• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gereja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Gereja"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

1 A. Pendahuluan

Gereja yang merupakan salah satu rumah ibadah umat kristiani yang memiliki arti yaitu kumpulan orang yang dipanggil ke luar untuk dapat memuliakan nama Allah.1 Gedung gereja secara khusus dipahami sebagai rumah tempat Allah bertahta.2 Pemahaman terkait Gedung gereja ini terdapat pandangan yang positif serta pandangan yang negatif bagi umat beragama lain. Pandangan positif akan mengarahkan terhadap relasi antar agama, melainkan untuk pandangan negatif akan mengarahkan kepada penolakan tempat peribadatan. Gedung gereja yang dipahami sebagai tempat untuk beribadah umat Kristiani tidak semata-mata untuk beribadah saja, melainkan dapat menjadi tempat untuk meningkatkan sikap toleransi antar umat beragama. Dengan kehadiran para santri dalam beberapa rangkaian kegiatan di gereja, menimbulkan makna baru bagi gereja. Dalam gereja setiap santri juga mampu merasakan hubungan spiritualitas mereka dengan Tuhan, ketika melantunkan sholawat. Hubungan yang terjalin antara para santri dengan jemaat di dalam gereja sangat baik, bahkan jemaat banyak belajar dari sikap santri ketika berada di dalam gereja.3

Penelitian ini memfokuskan terhadap makna yang diberikan oleh suatu ruang, serta relasi sosial yang terjalin dalam ruang tersebut. Meskipun belum terdapat penelitian mengenai Gedung Gereja sebagai Ruang Suci dalam Pandangan Santri, melainkan ada beberapa penelitian mengenai konsep ruang sosial menurut Henri Lefebvre dan mengenai ruang sakral menurut Mazumdar yang di dalamnya.

tergabung place attachment menurut Setha Low. Melalui penelitian Aulia Urrohmah “Proses Produksi Ruang Akibat Aktivitas Relaksasi di Jalan Layang”

menjelaskan bagaimana makna baru terhadap ruang. Pada penelitian ini menjelaskan bahwa Jalan Layang tidak hanya sebagai jalan yang sering dilalui, melainkan dapat muncul makna baru yaitu menjadi sebuah tempat untuk berelaksasi.4 Penelitian oleh Siti Matha “Hubungan antara Place Attachment dengan Kepuasan Hidup pada Warga di Sukawinatan” menjelaskan bagaimana

1 Surya Adhy Kusuma, “Landasan Konseptual Perencanaan dan Perancangan: Gereja Bethany Fresh Anointing di Yogyakarta” (S.T, Universitas Atma Jaya Yogyakarta), 14.

2 Kusuma, “Landasan Konseptual Perencanaan dan Perancangan,” 16.

3 Wawancara, Rabu 14 September 2022, Pukul 12.34 – 13.04 WIB

4 Aulia Urrohmah, “Proses Produksi Ruang Akibat Aktivitas Relaksasi di Jalan Layang”

(S.Ars., Universitas Indonesia, 2012), 48.

(2)

2

ternyata pengaruh ruang cukup berdampak terhadap kehidupan sehari-hari.5 Selanjutnya penelitian dari Bahauddin dkk mengenai ‘Sense of Place’ Gereja Santo Petrus di Melaka. Dalam penelitian ini menjelaskan mengenai hubungan spiritual serta hubungan sosial yang terjalin di dalam Gedung gereja, serta melihat keterkaitan dengan arsitektur yang ada di dalam gereja.6 Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penulis lebih memfokuskan kepada pandangan santri Pesantren Luhur Al-Husna di Surabaya, Jawa Timur terhadap Gedung Gereja.

Teori yang digunakan dalam penulisan ini adalah teori ruang sakral. Dalam ruang sakral ini akan menjelaskan tentang ‘sakral’ yang berkaitan dengan tempat, orang, komponen religius serta hubungan emosional dan spiritual.7 Bagi sebagian orang, lingkungan fisik dipandang sebagai nilai-nilai dasar manusia dan dapat dikembangkan sehingga jiwa manusia dapat diperkaya.8 Secara khusus penelitian ini menggunakan teori Ruang Sakral Mazumdar yang didukung dengan Place Attachment Setha Low yang menjelaskan bahwa keterkaitan ruang lebih dari sekedar pengalaman kognitif, melainkan ini mengarah kepada hubungan simbolis yang dibentuk oleh orang dan akan memberikan makna.9 Hal ini juga berkaitan dengan konsep ruang yang disampaikan oleh Lefebvre, bahwa ruang merupakan teka-teki yang harus dipecahkan, dikarenakan ruang selalu mengandung makna yang misterius.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif.

Pengumpulan data sesuai dengan Lincoln dan Guba dengan menggunakan wawancara, observasi dan dokumen yang berupa catatan atau arsip.10 Penulis akan melakukan observasi dan wawancara yang akan menghasilkan data deskriptif berupa Analisa terhadap pemahaman atau pandangan santri Pesantren Luhur Al-

5 Siti Martha, “Hubungan Antara Place Attachment Dengan Kepuasan Hidup Pada Warga Di Sukawinatan” (S.Psi, Universitas Sriwijaya Inderalaya, 2018), 14.

6Azizi Bahauddin, Rani Prihatmanti dan Sophie Asha Putri, “Sense of Place pada Warisan Budaya dan Arsitektur Suci: Gereja Santo Petrus di Melaka,” Interioritas 5 No. 1 (2022): 56-57.

7Shampa Mazumdar and Sanjoy Mazumdar, “Sacred Space and Place Attachment”, Journal of Environmental Psychology 13(3) (September 1993): 231.

8 D. Stokols and M. Jacobi, Historical Social Psychology ed. K. J Gergen and M. M. Gergen (Hillsdale: Lawrence Erblaum & Associates, 1984), 642.

9 S. M Low, Place Attachment ed. Altman and S. M Low (New York: Plenum, 1992), 165- 166.

10 Salim dan Syahrum, Metode Penelitian Kualitatif. (Bandung: Cipustaka Media, 2012),

114.

(3)

3

Husna terkait Gedung Gereja sebagai Ruang Suci. Data yang akan dikualitatifkan adalah data hasil wawancara yang dilakukan oleh pewawancara kepada responden melalui wawancara bebas tetapi berkaitan dengan pembahasan yang akan ditanyakan secara terstruktur dan juga sistematis. Narasumber yang akan diwawancarai ialah 6 santri yang mengambil bagian dalam rangkaian kegiatan di dalam Gedung Gereja.

B. Dasar Teori

Ruang dan Ruang Sakral

Ruang merupakan sesuatu teka-teki yang harus dipecahkan, karena ruang selalu mengandung makna yang misterius yang perlu untuk dikonstruksikan ulang.11 Ruang memiliki makna yang berbeda sesuai dengan kegunaan dari ruang tersebut.12 Ruang sosial menurut Lefebvre selalu berkaitan dengan ruang, waktu dan manusia.13 Dengan demikian ruang sosial tidak pernah identik karena setiap ruang direpresentasi sesuai waktu dan masyarakat.

Ruang terbagi menjadi 3 tipe yang disesuaikan dengan produksi dari ruang tersebut.

Pertama, ruang tipe praktik spasial adalah ruang bagaimana kehidupan pribadi bertemu dengan lingkungan sosial dapat diberi contoh jalan untuk orang pergi bekerja.14 Kedua, ruang tipe representasi adalah ruang untuk individu menuangkan apa yang dihidupi dan rasakan contohnya kelompok dengan profesi tertentu misalnya pelukis, arsitek atau perencana.15 Ketiga, ruang terepresentasi ialah ruang abstrak terkait imej/citra dan simbol tertentu, ruang dengan tipe ini disesuaikan dari cara pandang pribadi masing-masing dan dengan proses sosial.16 Dengan demikian proses ruang ini dipengaruhi oleh perubahan yang ada di masyarakat dan begitu pula sebaliknya.

11 Rully Damayanti and Bramasta Redyantanu, review of The Production of Space ed.

Donald Nicholson- Smith. Scientific Repository Petra Christian University (Juli 2021): 58, diakses Oktober 6, 2022, http://repository.petra.ac.id/19231/1/Publikasi1_98034_7379.pdf

12Henri Lefebvre, The Production of Pace (Cambridge and Oxford: Blackwell, 1991), 403.

13 Damayanti dan Redyantanu, review Of The Production of Space, 60.

14 Lefebvre, The Production of Pace, 38.

15 Lefebvre, The Production of Pace, 38-39.

16 Lefebvre, The Production of Pace, 39.

(4)

4

Ruang sakral didefinisikan sebagai ruang suci dan ini berkaitan dengan tempat peribadatan. Ruang sakral tidak hanya menekankan pada gedung atau bangunan, melainkan pada bentuk, desain arsitektur juga dapat menjadi perantara hubungan spiritual individu dengan Tuhan.17 “Sakral” yang dimaksudkan berkaitan dengan tempat, orang, komponen religious serta hubungan emosional dan spiritual.18 Ruang sakral dapat dijelaskan sebagai tempat orang menjalankan peribadatan yang didalamnya setiap umat mampu untuk mengekspresikan identitas keagamaan mereka.

Bangunan Suci menurut Mazudmar adalah tempat untuk berdoa, bermeditasi, memuliakan, dan mendidik para pemeluk agama.19 Menurut Scanell dan Gifford, keterikatan pada suatu tempat dibangun oleh hubungan emosional antara orang, tempat, dan proses keterikatan.20 Counted dan Watts menyatakan bahwa kedekatan dengan Tuhan dapat diperoleh melalui kedekatan dengan tempat yang memiliki makna religius.21 Gojnik menjelaskan bahwa cara untuk melibatkan nilai fundamental dari Tuhan sendiri adalah melalui harmoni, proporsi, dan tatanan arsitektur yang didasarkan pada makna teologis.22

Berada dalam ruang sakral umat akan merasa dekat secara spiritual dan spasial dengan Tuhan, hal ini juga dirasakan bersama dengan sesama umat yang lain.23 Hubungan dekat yang diekspresikan ini diharapkan akan terus berkembang setiap waktu. Salah satu cara untuk meningkatkan kedekatan dengan Tuhan adalah dengan mengikuti kegiatan dalam jemaat atau menjadi anggota komunitas keagamaan.24 Hal yang perlu diperhatikan pada saat hendak memasuki ruang sakral ialah setiap umat harus mampu untuk mencerminkan ikatan dan keterkaitan umat

17 Bahauddin, Prihatmanti dan Putri, “Sense of Place pada Warisan Budaya dan Arsitektur Suci,” 57.

18 Mazumdar dan Mazumdar, “Sacred Space and Place Attachment,” 231un.

19 Bahauddin, Prihatmanti dan Putri, “Sense of Place pada Warisan Budaya dan Arsitektur Suci,” 58.

20 Bahauddin, Prihatmanti dan Putri, “Sense of Place pada Warisan Budaya dan Arsitektur Suci,” 56.

21 Bahauddin, Prihatmanti dan Putri, “Sense of Place pada Warisan Budaya dan Arsitektur Suci,” 58.

22 Bahauddin, Prihatmanti dan Putri, “Sense of Place’ pada Warisan Budaya dan Arsitektur Suci,” 58.

23 Mazumdar dan Mazumdar, “Sacred Space and Place Attachment,” 233.

24 Bahauddin, Prihatmanti dan Putri, “Sense of Place pada Warisan Budaya dan Arsitektur Suci,” 58.

(5)

5

dengan tempat peribadahan atau ruang sakral.25 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kehidupan religius seseorang dapat dipengaruhi oleh keterikatan pada Ruang Sakral.

Gedung Gereja Sebagai Ruang Sakral

Gereja merupakan tempat peribadatan umat Kristiani yang hadir di tengah masyarakat. Gereja hadir di tengah masyarakat artinya gereja harus menghargai kemajemukan agama dan harus menyatu atau membaur dengan masyarakat beragama lain.26 Pandangan Ebenhaizer Nuban Timo terhadap gereja-gereja di Indonesia ialah gereja-gereja harus sudah mempunyai pemahaman utuh terkait realitas Indonesia sebagai pendampingan dari pemahaman teologis yang kuat tentang keesaan, maka dengan sendirinya gereja-gereja di Indonesia bisa melihat dengan jelas bahwa keesaan merupakan tugas dan panggilan bersama.27

Bangunan tempat peribadatan terkhususnya gereja tidak dibangun hanya dalam bentuk fungsional saja, tetapi juga bagaimana bangunan tersebut dapat menimbulkan “citra” sehingga bangunan tersebut memiliki sebuah makna dan cerminan bagi kehidupan manusia.28 Gedung gereja sebagai ruang sakral menurut Mazumdar tidak hanya berkaitan individu dengan Tuhan, melainkan juga antara individu dengan individu lainnya.29 Dengan adanya gereja di tengah masyarakat, maka gereja merupakan ruang sosial yang memiliki banyak makna. Makna yang dihasilkan sesuai dengan bagaimana pengalaman pribadi terhadap gereja tersebut.

Jikalau masyarakat mendapatkan makna positif terhadap gereja, maka yang terjadi adalah relasi baik seperti yang terjadi di Lumajang (GKJW Kab. Lumajang), Boyolali (GKJ Ampel Pepanthan Berdug) dan Surabaya (Gereja Pentakosta). Relasi yang terjadi ialah bagaimana gereja diterima baik di tengah masyarakat sebagai ruang ibadah, yang dapat digunakan juga untuk ruang sosial dengan berbagai

25 Mazumdar dan Mazumdar, “Sacred Space and Place Attachment,” 234.

26 Arthur Aritonang, “Peran Sosiologis Gereja dalam Relasi Kehidupan antara Umat Beragama Indonesia”, Jurnal TeDeum Vol.9 No.1 (Juli-Desember 2019): 91.

27 Ebenhaizer Nuban Timo, Menghariinikan Injil di Bumi Pancasila Bergereja dengan Cita Rasa Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017), 66-70.

28 Nanda Prasetyo, “Gedung Gereja Bukan Gedung Biasa” (S.Si.Teol, Universitas Kristen Duta Wacana, 2017), 5.

29 Mazumdar dan Mazumdar, “Sacred Space and Place Attachment,” 233.

(6)

6

interaksi sosial didalamnya. Sebaliknya jikalau yang makna yang didapatkan adalah makna negatif akan menghasilkan penolakan dan intoleransi. Sebagai contoh penolakan pembangunan gereja oleh masyarakat di Cilegon.

Makna terhadap gereja tidak hanya dari pandangan masyarakat luar terkait gereja, melainkan umat Kristiani harus mampu mencerminkan sesuatu yang mampu menggambarkan kesakralan dari Gedung gereja. Hal ini sesuai dengan pengertian dari ruang sakral itu sendiri yaitu umat harus mampu untuk mencerminkan keterkaitannya dengan ruang sakral atau tempat peribadatan, karena ini juga mencerminkan keterkaitan umat dengan Tuhan.30 Gereja sebagai ruang sakral dalam lingkup sosial, ialah ketika mampu menghasilkan umat yang memiliki sikap mengasihi, menerima, menghargai dan menghormati dengan sesama yang berbeda agama.31

Gedung Gereja sebagai Ruang Suci

Peribadahan umat kristiani ini terukur menurut waktu (sacred time), persekutuan umat, terukur juga melalui tempat ibadah (sacred place), serta ruang ibadah (sacred space).32 Tata ruang yang berada di dalam tempat (sacred place) dan waktu (sacred time) membungkus materi sehingga menyatakan bobot dari isi ibadah.33 Gereja adalah area persekutuan umat merayakan penyataan Allah di dalam Kristus.34

Kesakralan suatu tempat dan karakteristiknya merupakan komponen penting dalam keterikatan tempat religious, dan dapat berupa ruang makro (misalnya, kota, pedesaan, dan alam) serta ruang mikro (tempat suci, altar rumah, dan kuburan). Berdasarkan dari teori ruang Lefebvre, tempat suci tidak hanya menekankan pada aspek fisik dari suatu tempat, tetapi juga karakteristik konseptual

30 Mazumdar dan Mazumdar, “Sacred Space and Place Attachment,” 234.

31 Aritonang, Peran Sosiologis Gereja dalam Relasi Kehidupan antara Umat Beragama Indonesia,” 93-94.

32 Rasid Rachman, “Tata Ruang dalam Gereja yang Secara Liturgis Menarasikan Karya Allah,” Jurnal Theologia in Loco Vol. 3, No. 1 (April 2021): 44.

33 Rachman, “Tata Ruang dalam Gereja yang Secara Liturgis Menarasikan Karya Allah,”

44.

34 Rachman, “Tata Ruang dalam Gereja yang Secara Liturgis Menarasikan Karya Allah,”

49.

(7)

7

atau nilai-nilai yang tertanam di tempat tersebut dan aspek emosional masyarakat.35 Pengalaman di tempat yang sakral termasuk salah satu pengalaman belajar yang intens, melalui ritual, teks dan cerita pengalaman.36

Gedung gereja sebagai ruang suci sesuai dengan teori ruang sakral, maka dalam gedung gereja harus terjalin komponen religious, beserta dengan hubungan spiritual dan emosional.37 Sebagai ruang sakral, gereja haruslah ekspresif untuk merefleksikan kehadiran Tuhan dan cocok untuk merayakan pengorbanan Kristus.38 Sifat sakramental dari sebuah gereja menghubungkan sejarah gereja, pengaruh budaya, dan kebutuhan untuk mempertimbangkan lingkungan di mana gereja-gereja tersebut dibangun. Menurut Bess dan Gordon, keberadaan bangunan keagamaan di lingkungan yang asing dalam beberapa situasi menjadi rumah yang penting bagi keselamatan budaya dan pelipura spiritual bagi masyarakat untuk bertahan hidup.39 Sehingga beberapa orang menyampaikan bahwa gereja sebagai rumah kedua.40

Santri dan Pesantren

Pada umumnya santri didefinisikan sebagai seorang yang belajar di pesantren mengenai ilmu agama, tauhid, fiqih, tasawuf, dan akhlak.41 Karakter dari seorang santri dapat terbentuk melalui lingkungan pesantren dengan dukungan jiwa spiritual dan sosial yang tinggi dari setiap santri. Karakter santri yang unik diantaranya; teosentris, yaitu sebuah nilai dalam karakter diri santri yang dilandasi pemikiran bahwa sesuatu kejadian berasal, berproses dan kembali kepada kebenaran Allah Swt.42 Tugas para santri adalah belajar dengan proporsi ilmu

35 Bahauddin, Prihatmanti dan Putri, “Sense of Place pada Warisan Budaya dan Arsitektur Suci,” 60.

36 Bahauddin, Prihatmanti dan Putri, “Sense of Place pada Warisan Budaya dan Arsitektur Suci,” 61.

37 Mazumdar dan Mazumdar, “Sacred Space and Place Attachment,” 231.

38 Bahauddin, Prihatmanti dan Putri, “Sense of Place pada Warisan Budaya dan Arsitektur Suci,” 67.

39 Bahauddin, Prihatmanti dan Putri, “Sense of Place pada Warisan Budaya dan Arsitektur Suci,” 58.

40 Bahauddin, Prihatmanti dan Putri, “Sense of Place pada Warisan Budaya dan Arsitektur Suci,” 59.

41 Imroatul Azizah, “Peran Santri Milenial dalam Mewujudkan Moderasi Beragama,”

Prosiding Nasional: Pascasarjana IAIN Kediri 4 (November 2021): 200.

42 Azizah, “Peran Santri Milenial dalam Mewujudkan Moderasi Beragama,” 201.

(8)

8

agama lebih besar dan membimbing umat menuju jalan yang benar sesuai dengan ketentuan agama.43

Setiap santri memiliki karakter masing-masing. Dengan segala karakter yang dimiliki oleh santri diharapkan mampu menjadi seorang role model, menjadi uswah dan menjadi qudwah.44 Tidak hanya terfokuskan pada karakter individu, namun karakter santri juga harus menyesuaikan dengan masyarakat yang ada di sekitarnya. Penyesuaian terhadap masyarakat diperlukan karena santri akan menghadapi persoalan-persoalan dalam bidang sosial dan bidang keagamaan, baik secara individu maupun kelompok.45

Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan berbasis Islam yang ada di Indonesia, yang di dalamnya mengajarkan berbagai macam pelajaran keagamaan mengenai islam dan sebagai salah satu lembaga yang berperan banyak dalam pendidikan moral dan akhlak yang mulia bagi para santri di dalamnya.46 Secara terminologi, KH. Imam Zarkasih mengartikan pesantren sebagai lembaga pendidikan islam dengan sistem asrama atau pondok, di mana kyai sebagai fitur utama, masjid sebagai pusat kegiatan menjiwainya dan pengajaran agama Islam di bawah bimbingan kyai yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya.47

Tujuan dari pesantren ialah menciptakan dan mengembangkan karakter atau santri sesuai dengan moto pesantren islam “menjadi cendekiawan intelek, bukan intelek yang tahu agama.”48 Penjelasan terkait kesesuaian dengan moto pesantren islam ialah setiap santri diharapkan mempunyai kepribadian beriman, berakhlak, tegas, mandiri dan takut akan Tuhan, serta bermartabat serta bermanfaat bagi masyarakat.49 Kurikulum dalam pesantren tidak terlalu kaku, dikarenakan target pengajaran setiap pesantren berbeda-beda.50 Melalui kurikulum tersebut

43 Erna Fauziah dan Fikri Maulana, “Tipe Kepribadian dan Pembelajaran Bahasa Perspektif Psikolinguistik pada Santri Pesantren Modern,” Ilmu Al-Quran (IQ): Jurnal Pendidikan Islam 5 No. 2 (2022) : 207.

44 Azizah, “Peran Santri Milenial dalam Mewujudkan Moderasi Beragama,” 202.

45 Azizah, “Peran Santri Milenial dalam Mewujudkan Moderasi Beragama,” 202.

46 Riskal Fitri dan Syarifuddin Ondeng, “Pesantren di Indonesia: Lembaga Pembentukan Karakter,” Al Urwatul Wutsqa: Kajian Pendidikan Islam Vol. 2, No. 1 (Juni 2022): 44.

47 Fitri dan Ondeng, “Pesantren di Indonesia: Lembaga Pembentukan Karakter,” 45.

48 Nindi Aliska Nasution, “Lembaga Pendidikan Islam Pesantren,”Al-Muaddib: Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial dan Keislaman Vol. 5, No.1 (2020): 38.

49 Nasution, “Lembaga Pendidikan Islam Pesantren,” 38.

50 Fitri dan Ondeng, “Pesantren di Indonesia: Lembaga Pembentukan Karakter,” 51.

(9)

9

masyarakat sekitar akan mampu mengetahui pengajaran yang sudah didapatkan oleh para santri yang terealisasi dalam pengetahuan, sikap, nilai dan keterampilan serta masyarakat dapat memberi penilaian tentang relevansi pengajaran pesantren dengan realisasi dalam prakteknya.51

Hubungan Islam-Kristen

Relasi agama-agama dalam Indonesia ini bersifat fluktuatif, diwarnai konflik dan harmoni.52 Persoalan konflik mengenai agama ini tidak sepenuhnya melalui agama itu sendiri, terkadang ada beberapa konflik yang mengatasnamakan agama demi kebaikan budaya, politik atau kepentingan pribadi. Konflik dan kekerasan yang mengatasnamakan kepentingan agama, terutama Islam dan Kristen hampir mewarnai seluruh generasi, mulai dari Perang Salib.53 Beberapa kasus dan tragedi yang terjadi di Ambon, Kupang, Poso dan sejumlah kekerasan atas nama agama, masih menyisakan sejumlah masalah, ibarat “api dalam sekam” yang sewaktu-waktu siap membara dan memanaskan suasana di sekelilingnya.54 Terjadinya benturan agama di Indonesia, khususnya Islam dan Kristen, bermula dari sikap tertutup masing-masing tentang agenda dakwah dan isu konversi.55

Setiap konflik yang terjadi terhadap relasi antar agama di Indonesia sudah ada beberapa upaya untuk tetap mengupayakan kerukunan antar agama. Hal yang diupayakan antara lain: menekankan moderasi agama untuk membuat penduduk mengedepankan sikap terbuka serta menyebarkan tentang pluralisme sebagai penghubung agar masyarakat tetap hidup rukun.56 Pada hakikatnya konflik antar umat beragama dan problem diskriminasi terhadap kelompok minoritas beragama adalah persoalan serius, berbagai pihak terus membangun resolusi konflik melalui

51 Fitri dan Ondeng, “Pesantren di Indonesia: Lembaga Pembentukan Karakter,” 51.

52 Umi Sumbulah dan Wilda Al Aluf, Islam-Kristen Di Indonesia: Pendekatan Sosio- Historis (Malang: UIN-MALIKI PRESS, 2015), 56.

53 Karen Amstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today World (New York: Anchor Books, 2001), 27.

54 Sumbulah dan Al Aluf, Islam-Kristen Di Indonesia, 56.

55 Ghufron Ghufron, “Relasi Islam-Kristen : Studi Kasus di Desa Tegalombo, Pati, Jawa Tengah,” Progresiva : Jurnal Pemikiran dan Pendidikan Islam Vol. 9 No. 1 (Juni 2020): 2.

56 Junio Sirait dan Hestyn Istinatun, “Akseptasi Teologi pada Kerukunan Umat Islam dan Kristen di Indonesia,” Kamaya: Jurnal Ilmu Agama Vol. 5 No. 2(2022) : 80.

(10)

10

dialog dan pendampingan sosial.57 Setiap upaya yang sudah dilakukan ini tidak semudah itu untuk terus diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, akan tetap ada kesenjangan dalam menjalankan upaya kerukunan ini. Kerukunan antar agama dikembalikan kembali kepada bagaimana cara setiap umat bergama menghormati serta menghargai kesetaraan yang ada dalam kehidupan beragama.

Cara pandang setiap individu terhadap relasi antar agama tentunya akan berbeda-beda. Pandangan yang positif akan memunculkan relasi yang baik, seperti di Lumajang Jawa Timur. Menurut Kyai Khidir Fuzi ada beberapa kesamaan antar Islam dan Kristen, namun terkait keyakinan itu tidak boleh dicampur adukan.58 Pandangan yang negatif akan dengan mudah memunculkan konflik antar agama.

Hal ini biasanya dipacu oleh beberapa oknum dikarenakan adanya fanatisme agama.

Pemahaman Santri terhadap Hubungan Islam-Kristen

Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan agama, yang juga mampu untuk menjawab tantangan sosial pada masa itu.59 Pandangan santri terhadap kehidupan bermasyarakat tidak terlepas dari ajaran-ajaran yang diberikan di Pesantren. Untuk itu santri sebagian pesantren memiliki peran penting terhadap pergolakan-pergolakan yang muncul, terkhusus terhadap pergolakan akibat paham pluralisme.60 Salah satu caranya ialah melalui tradisi yang dikembangkan oleh pesantren, yaitu tradisi keilmuan dan keagamaan yang mengintegrasikan pemahaman teks dengan konteks terbukti telah melahirkan santri-santi yang memiliki jiwa tasamuh atau paham pluralisme.61

Berdasarkan data toleransi pemuda muslim di Surabaya ialah 12,2% sangat toleran, 26,1 toleran,28,9% cukup toleran, 19,7% tidak toleran dan 13,1% sangat

57 Syamsul Arifin dan Nafik Muthohirin, “The Viewpoint of the Young Muhammadiyah Intellectuals Towards the Religious Minority Groups in Indonesia,” TEOSOFI: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Vol. 9 No. 2 (Desember, 2019) : 282-305.

58 Hafizh Idri Purbajati, “Pandangan Kyai Pondok Pesantren Raudlatur Rohmaniyah Terhadap Masyarakat Gereja Kristen Jawi Wetan di Kabupaten Lumajang Jawa Timur” (S.Th.I, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008), 82-83.

59 Nunung Lasmana, “Deradikalasi Agama Melalui Pesantren,” Tajdid: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Kemanusiaan Vol. 1 No. 1 (April, 2017) : 42.

60 Lasmana, “Deradikalasi Agama Melalui Pesantren,” 42.

61 Lasmana, “Deradikalasi Agama Melalui Pesantren,” 43.

(11)

11

tidak toleran.62 Dalam data tersebut mencakup pertanyaan “Apakah anda keberatan jika harus menghadiri acara Misa Natal di Gereja (atau hari besar agama lain)?” dan mayoritas menjawab keberatan.63 Dalam data ini menjelaskan kurangnya minat pemuda muslim untuk mengikuti kegiatan yang mengarah kepada toleransi antar agama.

Sikap toleransi sudah harus diajarkan pada santri sejak awal mulanya. Hal ini diperlukan agar setiap santri mampu memiliki sikap terbuka dan mampu menerapkan pluralisme dalam relasi antar umat beragama. Untuk menambah sikap pluralisme bagi para santri, pesantren juga mengadakan diskusi antar agama yang dilaksanakan 3 bulan sekali. Tidak hanya melalui diskusi, melainkan dengan cara turut berpartisipasi dalam rangkaian kegiatan keagamaan oleh umat Kristiani.

Beberapa rangkaian acara tersebut antara lain: Live in pemuda gereja di Pesantren, serta menampilkan sholawatan dalam kegiatan HUT gereja. Dengan demikian dapat disimpulkan ketika lingkungan tempat santri belajar mengenai agama mendukung mereka dalam hal toleransi, maka tiap santri akan menerapkan sikap toleransi itu terhadap umat Kristiani dan dengan beberapa agama lainnya.

C. Hasil Penelitian

Gambaran Umum Tentang Tempat Penelitian

Pesantren Luhur Al-Husna Surabaya ini di rintis oleh Prof. Dr. Ali Maschan Moesa, M. Si pada awal September 2001. Pesantren ini diberi nama Al-Husna, dikarenakan arti Al-Husna adalah Nama-nama yang baik. Tujuan didirikannya Pesantren Luhur Al-Husna adalah untuk membina kesadaran umat beragama, bermasyarakat dan bertanah air menurut Ahlussunnah Wal – Jama’ah yang dijiwai muslim Pancasila. Pesantren ini terletak di Jl. Jemur Wonosari Majid No. 42, Kelurahan Jemur Wonosari dan Kecamatan Wonocolo, Kota Surabaya. Lokasi pesantren ini agak tertutup, sekitar 100m dari jalan raya, namun mudah untuk dijangkau kendaraan roda empat. Para santri dalam pesantren ini juga belajar atau studi di UIN Sunan Ampel Surabaya dan kampus lain di Surabaya.

62 Feryani Umi Rosidah, “Mengukur Tingkat Toleransi Pemuda Muslim di Kota Surabaya”,

Religio: Jurnal Studi Agama-Agama, 9 No. 1 (Maret,2019): 108.

63 Feryani Umi Rosidah, “Mengukur Tingkat Toleransi Pemuda Muslim di Kota Surabaya,”

107.

(12)

12

Pesantren ini memiliki 30 kamar yang tersebar di lantai dasar sampai lantai 2. Tiap kamarnya dapat dihuni antara 4 sampai 6 santri. Lantai dasar, terdapat sebuah perpustakaan, dimana dalam perpustakaan ini terdapat buku-buku yang bisa digunakan untuk menunjang pelajaran santri, baik pelajaran mengenai pesantren maupun pelajaran di Universitas. Lantai 3 adalah lantai paling atas di pesantren ini.

Terdapat ruangan dengan 2 fungsi di lantai 3 yaitu: sebagai TPQ di sore hari dan sebagai ruang belajar di malam hari.

Kegiatan – kegiatan wajib yang harus diikuti oleh para santri antara lain:

kajian tafsir munir setelah sholat subuh, sholat berjamaah, mengajar TPQ di sore hari dan pengajian diniyah setelah maghrib. Selain itu, terdapat pula kegiatan Study Club atau Syawir yaitu sebuah diskusi kecil antar santri yang melahirkan pemikiran – pemikiran besar. Terdapat juga kegiatan ekstrakurikuler dengan tujuan untuk menunjang kegiatan santri dan pemberdayaan masyarakat. Kegiatan ekstrakurikuler Pesantren Luhur Al – Husna meliputi kegiatan jangka pendek, menengah dan panjang. Kegiatan jangka pendek meliputi: banjari, diba’an, ro’an dan pemberdayaan TPQ oleh santri dan masyarakat yang mempunyai kemampuan di bidang pengajaran. Kegiatan jangka menengah meliputi: studi banding, istighosah dzikrul ghofilin, ngobrol pintar dan soroghan kitab. Kegiatan jangka panjang meliputi : ziarah wali, harlah, imtihan, haul, maulid nabi dan berbagai lomba tahunan.

Hubungan Pesantren Luhur Al – Husna Surabaya dengan Gereja

Berdasarkan hasil penelitian Pesantren Luhur Al – Husna sudah sejak dahulu diajarkan untuk bersikap toleransi. Tiap santri memiliki latar belakang toleransi yang berbeda dan tidak semua santri melaksanakan sikap toleransi tersebut.64 Oleh karena itu, ketika memasuki pesantren ada beberapa santri yang mengalami shock culture terhadap sikap toleransi antar agama yang diajarkan.65 Diskusi yang diadakan oleh pesantren dilaksanakan setiap 3 bulan sekali dengan

64 Wawancara, dengan Santri, Mas Asror (wawancara dilakukan pada tanggal 14 Maret 2023, Pukul 11.05 WIB)

65Wawancara, dengan Santri, Mas Asror (wawancara dilakukan pada tanggal 14 Maret 2023, Pukul 11.05 WIB)

(13)

13

melibatkan beberapa tokoh lintas agama di beberapa tempat yang berbeda. Hal yang selalu menjadi penekanan pada pengajaran toleransi agama di pesantren adalah

“esensi”. 66 Esensi yang dimaksudkan ialah santri tidak boleh terlalu fokus pada kulit luarnya (agama), yang harus menjadi fokus ialah bagian dalamnya, bagaimana relasi positif yang terjadi dalam interaksi antar umat dengan perbedaan agama.67 Santri lain yang tidak mengikuti kegiatan bersama gereja pun memiliki interaksi bersama dengan agama lain melalui beberapa kegiatan dari pesantren.

Relasi Pesantren Luhur Al-Husna dengan gereja sudah terjalin sekitar 2019.

Awal mula relasi ini terbentuk melalui Mupel (Musyawarah Pelayanan) GPIB Jawa Timur dilanjutkan dengan GPIB Genta Kasih Surabaya dan kemudian dengan GPIB Benowo Surabaya. Relasi antar pesantren dengan GPIB Genta Kasih terjalin kurang lebih 5 tahun dan dengan GPIB Benowo Surabaya hanya dalam waktu kurang lebih 1 tahun dikarenakan terhalang oleh pandemi. Beberapa rangkaian kegiatan bersama dengan gereja antara lain: Live In bersama dengan pemuda GPIB Genta Kasih, wawancara oleh Kompas TV terkait relasi GPIB Genta Kasih dengan Pesantren Luhur Al – Husna serta partisipasi pesantren dalam kegiatan HUT GPIB Benowo ke – 6 dengan menujukkan seni hadroh/hadrah.68

Interaksi antar pesantren bersama dengan gereja tidak berhenti pada kegiatan – kegiatan yang sudah berlangsung. Setiap kegiatan seperti lebaran dan natal para santri ataupun beberapa jemaat masih saling mengucapkan.69 Tidak hanya berhenti kepada saling menghargai pada hari besar, melainkan saling berbagi informasi satu dengan yang lain. Sebagai contoh ada salah satu santri yang menjadikan pemuda-pemudi dari GPIB Benowo Surabaya sebagai narasumber dalam penelitiannya terkait hubungan gereja dengan pesantren.70

66 Wawancara, dengan Santri, Mas Dhafid, Mas Yusuf, Mas Qoyum dan Mas Faisal (wawancara dilakukan pada 13 Maret 2023, Pukul 20.04 WIB), https://youtu.be/lhMvJin604w

67 Dhafid Wawancara, 13 Maret 2023, Pukul 20.04 WIB

68 Dhafid Wawancara, 13 Maret 2023, Pukul 20.04 WIB

69 Yusuf Wawancara, 13 Maret 2023, Pukul 20.04 WIB

70 Asror Wawancara, 14 Maret 2023, Pukul 11.05 WIB

(14)

14

Ruang Suci dalam Pandangan Santri Pesantren Luhur Al – Husna Surabaya Ruang suci secara umum menurut pandangan para santri ialah suatu tempat yang disucikan.71 Pengertian ruang suci berdasarkan hasil penelitian menjelaskan bahwa ruang suci yang dipahami oleh santri adalah sebuat tempat peribadatan.

Sedikit dijelaskan oleh beberapa santri bahwasannya dahulu di Jawa sebelum mengenal masjid terdapat Sanggar Pamujan. Sanggar Pamujan ini merupakan tempat peribadatan yang tidak terlalu besar hanya cukup untuk beberapa orang.72 Dengan adanya perkembangan zaman dan Islam masuk ke Nusantara, maka tempat peribadatan umat Muslim lebih dikenal dengan Masjid.73

Masjid merupakan tempat suci untuk beribadah dan sudah dibebaskan dari najis.74 Menurut beberapa santri najis itu ada, namun belum tentu yang kotor itu najis.75 Setiap umat yang hendak beribadah/sholat harus terlebih dahulu disucikan agar terhindar dari najis. Najis menurut santri-santri ada berbagai tingkatan mulai dari terendah hingga tertinggi, namun tidak secara lisan disampaikan dalam wawancara.

Dalam tempat peribadahan akan terjalin hubungan spiritual antar umat dengan Tuhan.76 Ruang suci atau tempat peribadatan ini adalah tempat khusus dimana segala aktivitas itu hanya dibatasi dengan apa yang umat (manusia) lakukan terhadap Tuhan dan begitupun sebaliknya.77 Setiap santri meyakini bahwa hubungan spiritual antar umat dengan Tuhan tidak hanya dibatasi oleh ruang.78 Hanya saja kalau berada di ruang suci atau tempat peribadatan perasaan akan lebih tenang dan nyaman.79 Pandangan santri relasi spiritual yang terjalin dalam tempat peribadatan ialah umat yang sadar statusnya sebagai hamba dan mengakui status Ketuhanan daripada Tuhan itu sendiri.80 Tempat peribadatan merupakan rumah

71 Wawancara dengan Santri Mas Affandi (wawancara dilakukan pada tanggal 11 Maret 2023, Pukul 13.01 WIB)

72 Dhafid Wawancara, 13 Maret 2023, Pukul 20.04 WIB

73 Dhafid Wawancara, 13 Maret 2023, Pukul 20.04 WIB

74 Qoyum Wawancara, 13 Maret 2023, Pukul 20.04 WIB

75 Qoyum Wawancara, 13 Maret 2023, Pukul 20.04 WIB

76 Faisal Wawancara, 13 Maret 2023, Pukul 20.04 WIB

77 Yusuf Wawancara, 13 Maret 2023, Pukul 20.04 WIB

78 Yusuf Wawancara, 13 Maret 2023, Pukul 20.04 WIB

79 Yusuf Wawancara, 13 Maret 2023, Pukul 20.04 WIB

80 Asror Wawancara, 14 Maret 2023, Pukul 11.05 WIB

(15)

15

untuk pulang, berkeluh kesah kepada Tuhan dan mencari solusi untuk setiap pergumulan kehidupan.81 Tidak hanya sebagai tempat untuk menjalin relasi spiritual, melainkan juga sebagai tempat untuk menjalin relasi antar sesama umat.

Dalam wawancara dijelaskan bahwa ada relasi antar umat yang juga terjadi di dalam tempat peribadatan. Relasi antar umat dapat terjadi pada saat awal sebelum memulai sholat dan pada saat setelah selesai sholat. Setelah selesai sholat itu ada 3 unsur salam antara lain: niat untuk keluar sholat atau membatalkan sholat, lalu dilanjutkan dengan mengucapkan salam pada orang yang ada disamping kiri dan kanan, serta yang terakhir ialah menjawab salam dari orang yang ada di samping kiri dan kanan.82

Gereja dalam Pandangan Santri Pesantren Luhur Al – Husna Surabaya Gereja secara umum merupakan tempat peribadatan umat Kristiani.

Berdasarkan penelitian setiap santri mengatakan bahwa mereka sangat menerima kehadiran gereja di tengah lingkungan mereka.83 Para santri tidak menganggap bahwa masjid dan gereja memiliki perbedaan.84 Setiap santri meyakini bahwa setiap agama mengajarkan kebaikan, maka seharusnya yang ditemukan ialah titik temu dari setiap agama, bukan hanya perbedaan setiap agama.85

Pengajaran – pengajaran dalam pesantren mengajarkan kepada setiap santri untuk menerapkan sikap toleransi kepada seluruh umat beragama. Praktek toleransi yang diterapkan pesantren adalah dengan cara mengikutsertakan santri terhadap beberapa kegiatan bersama dengan agama lain, salah satunya ialah datang ke gereja dan mengikuti rangkaian kegiatan.86 “Dalam Al-Quran nabi itu merahmati semua alam bukan hanya satu golongan” kata seorang santri, sehingga para santri mengikuti hal itu dengan tidak mengurangi relasi bersama dengan umat beragama lain.87

81 Asror Wawancara, 14 Maret 2023, Pukul 11.05 WIB

82 Faisal Wawancara, 13 Maret 2023, Pukul 20.04 WIB

83 Asror Wawancara, 14 Maret 2023, Pukul 11.05 WIB

84 Dhafid Wawancara, 13 Maret 2023, Pukul 20.04 WIB

85 Yusuf Wawancara, 13 Maret 2023, Pukul 20.04 WIB

86 Asror Wawancara, 14 Maret 2023, Pukul 11.05 WIB

87 Asror Wawancara, 14 Maret 2023, Pukul 11.05 WIB

(16)

16

Para santri ketika berada di dalam gereja merasakan ada kerukunan dan kenyamanan.88 Hal ini terbentuk dikarenakan para santri disambut dengan hangat oleh jemaat GPIB Benowo Surabaya.89 Menurut para santri gereja tidak menjadi penghalang hubungan spiritual mereka dengan Tuhan, sehingga mereka tetap merasakan ketenangan ketika berada di dalam gedung gereja.90 Setiap santri memahami bahwa Tuhan akan hadir disetiap kehidupan dan tidak terbatas oleh waktu dan ruang.91 Santri menunjukkan seni hadrah/hadroh dengan melantunkan sholawat dengan tema menjaga keutuhan NKRI yang tujuannya adalah menjaga keutuhan NKRI dan hubungan setiap umat.92 Penampilan mereka sangat disambut hangat oleh jemaat GPIB Benowo Surabaya, bahkan hampir keseluruhan jemaat mengetahui sholawat yang dibawakan dan ikut menyanyikan bersama dengan para santri.93 Melalui relasi yang seperti ini santri dapat merasakan indahnya bertoleransi.

Para santri menyatakan bahwa dengan sambutan hangat dari para jemaat, serta kebahagiaan yang didapatkan ketika berada didalam gereja mereka ingin untuk kembali berelasi dengan umat Kristiani. Para santri tidak terlalu merepotkan pandangan orang lain terhadap relasi yang mereka lakukan, dikarenakan yang santri pahami mereka ingin berbuat baik dan menciptakan rasa saling menghargai bersama dengan umat beragama lain. “Kalau dari saya hal ini dapat dianalogikan seperti ketika kita masuk ke dalam kebun binatang, apakah kita akan menjadi seperti binatang”, kata salah seorang santri.94 Analogi yang disampaikan ini hendak menyampaikan bahwa ketika santri berada didalam gereja, lantas tidak merubah keyakinan mereka untuk beralih mengikuti umat Kristiani. Para santri mendapatkan pemahaman dan pengetahuan baru ketika berada di gereja seperti, cara beribadah umat Kristen, cara berpenampilan umat Kristen ketika beribadah, puji-pujian yang dinyanyikan dan salam setelah selesai beribadah. Bahkan para santri mendengarkan

88 Faisal Wawancara, 13 Maret 2023, Pukul 20.04 WIB

89 Dhafid Wawancara, 13 Maret 2023, Pukul 20.04 WIB.

90 Asror Wawancara, 14 Maret 2023, Pukul 11.05 WIB

91 Qoyum Wawancara, 13 Maret 2023, Pukul 20.04 WIB

92 Affandi Wawancara, 11 Maret 2023, Pukul 13.01 WIB

93 Asror Wawancara, 14 Maret 2023, Pukul 11.05 WIB.

94 Asror Wawancara, 14 Maret 2023, Pukul 11.05 WIB

(17)

17

dengan sangat baik ketika Pendeta menyampaikan khotbah dan hal ini juga menjadi pengetahuan baru bagi mereka.

D. Analisis

Ruang Suci dalam Pandangan Santri Pesantren Luhur Al-Husna Surabaya menurut Teori Ruang Sakral

Ruang suci secara umum mengarah kepada tempat peribadatan. Melalui hasil wawancara bersama dengan 6 orang santri, mereka juga setuju bahwa ruang suci merupakan tempat peribadatan. Sesuai dengan apa yang disampaikan oleh para santri bahwa ruang suci adalah tempat yang sudah disucikan dan digunakan untuk melakukan ritual peribadatan.

Kategori ruang menurut Henri Lefebvre yang ada 3 yaitu ruang tipe praktik spasial, ruang tipe representasi dan ruang terepresentasi.95 Ruang tipe praktik spasial tempat pertemuan antara kehidupan pribadi dengan ruang lingkup sosial.96 Dalam ruang suci sesuai dengan penyampaian oleh para santri menjelaskan bahwa dalam ruang suci, merupakan tempat pertemuan antar umat untuk bersama-sama melakukan ritual peribadatan. Ruang tipe representasi ialah ruang untuk menuangkan apa yang dirasakan dan dihidupi oleh individu.97 Ruang untuk menuangkan perasaan dalam pandangan beberapa santri ialah menuangkan segala keluh kesah dan nyaman untuk berdoa. Ruang tipe representasi ialah ruang abstrak terkait imej/citra dan simbol tertentu yang disesuaikan dengan cara pandang pribadi masing-masing dengan proses sosial.98 Tipe ruang ini disesuaikan dengan pandangan santri terkait tempat peribadahan atau masjid yang berbeda-beda, pandangan mereka ini berasal dari bagaimana mereka menjalin hubungan spiritual dan hubungan sosial ketika melakukan ritual peribadatan. Beberapa pandangan menyatakan bahwa masjid sebagai rumah untuk pulang dan menyatu dengan beberapa umat, namun beberapa pandangan lainnya beranggapan bahwa tempat peribadahan hanya sebagai tempat melakukan ritual peribadatan.

95 Lefebvre, The Production of Pace, 38-39.

96 Lefebvre, The Production of Pace, 38.

97 Lefebvre, The Production of Pace, 38-39.

98 Lefebvre, The Production of Pace, 39.

(18)

18

Ruang sakral menurut Scanell dan Gifford tidak hanya melihat dari bagian gedung atau bangunannya, melainkan dapat dilihat dari beberapa aspek seperti bentuk, desain arsitektur, perantara hubungan spiritual individu dengan Tuhan serta hubungan sosial antar umat.99 Pandangan santri terhadap ruang suci sebagai tempat peribadatan tidak hanya melihat bagian luar atau bagunannya. Setiap santri menjelaskan bahwa melalui pengajaran mereka di dalam pesantren mereka ditekankan terhadap “esensi”, sehingga fokus mereka tidak terhadap bangunannya melainkan terhadap relasi positif yang terjalin didalamnya.

Menurut para santri Masjid merupakan tempat nyaman, nikmat dan penuh ketenangan untuk melakukan peribadatan. Tidak hanya sebagai tempat peribadatan melainkan juga sebagai tempat untuk pulang, tempat untuk berkeluh kesah serta tempat untuk mencari solusi dalam pergumulan kehidupan. Mazumdar menjelaskan bahwa ruang suci ialah tempat untuk umat mengekspresikan identitas keagamaan mereka.100 Tempat peribadatan merupakan tempat untuk berdoa, bermeditasi, memuliakan, mendidik para pemeluk agama.101 Berdasarkan pemaparan diatas dapat ditarik sebuah kesesuaian bahwasannya masjid menjadi tempat peribadatan sekaligus menjadi tempat untuk mengekspresikan keagamaan mereka dengan menjadikan Masjid sebagai rumah untuk pulang. Dalam masjid juga para santri mendapatkan pengajaran – pengajaran melalui khutbah – khutbah atau diskusi bersama dengan para ulama.

Definisi mengenai ruang sakral tidak hanya pada hubungan spiritual umat dengan Tuhan. Setiap umat harus mampu untuk mencerminkan ikatan ruang sakral dan keterkaitan umat dengan Tuhan, melalui kedekatan bersama dengan sesama umat.102 Para santri menyatakan bahwa relasi antar sesama umat juga merupakan hal yang penting. Relasi itu dapat terjalin sebelum ritual ibadah dimulai dan setelah ritual peribadatan berakhir. Berdasarkan data para santri mengatakan bahwa relasi yang terjalin sebelum sholat ialah dengan bertegur sapa dan sekedar menanyakan kabar. Relasi yang terjalin seusai sholat, disesuaikan dengan 3 unsur salam yaitu:

99 Bahauddin, Prihatmanti dan Putri, “Sense of Place pada Warisan Budaya dan Arsitektur Suci,” 56.

100 Mazumdar dan Mazumdar, “Sacred Space and Place Attachment,” 231.

101 Bahauddin, Prihatmanti dan Putri, “Sense of Place pada Warisan Budaya dan Arsitektur Suci,” 58.

102 Mazumdar dan Mazumdar, “Sacred Space and Place Attachment,” 234.

(19)

19

niat untuk keluar sholat atau membatalkan sholat, dilanjutkan dengan mengucapkan salam pada orang yang ada disamping kiri dan kanan, serta yang terakhir menjawab salam dari orang yang ada di samping kiri dan kanan. Dengan demikian ruang sakral melalui kedekatan dengan sesama umat juga sudah diterapkan dalam ruang suci umat muslim.

Gedung Gereja sebagai Ruang Suci dalam Pandangan Santri Pesantren Luhur Al – Husna Surabaya

Berdasarkan hasil penelitian, para santri mengungkapkan bahwa mereka sangat menerima kehadiran gereja sebagai tempat peribadatan umat Kristiani.

Dalam pesantren dari awal para santri masuk sudah diajarkan untuk menerapkan toleransi dalam kehidupan beragama. Dengan adanya pengetahuan mengenai

“esensi” yang diberikan oleh para ulama di pesantren, para santri memiliki sikap yang terbuka terhadap agama lain. Hal yang menjadi fokus para santri adalah menerapkan toleransi dan melakukan hal baik kepada sesama.

Menurut Henri Lefebvre ada 3 tipe ruang yaitu ruang tipe praktik spasial, ruang tipe representasi dan ruang terepresentasi.103 Berdasarkan data melalui wawancara bersama dengan santri gereja dapat disesuaikan dengan tipe ruang menurut Henri Lefebvre. Tipe ruang menurut Lefebvre kemudian disesuaikan dengan pandangan para santri.

Ruang tipe praktik spasial adalah ruang bertemunya kehidupan pribadi dengan lingkungan sosial.104 Menurut para santri gereja merupakan tempat peribadatan bagi umat Kristiani dan merupakan tempat untuk melakukan interaksi sosial dengan umat beragama lain. Gereja dapat digolongkan dengan ruang tipe praktik spasial, dikarenakan gereja tempat bertemunya umat Kristiani dengan sesama umat dan juga bersama dengan para santri. Ruang tipe representasi ialah ruang untuk menuangkan apa yang dirasakan dan dihidupi oleh individu.105 Para santri mengatakan bahwa kegiatan bersama dengan gereja ini merupakan tempat untuk menerapkan ajaran toleransi yang selama ini sudah diajarkan di pesantren.

103 Lefebvre, The Production of Pace, 38-39.

104 Lefebvre, The Production of Pace, 38.

105 Lefebvre, The Production of Pace, 38-39.

(20)

20

Santri- santri meyakini bahwa dengan adanya sikap toleransi akan mempermudah hubungan antar umat dengan perbedaan keyakinan. Sesuai dengan ruang tipe representasi gereja dapat dijadikan sebagai tempat untuk menerapkan toleransi yang selama ini sudah sering diajarkan dan dihidupi oleh para santri dalam setiap aktivitas mereka. Ruang tipe representasi ialah ruang abstrak terkait imej/citra dan simbol tertentu yang disesuaikan dengan cara pandang pribadi masing-masing dengan proses sosial.106 Setiap santri memiliki perbedaaan ketika mengungkapkan perasaan mereka saat berada di gereja. 2 orang santri mengatakan bahwa ketika berada di dalam gereja mereka merasakan kerukunan melalui keikutsertaan jemaat dalam melatunkan sholawat, 2 orang santri yang lain mengatakan bahwa mereka kagum terhadap konsep peribadatan umat kristiani serta 2 orang yang lain merasakan kenyamanan dikarenakan mereka sangat disambut hangat oleh jemaat di gereja. Keselarasan pandangan santri dengan ruang tipe terepresentasi ialah setiap santri memiliki pandangan mereka masing-masing sesuai dengan apa yang mereka rasakan ketika berada di dalam Gedung gereja.

Gereja menurut para santri memiliki bentuk bangunan yang berbeda dari masjid, di dalam gereja pun terdapat simbol – simbol salib. Tata ruang yang ada dalam gereja pun berbeda dengan masjid. Puji-pujian yang dinyanyikan memiliki perbedaan dengan yang dilantunkan umat muslim. Cara berpakaian para jemaat juga berbeda dengan cara berpakaian umat muslim saat hendak beribadah. Semua hal baru yang santri terima ketika berada di gereja dianggap sebagai suatu pengetahuan baru bagi mereka, untuk nantinya menjadi bahan diskusi di pesantren.

Para santri menyampaikan bahwa hubungan spiritual mereka dengan Tuhan tidak terhalang ketika mereka berada di gereja.

Gereja sebagai ruang sakral dalam lingkup sosial adalah ketika mampu menghasilkan umat yang memiliki sikap mengasihi, menerima, menghargai dan menghormati dengan sesama yang berbeda agama.107 Gereja sebagai ruang suci sesuai dengan teori Mazumdar di dalam gereja harus terjalin komponen religious,

106 Lefebvre, The Production of Pace, 39.

107 Aritonang, “Peran Sosiologis Gereja dalam Relasi Kehidupan antara Umat Beragama

Indonesia,” 93-94.

(21)

21

beserta dengan hubungan spiritual dan emosional.108 Melalui penjelasan para santri gereja tidak menjadi penghalang hubungan spiritual santri. Sehingga dalam gereja santri tetap merasakan hubungan spiritual bersama dengan hubungan emosional bersama dengan umat kristiani yang hadir. Jemaat dalam gereja menyambut para santri dengan sangat ramah, sehingga para santri merasakan kenyamanan serta kerukunan. Kesesuaian dengan teori Mazumdar gereja sudah mampu menjadi gereja sebagai ruang suci di tengah-tengah kehidupan sosial yang beragam.

E.Penutup

Tempat peribadatan merupakan ruang suci yang sudah persiapkan untuk ritual peribadatan. Dalam Indonesia dengan berbagai keragaman, terutama keberagaman agama tentunya diperlukan sikap toleransi. Melalui tulisan ini diharapkan mampu untuk meningkatkan rasa toleransi kepada seluruh umat beragama. Dengan relasi antara Pesantren Luhur Al – Husna dengan gereja diharapkan menjadi suatu bukti nyata bahwa toleransi antar agama ini dapat diterapkan.

Melalui pandangan santri terhadap gereja menjelaskan bahwa gereja merupakan bagian dalam ruang suci dari sudut pandang toleransi agama. Dalam gereja para santri tetap dapat merasakan spiritual dengan Tuhan serta dapat merasakan kerukunan dan kenyamanan melalui relasi dengan umat Kristiani. Hal ini sesuai dengan definisi ruang sakral menurut Mazumdar dan pandangan gedung gereja sebagai ruang sakral dalam lingkup sosial. Dengan demikian relasi antar pesantren dengan gereja mengarah kepada hal yang positif dan dapat terus mengembangkan toleransi agama.

Relasi antar pesantren dengan gereja ini sudah berjalan dari tahun 2019. Mulai dari Mupel (Musyawara Pelayanan) Jawa Timur, lalu diteruskan dengan GPIB Genta Kasih dan diteruskan oleh GPIB Benowo Surabaya. Hanya saja ketika ada mutasi (perpindahan) pendeta GPIB relasi dengan pesantren tidak berlanjut. Covid juga menjadi salah satu hambatan untuk pesantren berelasi dengan gereja hingga saat ini. Dengan demikian saran untuk gereja agar tetap untuk meneruskan relasi bersama dengan pesantren, agar relasi yang sudah dibangun diawal tetap

108 Bahauddin, Prihatmanti dan Putri, “Sense of Place pada Warisan Budaya dan

Arsitektur Suci,” 67.

(22)

22

berkelanjutan untuk kedepannya. Saran untuk pesantren ialah kembali meningkatkan praktek-praktek toleransi agama yang sudah ada sebelum covid.

Referensi

Dokumen terkait

Bhagavad Gita merup Nyanyian Tuhan atau Nyanyian Suci, Umat suci umat Hindu ini adalah bagian dari Bhisma Parwa dari Mahabharata yang disusun oleh Bhgavan Maha Rsi

 Menyediakan masyarakat sebuah ruang terbuka publik sebagai tempat berkumpul. Tempat yang ramah ini menyediakan tempat dimana umat bisa merasakan perasaan

Mesjid adalah suatu tempat yang digunakan umat Islam untuk melakukan sujud kepada Allah SwL Mesjid merupakan lembaga sentral keagamaan yang suci tempat berkumpul

Kehidupan Keagamaan di Surabaya sangat kondusif bagi kerukunan umat beragama. Kerja sama antar umat beragama telah terjalin dengan cukup intens, baik yang

Setelah relasi dengan Tuhan Allah diperbaiki melalui korban bakaran (Im 1), dan selanjutnya mendorong umat Tuhan untuk mengungkapkan syukur melalui persembahan korban sajian (Im

Kitab Maleakhi adalah sebuah pesan yang bernuansa moral-spiritual, karena Allah yang begitu mengasihi umat Israel namun umat Israel justru merespon sebaliknya, mereka

Ketiga unsur dari konsepsi Tri Hita Karana adalah (1) unsur parhyangan merupakan tempat suci pemujaan bagi umat Hindu untuk mengadakan hubungan yang selaras den- gan Tuhan

Dalam salah satu negara Asia orang Kristen diajarkan un- tuk membawa tiga "benda suci" ke rumah Tuhan: Kitab Su- ci, kitab nyanyian yang suci dan "beras suci".