• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ghinā al-Nafs Perspektif Hadis Nabi Saw. (Suatu Kajian Tahlili pada Riwayat Abu Hurairah)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Ghinā al-Nafs Perspektif Hadis Nabi Saw. (Suatu Kajian Tahlili pada Riwayat Abu Hurairah)"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

GHINA> AL-NAFS> PERSPEKTIF HADIS NABI SAW (Suatu Kajian Tah}li>li> pada Riwayat Abu Hurairah)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Prodi Ilmu Hadis

Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin Makassar

Oleh :

IRFAN SETIAWAN NIM: 30700116052

FAKULTAS USHULUDDIN, FILSAFAT DAN POLITIK UIN ALAUDDIN MAKASSAR

2022

(2)
(3)
(4)

iv

KATA PENGANTAR

ِمي ِحهرلا ِنَْحْهرلا ِهللَّا ِمْسِب

هباحصأو هلآ ىلعو منالأا يرخ ىلع ملاسلاو ةلاصلا , ملعي لمام ناسنلإا ملع ملقلبا ملع يذلا لله دملحا

"دعب اما" ماركلا لىوا

Puji syukur atas kehadirat Allah swt. berkat rahmat hidayah serta inayah-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah saw. beserta keluarga, sahabatnya dan para pengikut setianya.

Kebesaran jiwa dan kasih sayang yang tak tertepi, doa yang tak pernah terputus dari kedua orang tua tercinta, AyahandaM. Imlahi dan ibunda Hj. Kasmirah beserta saudara saya, yang senantiasa memberikan penulis motivasi, nasihat, serta doa restu yang selalu di berikan sampai saat ini.

Adapun tujuan penyusunan skripsi ini di ajukan untuk memenuhi persyaratan penyelesaian pendidikan strata satu dan memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada program studi Ilmu Hadis pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar Tahun Akademik 2021/2022.

Dengan terselesaikannya skripsi ini, peneliti menyadari banyak pihak yang telah ikut berpartisipasi secara aktif maupun pasif dalam membantu proses penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, penulis merasa sangat perlu menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak yang telah membantu, baik yang telah

(5)

v

membimbing, mengarahkan, memberikan petunjuk maupun yang senantiasa memotivasi:

1. Prof. Drs. Hamdan Juhannis, M.A., Ph.D. selaku Rektor Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar dan Prof. Dr. Mardan, M.Ag., Dr. Wahyuddin, M.

Hum., Prof. Dr. Darussalam, M.Ag., Dr. H. Kamaluddin Abunawas, M.Ag.

selaku wakil Rektor I, II, III dan IV yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk menimba ilmu di kampus ini.

2. Dr. Muhsin, M.Th.I. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik, Dr. Hj. Rahmi D, M.Ag., Dr. Hj. Darmawati H, M.HI., Dr. Abdullah, S.Ag., M.Ag., selaku wakil Dekan I, II dan III yang senantiasa membimbing peneliti selama menempuh perkuliahan.

3. Dr. Andi Muhammad Ali Amiruddin, MA., Dr. H. Muhammad Ali, M.Ag., dan Dr. H. Aan Parhani, Lc. M.Ag., Yusran S.Th.I., M.Hum., selaku ketua prodi Ilmu Hadis dan ketua prodi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir bersama sekertarisnya atas segala ilmu, petunjuk dan arahannya selama menempuh jenjang perkuliahan di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin.

4. Dr. Tasmin, M.Ag., dan Dr. Andi Muhammad Ali Amiruddin, M.A., selaku pembimbing I dan pembimbing II peneliti yang dengan ikhlas meluangkan waktunya untuk membimbing, dan memberikan arahan kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi sejak awal hingga akhir.

(6)

vi

5. Prof. Dr. H. Mahmuddin, M.Ag., dan Dr. Hj. Fadhlina Arief Wangsa, Lc., M.Ag., selaku penguji I dan penguji II peneliti yang memberikan saran dan kritikan serta masukan-masukan ilmiah kepada peneliti demi kesempurnaan skripsi ini.

6. Seluruh dosen di lingkungan Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin Makassar yang telah berjasa mengajar dan mendidik peneliti selama menjadi mahasiswa di UIN Alauddin Makassar serta seluruh staf akademik Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin Makassar yang dengan sabarnya melayani peneliti dalam menyelesaikan prosedur akademik yang harus dijalani hingga ke tahap penyelesaian.

7. Bapak dan ibu kepala perpustakaan UIN Alauddin Makassar beserta seluruh staf yang telah menyediakan referensi yang dibutuhkan dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Ayahanda Drs. M. Imlahi dan ibunda Hj. Kasmirah sebagai orang tua peneliti yang telah berjuang merawat, membesarkan serta menafkahi sehingga peneliti dapat sampai pada tahap akhir perkuliahan. Tiada kata-kata yang layak peneliti berikan untuk mengemukakan penghargaan dan jasa beliau. Tanpa doa yang ditujukan kepadaku, peneliti tidak mampu menyelesaikan penyusunan karya ilmiah ini, peneliti hanya dapat mendoakan semoga beliau senantiasa mendapatkan kesehatan, berkah, rahmat dari dan di sisi Allah swt.

(7)

vii

9. Indah Setiawati, S.Pd., dan Akbar Setiawan selaku saudara kandung peneliti yang telah membantu serta mendukung peneliti selama proses perkuliahan hingga selesai.

10. Keluarga besar peneliti yang tidak bisa disebut semua atas bantuan dan dukungan yang diberikan kepada peneliti mulai awal perkuliahan hingga selesai.

11. Nur Asmi, S.H. yang senantiasa mendampingi dan membantu peneliti dalam banyak hal selama proses penyusunan skripsi.

12. Abdul Wahid, S.Sos. selaku sahabat peneliti yang telah membantu dan memberi arahan selama proses penyusunan skripsi.

13. Saudara-saudara seperjuangan mahasiswa ilmu Hadis angkatan 2016 yang senantiasa memberi arahan, motivasi, dan semangat kepada peneliti dan juga senantiasa menemani peneliti serta berjuang bersama menyelesaikan skripsi, tidak ada kata putus asa selama proses penyelesaian skripsi ini sekalipun banyak sekali tantangan atau kendala yang dihadapi.

Akhirnya, peneliti mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang tidak sempat peneliti sebut satu persatu, semoga semua bantuan yang telah diberikan bernilai ibadah di sisi Allah swt. dan semoga Allah swt. senantiasa meridhai semua amal kebaikan yang peneliti telah laksanakan dengan penuh kesungguhan serta keikhlasan.

(8)

viii

Pada kenyataannya, walaupun menerima banyak bantuan dari berbagai pihak, pada dasarnya yang bertanggung jawab terhadap tulisan ini adalah peneliti sendiri.

Terakhir peneliti sampaikan penghargaan kepada mereka yang membaca dan berkenan memberikan saran, kritik atau bahkan koreksi terhadap kekurangan dan kesalahan yang masih terdapat dalam skripsi ini. Semoga dengan saran dan kritik tersebut, skripsi ini dapat diterima dikalangan pembaca yang lebih luas lagi di masa yang akan datang. Semoga karya yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat bagi pembacanya, terutama bagi peneliti sendiri.

Pangkajene, 20 Juni 2022

Irfan Setiawan 30700116052

(9)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... ii

PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... ix

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xi

ABSTRAK ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1-16 A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Pengertian Judul Dan Ruang Lingkup Penelitian ... 6

D. Kajian Pustaka ... 8

E. Metodologi Penelitian ... 13

F. Tujuan Dan Kegunaan ... 15

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GHINA> AL-NAFS ... 17-25 A. Pengertian Ghina> al-Nafs ... 17

B. Al-Ghina> menurut Al-Qur’an ... 22

C. Kaya dalam Konteks Manusia ... 23

BAB III RIWAYAT ABU HURAIRAH TENTANG GHINA> AL-NAFS 26-61 A. Takhri>j al-H{adi>s | dan I’tiba>r al-Sanad ... 26

B. Kritik Sanad ... 48

C. Kritik Matan ... 57

D. Kehujjahan Hadis ... 61

BAB IV ANALISIS KANDUNGAN HADIS TENTANG GHINA> AL-NAFS A. Analisis Tekstual ... 62

B. Analisis Kontekstual ... 66

(10)

x

BAB V PENUTUP ... 72-73 A. Kesimpulan ... 72 B. Implikasi ... 73 DAFTAR PUSTAKA ... 74 RIWAYAT HIDUP

(11)

xi

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN DAN SINGKATAN A. Transliterasi Arab-Latin

Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf latin dapat dilihat pada tabel berikut:

1. Konsonan

Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

ا Alif tidak dilambangkan tidak dilambangkan

ب Ba b Be

ت Ta t Te

ث s\a s\ es (dengan titik di atas)

ج Jim j Je

ح h}a h} ha (dengan titik di bawah)

خ Kha kh ka dan ha

د Dal d De

ذ z\al z\ zet (dengan titik di atas)

ر Ra r Er

ز z{ai z zet

س Sin s Es

ش Syin sy es dan ye

ص s}ad s} es (dengan titik di bawah)

ض d}ad d} de (dengan titik di bawah)

ط t}a t} te (dengan titik di bawah)

ظ z}a z} zet (dengan titik di bawah)

ع ‘ain ‘ apostrof terbalik

غ Gain g Ge

ف Fa f Ef

ق Qaf q Qi

ك Kaf k Ka

ل Lam l El

م Mim m Em

ن Nun n En

و Wau w we

ـه Ha h Ha

ء hamzah ’ apostrof

ى Ya y Ya

Hamzah (ء) yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi tanda apa pun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis dengan tanda (’).

(12)

xii 2. Vokal

Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat, transliterasinya sebagai berikut:

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu:

Contoh:

َ َفْيَك : kaifa

ََلْوَه : haula 3. Maddah

Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harakat dan huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:

Nama Huruf Latin Nama

Tanda

َ ا

fath}ah kasrah a i a i

َ ا

d}ammah u u

َ ا

Nama Huruf Latin Nama

Tanda

fath}ah dan ya>’ ai a dan i

ْ ىَـ

fath}ah dan wau au a dan u

ْ وَـ

(13)

xiii Contoh:

ََتاَم

: ma>ta

ىَمَر

: rama>

ََلْيِق

: qi>la

َُتْوُمَي

: yamu>tu 4. Ta>’ marbu>t}ah

Transliterasi untuk ta>’ marbu>t}ah ada dua, yaitu: ta>’ marbu>t}ah yang hidup atau mendapat harakat fath}ah, kasrah, dan d}ammah, transliterasinya adalah [t].

Sedangkan ta>’ marbu>t}ah yang mati atau mendapat harakat sukun, transliterasinya adalah [h].

Kalau pada kata yang berakhir dengan ta>’ marbu>t}ah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta>’

marbu>t}ah itu ditransliterasikan dengan ha (h).

Contoh:

َِلاَف ْطَلأاَُة َض ْوَر

: raud}ah al-at}fa>l

ََُل ِضاَفْلَاَُةَنْيِدَمْلَا

: al-madi>nah al-fa>d}ilah

َُةَ ْكِْحْلَا

: al-h}ikmah

Nama Harakat dan

Huruf

Huruf dan Tanda

Nama fath}ah dan alif atau ya>’

َ ...

ا

َ ... | ى

d}ammah dan wau

وُـ

a>

u>

a dan garis di atas

kasrah dan ya>’ i> i dan garis di atas

u dan garis di atas

ىـ

(14)

xiv 5. Syaddah (Tasydi>d)

Syaddah atau tasydi>d yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda tasydi>d ( ـّـ ), dalam transliterasi ini dilambangkan dengan perulangan huruf (konsonan ganda) yang diberi tanda syaddah.

Contoh:

ََانَّبَر

: rabbana>

ََانْيَّ َنَ

: najjaina>

َ ّقَحْلَا

: al-h}aqq

ََمِّعُن

: nu“ima

َ و ُدَع

: ‘aduwwun

Jika huruf

ى

ber-tasydid di akhir sebuah kata dan didahului oleh huruf kasrah

( َّىـِــــ ),

maka ia ditransliterasi seperti huruf maddah menjadi i>.

Contoh:

َ ِلَع

: ‘Ali> (bukan ‘Aliyy atau ‘Aly)

َ ب َرَع

: ‘Arabi> (bukan ‘Arabiyy atau ‘Araby)

6. Kata Sandang

Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf

َلا

(alif lam ma‘arifah). Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang ditransliterasi seperti biasa, al-, baik ketika ia diikuti oleh huruf syamsiyah maupun huruf qamariyah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi huruf langsung yang mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan

(15)

xv dihubungkan dengan garis mendatar (-).

Contoh:

َ ُسْم َّشلَا

: al-syamsu (bukan asy-syamsu)

َ َلَ َزْلَّزلَا

: al-zalzalah (az-zalzalah)

َةَف َسْلَفْلَا

: al-falsafah

َُدَلابْلَا

: al-bila>du

7. Hamzah

Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (’) hanya berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Bila hamzah terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia berupa alif.

Contoh:

ََن ْو ُرُمْأَت

: ta’muru>na

َُعْوَّنلَا

: al-nau‘

َ ء ْ َشَ

: syai’un

َُتْرِمُأ

: umirtu

8. Penulisan Kata Arab yang lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata, istilah atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari perbendaharaan bahasa Indonesia, atau sering ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia, atau lazim digunakan dalam dunia

(16)

xvi

akademik tertentu, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya, kata al-Qur’an (dari al-Qur’a>n), alhamdulillah, dan munaqasyah. Namun, bila kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka harus ditransliterasi secara utuh. Contoh:

T{abaqa>t al-Fuqaha>’

Wafaya>h al-A‘ya>n 9. Lafz} al-Jala>lah

( الله )

Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf lainnya atau berkedudukan sebagai mud}a>f ilaih (frasa nominal), ditransliterasi tanpa huruf hamzah.

Contoh:

َِاللهَ ُنْيِد

di>nulla>h

َِلل ِبِ

billa>h

Adapun ta>’ marbu>t}ah di akhir kata yang disandarkan kepada lafz} al- jala>lah, ditransliterasi dengan huruf [t]. Contoh:

َِةَ ْحَْرَْ ِفَِْ ُهُ

َِالله

hum fi> rah}matilla>h

10. Huruf Kapital

Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital (All Caps), dalam transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang penggunaan huruf kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia yang berlaku (EYD). Huruf kapital, misalnya, digunakan untuk menuliskan huruf awal nama diri (orang, tempat, bulan) dan huruf pertama pada permulaan kalimat. Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-), maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap

(17)

xvii

huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada awal kalimat, maka huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf kapital (Al-). Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari judul referensi yang didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis dalam teks maupun dalam catatan rujukan (CK, DP, CDK, dan DR). Contoh:

Inna awwala baitin wud}i‘a linna>si lallaz\i> bi Bakkata muba>rakan

Syahru Ramad}a>n al-laz\i> unzila fi>h al-Qur’a>n Nas}i>r al-Di>n al-T{u>si>

Abu>> Nas}r al-Fara>bi>

Al-Gaza>li>

Al-Munqiz\ min al-D}ala>l

Jika nama resmi seseorang menggunakan kata Ibnu (anak dari) dan Abu>

(bapak dari) sebagai nama kedua terakhirnya, maka kedua nama terakhir itu harus disebutkan sebagai nama akhir dalam daftar pustaka atau daftar referensi. Contoh:

B. Daftar Singkatan

Beberapa singkatan yang dibakukan adalah:

B. Daftar Singkatan

Beberapa singkatan yang dibakukan adalah:

‘Ali> ibn ‘Umar al-Da>r Qut}ni> Abu> Al-H{asan, ditulis menjadi: Abu> Al-H{asan,

‘Ali> ibn ‘Umar al-Da>r Qut}ni>. (bukan: Al-H{asan, ‘Ali> ibn ‘Umar al-Da>r Qut}ni> Abu>)

Nas}r H{a>mid Abu> Zai>d, ditulis menjadi: Abu> Zai>d, Nas}r H{a>mid (bukan: Zai>d, Nas}r H{ami>d Abu>)

(18)

xviii swt. = subh}a>nahu> wa ta‘a>la>

saw. = s}allalla>hu ‘alaihi wa sallam a.s. = ‘alaihi al-sala>m

Cet. = Cetakan

t.p. = Tanpa penerbit

t.t. = Tanpa tempat

t.th. = Tanpa tahun

t.d = Tanpa data

H = Hijriah

M = Masehi

SM = Sebelum Masehi

QS. …/…: 4 = QS. al-Baqarah/2: 4 atau QS. A<li ‘Imra>n/3: 4

h. = Halaman

H.R = Hadis Riwayat

(19)

xix ABSTRAK Nama : Irfan Setiawan

NIM : 30700116052

Judul : Ghina> al-Nafs Perspektif Hadis Nabi saw. (Suatu Kajian Tahlili pada Riwayat Abu Hurairah)

Skripsi ini membahas tentang ghina> al-Nafs perspektif hadis Nabi dari sisi kualitas hadis dan kandungan hadisnya. Rumusan masalah yang diangkat pada skripsi ini adalah; 1) Bagaimana kualitas hadis tentang ghina> al-Nafs pada riwayat Abu Hurairah?; 2) Bagaimana kandungan hadis tentang ghina> al-Nafs pada riwayat Abu Hurairah?. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas hadis tentang ghina> al- Nafs perspektif hadis Nabi pada riwayat Abu Hurairah dan untuk mengetahui kandungan hadisnya.

Penelitian ini adalah penelitian pustaka. Jalur periwayatan yang menjadi fokus peneliti adalah riwayat Ibnu> Majah dalam kitab Sunan Ibnu Ma>jah. Metode yang digunakan peneliti adalah metode tahlili dengan menggunakan pendekatan ilmu hadis dan pendekatan bahasa.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sanad hadis yang diteliti berkualitas s}ah}i>h}, seluruh periwayat yang terdapat dalam sanad hadis dinilai s|iqah oleh para ulama hadis. Begitupun dengan matan hadisnya yang terhindar dari syaz| dan ‘illah sehingga hadis yang diteliti telah memenuhi kriteria hadis s}ah}i>h} dan dapat disimpulkan bahwa hadis yang diteliti berkualitas s}ah}i>h}.

Kandungan hadisnya menunjukkan bahwa hakikat kekayaan itu bukan karena banyak harta akan tetapi hakikat kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan jiwa, yaitu selalu mensyukuri segala nikmat yang telah diberikan oleh Allah swt. dan dengan segala nikmat yang dimiliki itu dapat memberikan manfaat kepada sesama manusia, itulah sebaik-baik manusia.

Implikasi dari penelitian ini adalah dapat mendorong manusia untuk selalu mensyukuri segala nikmat yang diberikan oleh Allah swt. dan dengan apa yang dimilikinya itu dapat memberikan manfaat kepada sesama manusia sehingga dapat dikatakan sebagai sebaik-baik manusia.

(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam sebagai agama samawi terakhir di dunia, yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. diyakini sebagai agama yang universal, tidak terbatas waktu dan tempat. Al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa Islam datang sebagai rahmat bagi alam semesta. Di sisi lain, ajaran Islam diyakini sebagai risalah yang sempurna dan dapat digunakan sebagai pedoman bagi umat manusia. Salah satu sumber ajaran Islam yang disepakati oleh ulama setelah al-Qur’an adalah hadis.1

Hadis adalah salah satu unsur terpenting dalam Islam. Ia menempati martabat kedua setelah al-Qur’an dari sumber-sumber hukum Islam yang lainnya.2 Hadis Nabi saw. juga merupakan penafsiran bagi al-Qur’an dalam praktek atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal. Demikian ini mengingat bahwa pribadi Rasulullah saw. merupakan perwujudan al-Qur’an yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.3 Akan tetapi, hadis sendiri tidak sama dengan al-Qur’an dalam masalah keotentikannya.4 Banyak ayat al-Qur’an dan hadis yang memberikan pengertian bahwa hadis itu merupakan argumen (hujjah)

1Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Cet. I; Bogor: Kencana, 2003), h. 73. Lihat juga, Habis Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 365.

2Nur Khalis Majid, Pengantar Studi al-Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2008), h. 215.

3Muhammad Ahmad dan Muhammad Mudzakir, Ulumul Hadis, (Cet. II; Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 18.

4Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, (Cet. I; Jakarta: Renaisan, 2005), h. 17-38.

(21)

selain al-Qur’an yang wajib diikuti, baik dalam bentuk perintah maupun larangannya.5

Banyak sekali hadis yang telah dikumpulkan oleh para periwayat hadis dengan proses yang sangat panjang, kemudian dicantumkan dalam kitab-kitab hadis mereka, mulai dari hadis shahih, hasan, dan dha‘if. Salah satu hadis yg ingin dibahas pada penelitian ini adalah hadis tentang ghina al-Nafs yang diriwayatkan oleh sahabat Nabi yakni Abu> Hurairah.

Al-Ghina> merupakan topik yang penting untuk dikaji dalam kehidupan manusia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kaya adalah banyak harta, sedangkan dalam al-Qur’an dan hadis, kata kaya (ghina) memiliki beberapa pemahaman, sehingga menimbulkan kontroversi pemahaman dalam memahami makna kaya (ghina) yang berakibat kepada perilaku sosial kehidupan. Oleh karena itu, pemahaman tentang al-Ghina harus terus dikaji agar terhindar dari pemahaman yang keliru.

Orang paling kaya jika ditinjau menurut syari‘at adalah orang yang hatinya selalu merasa cukup atas apa yang dimilikinya, sebagaimana telah disebutkan dalam hadis:

َع َةَرم يَرُه ِبَِأ منَع ٍحِلاَص ِبَِأ منَع ٍينِصَح وُبَأ اَنَ ثَّدَح ٍرمكَب وُبَأ اَنَ ثَّدَح َسُنوُي ُنمب ُدَمحَْأ اَنَ ثَّدَح ِيِبَّنلا من

َنَِغ َنَِغملا َّنِكَلَو ِضَرَعملا ِةَرم ثَك منَع َنَِغملا َسميَل َلاَق َمَّلَسَو ِهميَلَع َُّللَّا ىَّلَص ِسمفَّ نلا

هاور( . يراخبللا )

.

6

5Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2008), h. 49

6Muh{ammad Ibn Isma>’il Abu> ‘Abdillah al-Bukha>ry> al-Ju’fiy>, al-Ja>mi’S}ah{i@h} lil Bukha>ri@, Juz V, (t.t; Bairu>t: Da>r T{auq al-Naja>h, 1422 H), h. 2368.

(22)

Artinya:

“Ahmad bin Yunus telah menceritakan kepada kami, Abu Bakr telah menceritakan kepada kami, Abu Hashin telah menceritakan kepada kami, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Kekayaan itu bukanlah karena banyaknya harta, akan tetapi kekayaan itu adalah kaya hati.” (H.R al-Bukhari)7

Hakikat kaya bukanlah diukur dengan banyaknya harta, karena banyak orang yang memiliki banyak harta tidak merasa puas dan tenang dengan apa yang dianugerahkan kepadanya, bahkan terus berusaha memperbanyak harta. Jadi, seakan- akan dia itu orang miskin karena rakus. Hakikat kaya adalah kaya hati, yaitu orang yang merasa cukup dan menerima apa yang dianugerahkan kepadanya serta tidak rakus untuk terus memperbanyak dan memaksakan diri untuk mencarinya. Jika mendapatkan rezeki yang banyak, dia bersyukur, jika mendapatkan rezeki sedikit maka dia bersabar dan tetap bersyukur. Sebagaimana telah disebutkan dalam hadis:

َبوُّيَأ ِبَِأ ِنمب ِديِعَس منَع ُئِرمقُمملا ِنَمحَّْرلا ِدمبَع وُبَأ اَنَ ثَّدَح َةَبم يَش ِبَِأ ُنمب ِرمكَب وُبَأ اَنَ ثَّدَح ُليِبمحَرُش ِنَِثَّدَح

ُهَو َِّللَّا َلوُسَر َّنَأ ِصاَعملا ِنمب وِرممَع ِنمب َِّللَّا ِدمبَع منَع ِييِلُبُملْا ِنَمحَّْرلا ِدمبَع ِبَِأ منَع ٍكيِرَش ُنمبا َو ىَّلَص

ُهَتَآ اَِبِ َُّللَّا ُهَعَّ نَ قَو اًفاَفَك َقِزُرَو َمَلمسَأ منَم َحَلم فَأ مدَق َلاَق َمَّلَسَو ِهميَلَع َُّللَّا هاور( .

.)ملسم

8

Artinya:

“Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami, Abu Abdurrahman al-Muqri telah menceritakan kepada kami, dari Sa'id bin Abu Ayyub, Syurahbil bin Syarik telah menceritakan kepadaku, dari Abu Abdurrahman al-Hubali, dari Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sungguh amat beruntunglah seorang

7Imam Nawawi, Shahih Riyadhush-Shalihin I, terj. Team KMPC, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), h. 433.

8Muslim bin al-Hajjaj Abū Hasan al-Qusyairī al-Naisaburī, Shahih Muslim, Juz. III (Bairūt:

Da>r Fikr, t.th), h. 102.

(23)

yang memeluk Islam dan diberi rezeki yang cukup serta qana'ah terhadap apa yang diberikan Allah.” (H.R Muslim)9

Kata kafa>f artinya berkecukupan, tidak lebih dan tidak kurang. Di dalam hadis tersebut terdapat penjelasan tentang keutamaan sifat-sifat ini. Ajaran tentang kewajiban manusia untuk selalu mensyukuri nikmat karunia Allah yang telah dilimpahkan kepada manusia menempati kedudukan yang sangat penting dalam ajaran agama Islam. Imam al-Ghazali menegaskan bahwa disebutnya perintah bersyukur secara bergandengan dengan perintah berzikir (mengingat Allah) menunjukkan kepada kedudukan yang penting itu.10 Di antaranya firman Allah swt.

dalam QS al-Baqarah/2:152 sebagai berikut:

ِنموُرُفمكَت َلََو مِلِ اموُرُكمشاَو ممُكمرُكمذَا ْٓمِنموُرُكمذاَف

11

Terjemahnya:

Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.

Banyak orang yang diluaskan rezekinya oleh Allah berupa harta yang melimpah, tetapi ia tidak pernah merasa cukup atas apa yang telah Allah berikan kepadanya, padahal Allah menjanjikan balasan bagi orang-orang yang bersyukur sebagaimana potongan ayat dalam QS Ali Imran/3:145 sebagai berikut:

َنيِرِكاَّشلا يِزمجَنَسَو

12

9Imam Nawawi, Shahih Riyadhush-Shalihin I, terj. Team KMPC, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), h. 433.

10Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), juz IV, h. 80.

11Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahannya, (Jakarta : Magfira Pustaka, 2006), h. 23.

12Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahannya, h. 68.

(24)

Terjemahnya:

Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.

Dalam ajaran Islam, hakikat kekayaan yang sebenarnya adalah hati yang selalu merasa cukup (qana‘ah). Qana‘ah secara bahasa berarti rasa cukup, ridha, rela menerima, merasa cukup dengan apa yang dimiliki, menjauhkan diri dari sifat tidak puas, dan menghindarkan diri dari rasa kurang yang berlebihan.13 Orang yang seperti inilah yang selalu merasa cukup (qana‘ah) atas apa yang telah diberikan kepadanya dan selalu ridha atas segala ketentuan Allah.

Sikap qana‘ah bukan berarti hidup bermalas-malasan dan tidak mau berusaha optimal untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Justru orang yang qana‘ah itu selalu giat bekerja dan berusaha. Jika hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan, ia akan tetap ridha menerima hasil tersebut dengan rasa syukur kepada Allah swt.

Sikap yang demikian itu akan mendatangkan rasa tenteram dalam hidup dan dapat menjauhkan diri dari sifat serakah dan tamak.14

Sikap qana‘ah tidak hanya berkaitan dengan pendapatan secara materi, tetapi juga terkait dengan perilaku hidup dan sikap mental hidup di dunia ini. Seseorang yang kaya ataupun miskin, penguasa ataupun gembel, jika memiliki sikap qana‘ah hidupnya akan tenteram.15 Kondisi yang seperti inilah yang merupakan hakikat al- Ghina atau kaya yang sebenarnya.

13Misbah Em Majidy, Rahasia Kekayaan Tertinggi (Cet. I; Bandung: Arkanleema Publishing, 2008), h. 238.

14Misbah Em Majidy, Rahasia Kekayaan Tertinggi, h. 238.

15Misbah Em Majidy, Rahasia Kekayaan Tertinggi, h. 239.

(25)

Berdasarkan latar belakang di atas terkait konsep ghina al-Nafs yaitu ketika seseorang memiliki sikap qana‘ah, akan tetapi melihat realitas sekarang tidak berbanding lurus dengan konsep ghina al-Nafs yang sebenarnya. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk membahas lebih detail mengenai pembahasan ini karena sangat penting untuk diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami makna dan hakikat ghina al-Nafs yang sebenarnya. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kajian Tahli>li>.

B. Rumusan Masalah

Setelah peneliti mengemukakan argumen-argumen mengapa penelitian harus dilakukan, selanjutnya peneliti merumuskan masalah yang akan dikaji. Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut:

1. Bagaimana kualitas hadis Nabi tentang ghina> al-Nafs pada riwayat Abu Hurairah?

2. Bagaimana kandungan hadis Nabi tentang ghina> al-Nafs pada riwayat Abu Hurairah?

C. Pengertian Judul dan Ruang Lingkup Penelitian

Sebagai langkah awal dalam skripsi ini agar tidak terjadi kesalahpahaman, maka peneliti akan menjelaskan beberapa variabel penting yang ada pada judul skripsi peneliti sebagai berikut:

(26)

1. Al-Ghina>

Al-ghina berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata ghaniya – yaghna – ghinan, yang artinya kaya, ghina> merupakan isim mashdar, yang diartikan sebagai kekayaan atau yang memiliki kekayaan.16 Sementara itu Ahmad bin Faris bin Zakaria telah menjelaskan bahwa al-ghina artinya berkecukupan (kifayah).17

2. Al-Nafs

Al-Nafs berarti ruh, dan juga berarti darah, karena seseorang apabila kehilangan darah maka ia kehilangan jiwanya.18

3. Perspektif Hadis

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perspektif adalah sudut pandang (pandangan).19 Sedangkan hadis ialah segala ucapan Nabi saw. segala perbuatan beliau, segala taqrir (pengakuan) beliau dan segala keadaan beliau.

Sedangkan ulama ushul menyatakan bahwa hadis ialah segala perkataan, segala perbuatan dan taqrir Nabi saw. yang bersangkut paut dengan hukum.20 Jadi, perspektif hadis itu ialah melihat dari sudut pandang hadis Nabi.

16Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab, (Kairo: Dar al-Hadits, 1355 H), h.3308.

17Ahmad bin Faris, Mu’jam Maqayis fi-Lugoh, (Kairo: Dar el-Fikri, 1979), juz 4, h. 397.

18Ahmad bin Faris, Mu‘jam Maqayis fi-Lughah, h. 460.

19Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta:

Pusat Bahasa, 2008 h. 1167.

20M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa, 1994), h. 2.

(27)

4. Tahlili

Tahlili merupakan metode untuk menjelaskan hadis-hadis Nabi dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam hadis tersebut serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan kecenderungan dan keahlian pensyarah.21

Secara umum, penelitian tentang ghina> al-Nafs perspektif hadis Nabi ialah penelitian tentang kekayaan jiwa dalam pandangan hadis Nabi saw. pada riwayat Abu Hurairah. Dalam penelitian ini akan dibahas tentang bagaimana hakikat kekayaan yang terkandung dalam hadis Nabi saw.

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah kegiatan yang dilakukan peneliti dengan mencari buku, jurnal, skripsi, tesis, dan disertasi. Kajian pustaka dimaksudkan sebagai salah satu kebutuhan ilmiah yang berguna memberikan kejelasan dan batasan tentang informasi yang digunakan melalui khazanah pustaka, terutama yang berkaitan tentang tema yang dibahas. Kajian pustaka dilakukan untuk mengetahui bahwa judul skripsi yang diangkat oleh peneliti belum pernah diteliti oleh orang lain, atau telah dibahas oleh orang lain, namun terdapat perbedaan spesifik antara hasil karya ilmiah baik berupa buku, jurnal, tesis dan disertasi dengan judul skripsi yang akan dibahas peneliti.

21Abustani Ilyas dan La Ode Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Cet. II; Surakarta: Zahadaaniva Publishing, 2013), h. 162-163.

(28)

Adapun karya ilmiah terdahulu yang telah membahas terkait judul skripsi peneliti, yaitu:

1. Skripsi yang berjudul “Konsep al-Ghina menurut al-Qur’an” yang ditulis oleh M. Arif Abdillah mahasiswa jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Skripsi ini didasarkan atas fenomena sosial tentang kaya, pembahasannya mengenai pengertian kaya menurut al-Qur‘an dan al-Ghina dalam konteks manusia menurut al- Qur‘an. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pembahasan tentang kaya ditinjau dari kebahasaan, penafsiran ayat tentang kaya dan kaya dalam konteks manusia terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: kaya dalam konteks Nabi, kaya dalam konteks harta, dan kaya dalam konteks Islam.22

2. Buku yang berjudul “Mengungkap Rahasia Kekayaan dan Kemiskinan, upaya menyikapi perbedaan pendapat dengan bijak dan cermat sesuai syari‘at23 menerangkan bahwa kekayaan dan kemiskinan merupakan kebaikan dari Allah swt. Buku ini merupakan kajian tentang bagaimana mensyukuri nikmat Allah swt. atas rezeki yang telah diberikan, karena sedikit dan banyaknya rezeki merupakan kehendak Allah swt. bukan kepandaian manusia. Hafizh Musthofa juga mengungkapkan beberapa konsep cara menyingkapi lapang dan sempitnya rezeki. Seluruh makhluk

22Muhammad Arif Abdillah, “Konsep al-Ghina Menurut al-Qur’an”, Skripsi (Bandung: UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2007).

23Hafizh Musthofa, Mengungkap Rahasia Kekayaan dan Kemiskinan, upaya menyikapi perbedaan pendapat dengan bijak dan cermat sesuai syari‘at, (Gresik: Pustaka Al-Furqon, 2015).

(29)

hidup sudah ditanggung oleh Allah rezekinya, buku ini sangat relevan untuk golongan kaya maupun kurang berada, sebagai motivasi bagi manusia agar lebih berhati-hati dalam memaknai rezeki.

Penelitian tentang fenomena kekayaan dan kemiskinan sangatlah luas pembahasannya, tidak hanya sebatas memahami makna rezeki, agar bisa lebih memahami makna kaya secara komperhensif dan singkat, dibutuhkan pembahasan tentang makna kaya agar manusia tidak salah kaprah dalam memahami makna kaya.

3. Buku yang berjudul “Agar Kekayaan Dilipatgandakan dan Kemiskinan Dijauhkan, kisah-kisah nyata pembuka pintu rezeki paling menyetuh dan mengagumkan”24 merupakan kajian tentang strategi dalam mengundang, mendatangkan, kekayaan, kesuksesan, kesejahteraan, kemakmuran, dan kebahagiaan hidup. Buku ini mengungkap realita keinginan manusia untuk memperoleh kekayaan, dengan membahas beberapa konsep strategi untuk mendapatkannya yang berasal dari al-Qur‘an, hadis, pendapat para ulama, dan beberapa kisah nyata. Naluri manusia untuk memiliki kekayaan merupakan fitrah, al-Qur‘an dan beberapa dalil dari hadis dan perkataan ulama telah mengatur agar manusia tidak salah jalan dalam memiliki kekayaan.

24Anif Sirsaeba dan Mansyur Abdul Hakim Muhammad, Agar Kekayaan Dilipatgandakan dan Kemiskinan Dijauhkan, kisah-kisah nyata pembuka pintu rezeki paling menyentuh dan mengagumkan, (Jakarta: Republika, 2007).

(30)

Penelitian tentang makna kaya secara komprehensif persperktif al- Qur‘an sangat dibutuhkan agar naluri manusia untuk memiliki kekayaan bisa terarahkan dengan benar, karena al-Qur‟an memaknai kaya tidak hanya sebagai banyaknya harta, akan tetapi memiliki makna lain yang wajib diketahui oleh manusia, agar tidak salah kaprah dalam memahami makna kaya.

4. Karya Sofyan Hadi dalam penelitiannya yang berjudul “Problematika Miskin dan Kaya dalam Pandangan Islam25 menjelaskan bahwa adanya problematika kemiskinan seiring dengan berkembangnya kehidupan manusia dari masa ke masa, ketika al-Qur‘an diturunkan (611-632 M.), masyarakat Makkah dan Madinah serta kawasan sekitarnya juga menghadapi problem kemiskinan, oleh karenanya al- Qur‘an memberikan perhatian penuh tentang problema kemiskinan, di samping al-Qur‘an sebagai petunjuk bagi seluruh manusia. Kemiskinan dan kekayaan merupakan cermin realitas sosial sepanjang sejarah perjalanan kemanusiaan. Orang tidak akan disebut kaya ketika dalam realitas kehidupan tidak berinteraksi dengan orang miskin, seseorang menjadi kaya dalam kenyataannya sering dibantu atau saling berkaitan dengan orang miskin. Oleh karena itu, eksistensi kekayaan dan kemiskinan

25Sofyan Hadi, Problematika Miskin dan Kaya dalam Pandangan Islam”, asy- Syir‘ah 43, No. 11 (2009).

(31)

bersifat relatif sesuai dengan keberadaan. Dalam penelitiannya ia juga menjelaskan tentang hubungan miskin-kaya dengan taqdir.

5. Muhammad Arifin Badri, dalam penelitiannya yang berjudul “Konsep Kaya dan Miskin: Studi Analisa Atas Sosial Nabi Muhammad”26 Menjelaskan bahwa latar belakang penelitian adanya sebagian masyarakat yang beranggapan bahwa Nabi Muhammad saw. hidup dalam kesederhanaan, sehingga menyimpang dari syari‘at Islam karena terobsesi dari pemahaman yang salah di atas, mengakibatkan sebagian masyarakat bermalas-malasan dalam mencari nafkah (bekerja), dengan dalih meneladani kehidupan Nabi Muhammad saw. yang hidup dalam kesederhanaan, dan sebagian orang menganggap bahwa agama Islam merestui kemiskinan di tengah-tengah masyarakat, bahkan sebagian orang beranggapan bahwa menjadi orang miskin lebih baik dan utama dari orang yang kaya raya. Akan tetapi berbagai data dari al-Qur‟an, hadis, dan sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw. membuktikan bahwa beliau adalah orang kaya raya, namun tidak menampakkannya dalam kehidupan yang mewah, karena beliau lebih memilih untuk membelanjakan harta kekayaannya pada hal yang penting dan berguna demi kelangsungan dakwahnya.

26Muhammad Arifin Badri, Konsep Kaya dan Miskin: Studi Analisa Atas Status Sosial Nabi Muhammad”, Al-Majâlis 3, No. 2 (Mei 2016).

(32)

Penelitian ini juga memberikan pemahaman bagi umat Islam, menjelaskan bahwa Nabi Muhammad saw. sebagai suri teladan umat Islam tidaklah hidup dalam kesederhanaan, mereka menyimpulkan kehidupan Nabi Muhammad saw. dalam kehidupan kemiskinan, hanya meneliti di awal kehidupan Nabi yang lahir dalam keadaan yatim, selang beberapa waktu kemudian ibu kandungnya meninggal dunia di saat umur beliau enam tahun, setelah itu diasuh oleh kakeknya Abdul Muthalib, dan digantikan oleh pamannya yakni Abu Thalib. Sepeninggal kakeknya, beliau mengawali bekerja sebagai pengembala domba-domba milik sebagian penduduk kota Makkah. Pengalaman hidup sebagai orang miskin membentuk kepribadian beliau untuk selalu rendah hati, berjiwa teguh dalam menghadapi setiap tantangan yang datang, bukan hanya itu orang-orang Kafir Quraisy menerapkan embargo ekonomi kepada kaum muslimin.

E. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah kepustakaan atau library research, yaitu penelitian kepustakaan dapat didefinisikan sebagai penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi melalui bantuan bermacam-macam material yang terdapat di ruangan perpustakaan, misalnya: buku-buku, majalah, dokumen, catatan dan kisah-kisah sejarah dan lain-lainnya. Pada hakekatnya data yang diperoleh

(33)

melalui penelitian perpustakaan bisa dijadikan landasan dasar dan alat utama bagi pelaksanaan penelitian lapangan. Penelitian ini sebagai penelitian yang membahas data-data sekunder. Dengan tujuan untuk menemukan hasil yang komprehensif (luas dan lengkap).

2. Pendekatan Penelitian

Adapun pendekatan yang digunakan peneliti adalah:

a. Pendekatan ilmu hadis, yaitu pendekatan yang digunakan untuk membahas suatu permasalahan berdasar pada ilmu hadis seperti ilmu Ma‘a>ni al-Hadi>s|

dan berbagai macam ilmu yang terkait dengan ilmu hadis.

b. Pendekatan bahasa, yaitu pendekatan yang menganalisis masalah dengan melihat permasalahan dari aspek bahasa.

3. Langkah-langkah Penelitian

Skripsi ini menggunakan metode Tahli>li> dengan langkah-langkahnya sebagai berikut:

a. Mengumpulkan sanad, matan, dan mukharrij hadis yang terkait dengan judul penelitian.

b. Menjelaskan kualitas hadis yang akan diteliti baik dari segi sanad maupun matan.

c. Menerangkan hubungan antara hadis yang akan diteliti dengan ayat-ayat atau hadis yang berkaitan.

d. Menjelaskan kandungan hadis yang diteliti.

(34)

4. Sumber dan Pengumpulan Data

Sumber data terdiri atas dua, yatu data primer atau sumber utama dan data sekunder sebagai sumber kedua atau sumber pendukung. Adapun data primer dari penelitian ini adalah hadis tentang ghina al-Nafs yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, sedangkan data sekunder dari penelitian ini adalah ayat-ayat al-Qur’an, berbagai kitab hadis dan syarahnya, buku, jurnal, dan artikel yang terkait dengan ghina al-Nafs.

F. Tujuan dan Kegunaan

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui kualitas hadis tentang ghina al-Nafs perspektif hadis Nabi saw. pada riwayat Abu Hurairah.

2. Untuk mengetahui kandungan hadis tentang ghina al-Nafs perspektif hadis Nabi saw. pada riwayat Abu Hurairah.

Adapun kegunaan penelitian ini ada dua macam yaitu:

1. Kegunaan Teoritis

Kegunaan teoritis dari penelitian ini antara lain :

a) Sebagai sumber acuan bagi pembaca dalam memecahkan persoalan yang terkait dengan ghina al-Nafs.

b) Sebagai salah satu sumber rujukan dan referensi bagi para pembaca yang memiliki penelitian terkait dengan ghina al-Nafs.

(35)

2. Kegunaan Praktis

Kegunaan praktis dari penelitian ini antara lain :

a) Memperluas wawasan atau khazanah keilmuan tentang ghina al-Nafs.

b) Menjadi salah satu pedoman dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang terkait dengan masalah ghina al-Nafs.

(36)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG GHINA AL-NAFS A. Pengertian Ghina> al-Nafs

Kata al-Ghina> berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata ghaniya- yaghna-ghinan, yang artinya kaya.1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kaya diartikan sebagai mempunyai banyak harta (uang dan sebagainya) atau mempunyai banyak (mengandung banyak dan sebagainya).2 Berikut ini adalah pengertian kata al- Ghina dalam beberapa kitab bahasa:

1. Kitab Mu‘jamul Wasi>t {

(Ghaniya) fulan-ghaniya wa ghina>n ’si fulan banyak harta-nya, maka ia adalah seorang yang kaya'. wa ghaniya 'an syai'in 'ia tidak membutuhkan sesuatu'.

Wa ghaniya al-makan 'tempat itu ramai', ghaniya bi al-makan 'ia mendiami suatu tempat', ghaniya al-qaum fi diyarihim 'suatu kaum lama tinggal di tempat itu'.

Dikatakan, ghanitu laka minhi bi al-mawaddah wa al-birri, maksudnya 'saya tetap (tinggal)', waghaniyat al-mar'ah bi zaujiha ghina wa ghinyanan 'tidak membutuhkan'.

(Aghna) asy-syai'i 'cukup', wa aghna ar-rajulu 'anka' 'mencukupi'. Ada yang mengatakan, ma yughi anka hadza, maksudnya 'tidak memberi manfaat kepadamu'.

Wa aghna Allah SWT fulanan 'menjadikannya kaya', maksudnya mempunyai harta

1Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 1898), h.

303.

2Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999), h. 456.

(37)

melimpah. Oleh karena itu, Allah SWT Maha Pemberi kekayaan. Dikatakan, aghna 'anhu ghina'a fulan, wamaghnahu, wamaghnatahu 'menggantikannya'.

(Istaghna) ightana. Wastagna bihi 'cukup'. Wastagna Allah SWT 'memohon kepada Allah SWT agar menjadikan kaya'. (Al-ghina') lawan kata al-faqr. Wa al- ghina' adalah 'kemanfaatan dan kecukupan'. Dikatakan, hadza syai'un la ghina'an fihi. (Al-ghaniyu): salah satu nama-nama Allah SWT, yaitu Zat yang tidak membutuhkan kepada selainnya akan sesuatu. Sedangkan, setiap orang membutuhkan-Nya. (Al-Mughni): satu di antara nama-nama Allah SWT, yaitu Zat menjadikan kaya siapa saja yang ia kehendaki dari hamba-Nya.3

2. Kitab Mishbahul Munir

(Ghaniya) dan al-ghina adalah seperti kata al-iktifa. Redaksi laisa indahu ghina bermakna 'ia tidak mempunyai sesuatu yang mencukupi kebutuhannya'.

Redaksi ghanaitu bikadza an ghairihi bermakna 'aku merasa cukup dengan barang (sesuatu) ini sehingga tidak memerlukan yang lainnya', isim 'kata benda'-nya adalah al-gunyah. Redaksi ghaniatil mar'atu bizaujiha dan ghairi bermakna 'wanita itu merasa tercukupi oleh suaminya sehingga ia dapat menjaga dirinya dari lelaki lain'.

Bentuk subjeknya adalah al-ghaaniah, dan bentuk pluralnya adalah al-ghawani. Al- Azhari meriwayatkan digunakannya kata ghaniah dalam redaksi ma aghna fulanan syaian 'si fulan tidak dapat memberikan sumbangsih apa-apa' dengan menggunakan huruf ghain dan 'ain. Kata ghina dalam pengertian kaya dan memiliki harta

3M. Bahauddin al-Qubbani, Miskin dan Kaya dalam Pandangan al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 106.

(38)

dipergunakan dalam bentuk seperti kata rhadia yardhi ridhan, yaitu ghinan dan bentuk pluralnya adalah aghniaa.4

3. Kitab Asalul Balaghah

Pengertian kata ghani “kaya’ dijelaskan sebagai berikut. “Gh-n-yli an hadza ghunyatan ’aku tidak membutuhkan hal ini’. Dan, ana ghaniyyun anhu ‘aku tidak membutuhkannya'. Ada yang berkata dengan redaksi seperti ini, kilaana ghaniyyun anakhihi hayatuhu, wanahnu idza mitna asyaddu taghaanian 'saat hidup kita tidak membutuhkan lagi kepada saudara kita'

Aghna fulaanun fil-harbi ghinaan hasanan 'si fulan telah berjuang dengan gigih dalam medan peperangan'. Kita berkata dengan redaksi, la ugniana anka mughah 'aku akan berusaha mencukupi kebutuhanmu'. Wa ma yughni anhu maluhu 'hartanya tidak memberikan manfaat bagi dirinya'. Aghna al-halal an haram'. Dan, redaksi ghannu gi diyaarihim bermakna 'bermakna 'mereka berdiam di rumah mereka'.5

4. Kitab Mukhtar al-Shihhah

"Gh-n-y" ghania bihi gunyatan 'ia merasa tercukupi dengan hal itu dari yang lainnya'. Kata ghaniatil al-mar'atu bijauziha 'wanita itu merasa tercukupi oleh suaminya'. Redaksi ghania bil maknaan bermakna 'ia tinggal ditempat itu'. Kata ghania juga dapat bermakna hidup. Redaksi aghnaitu anka mughnan bermakna 'aku tidak membutuhkan dirimu'. Redaksi ma yughni anka haadza bermakna 'hal ini tidak

4M. Bahauddin al-Qubbani, Miskin dan Kaya dalam Pandangan al-Qur’an, h. 107.

5M. Bahauddin al-Qubbani, Miskin dan Kaya dalam Pandangan al-Qur’an, h. 107.

(39)

memberikan manfaat kepadamu'. Dan, kata al-ghaaniah adalah bermakna 'wanita yang merasa tercukupi oleh suaminya'. Juga dapat bermakna 'seorang wanita yang cantik dan molek'. Sedangkan, kata al-ghnaniah adalah bentuk kata seperti kata ahjiah, yaitu al-ghina 'nyanyian' dan bentuk pluralnya adalah al-ghani. Sedangkan, kata kerjanya adalah taghanna dan ghanna. Kata al-ghanaa bermakna 'manfaat'.

Sedangkan, kata al-ghinaa (yaitu dengan huruf ghain dikasrahkan, dan dibaca panjang pada akhirnya) bermakna 'mendengar'.

Kata taghanna dan kata taghaanau bermakna 'masing-masing pihak tidak saling membutuhkan'. Dan, kata al-maghna dan al-maghaani bermakna 'tempat atau tempat-tempat yang ditempati oleh penduduk'.6

Sedangkan kata al-Nafs, dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa jiwa adalah ruh yang ada di kehidupan batin manuisa, atau keseutuhan yang terjadi dari perasaan batin, pikiran, angan-angan, dan sebagainya.7 Nafs adalah kata yang disebut berulang-ulang kali dalam al-Qur’an dan hadis. Kata ini memiliki pengertian yang bermacam-macam sesuai dengan tempat penyebutannya. Dari sisi bahasa, kata nafs memiliki beberapa arti, yaitu jiwa, darah, badan, tubuh, dan orang.

Istilah nafs yang dimaksud di sini adalah istilah bahasa Arab yang dipakai dalam al-Qur’an. Secara bahasa dalam kamus al-Munjid, nafs (jamaknya nufus dan anfus) berarti rūḥ (roh) dan ‘ain (diri sendiri).8 Sedangkan dalam kamus Lisān al-

6M. Bahauddin al-Qubbani, Miskin dan Kaya dalam Pandangan al-Qur’an, h. 108.

7Pusat Bahasa Dapartemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 586.

8Louis Ma’luf, al-Munjid fī al-Lughah wa A’lam, (Beirut: Dār al-Masyriq, 1986), h. 826.

(40)

‘Arab, Ibn Manzūr menjelaskan bahwa kata al-nafs dalam bahasa Arab digunakan dalam dua pengertian yakni nafs dalam pengertian nyawa, dan nafs yang mengandung makna keseluruhan dari sesuatu dan hakikatnya menunjuk kepada diri pribadi. Setiap manusia memiliki dua nafs, nafs akal dan nafs ruh. Hilangnya nafs akal menyebabkan manusia tidak dapat berpikir namun ia tetap hidup, ini terlihat ketika manusia dalam keadaan tidur, sedangkan hilangnya nafs ruh, menyebabkan hilangnya kehidupan.9

Dalam kamus al-Munawir disebutkan bahwa kata nafs berarti roh dan jiwa, juga berarti al-jasad (badan, tubuh), al-sahṣ (orang), al-sahṣ al-insān (diri orang), al- żāt atau al-’ain (diri sendiri).10 Dalam terminologi tasawuf, nafs juga diartikan sebagai sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan perilaku buruk, tetapi jika kembali kepada al-Qur’an, nafs tidak semata-mata berkonotasi buruk. Nafs digunakan dalam al-Qur‘an untuk menyebut totalitas manusia, sesuai dalam diri manusia yang dicipta secara sempurna di mana di dalamnya terkandung potensi baik dan buruk.11

Quraish Shihab berpendapat, bahwa kata nafs dalam al-Qur‘an mempunyai aneka makna, sekali diartikan sebagai totalitas manusia, tetapi ditempat lain nafs menunjuk kepada apa yang terdapat dalam diri manusia yang menghasilkan tingkah

9Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi, Mutiara Hadits Shahih Bukhari Muslim, terj. H. Salim Bahreisy, (Surabaya: Bina Ilmu, 1996), h. 881-885.

10Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir, Yogyakarta: Pesantren Krapyak, 1984, h.

145.

11Aminullah Cik Sohar, Teori Bimbingan dan Konseling Islam, (Palembang: IAIN RF Press, 2006), h. 21.

(41)

laku. Namun, secara umum dapat dikatakan bahwa nafs dalam konteks pembicaraan manusia, menunjuk kepada sisi dalam manusia yang berpotensi baik dan buruk.12

Dalam pandangan al-Qur’an, nafs diciptakan Allah, dalam keadaan sempurna untuk berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan. Oleh karna itu, sisi dalam manusia, oleh al-Qur’an dianjurkan untuk memberi perhatian lebih besar, sebagaimana disebutkan QS al-Syams/91:7-8: “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”. Kata meng-ilhamkan pada ayat ini berarti memberi potensi agar manusia melalui nafs dapat menangkap makna baik dan buruk, serta dapat mendorongnya untuk mendapatkan kebaikan dan keburukan.13

B. Al-Ghina> Menurut al-Qur’an

Lafal al-ghina dan kata jadiannya terdapat tujuh puluh tiga tempat dalam al- Qur'an al-Karim. Di antaranya, dua puluh enam tempat berhubungan dengan hak Allah swt. sedangkan empat puluh tujuh yang lain berhubungan dengan manusia.

Dari sini, ada tiga puluh enam didahului dengan huruf nafi (peniadaan). Sedangkan, sebelas tempat yang lainnya, kalau pun tidak didahului oleh huruf nafi, tetapi pada dasarnya juga mengandung nafi. Ini adalah merupakan dalil bahwa sesungguhnya tidak ada istilah kaya bagi manusia.14

12M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), h. 285-286.

13M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat, h. 286.

14M. Bahauddin al-Qubbani, Miskin dan Kaya dalam Pandangan al-Qur’an, h. 108.

(42)

Pada dasarnya, semua harta yang ada di tangan manusia mutlak milik Allah swt. Kepemilikan oleh manusia hanya bersifat relatif, sebatas melaksanakan amanah Allah yang dipercayakan kepadanya untuk mengelola dan memanfaatkannya pada hal yang baik. Firman Allah dalam QS al-Hadi>d/57:7 sebagai berikut:

هِلْوُسَرَو ِٰٰللِّبِ اْوُ نِمٰا اْوُقِفْنَاَو

اَِّمِ

ْمُكَلَعَج َْيِفَلْخَتْسُّم

ِهْيِف َنْيِذَّلاَف اْوُ نَمٰا ْمُكْنِم اْوُقَفْ نَاَو ْمَُلَ

رْجَا رْ يِبَك

15

Terjemahnya:

Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan infakkanlah (di jalan Allah) sebagian dari harta yang Dia telah menjadikan kamu sebagai penguasanya (amanah). Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menginfakkan (hartanya di jalan Allah) memperoleh pahala yang besar.

Dari keterangan ayat ini jelaslah bahwa pemilik mutlak atas harta yang ada adalah Allah swt. Akan tetapi Allah memberikan hak kepada manusia untuk memanfaatkannya. Sifat ini adalah dari sekian sifat Allah swt. yang tidak boleh dinisbatkan kepada selain Allah swt. baik dalam konteks manusia maupun makhluk lainnya.

C. Kaya dalam Konteks Manusia

Manusia yang dihiasi dengan kesenangan terhadap wanita, anak, dan harta, selalu berusaha keras untuk mencapainya. Hingga apabila dikumpulkan segala miliknya, membuat orang akan mengatakan bahwa ia adalah orang kaya. Akan tetapi, dalam pandangan dirinya, ia belum cukup kaya, karena masih ada orang yang memiliki harta lebih banyak darinya, minimal ia harus sama dengan mereka. Kalau ia sudah sama dengan mereka, maka ia harus berusaha untuk lebih banyak dari mereka,

15Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahannya, h. 538.

(43)

lebih berpengaruh dan lebih banyak pengikutnya. Oleh karena itu, dalam dirinya akan berkembang perasaan untuk harus mengumpulkan, serta bersaing supaya tercapai untuk memiliki harta terbanyak.

Demikianlah, ia tidak akan pernah merasa puas, di mana gudangnya selalu mengatakan kepadanya, apa yang perlu ditambah lagi. Adapun terhadap wanita maka ia berobsesi untuk memperistri semua wanita yang ada pada zamannya, meskipun Allah swt. telah memberikan batasan umum untuk tidak melampauinya. Sedangkan, terhadap hiasan anak-anak maka untuk membentuk sebuah kabilah yang mantap memerlukan generasi berpuluh-puluh dari anak laki-laki dan perempuan.

Kalau hal itu sudah tercapai maka untuk selanjutnya adalah upaya untuk menguasai sebidang tanah milik orang lain untuk dijadikan tempat tinggal, perdagangan, atau tamannya. Dalam hal ini, ia memposisikan "orang lain" sebagai musuh. Demikian juga ia mempersepsikan seakan kehidupan dunia ini akan kekal dan tidak akan mati. Tidak terpikir olehnya kalau tanah tersebut akan diwariskan dan terbagi-bagi ke dalam beberapa bagian: separuh, seperempat, dan seperdelapan serta gabungan dalam bagian sepertiga. Sebagaimana pendahulunya, para ahli waris juga akan memposisikan ahli waris selain dia sebagai musuh. Kondisi inilah yang akan mengarah menuju masyarakat yang amburadul.

Rasa kepemilikan dan kekayaan dalam konteks manusia ini, disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak empat puluh tujuh tempat. Di antaranya lima tempat dengan redaksi al-itsbat, sebagian lagi didahului dengan perangkat nafi, dan sebagian lainnya bergabung beberapa perangkat yang mengandung dilalah nafi, dan istifham. Bentuk

(44)

nafi menurut para ahli balaghah di antaranya terproyeksi dalam istifham, karena sesungguhnya istifham balaghi adalah bentuk istifham yang tidak memerlukan jawaban apapun, tetapi yang diperlukan adalah redaksi yang sama dengan si pembicara, yaitu redaksi yang berpengaruh, fasih akan maksud-maksud tertentu, seperti nafi dan seterusnya. Akan tetapi, beberapa tempat redaksi istbat menunjukkan dari sisi khafi kepada nafi juga. Hingga pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa sesungguhnya tidak ada kaya dalam konteks manusia. Sesungguhnya, kekayaan itu semua adalah milik Allah swt. Tempat-tempat ini yang terdapat dalam al-Qur’an, semua bentuk al-Ghani telah terkodifikasi dalam konteks manusia dan proyeksinya.16

16M. Bahauddin al-Qubbani, Miskin dan Kaya dalam Pandangan al-Qur’an, h. 137.

(45)

BAB III

RIWAYAT ABU HURAIRAH TENTANG GHINA> AL-NAFS A. Takhri>j al-H{adi>s | dan I’tiba>r al-Sanad

1. Takhri>j al-H}adi>s |

Secara etimologi, kata takhri>j berasal dari kata kharaja-yakhruju-khuru>jan mendapat tambahan tasydid/syiddah pada ra (‘ain fi‘il) menjadi kharraja-yukharriju- takhri>jan yang berarti menampakkan, mengeluarkan, menerbitkan, menyebutkan, dan membutuhkan.1 Dan menurut Mahmud at-Tahhan, takhri>j menurut bahasa ialah berkumpulnya dua perkara yang saling berlawanan dalam satu persoalan, namun secara mutlak, ia di artikan oleh para ahli bahasa dengan arti mengeluarkan (al- Istinbath), melatih atau membiasakan (at-Tadrib) dan menghadapkan (at-Tawjih).2

Sedangkan menurut istilah yang biasa dipakai oleh para muh}addisi|n kata takhri>j mempuanyai beberapa arti yaitu:

a. Mengemukakan hadis pada orang banyak dengan menyebutkan para periwayatnya dalam sanad yang telah menyampaikan hadis itu dengan metode yang mereka tempuh.

b. Ulama mengemukakan berbagai hadis yang telah dikemukakan oleh para guru hadis, atau berbagai kitab lain yang susunanya di kemukakan berdasarkan

1Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Cet. II; Jakarta: Amzah, 2009), h. 115.

2Mahmud al-Thahhan, Ushu>l al-Takhri>j Wa Dira>sa>t al-Asa>nid, diterjemahkan oleh H. Said Agil Husain al-Munawar dan Masykur Hakim: Dasar-Dasar Ilmu Takhrij dan Studi Sanad, (Cet. I;

Semarang: Dina Utama, 1995), h. 6-22.

(46)

riwayat sendiri, atau para gurunya, dengan menerangkan siapa periwayatnya dari para penyusun kitab atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan.

c. Menunjukkan asal-usul hadis dan mengemukakan sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadis yang disusun oleh para mukharrij (yakni para periwayat yang juga sebagai penghimpun bagi hadis yang mereka riwayatkan).

d. Mengemukakan hadis berdasarkan sumbernya atau berbagai sumbernya.

Yakni kitab-kitab hadis yang di dalamnya disertakan metode periwayatannya dan sanadnya masing-masing, serta di terangkan keadaan para periwayatnya dan kualitas hadisnya.

e. Menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis pada sumbernya yang asli, yakni berbagai kitab, yang di dalamnya dikemukakan hadis itu secara lengkap dengan sanadnya masing-masing. Kemudian, untuk kepentingan penelitian, dijelaskaan kualitas hadis yang bersangkutan.3

Sedangkan kata hadis itu sendiri secara etimologi berasal dari kata hadas|a- yahdus|u-hudu>s|an yang berarti al-jadi>d (baru) lawan dari kata qadi>m (terdahulu), dan berarti al-qari>b (dekat).4 Sedangkan menurut terminologi, hadis adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. baik itu perkataan, perbutan , taqri>r, sifat maupun keadaannya.5

3M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Cet. I; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1413H/1992M), h. 41-42.

4M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Cet. I; Bandung: Angkasa, 1994) h. 1.

5Harmi@ Sulaima>n al-D}a>ri@, Muh}a>dara>t fi@ ‘Ulu>m al-H{adi@s}, (t.t, Da>r al-Nafa>is, 2000), h. 14.

(47)

Adapun kata takhri>j al-h{adi>s,| ulama beragam dalam memberikan defenisi.

Adapun menurut Syuhudi Ismail bahwa takhri>j al-h}adi>s| ialah penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab sebagai sumber asli dari hadis yang bersangkutan, yang di dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matan dan sanad hadis yang bersangkutan.6 Namun defenisi yang paling sering digunakan adalah “Mengkaji dan melaskukan ijtihad untuk membersihkan hadis dan menyandarkannya kepada mukharrij-nya dari kitab-kitab al-ja>mi’, al-sunan dan al- musnad setelah melakukan penelitian dan pengkritikan terhadap keadaan hadis dan perawinya”.7

Dalam kegiatan takhri>j h{adis| ini, lafal hadis yang akan diteliti pada penelitian ini ialah:

ِسْفَّ نلا َنَِغ َنَِغْلا َّنِكَلَو ِضَرَعْلا ِةَرْ ثَك ْنَع َنَِغْلا َسْيَل

Tema hadis ini ialah berbicara tentang kaya jiwa. Untuk melacak keberadaan hadis tersebut dalam kutub al-tis‘ah, ada lima metode takhri>j yang ditawarkan oleh para ulama hadis, sedangkan peneliti akan mengaplikasikan dua metode takhri>j.

a. Metode dengan Periwayat Pertama

Pada metode ini, peneliti menggunakan kitab Tuh}fah al-Asyra>f bi Ma‘rifah al- At}ra>f. Adapun perawi pertama yang menjadi acuan pencarian ialah sahabat Nabi yang bernama Abu Hurairah. Petunjuk yang ditemukan dalam kitab tersebut ialah:

6M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis, h. 43.

7Abd al-Rau>f al-Mana>wi>, Faid} al-Qadi>r Syarh} al-Ja>mi‘ al-S}agi>r, Juz I (Cet. I; Mesir: al- Maktabah al-Tija>riyah al-Kubra>, 1356 H), h. 17.

(48)

13962

: ثيدح ضرعلا ةرثك نع نَغلا سيل

, لو سفنلا نَغ نَغ نَغلا نك ةاكزلا فى م .

( 1:41 )

ح نب يرهز نع بر

– الله دبع نب دممحو يرنم نب

– دهزلا فى ق

( 1:9

ةبيش بىأ نب ركب بىأ نع

)

.هب هنع مهتث لاث

8

Adapun keterangan dari hasil yang telah didapatkan di atas adalah:

1) S{ah}i@h} Muslim (م), kitab tentang zakat.

2) Sunan Ibn Ma>jah (ق), kitab tentang zuhud.

b. Metode dengan Salah Satu Lafal

Pada metode ini, peneliti menggunakan kitab al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfa>z}

al-H}adi@s\ al-Nabawi@ dengan menggunakan dua kata dasar yang terdapat pada matan hadis tersebut.

1

نَغ

.

سفنلا نَغ نَغلا نكلو ضرعلا ةرثك نع نَغلا سيل قاقر خ ةاكز م ,, 15

دهز ت ,, 120 دهز هج ,, 40

ح ,, 9 م , 2 ,

243

,

261

,

315

,390

,

438

,443 ,539 540 .

9

2

ضرع

.

ضرعلا ةرثك نع نَغلا سيل قاقر خ ةاكز م ,,

15

دهز ت ,,

120

دهز هج ,,

40

مح ,,

9

2 ,

243 , 261 , 315 , 390 , 438 , 443 ,

539 , 540 .

10

Adapun kode yang tercantum pada petunjuk tersebut menjelaskan bahwa hadis tersebut terdapat dalam kitab:

8Al-H{ajja>j Yu>suf bin al-Zakiy ‘Abd al-Rah}ma>n al-Mizziy, Tuh}fa

Referensi

Dokumen terkait

Hadis di atas disebutkan bahwa yang menyebabkan doa tidak dikabulkan adalah selalu menggunakan barang haram, baik makanan, minuman, maupun pakaianya. menganggap yang

Ketika bagian dalam hidung mereka diperiksa secara lebih teliti dengan perangkat mikroskop elektrik, ditemukan bahwa hidung orang yang tidak suka berwudu menjadi lahan

Abu&gt; H}a&gt;tim mengatakan bahwa riwayatnya dari Abu&gt; al-Darda&gt;’ adalah mursal. Al-Nasa&gt;i&lt; menilainya s\iqah. Ibn Hajar menilainya s\iqah. Dalam periwayatan hadis

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan ( library research ) dengan menggunakan metode analisis tah}li@l@i. Pengumpulan data dan penentuan kualitas hadis

Adapun kegunaan penelitian ini –secara akademiknya– adalah untuk memberikan kontribusi pemikiran dalam ilmu hadis, terkhusus dalam kritik matan hadis riwayat Abū Hurairah

Kehujjahan hadis Berdasarkan kesimpulan terkait kualitas hadis tentang salat di rumah bagi wanita yang secara sanad dan atannya telah sahih, maka hadis tersebut dapat dijadikan sebagai

Tidak sedikit orang yang menjadikan daun inai sebagai obat dan pewarna alami yang diyakini sangat baik dan tidak menimbulkan kerusakan.108 Hadis terkait inai sebagai obat luka yang

ْب ُديِزَي اَنَثادَح ْنَع ِهيِبَأ ْنَع ٍبْيَع ُش ِنْب وِرْ َعْ ْنَع َةَداَتَق ْنَع ماا َهَ َنَ َ َبَْخَأ َنوُراَه ُن ِهِمدَج َ ْيَْغ او ُسَبْلاَو اوُقاد َصَتَو اوُبَ ْشۡاَو اوُ ُكُ