Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit. Pembangunan dan pendidikan yang dilakukan bangsa juga bersumber dari hakikat ajaran filsafat. Itulah sebabnya filsafat mendominasi kehidupan manusia, menjadi norma negara dan menjadi falsafah hidup bangsa.
Buku ini menekankan konsep dan penjelasan rinci tentang filsafat pendidikan, suatu pemikiran untuk mengembangkan model pembelajaran yang diperlukan. Buku ini diharapkan dapat memberikan modal ilmu kepada para pembaca, khususnya yang mempunyai tugas langsung di dunia pendidikan, sehingga mampu memahami bagaimana pendidikan dalam paradigma filosofis dan menerapkannya dalam pembelajaran.
Hakikat Pendidikan
Secara kebahasaan, pengertian pendidikan adalah proses perubahan sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok orang dalam upaya mencapai kedewasaan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Kedua, pendidikan dari sudut pandang individu, dimana pendidikan berarti pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan terpendam dalam diri setiap individu, karena kita adalah individu ibarat lautan yang penuh dengan keindahan gaib, hal ini karena tersembunyi di dasar laut yang paling dalam. . Secara linguistik, pendidikan berasal dari kata mendidik, kemudian kata tersebut mendapat awalan “saya” sehingga menjadi mendidik yang artinya memelihara dan memberikan latihan.
Hakikat pendidikan dengan demikian sangat ditentukan oleh nilai-nilai, motivasi dan tujuan pendidikan itu sendiri. Jadi hakikat pendidikan pada dasarnya adalah mendidik manusia menjadi manusia, maka hakikat atau hakikat pendidikan tidak dapat dipisahkan dari fitrah manusia, karena yang menjadi perhatian utama pendidikan adalah manusia.
Sejarah Filsafat Pendidikan
Diantara permasalahan yang dapat dijawab oleh filsafat adalah permasalahan yang ada dalam lingkungan pendidikan. Jika kita perhatikan pemikiran orang-orang Barat yang membahas filsafat, sama sekali terpisah dari apa yang dikatakan agama. Setiap peserta didik harus mempunyai kebebasan untuk mengikuti ilmu yang ada sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya sesuai dengan usianya.
Inilah aliran filsafat yang berisikan materi ajaran, aliran ini, benda-benda adalah sumber segala sesuatu (poerwadarminta, menurut aliran ini berpikiran sederhana, sesungguhnya segala yang ada di dalamnya dapat dilihat dan diamati, baik bentuk, gerak maupun geraknya. terjadi.Pendidikan Bahkan orang-orang mereka akan mengetahui apa yang baik dan apa yang jahat.
Tujuan Filsafat Pendidikan
Teori pendidikan berupaya menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan prinsip pendidikan berdasarkan filosofi pendidikan. Praktik pendidikan atau proses pendidikan melaksanakan serangkaian kegiatan berupa penerapan kurikulum dan interaksi antara guru dan siswa untuk mencapai tujuan pendidikan dengan menggunakan tanda-tanda dari teori-teori pendidikan. Terdapat empat jenis tujuan pendidikan dengan tingkatan dan ruang lingkup yang berbeda-beda, yaitu tujuan pendidikan nasional, tujuan kelembagaan, tujuan kurikuler, dan tujuan pembelajaran.
Tujuan filsafat pedagogi dapat dipahami juga dari beberapa aliran filsafat pendidikan yang hanya dapat mengembangkan pendidikan yaitu. Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa tujuan filsafat adalah menemukan hakikat sesuatu yang sebenarnya, baik secara logika (kebenaran pemikiran), etika (perilaku), maupun metafisika (hakikat kesejatian).
Urgensi Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan hanya dapat bermakna ketika pendidik menyadari perlunya berpikir jernih tentang apa yang mereka lakukan. Guru harus memahami bahwa filsafat pendidikan juga memberikan sesuatu yang lain dalam wawasan dan aktivitas pendidikan itu sendiri. Seperti yang dikatakan Neil: Menjadikan sekolah fit siswa dan bukan match siswa.
Pada tingkat itu memang sekolah memiliki andil yang sangat penting terhadap kebebasan peserta didik dalam melihat potensi- potensi yang ada pada diri mereka sendiri. Dengan demikan, integritas dari pendidik menjadi penting dalam menghasilkan peserta didik yang sanggup menempatkan diri di tengah-tengah perubahan masyarakat yang begitu cepat.
Epistemologi Filsafat Pendidikan
Pengetahuan yang diperoleh dari aspek ontologi kemudian dibawa ke aspek epistemologi untuk diuji kebenarannya dalam kegiatan ilmiah. Permasalahan utama yang dihadapi setiap epistemologi ilmu pengetahuan pada hakikatnya adalah bagaimana memperoleh ilmu pengetahuan yang benar dengan mempertimbangkan aspek ontologi dan aksiologi masing-masing ilmu. Kajian epistemologi membahas tentang proses memperoleh pengetahuan, hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan untuk memperoleh pengetahuan yang benar, apa yang disebut kebenaran dan apa kriterianya.
Dalam memperoleh ilmu pengetahuan yang terpercaya tidak cukup hanya berpikir rasional atau sebaliknya berpikir empiris, karena keduanya mempunyai keterbatasan dalam mencapai kebenaran ilmu. Oleh karena itu, pencapaian kebenaran menurut ilmu pengetahuan dicapai melalui metode ilmiah yang merupakan gabungan atau gabungan antara rasionalisme dan empirisme sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi.
Aksiologi Filsafat Pendidikan
Faktanya, sejak kemunculannya, sains telah dikaitkan dengan isu-isu moral, namun dari sudut pandang yang berbeda. Keputusan inkuisisi Galileo mempengaruhi perkembangan pemikiran di Eropa, yang pada hakikatnya mencerminkan konflik antara ilmu pengetahuan yang ingin bebas dari nilai-nilai ekstra ilmiah dan ajaran (agama). Pada masa itu, para ilmuwan berjuang menciptakan ilmu pengetahuan berdasarkan penafsiran alam dengan semboyan “ilmu tanpa nilai”.
Menghadapi kenyataan seperti itu, sains pada hakikatnya mempelajari alam dengan mempertanyakan apa yang seharusnya, sains sebenarnya digunakan untuk apa, di mana batasan kewenangan eksplorasi ilmiah, dan ke arah mana. Masalah moral dalam menghadapi ekses destruktif ilmu pengetahuan dan teknologi, para ilmuwan terbagi dalam dua pendapat. Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa ilmu pengetahuan yang dibangun atas dasar ontologi, epistemologi, dan aksiologi harus berlandaskan etika agar ilmu pengetahuan tidak lepas dari nilai.
Teori nilai dibedakan menjadi dua, yaitu nilai etika dan nilai estetika. Etika merupakan salah satu cabang filsafat yang membahas tentang perbuatan manusia dan memandangnya dari sudut pandang baik dan buruk. Nilai etika hanya diperuntukkan bagi manusia, hanya saja manusia (hewan, benda, alam) tidak mengandung nilai etika, oleh karena itu tidak dapat dihukum baik atau buruk, salah atau benar. Estetika adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan kreasi seni dan pengalaman yang berkaitan dengan seni atau seni.
Terkadang estetika diartikan sebagai filosofi seni dan terkadang prinsip yang berkaitan dengan estetika diungkapkan sebagai keindahan. Seni sebagai alat untuk bersenang-senang, seni tidak berkaitan dengan pengetahuan tentang alam dan meramalkannya, melainkan manipulasi alam untuk kesenangan. Namun dalam Islam mempunyai nilai universal untuk menilai baik atau buruknya suatu hal, yaitu Alquran dan Hadits.
Konstruktivisme
Konstruktivisme yang dikembangkan oleh Jean Piaget dalam bidang pendidikan dikenal dengan istilah konstruktivisme kognitif atau konstruktivisme personal. Jean Piaget percaya bahwa pembelajaran akan lebih berhasil jika disesuaikan dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Pengetahuan yang diperoleh melalui proses konstruksi pengetahuan tersebut oleh setiap individu akan memberikan makna yang lebih dalam atau lebih diasimilasikan dan disimpan/diingat lebih lama oleh setiap individu.
Selain itu, latihan pemecahan masalah sering dilakukan melalui pembelajaran kelompok dengan menganalisis permasalahan dalam kehidupan sehari-hari, dan (3) siswa diharapkan selalu aktif dan mampu menemukan cara belajar yang cocok bagi dirinya. Prinsip dalam pelaksanaan pengembangan kurikulum pendidikan salah satunya adalah didasarkan pada potensi, perkembangan dan kondisi peserta didik untuk menguasai kompetensinya sendiri. Oleh karena itu, peserta didik harus memperoleh layanan pendidikan yang berkualitas, serta kesempatan untuk mengekspresikan diri secara bebas, dinamis, dan menyenangkan.
Guru berperan sebagai mediator, fasilitator dan teman yang menciptakan situasi yang kondusif bagi terbangunnya pengetahuan pada diri siswa. Dengan demikian tugas pendidik dalam proses pembelajaran adalah memberikan objek pengetahuan yang konkrit, mengajukan pertanyaan berdasarkan pengalaman siswa atau memberikan pengalaman hidup (nilai, perilaku, sikap) yang konkrit untuk dijadikan objek makna; (2) Konstruktivis berpendapat bahwa pengetahuan terbentuk dalam diri individu berdasarkan struktur kognitif yang telah dimilikinya, hal ini berimplikasi pada proses pembelajaran yang menekankan pada aktivitas pribadi siswa. Agar proses pembelajaran dapat berjalan lancar, guru harus cermat mengidentifikasi tingkat perkembangan kognitif siswa.
Berdasarkan pemahamannya, pendidik merancang pengalaman belajar yang dapat merangsang struktur kognitif anak untuk berpikir dan berinteraksi membentuk pengetahuan baru. Pengalaman yang disajikan tidak boleh terlalu jauh dari pengetahuan siswa, tetapi juga tidak boleh sama dengan apa yang telah dimilikinya. Siswa akan merekonstruksi pengetahuan sebelumnya setelah memperoleh pengetahuan baru, yang merupakan interaksi dengan lingkungan belajarnya.
Humanistik
Metode pendidikan juga harus mengandung nilai-nilai intrinsik dan ekstrinsik yang sejalan dengan mata pelajaran dan dapat diwujudkan secara fungsional dalam kehidupan. Pertama, dari sudut pandang sejarah, nilai-nilai budaya merupakan hasil gerakan sejarah yang konkrit. Nilai-nilai budaya sebagai suatu sistem merupakan bagian dari kebudayaan yang berperan sebagai pedoman dan penggerak perilaku manusia.
Nilai-nilai Pancasila sebagai Landasan Aksiologis Sistem Pendidikan Nasional merupakan subsistem dari sistem kehidupan nasional, artinya sistem pendidikan nasional merupakan subsistem dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Landasan aksiologis sistem pendidikan nasional Indonesia adalah Pancasila, karena nilai-nilai budaya Indonesia adalah nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai luhur kehidupan manusia yang terkandung dalam sila kedua Pancasila dirumuskan dari pemahaman hakikat manusia sehingga landasan aksiologis sistem pendidikan nasional Indonesia adalah pelaksanaan landasan ontologisnya.
Perumusan tujuan pendidikan nasional hendaknya ditingkatkan dengan mempertimbangkan pandangan bangsa Indonesia tentang hakikat manusia sebagai landasan ontologisnya dan nilai-nilai pokok landasan aksiologisnya yaitu nilai-nilai Pancasila. Berpikir rasional yang beradab adalah kemampuan berpikir rasional yang memperhatikan nilai-nilai kebenaran, kebaikan, keindahan dan agama. Isu dikembalikannya mata pelajaran pendidikan Pancasila ke dalam kesatuan dengan mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan juga sahih, karena nilai-nilai Pancasila merupakan kepribadian bangsa Indonesia.
Pendidikan karakter merupakan upaya terencana yang tidak hanya mengenal manusia melalui pembelajaran kognitif saja, namun juga memerlukan kepedulian dan internalisasi nilai-nilai. Konsekuensi lebih lanjut adalah rumusan fungsi dan tujuan pendidikan nasional pada bab II pasal 3 juga harus direvisi agar jelas kaitannya dengan nilai-nilai Pancasila. Ada perilaku dan sikap yang selalu mencerminkan nilai agama, nilai hukum, dan nilai budaya.
Di bawah ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan guru dalam menerapkan nilai-nilai Pancasila. Dengan kata lain, agama mengandung nilai-nilai universal yang pada hakikatnya mengajarkan apa yang baik bagi pemeluknya. Artinya nilai-nilai yang dicapai dalam kehidupan bermasyarakat ditularkan kepada setiap individu (anggota masyarakat).
Agama membentuk manusia menjadi lebih baik, bijaksana dengan menanamkan nilai-nilai universal dalam diri manusia.