibit-Chandra https: // www.bbc.com / indonesia / berita_indonesia / 2010/ 10/ 101029_deponeering Diakses pada Tanggal 1 Februari 2020 Pukul 22.00.

5 Tempo, 2016, Seponering kasus BW dan AS, https://nasional.tempo.co/read/744128/seponering-as dan-bw- istana-itu-wewenang-jaksa-agung Diakses pada Tanggal 1 Februari 2020 Pukul 22.00.

(8)

4

dengan adanya pemberian surat keputusan deponering maka yang ada hanya ketidakadilan bagi masyarakat Indonesia.

Kendatipun pemberian deponering merupakan hak yang diberikan kepada Jaksa Agung, tetapi belum ada indikator yang jelas siapa saja yang berhak untuk diberikan deponering karena hal tersebut guna tercapainya tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan.

Dengan diajukannya permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi oleh Irwansyah Siregar dan Dedi Nuryadi dan telah diputuskan dalam putusan Nomor 29/PUU-XIV/2016 bahwa pasal 35 huruf c Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia telah dinyatakan bertentangan dengan Undang- undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Jaksa Agung wajib memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.” Putusan ini mengakhiri problematika yang terjadi tentang kewenangan Jaksa Agung mengajukan deponering.

Berdasarkan uraian dikemukakan diatas menarik untuk dikaji dan diteliti tentang kewenangan Jaksa Agung mengeluarkan deponering sesudah adanya putusan Mahkamah Konstitusi penulisan skripsi ini dengan judul “Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-XIV/2016 tentang Pemberian Deponering oleh Jaksa Agung dalam Perkara Pidana di Indonesia”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas maka yang menjadi rumusan permasalahan pada penelitian ini adalah

(9)

5

1. Apa ratio decidendi Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 29/PUU- XIV/2016 tentang pemberian deponering oleh Jaksa Agung dalam perkara pidana di Indonesia?

2. Bagaimana deponering sebelum dan sesudah putusan Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 29/PUU-XIV/2016?

3. Bagaimana mekanisme pemberian deponering oleh Jaksa Agung sesudah putusan Mahkamah Konstitusi?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk memahami ratio decidendi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU- XIV/2016 tentang pemberian deponering oleh Jaksa Agung dalam perkara pidana di Indonesia.

2. Untuk memahami perkembangan secara utuh tentang asas oportunitas di Indonesia

3. Untuk memahami mekanisme pemberian deponering oleh Jaksa Agung sesudah putusan Mahkamah Konstitusi.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. Untuk mengetahui secara jelas perkembangan asas dalam KUHAP khususnya asas oportunitas.

b. Untuk mengetahui perkembangan deponering di Indonesia

c. Untuk mengetahui secara jelas tentang perubahan mekanisme pemberian deponering oleh Jaksa Agung sesudah putusan Mahkamah Konstitusi.

2. Manfaat Praktis

(10)

6

Hasil dari penyusunan skripsi ini diharapkan dapat menambah dan memberikan pemahaman kepada masyarakat khususnya akademisi dan praktisi hukum dalam mengikuti perkembangan asas oportunitas.

E. Orisinalitas Penelitian

Berkaitan dengan penelitian yang akan ditulis oleh penulis, sebelumnya telah dilakukan penelitian yang juga berkaitan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis, dan dalam penelitian tersebut terdapat beberapa persamaan, kebenaran, dan kontribusi yang jika dibandingkan dengan penelitian dilakukan penulis, yaitu: Skripsi yang pertama dengan judul ANALISIS YURIDIS PEMBERIAN SEPONERING OLEH JAKSA AGUNG (STUDI KASUS PENYAMPINGAN PERKARA ABRAHAM SAMAD) yang disusun oleh Ahmad Tojiwa Ram, Mahasiswa Universitas Hasanuddin, memiliki kesamaan dengan penelitian yang ditulis oleh penulis, yaitu mengkaji seperti apa pemberian deponering oleh Jaksa Agung, sedangkan perbedaannya penelitian yang dilakukan penulis lebih luas dengan membahas ratio decidendi Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 29/PUU- XIV/2016 oleh tentang pemberian deponering Jaksa Agung dalam perkara pidana di Indonesia.

Berdasarkan persamaan, Perbedaan dan kontribusi yang dimiliki oleh tiap-tiap penelitian tersebut, terdapat kebaruan atas penelitian ini yakni:

No. PROFIL JUDUL

1 Ahmad Tojiwa Ram Universitas Hasanuddin

ANALISIS YURIDIS PEMBERIAN SEPONERING OLEH JAKSA AGUNG (STUDI

KASUS PENYAMPINGAN PERKARA ABRAHAM

SAMAD) ISU HUKUM

(11)

7

1. Bagaimana dasar pertimbangan Jaksa Agung dalam memberikan seponering kepada Abraham Samad secara yuridis dapat dibenarkan?

2. Bagaimana konsekuensi hukum terhadap pemberian deponering kepada Abraham Samad oleh Jaksa Agung?

HASIL PENELITIAN

1. Berdasakan data yang ada didapatkan oleh penulis mengenai skripsi tersebut maka diperoleh hasil penelitian tentang pemberian seponering oleh Jaksa Agung kepada Abraham Samad merupakan kewenangan dari Jaksa Agung berdasarkan pasal 35 huruf c Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

2. Berdasarkan data yang ada didapatkan oleh penulis mengenai skripsi tersebut maka diperoleh hasil penelitian tentang alasan pemberian seponering Abraham Samad terdiri dari tiga alasan yaitu pertama, alasan filosofis, alasan sosiologis dan alasan yuridis.

PERSAMAAN Sama-sama membahas tentang pemberian seponering oleh Jaksa Agung dalam perkara pidana.

PERBEDAAN Penelitian yang dilakukan penulis lebih luas dan spesifik membahas tentang putusan Mahkamah Konstitusi tentang pemberian seponering oleh Jaksa Agung dalam perkara pidana.

KONTRIBUSI Mengetahui alasan dan urgensi pengenyampingan perkara kasus Abraham samad

Skripsi yang kedua dengan judul PERTIMBANGAN HUKUM JAKSA AGUNG PADA DISKRESI DEPONERING KASUS PIDANA ABRAHAM SAMAD DALAM KAJIAN HUKUM PIDANA ISLAM yang disusun oleh Firdanang Bagus Anugrah, Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, memiliki kesamaan dengan penelitian yang ditulis oleh penulis, yaitu mengkaji seperti apa pemberian deponering oleh Jaksa Agung, sedangkan perbedaannya penelitian yang dilakukan penulis lebih luas dengan membahas ratio decidendi Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 29/PUU-XIV/2016 oleh tentang pemberian deponering Jaksa Agung dalam perkara pidana di Indonesia

(12)

8

Berdasarkan persamaan, Perbedaan dan kontribusi yang dimiliki oleh tiap-tiap penelitian tersebut, terdapat kebaruan atas penelitian ini yakni:

No. PROFIL JUDUL

2 Firdanang Bagus Anugrah Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

PERTIMBANGAN HUKUM JAKSA AGUNG PADA DISKRESI DEPONERING KASUS PIDANA ABRAHAM

SAMAD DALAM KAJIAN HUKUM PIDANA ISLAM ISU HUKUM

1. Bagaimana dasar pertimbangan Jaksa Agung pada diskresi seponering kasus pidana Abraham Samad?

2. Bagaimana pertimbanan hukum Jaksa Agung pada diskresi seponering kasus pidana Abraham Samad dalam kajian hukum pidana Islam?

HASIL PENELITIAN

1. Berdasakan data yang ada didapatkan oleh penulis mengenai skripsi tersebut maka diperoleh hasil penelitian tentang pemberian seponering oleh Jaksa Agung kepada Abraham Samad merupakan kewenangan dari Jaksa Agung berdasarkan pasal 35 huruf c Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Dan pertimbangan hukum secara filosofis, sosiologis, terkait alasan yuridis.

2. Berdasarkan data yang ada didapatkan oleh penulis mengenai skripsi tersebut maka diperoleh hasil penelitian tentang alasan pemberian seponering Abraham Samad dalam hukum pidana Islam dapat dipadakan dengan konsep alafwu, yaitu pemberian maaf atau pengampunan.

PERSAMAAN Sama-sama membahas tentang pemberian seponering oleh Jaksa Agung dalam perkara pidana.

PERBEDAAN Penelitian yang dilakukan penulis lebih luas dan spesifik membahas tentang putusan Mahkamah Konstitusi tentang pemberian seponering oleh Jaksa Agung dalam perkara pidana.

KONTRIBUSI Mengetahui alasan pertimbangan jaksa agung dalam memberikan deponering

(13)

9 F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penelitian hukum ini adalah penelitian hukum normatif, nama lain dari penelitian hukum normatif ialah penelitian hukum doktriner, juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen. Disebut penelitian hukum doktriner, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain.6 Penulis akan banyak melaukan penelitian perpustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.

Penelitian ini berfokus pada kewenangan Jaksa Agung dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-XIV/2016.

2. Pendekatan Penelitian

Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Pendekatan Konseptual (Conseptual Approach) adalah pendekatan dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada.7 Penulis akan fokus melakukan pendekatan konseptual dan membangun argumentasi hukum dengan menelaah makna kepentingan umum dalam pemberian deponering oleh Jaksa Agung dalam perkara pidana.

b. Pendekatan Kasus Hukum (Case Approach) adalah pendekatan alasan-alasan atau pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai pada putusannya.8 Penulis akan mengangkat kasus hukum seputar judul untuk menemukan jawaban keterkaitan isu hukum yang diangkat yakni Putusan

6 Suratman, Philips Dillah, (2015), Metode Penelitian Hukum, Bandung: Alfabeta, h. 51.

7 Peter Mahmud Marzuki, (2011), Penelitian Hukum, Jakarta; Kencana Prenada Media Group. h. 35.

8 Ibid., h. 158.

(14)

10

Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-XIV/2016 bahwa pasal 35 huruf C Undang-Undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Negara Dasar Republik Indonesia tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum, mengikut sepanjang tidak dimaknai “Jaksa Agung wajib memperharukan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan amsalah tesebut” putusan ini mengakhiri problematika yang terjadi tentang kewenangan jaksa agung mengajukan deponering.

c. Pendekatan Perundang-perundangan adalah pendekatan yang menggunakan legislasi dan regulasi. Produk yang merupakan beschiking/decree, yaitu suatu keputusan yang diterbitkan oleh pejabat administrasi yang bersifat konkret dan khusus, misalnya keputusan presiden, keputusan menteri, keputusan bupati, dan keputusan suatu badan tertentu. Tidak dapat digunakan dalam pendekatan perundang-undangan. Untuk hal ini, penulis akan melakukan pendekatan undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan kewenangan Jaksa Agung dalam pemberiandeponering dalam perkara pidana di Indonesia.

d. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach) adalah pendekatan yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan dan persamannya serta mengetahui sebab-sebab dan faktor-faktor yang mempengaruhi persamaan dan perbedaan di Negara yang digunakan untuk perbandingan.

3. Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian Hukum normatif, bahan yang digunakan

(15)

11

a. Bahan hukum primer adalah merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif, artinya mempunyai otoritas9, antara lain:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana;

3. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia;

4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 24 tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi;

5. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan kehakiman;

6. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-XIV/2016;

b. Bahan sekunder, yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Dalam penulisan skripsi ini penulis mempergunakan bahan hukum sekunder berupa literatur-literatur, jurnal.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan hukum sekunder, yaitu berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia.10

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan-bahan hukum dilakukan dengan kegiatan studi kepustakaan (library research) dan dokumentasi (documentary research). Studi kepustakaan merupakan langkah yang penting dimana setelah seorang peneliti menetapkan topik penelitian, langkah selanjutnya adalah melakukan kajian yang berkaitan dengan teori yang berkaitan dengan topik penelitian. Dalam pencarian teori, peneliti akan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari kepustakaan yang berhubungan agar dapat menjawab isu hukum. Diantaranya

9 Ibid., h. 172.

10 Soerjono Soekanto, (2012), Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta; UII-Pers. h. 96.

(16)

12

diperoleh dari, Buku, Jurnal, majalah, hasil penelitian (skripsi, tesis dan disertasi) dan sumber-sumber lainnya yang sesuai (internet, koran dll)

5. Teknik Analisis Bahan Hukum

Penganalisaan bahan hukum yang terkumpul, baik dari bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dan tersier, dipergunakan teknik deskriptif analisis, yaitu dengan mendeskripsikan bahan hukum terlebih dahulu kemudian menganalisa melalui teknik analisis sebagai berikut:

1. Teknik deskriptif, yaitu uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari preposisi-preposisi hukum atau non hukum. Penulis akan menguraikan kasus yang berkaitan dan mempunyai isu hukum dengan tema penulis.

2. Teknik evaluatif, yaitu melakukan penilaian dan mengevaluasi tepat atau tidak tepat, benar atau tidak benar, sah atau tidak sah terhadap suatu pandangan, preposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Sebagai salah satu teknik yang dipilih oleh penulis, teknik evaluatif menjadi sangat penting dikarenakan isu hukum yang pertama penulis mengangkat pertimbangan hakim konstitusi

3. Teknik Argumentatif, yaitu penilaian yang didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Penulis memilih teknik argumentatif dikarenakan, tafsir kepentingan umum yang tidak dapat ditemukan istilah undang-undang dan dijadikan dasar oleh Jaksa Agung saat memberikan deponering dalam perkara pidana.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini dilakukan dengan membagi ke dalam empat bab dengan dengan sistematika sebagai berikut:

(17)

13 BAB I: PENDAHULUAN

Pendahuluan ini diuraikan tentang latar belakang masalah, rumusan, masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian yang digunakan, orisinalitas penelitian, dan yang terakhir adalah sistematika penulisan yang memberikan pemahaman terhadap isi dari penelitian secara garis besar

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

Akan memaparkan tentang tinjauan umum Kejaksaan, asas-asas dalam KUHAP, dan tentang tentang sifat putusan Mahkamah Konstitusi.

BAB III: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pembahasan pertama dalam bab ini akan menguraikan tentang pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi terkait dalam putusannya nomor 29/PUU-XIV/2016 dan juga akan membahas tentang bagaimana mekanisme pemberian deponering oleh Jaksa Agung dalam perkara pidana sesudah putusan Mahkamah Konstitusi di Indonesia.

BAB IV: KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini akan dipaparkan bagaimana kesimpulan dari keseluruhan uraian dan juga saran-saran sebagai sumbangsih pemikiran tersendiri dari penulis

(18)

66 PENUTUP A. KESIMPULAN

Dari uraian skripsi yang telah penulis bahas tersebut maka dapat diambil kesimpulan untuk mengingatkan kembali hal-hal yang penting dan sekaligus menjadi intisari daripada skripsi ini, Beberapa hal yang dapat penulis simpulkan berdasarkan permasalahan yang dibahas, antara lain:

1. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusannya tentang problematika yang terjadi tentang kewenangan deponering oleh Jaksa Agung lewat putusannya Nomor 29/PUU-XIV/2016, bahwa di dalam putusannya tersebut Mahkamah menegaskan tentang pentingnya mengikuti saran serta pendapat dengan badan-badan dan kekuasaan lainnya untuk memberikan deponering.

Tentang pentingnya mendapatkan saran dan pendapat dari badan-badan dan kekuasaan negara untuk menafsirkan frasa ”demi kepentingan umum” guna untuk mengeluarkan deponering, maka dari itu Jaksa Agung wajib hukumnya untuk meminta pendapat dari Mahkamah Agung dan Kepolisian untuk saling berkoordinasi tentang pemberia deponering ini. Putusan ini sekaligus mengurangi potensi disalahgunakan oleh Jaksa Agung, sehingga kepentingan deponering mutlak kepentingan negara, bukan kepentingan Jaksa Agung

(19)

69

DAFTAR PUSTAKA

Perundang-undangan

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 atas perubahan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

Putusan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-XIV/2016 Buku

A.Z Abidin. (1980) Sejarah dan Perkembangan Asas Oportunitas di Indonesia, Jakarta, Nusa Media

Andi Hamzah, (2017), Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta; Sinar Grafika.

Andi Hamzah, (2019), Hukum Pidana Indonesia, Jakarta; Sinar Grafika.

Anang Shophan Tornado, (2019), Reformasi Praperadilan di Indonesia Tinjauan Teori, Praktek, dan Perkembangan Pemikrian, Bandung; Nusa Media.

I D.G. Palguna, (2018), Mahkamah Konstitusi Dasar Pemikiran, Kewenangan dan Perbandingan dengan Negara lain, Jakarta; Konstitusi Press.

Marwan Effendy, (2007), Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, Surabaya; Putra Tunggal.

Moh Mahfud MD, (1998), Politik Hukum di Indonesia, Jakarta; LP3ES.

Monstequieu, (2007), The Spirit of laws. Dasar-Dasar Ilmu Hukum dan Ilmu Politik, Bandung; Nusa media.

Mr. Van Der Tas, (1961), Kamus Hukum Belanda Indonesia, Jakarta; Timun Mas.

O.C. Kaligis, (2015), Deponering Teori dan Praktik, Bandung; PT. Alumni.

Peter Mahmud Marzuki, (2011), Penelitian Hukum, Jakarta; Kencana Prenada Media Group.

(20)

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Agung RI, (1999), Pokok-pokok rumusan Hasil Sarasehan Terbatas Platform Upaya Optimalisasi Pengabdian Institusi Kejaksaan, Jakarta; Kejaksaan Agung RI.

RM Surachman, Jan S Maringka, (2018), Eksistensi Kejaksaan dalam Konstitusi di Berbagai Negara edisi kedua, Jakarta; Sinar Grafika.

Romli Atmasasmita, (1996), Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionalisme, Jakarta; Bina Cipta, h. 15.

R.Tresna, (1978), Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Jakarta; Pradnya Paramita.

RM Surachman, Andi Hamzah, (1996), Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan Kedudukannya, Jakarta; Pradnya Paramita.

Romi Librayanto, (2008), Trias Politik Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta; Gramedia.

Sumanjaya, (2002), Kejaksaan RI dalam Lintasan Sejarah, Majalah Hukum Kejaksaan RI, Jakarta

Supomo, (1981), Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, Jakarta; Pradnya Paramita.

Suharto Rm, (2004), Penuntutan dalam Praktek Perdilan, Jakarta: Sinar Grafika.

Suratman, Philips Dillah, (2015), Metode Penelitian Hukum, Bandung: Alfabeta.

Wirjono Prodjodikoro, (1977), Hukum Acara Pidana di Indonesia, Bandung; Sumur Bandung.

Yahya Harahap, (2016), Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika.

Website

BBC News, 2010, Kejaksaan Keluarkan Seponering Bibit-Chandra https: //

www.bbc.com / indonesia / berita_indonesia / 2010/ 10/ 101029_deponeering Diakses pada Tanggal 1 Februari 2020 Pukul 22.00.

Tempo, 2016, Seponering kasus BW dan AS, https: // nasional. tempo.c o/ read/744128/

seponering -as dan- bw- istana-i tu- wewenang-jaksa-agung Diakses pada Tanggal 1 Februari 2020 Pukul 22.00.

Hukum online, (2010), Bahasa Hukum: Seponering atau Deponering, https: //www.

hukumonline.com/berita/baca/lt4cecd0c51fb6b/bahasa-hukum-iseponeringi-atau- ideponeringi/ Diakses pada Tanggal 1 Februari 2020 Pukul 22.00.

(21)

VOA Indonesia, https://www.voaindonesia.com/a/jagung-deponering-kasus-abraham- samad-dan-bambang-widjojanto--/3219269.html. Diakses tanggal 07 April 2020, Pukul: 08:00 Wib.

Referensi

Dokumen terkait

Nur, Suhendra Kurniawan, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Tindak Pidana Penganiayaan yang Dilakukan Orang Tua (Skripsi), Fakultas Hukum Universitas Lampung,

Based on the research findings, the researcher found the results as follows; 1 there are two kinds of learning objectives, namely general learning objectives and specific learning