• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perspektif Teori Kebudayaan Modern

N/A
N/A
Iqbal Pamungkas

Academic year: 2023

Membagikan "Perspektif Teori Kebudayaan Modern"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

Nama: Muhammad Iqbal Pamungkas Nim: E071201007

1. Jurnal “Globalisasi dan Perubahan Budaya: Perspektif Teori Kebudayaan Modern.

Dalam jurnal yang dilakukan oleh I Gusti Ngurah Mayun Susandhika, membahas mengenai bagaimana masalah Globalisasi dan Perubahan budaya dalam kacamata teori kebudayaan yang berkembang dalam disiplin ilmu Antropologi. Terlebih dalam menyoroti toeri-teori kebudyaan yang mutakhir dan modern. Dalam perkembangannya, Antropologi menghasilkan beragam teori kebudayaan, misalnya Koentjaraningrat, Parsudi Suparlan, dan Clifford Geertz. Dalam antropologi melihat kebudayan sebagai suatu kenyataan yang empiris, baik itu sebagai gagasan, tindakan, ataupun hasil tindakan/karya. Selain itu, antropologi juga melihatnya sebagai suatu kenyatan yang dapat diamati, diobservasi, ataupun diinterpretasi oleh peneliti. Kemudian dalam artikel ini melihat bahwa setiap wacana mengenai kebudayan tidak terlepas dari suatu kepentingan dan kekuasaan, yakni kekuasaan yang dimaksud bukanlah suatu kekuasaan politik, namun kekuasaan dalam arti keuataan yang dapat beredar. Walaupun wacana-wacana dalam Antropologi mengenai kebudyaan juga tak jauh dari kata “kepentingan” tertentu, seperti kepentingan akademis, karier, dan lain sebagainya.

Bagian atau argumen dari Umar Kayam mengenai kebudayaan mengunggah hasrat untuk bergulat dengan pikiran saya. Menurutnya, kebudayaan merupakan sebuah proses, sosoknya bersifat sementara, cair dan tanpa batas-batas yang jelas. Dalam artian, perbedaan antara dua kutub budaya—modern dan tradisional, asing dan pribumi, barat dan timur, asli dan campuran—

hanyalah merupakan perbedaan-perbedaan yang sifatnya semu dan sementara. Atas pemikirannya tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa tiada kebudayaan yang benar-benar asli dan pasti setiap kebudayaan merupakan hasil dari interaksi interbudaya. Argumen beliau diperkuat dengan pemaparan mengenai bentuk-bentuk kebudayan yang dianggap “asli” ternyata merupakan hasil konstruksi sosial yang terjadi dalam konteks sosial tertentu dengan mengacu kepada budaya asing. Salah satu contohnya ialah Tari Kecak yang kita kenal sebagai budaya

“asli” Bali, ternyata menurut Vickers (1989) dan Mashita (1992) merupakan hasil dari kreasi pelukis Barat Walter Spies yang mengombinasikan antara Tari Sanghyang dengan cerita

(2)

Ramayana pada 1930-an. Dari kasus Tari kecak tersebut menunjukkan bahwa seenarnya proses globalisasi sudah ada sejak dulu dan bukan proses yang baru hadir akhir-akhir ini setelah datangnya internet, Televisi, dan slogan pasar bebas.

Pada akhir tulisan, penulis menyertakan pemikiran Levis-Strauss bahwa identitas atau jati diri para pendukung suatu kebudayaan menjadi kuat bukan karena isolasi tetapi karena adanya interaksi antarbudaya. Maka dari itu, kewaspadaan akan hilangnya jati diri suatu kebudayaan dalam kacamata globalisasi tak perlu menjadi kekhawatiran berlebihan yang menjurus pada xenophobia. Kontinuitas atau eksisnya suatu budaya terwujud akibat dari modus perubahan budaya. Sampai pada ujung tulisan ini, timbul berbagai pertanyaan besar maupun pandangan- pandangan saya sebagai pembaca. Mulai dari apakah setiap kebudayaan tidak ada yang benar- benar asli dan sudah terkontak dengan budaya lain? Lalu bagaimana dengan daerah yang terisolasi; tempat pedalaman dan terpencil, tidak menerima orang luar, tidak tersentuh budaya luar. Saya berpendapat bahwa memang beberapa kebudayaan yang disangka asli memang memiliki interaksi oleh kebudayaan asing dan perbedaan-perbedaannya itu hanya bersifat sementara sesuai konteks waktu. Namun, dilain sisi saya tidak sependapat bahwa terdapat kebudayaan yang benar-benar asli dan tidak terkonstruksi oleh kebudayaan asing, serta tidak peduli derasnya arus globalisasi diluar sana.

2. Pengaruh Globalisasi Terhadap Eksistensi Kebudayaan Daerah

Dalam artikel yang dilakukan oleh Sa’roni, melihat perkembangan globalisasi menimbulkan berbagai masalah terutama dalam bidang kebudayaan, seperti hilangnya identitas asli suatu daerah; tergusurnya nilai-nilai budaya; menurunkan semangat nasionalisme; dan bergesernya pola perilaku masyarakat ke westernisasi atau kebarat-baratan. Kemudian, penulis memaparkan mengenai berbagai pengaruh globalisasi terhadap eksistensi kebudayaan daerah dan menyadarkan pembaca terkhusus para remaja yang menjadi penerus bangsa untuk menjunjung tinggi kebudayaan sendiri sebagaimana jati dirinya.

Kehadiran globalisasi mulai tampak pada abad ke-20 yang membuat masyarakat dunia, termasuk Indonesia harus menerima kenyataan masuknya pengaruh luar terhadap seluruh aspek dari kehidupan manusia, tidak terkecuali pada aspek kebudayaan. Bagi Indonesia sendiri, kebudayaan menjadi sesuatu yang tak ternilai harganya dan menjadi kekuatan atas kekayaan budaya yang beragam, lingkungan alam, serta wilayah geografis. Perubahan budaya akibat dari

(3)

masuknya globalisasi mengubah masyarakat dari yang tertutup menjadi lebih terbuka dan nilai- nilai serta norma-norma sosial yang dianut bersifat homogen berubah menuju ke arah pluralisme.

Kedatangan globalisasi menggusur kebudayaan “tradisional” Indonesia dari kehidupan masyarakat yang sarat akan pemaknaan. Secara bersamaan, datangnya perubahan-perubahan sosial yang hadir akibat proses industrialisasi, sistem ekonomi pasar, dan globalisasi informasi menjadikan kebudayaan ke arah berdimensi komersial. Kebudayaan yang bersifat ritual dilakukan secara sakral dan penuh khusyuk mulai bergeser fungsi dan kehilangan maknanya.

Dapat dilihat dari upacara pemakaman adat Masyarakat Tana Toraja, yaitu Rambu Solo. Rambu solo merupakan upacara pemakaman adat yang mengaharuskan keluarga almarhum dengan mengadakan pesta sebagai tanda penghormatan terakhir. Upacara ini dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat Tana Toraja. Namun, seiring berkembangnya waktu upacara adat ini seolah-olah kehilangan maknanya dengan masuknya proses globalisasi. Upacara adat ini yang seharusnya dilakukan secara sakral dan khusyuk, berubah menjadi seni pertujukan atas kepentingan.

Terdapat kebudayaan yang masih menunjukkan eksistensinya terus berkembang tanpa adanya kontak dari proses globalisasi, ada beberapa kebudayaan yang masih tetap eksis tetapi telah mengalami perubahan fungsi dan makna, dan ada pula kebudaayaan yang mampu beradaptasi lalu mentransformasikan diri dengan teknologi komunikasi yang telah menyatu dengan kehidupan masyarakat. Menurut pendapat pribadi saya, terdapat beberapa kebudayaan yang seharusnya tetap eksis dan tidak terpengaruh oleh proses globalisasi. Contoh kebudayaan yang seharusnya tidak terpengaruh oleh globalisasi adalah penggunaan Bahasa, baik bahasa nasional atau bahasa Indonesia yang menjadi jembatan komunikasi antar budaya maupun bahasa daerah. Bahasa Indonesia seharusnya menjadi tetap pada jati dirinya sebagaimana bahasa yang baik dan benar sesuai dengan KBBI tanpa ada pengaruh dari globalisasi. Hal serupa dengan bahasa daerah yang mejadi identitas lokal yang seharusnya tetap eksis walau di era globalisasi seperti sekarang ini. Terdapat banyak cara sebenarnya yang dapat dilakukan agar pengunaan bahasa nasional maupun lokal untuk tetap eksis di masyarakat, yaitu melalui industrialisasi seperti penggunaan bahasa nasional atau lokal lewat intervensi media-media sosial, konten, dan perfilman. Kemudian menetapkan kurikulum pendidikan wajib khusus bahasa Indonesia maupun bahasa lokal baik di sekolah maupun di perguruan tinggi.

(4)

Kemudian, penulis membeberkan cara untuk mengantisipasi agar kebudayaan tetap eksis walaupun dengan dorongan globalisasi. Menurutnya, peran pemerintah sangat berpengaruh dalam perkembangan suatu kebudayaan dengan lebih berfokus pada peningkatan kultural atau budaya daripada kebijakan-kebijakan yang mengarah pada pertimbangan ekonomi. Dengan adanya intervensi dari pemerintah, mengindari kondisi budaya yang hambar dan sarat akan makna. Kebudayaan harus benar-benar didukung secara mendalam dan bukan hanya sebagai model pembangunan. Pemerintah seharusnya sebagai pelindung dan pengayom kebudayan, bukan mengahncurkannya demi kekuasaan dan pembangunan yang berorientasi pada kepentingan ekonomi. Selain itu, peninkatan akan SDM juga sangat penting dalam pelestarian kebudayaan terkhsus para seniman dan pegiat kebudayaan.

Referensi

Dokumen terkait

The passage: The Florida Keys are a beautiful chain of almost 1,000 coral and limestone islands These islands form an arc that heads first southwest and then west from the mainland..

In applying a constructivist approach, this article aims to: • analyse states’ constructed meaning of nuclear weapons; • present an overview of historical and contemporary normative