I. Pendahuluan
Prosedur bedah keratorefraktif telah banyak dilakukan sebagai salah satu alternatif penanganan kelainan refraksi. Berdasarkan American Academy of Ophthalmology, didapatkan sebanyak 800.000 prosedur bedah refraktif dilakukan pada tahun 2010 di Amerika Serikat. Pasien yang pernah menjalani prosedur bedah keratorefraktif suatu hari akan mengalami katarak akibat proses penuaan, sehingga memerlukan prosedur ekstraksi katarak dengan implantasi lensa intraokular.1,2
Perhitungan kekuatan lensa intraokular yang akurat merupakan salah satu komponen yang penting dalam menentukan keberhasilan operasi katarak. Terdapat tiga komponen utama yang mempengaruhi ketepatan pemilihan kekuatan lensa intraokular yaitu pengukuran biometri, pemilihan formulasi yang sesuai dan variabel klinis. Nilai biometri dipengaruhi oleh panjang aksial bola mata, kekuatan refraktif kornea (K) dan posisi lensa efektif atau effective lens position (ELP).
Formulasi kekuatan lensa intraokular terbagi menjadi beberapa generasi yang dapat digunakan. Variabel klinis yaitu keinginan pasien dan masalah klinis pada pasien.1,2,3
Perhitungan kekuatan lensa intraokular paska bedah keratorefraktif menjadi tantangan tersendiri karena terdapat dua komponen biometri yang mengalami perubahan, yaitu nilai K dan ELP, oleh karena itu diperlukan beberapa penyesuaian untuk menghasilkan pengukuran kekuatan lensa intraokular yang akurat.
II. Formulasi Perhitungan Kekuatan Lensa Intraokular
Terdapat tiga komponen utama dalam perhitungan kekuatan lensa intraokular. Komponen pertama adalah biometri yang terdiri dari panjang aksial, nilai keratometri (K) dan effective lens position (ELP). Panjang aksial adalah jarak antara permukaan anterior kornea dengan fovea pada aksis visual. Nilai keratometri diukur dalam dioptri (D) dan merupakan komponen penting dalam perhitungan kekuatan lensa intraokular karena kornea merupakan sistem optik pertama pada mata. Effective lens position adalah jarak antara kornea dan lensa intraokular, tergantung posisi lensa di bilik mata depan, sulkus ataupun di dalam kapsul
lensa.1,2,3,4
Formulasi perhitungan kekuatan lensa intraokular generasi pertama dipublikasikan oleh Fyodorov dan Kolonko pada tahun 1967 berdasarkan schematic eyes. Pada tahun 1978, formulasi ini dikembangkan oleh Retzlaff, Sanders dan Kraff berdasarkan analisis dari serial kasus sehingga dihasilkan formulasi SRK I. Formulasi ini bergantung pada konstanta yang dipengaruhi prediksi posisi lensa intraokular berdasarkan panjang aksial bola mata. Formula SRK dimodifikasi untuk meningkatkan akurasi perhitungan dengan mempertimbangkan variasi dari panjang aksial bola mata untuk memperkirakan ELP. Formula SRK II memiliki konstanta-A yang ditentukan berdasarkan panjang aksial bola mata yang berbeda. Tahun 1988 formulasi generasi ketiga, yaitu Holladay I, SRK/T dan Hoffer Q diperkenalkan. Formulasi tersebut memprediksi jarak antara kornea dengan iris dan jarak antara iris dengan posisi lensa intraokular serta surgeon factor. Tahun 1990, Olsen dkk memperhitungkan kedalaman bilik mata depan dan beberapa faktor lain untuk memprediksi posisi lensa intraokular paska operasi katarak sehingga dihasilkan formulasi Holladay II. Tahun 1999, Wolfgang Haigis menggunakan tiga konstanta berdasarkan karakteristik bola mata dan lensa intraokular untuk memprediksi ELP sehingga dihasilkan formula Haigis.
1,2,3,4
III. Perubahan yang terjadi paska bedah keratorefraktif
Prosedur bedah keratorefraktif akan mengubah bentuk dan arsitektur kornea sehingga pengukuran kekuatan refraktif kornea dengan metode standar akan memberikan hasil yang tidak akurat. Prosedur radial keratotomy (RK) menyebabkan pendataran permukaan anterior dan posterior kornea dengan indeks bias yang tidak mengalami perubahan. Prosedur photorefractive keratectomy (PRK), laser-assisted intrastromal keratomileusis (LASIK) dan laser-assisted epithelial keratomileuis (LASEK) menyebabkan pendataran pada permukaan anterior kornea saja. Pada mata dengan kelainan refraksi miopia, hal ini dapat menimbulkan perubahan indeks bias yang menyebabkan underestimation kekuatan refraktif kornea. Nilai K pada pasien yang pernah menjalani prosedur bedah
keratorefraktif akan mengalami perubahan karena adanya perubahan dari radius kelengkungan kornea anterior yang berpotensi menimbulkan kesalahan perkiraan ELP. Perhitungan nilai K paska bedah keratorefraktif yang tidak akurat akan menyebabkan kesulitan dalam perhitungan kekuatan lensa intraokular sehingga dapat menimbulkan refractive surprise paska operasi katarak. 1,2,3,4,5
Gambar 3.1 A. Effective lens position pada mata dengan kornea normal B.Effective lens position pada mata yang menjalani bedah keratorefraktif miopia, kornea lebih flat, hasil perhitungan kekuatan lensa intraokular menjadi lebih rendah
Dikutip dari: Wang L, Koch D2
IV. Metode Perhitungan Nilai K paska Bedah Keratorefraktif
Perhitungan nilai K pada kornea yang telah menjalani prosedur bedah keratorefraktif membutuhkan beberapa penyesuaian untuk mendapatkan nilai K aktual yang dapat dipakai dalam perhitungan kekuatan lensa intraokular. Beberapa metode dapat digunakan untuk menentukan nilai K yang aktual paska bedah keratorefraktif. 1,2,3
4.1 Metode Riwayat Klinis
Metode ini digunakan berdasarkan bukti bahwa perubahan kelainan refraksi pada mata yang menjalani prosedur bedah kereatorefraktif hanya disebabkan oleh perubahan kekuatan refraktif kornea saja. Jika nilai kelainan refraksi ini ditambahkan ke dalam nilai K sebelum dilakukan prosedur bedah keratorefraktif, maka akan didapatkan nilai K yang aktual. Nilai K dihitung dengan rumus:
K = K preop + R preop –Rpo Dimana:
R = kelainan refraksi (spherical equivalent)
Preop = sebelum prosedur bedah keratorefraktif PO = paska prosedur bedah keratorefraktif2,3,4
4.2 Metode Lensa Kontak
Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Frederick Ridley pada tahun 1948 dan dipopulerkan oleh Holladay pada tahun 1990. Metode ini digunakan berdasarkan prinsip bahwa jika suatu lensa kontak keras berbahan polymethylmethacrylate (PMMA) dengan kekuatan refraktif plano dan base curve yang sesuai dengaan kekuatan refraktif kornea dipasangkan pada mata, maka tidak akan terjadi perubahan kelainan refraksi pada mata tersebut, oleh karena itu selisih antara kelainan refraksi sebelum dan sesudah pemakaian lensa kontak adalah nol. Nilai K didapatkan dengan rumus:
K = B + P + R cl – R no cl Dimana:
B = base curve CL = lensa kontak
P = kekuatan refraktif lensa kontak (dioptri) R = kelainan refraksi (spherical equivalent)
No cl = kelainan refraksi tanpa lensa kontak (spherical equivalent)3,4,5,6
Gambar 4.1 Lensa kontak polymetylmethacrylate yang digunakan pada metode lensa kontak
Dikutip dari: Wang L, Koch D2
4.3 Metode Topografi Kornea Maloney dan Modifikasi Koch
Berdasarkan penelitian Maloney mengenai topografi kornea pada mata yang menjalani prosedur LASIK, dirumuskan suatu formulasi untuk mrnghitung nilai K aktual berdasarkan nilai K paska bedah keratorefraktif yang diukur menggunakan topografi kornea. Nilai K dihitung dengan rumus:
K = Kt x (376/337,5) – 5,5 atau K = Kt x 1,1141 – 5,5 Dimana:
Kt = nilai K pasca bedah keratorefraktif menggunakan topografi kornea Tahun 2003, Douglas Koch memodifikasi perhitungan yang dilakukan oleh Maloney dengan mengubah konstanta menjadi 6,6. Nilai K dihitung dengan rumus:
K = Kt x (376/337,5) – 6,1 atau K = Kt x 1,1141 – 6,12,4,5,6,7
4.4 Metode Ronje
Menggunakan metode ini, kekuatan refraktif kornea dinilai dengan penambahan nilai K paling flat paska bedah keratorefraktif menggunakan keratometer manual yang dikalikan dengan 25% dari perubahan spherical equivalent yang disebabkan oleh prosedur bedah keratorefraktif. Nilai K dihitung dengan rumus:
K = K po flat + 0,25 x RC Dimana:
K po flat = Nilai K paling flat paska bedah keratorefraktif
RC = selisih kelainan refraksi sebelum dan paska bedah keratorefraktif2,5,6,7
4.5 Topografi Kornea
Instrumen pertama yang mengukur nilai K menggunakan topografi kornea adalah Eyesys, Technomed C-scan, dan Humphrey unit. Instrumen- instrumen tersebut tidak akurat dalam mengukur nilai K paska bedah keratorefraktif. Saat ini alat topografi kornea yang banyak digunakan adalah Oculus Pentacam yang dapat memberikan pencitraan tiga dimensi segmen anterior bola mata menggunakan teknik fotografi Scheimpflug. Pencitraan ini
memberikan data mengenai permukaan anterior dan permukaan posterior kornea sehingga didapatkan corneal map paska bedah keratorefraktif yang akurat dan dapat digunakan untuk mengukur nilai K.2,5,6,7,8,9
V. Metode Perhitungan Kekuatan Lensa Intraokular paska Bedah Keratorefraktif
Setelah didapatkan perhitungan nilai K paska bedah keratorefraktif, maka langkah selanjutnya adalah perhitungan kekuatan lensa intraokular. Beberapa metode dapat digunakan untuk menghitung kekuatan lensa intraokular yang akan diimplantasikan pada mata yang telah menjalani prosedur bedah keratorefraktif.1,2
5.1 Metode Double K
Formulasi perhitungan kekuatan lensa intraokular generasi ketiga dan keempat menggunakan nilai K untuk memprediksi ELP dan kekuatan lensa intraokular. Formulasi dan algoritma yang digunakan untuk memprediksi ELP berdasarkan anatomi segmen anterior bola mata yang tidak mengalami perubahan paska prosedur bedah keratorefraktif, oleh karena itu jika nilai K paska prosedur bedah keratorefraktif yang digunakan, akan terjadi kesalahan hasil ELP. Arramberri pada tahun 2001 merekomendasikan penggunaan nilai K sebelum bedah keratorefraktif untuk memprediksi ELP, kemudian kekuatan lensa intraokular dihitung menggunakan nilai K paska bedah keratorefraktif, oleh karena itu disebut dengan metode Double K. Metode ini tersedia pada program komputer untuk formulasi SRK/T, Holladay dan Hoffer Q.1,2,3,4,8
5.2 Metode Feiz
Metode ini diperkenalkan oleh Feiz tahun 2001 dan dikembangkan berdasarkan dua asumsi. Asumsi pertama adalah untuk mencapai kondisi emetropia, perubahan spherical equivalent yang disebabkan oleh prosedur bedah keratorefraktif harus diseimbangkan dengan perubahan kekuatan lensa intraokular. Asumsi kedua adalah setiap perubahan 1 dioptri dari kekuatan lensa intraokular akan menimbulkan perubahan koreksi kelainan refraksi
sebesar 0,7 dioptri menggunakan kacamata. Perhitungan kekuatan lensa intraokular pada metode ini dihitung menggunakan formulasi SRK/T.
Kekuatan lensa intraokular dihitung dengan rumus:
Mata dengan prosedur LASIK miopia P = P targ – 0.595 x RC – 0.231
Untuk mata dengan prosedur LASIK hiperopia P = P targ – 0.862 x RC – 0.751
Dimana:
P = kekuatan lensa intraokular
P targ = kekuatan lensa intraokular sesuai target refraksi menggunakan panjang aksial dan nilai K paska bedah keratorefraktif
RC = perubahan kelainan refraksi (spherical equivalent) paska bedah keratorefraktif2,4,6,7,8
5.3 Metode Latkany
Metode ini menggunakan nilai K paling datar yang diukur menggunakan keratometri manual paska bedah keratorefraktif yang diinput ke dalam formulasi SRK/T. Kekuatan lensa intraokular kemudian dihitung dengan rumus:
P = P flat K – (0.47 x PRx + 0.85) Dimana:
P = kekuatan lensa intraokular
P flat K = kekuatan lensa intraokular yang dihitung dengan formulasi SRK/T menggunakan panjang aksial dan nilai K paling datar
PRx = spherical equivalent sebelum prosedur bedah keratorefraktif2,4,6,10,11
5.4 Metode Riwayat Refraksi Masket
Tahun 2005 Masket memperkenalkan suatu metode penyesuaian kekuatan lensa intraokular paska bedah keratorefraktif. Masket merekomendasikan penggunaan formulasi SRK/T untuk perhitungan pada
mata miopia dan Hoffer Q untuk perhitungan pada mata hiperopia. Kekuatan lensa intraokular dihitung dengan rumus:
P = P emm – 0.323 x RC + 0.138 Dimana:
P = kekuatan lensa intraokular
P emm = kekuatan lensa intraokular dengan target refraksi emetropia menggunakan panjang aksial dan nilai K paska bedah kerarorefraktif RC = perubahan kelainan refraksi (spherical equivalent) yang
disebabkan oleh bedah keratorefraktif2,4,6,12
5.5 Formulasi Haigis-L
Formulasi Haigis-L terdapat pada alat IOL Master yang dikeluarkan oleh Zeiss. Formulasi Haigis-L merupakan formulasi modifikasi dari formulasi Haigis dimana formulasi Haigis-L mengkoreksi nilai radius kornea pada formulasi Haigis. Rumus radius kornea pada formulasi Haigis-L, yaitu:
R corr = 331,5
- 5,1625 x r meas + 82,2603 – 0,35 D corr = 337,5 / R corr
Dimana:
R corr = koreksi radius kornea,
r meas = radius kornea yang didapatkan dengan pemeriksaan IOL Master D corr = koreksi kekuatan sentral kornea
Nilai koreksi kekuatan sentral kornea ini lalu dimasukkan ke formulasi Haigis untuk mendapatkan perhitungan kekuatan lensa intraokular yang akan diimplantasikan.2,4,12,13
5.6 Metode Koreksi Refraksi Intraoperatif
Metode ini menggunakan koreksi refraksi intraoperatif untuk menentukan kekuatan lensa intraokular yang akan diimplantasikan. Terdapat dua cara dalam melakukan koreksi refraksi intraoperatif, yaitu menggunakan metode optical refractive biometry, dimana setelah dilakukan ekstraksi
katarak dilakukan retinoskopi afakia menggunakan autorefractor portable.
Kekuatan lensa intraokular dihitung dengan rumus:
P = 2,01 x koreksi refraksi intraoperatif Dimana:
P = kekuatan lensa intraokular
Cara kedua adalah dilakukan refraksi subjektif afakia tiga puluh menit setelah ekstraksi katarak, kemudian kekuatan lensa intraokular dihitung dengan rumus:
P = 1,75 x koreksi refraksi afakia2,4,5,11
VI. Simpulan
Metode perhitungan kekuatan lensa intraokular paska bedah keratorefraktif semakin berkembang, namun kejadian refractive surprise paska operasi katarak masih dapat terjadi. Oleh karena itu disarankan untuk melakukan pengukuran kekuatan refraktif kornea dan perhitungan lensa intraokular menggunakan beberapa metode sehingga hasil dapat dibandingkan. Dari metode yang telah dibahas diatas, akurasi penghitungan kekuatan lensa intraokular paska bedah keratorefraktif bergantung pada ketepatan pengukuran kekuatan refraktif kornea dan prediksi posisi lensa efektif.
DAFTAR PUSTAKA
1. American Academy of Ophthalmology. Basic and clinical science course section 13: Refractive surgery. San Fransisco: AAO; 2015-2016. Hal: 187-8 2. Wang L, Koch D. Intraocular Lens Power Calculations After Refractive Surgery dalam Steinert Roger. Cataract Surgery. Edisi 3. California. Saunder Elsevier. 2010. Hal: 55-62
3. Kohnen T, Koch D. Advanced Intraocular Lens Power Calculation dalam Azar Dimitri. Cataract and Refractive Surgery. Edisi 2. New York. Springer. 2006.
Hal 39-42
4. Fang J, Hill W, Wang L, Chang V, Koch D. Advanced Intraocular Lens Power Calculations. Thomas Kohnen dalam Douglas Koch. Cataract and Refractive Surgery. German. Springer. 2006. Hal 39-41
5. Jarade E, Nader F. IOL Calculations After Keratorefractive Surgery dalam Dimitri A, Damien G, Hoang X. Refractive Surgery. Edisi 2. Chicago. Mosby Elsevier. 2006. Hal: 541-6
6. Feiz V. Intraocular Lens Power Calculation After Corneal Refractive Surgery.
Middle East Afr J Ophthalmol. 2010:63-8 [diunduh pada 9 januari 2018]
Tersedia dari www.ncbi.nlm.nih.gov
7. Calossi A, Camellin M. Comparison of methods for IOL power calculation after incisional & photoablative refractive surgery. Dalam: Garg A, Lin JT, Latkany R, Bovet J, Haigis W. Mastering the techniques of IOL Power Calculations. Edisi 2. New Delhi. Jaypee. 2009. Hal: 185-224
8. Moshirfar M, Christiansen SM, Kim G. Comparison of the Ratio of Keratometric Change to Refractive Change Induced by Myopic Ablation.
Journal of Refractive Surgery. 2012;28 [diunduh pada 23 januari 2018] tersedia dari www.ncbi.nlm.nih.gov
9. Huang D, Tang M, Wang L, Zhang X et al. Optical Coherence Tomography- Based corneal power measurement and intraocular lens power calculation following laser vision correction (An American Ophthalmological Society
Thesis). Trans Am Ophthalmol Soc. 2013:34-45 [diunduh pada 24 januari 2018] tersedia dari www.ncbi.nlm.nih.gov
10. Shammas J, Shammas M, Warren H. Intraocular lens power calculation in eyes with previous hyperopic laser in situ keratomileusis. Journal of Cataract
& Refractive Surgery. 2013;39:739-44 [diunduh pada 24 januari 018] tersedia dari www.jcrsjournal.org
11. Mifflin M, Wolsey D. Cataract surgery after refractive surgery dalam Bonnie and Henderson. Essentials of cataract surgery. Thorofare USA. SLACK Incorporated. 2007. Hal 271-6
12. Shammas M, Shammas J. Post-LASIK IOL Power Calculations: Where Are We in 2012. Springer. 2013:39-44 [diunduh pada 26 januari 2018] tersedia dari www.Springer.com
13. Wong CW, Yuen L, Tseng P, Han DC. Outcomes of the Haigis-L formula for calculating intraocular lens power in Asian eyes after refractive surgery. J Cataract Refract Surg 2015; 41:607–612