Latar Belakang Permasalahan
Rumusan Masalah
Apa kendala dalam penanggulangan tindak pidana kekerasan terhadap anak dari perspektif hak asasi manusia. Bagaimana upaya mengatasi hambatan dalam penanggulangan kejahatan kekerasan terhadap anak dari perspektif hak asasi manusia.
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana di negara-negara hukum perdata lainnya, kejahatan pada umumnya dikodifikasikan. Kejahatan yang dilakukan bukanlah kejahatan kesusilaan yang berat, kejahatan yang menimbulkan korban jiwa. Nampaknya anggapan setiap orang ketika mendengar kata anak yang berkonflik dengan hukum berkaitan dengan pemahaman bahwa anak adalah pelaku kejahatan.
Padahal Pasal 64 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak secara tegas menyebutkan bahwa: “Perlindungan khusus bagi anak yang bertentangan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang melanggar hukum dan anak korban tindak pidana 2 Zulfikar Hakim Kedudukan anak melawan hukum sebagai pelaku kejahatan (Studi Kasus: .123/Pid.Sus.Pn.Jkt.Tim) Berdasarkan hal tersebut, penulis akan menyelidiki lebih lanjut status anak melawan hukum sebagai pelaku kejahatan , dengan metode penyidikan menggunakan jenis penyidikan hukum.
Faktor-Faktor Penyebab Tindak Pidana yang Dilakukan Anak Anak yang melakukan tindak pidana di wilayah Polrestabes Semarang pasti memiliki alasan atau sebab-sebab mengapa mereka melakukan tindak pidana. Dalam hal penerapan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana, sudah seharusnya memenuhi cita-cita Undang-Undang Perlindungan Anak yaitu ingin agar anak terhindar dari stigma ketika anak melakukan tindak pidana. Namun dalam sistem peradilan anak di Indonesia, gagasan diversi tidak mudah diterapkan untuk melakukan penegakan hukum bagi pelaku tindak pidana anak.
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) menyatakan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun, yang diduga melakukan kejahatan. Terkait dengan ketentuan Anak Berhadapan dengan Hukum (PKH) dapat dilihat dari 3 (tiga) komponen penting yang saling mempengaruhi, yaitu: struktur, substansi dan budaya hukum. Kendala yang dihadapi dalam penanggulangan tindak pidana kekerasan terhadap anak ditinjau dari hak asasi manusia antara lain:
Upaya penanggulangan tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh anak ditinjau dari aspek HAM di Polrestabes Semarang terdiri dari 3 (tiga) tindakan yaitu: a. Diharapkan aparat penegak hukum dapat memahami faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana kekerasan oleh anak, sehingga dapat dimanfaatkan di lapangan untuk tujuan menekan tindak pidana yang dilakukan oleh anak.
Sistimatika Penulisan
TINJAUAN PUSTAKA
Upaya Penanggulangan Tindak Pidana
Apabila sarana pidana ditempuh untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan diterapkan kebijakan hukum pidana, yaitu mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang. Pada tahap ini aparat penegak hukum bertugas melaksanakan dan menegakkan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang. Apabila sarana pidana ditempuh untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan diterapkan kebijakan hukum pidana, yaitu mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang.
Tindak Pidana
Anak yang berkonflik dengan hukum masuk dalam kriteria mendapat perlindungan khusus sebagaimana tercantum dalam § 59 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014. Anak yang berkonflik dengan hukum termasuk dalam kriteria mendapat perlindungan khusus sebagaimana tercantum. dalam Pasal 59 UU No. 23 Tahun 2002.
Tinjauan Umum Tindak Pidana
Pidana Oleh Anak
Setelah dilakukan analisis awal, ternyata hak dan perlindungan anak adalah yang terbaik, baik karena kurangnya perhatian dari keluarga dan masyarakat terkecil, maupun karena lingkungan yang ada di sekitar anak tersebut. Sesuai dengan Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990, Indonesia harus berkomitmen terhadap upaya perlindungan hak-hak anak secara utuh. Selain itu, Indonesia juga memiliki UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai upaya perlindungan hak anak misalnya di bidang pendidikan, kesehatan, agama dan sosial, termasuk hak anak dalam konflik.
Hak Asasi Manusia
Pelanggaran terhadap hak-hak dasar ini dibenarkan dalam rangka mempertahankan masyarakat dan melindungi hak-hak dasar terhadap campur tangan pihak lain. Semua hak lainnya bergantung pada ketiga hak fundamental ini, yang tanpanya hak-hak lain hanya memiliki sedikit atau tidak ada artinya. Ketiga, teori relativistik budaya, teori ini merupakan bentuk anti-inkuiri dari teori natural rights.
Landasan Teori
- Teori Keadilan
- Teori Restorative Justice
- Tinjauan Umum Anak
- Perlindungan Hukum terhadap Anak Pelaku Pidana
44 Agustinus Pohan, Model Keadilan Restoratif Bagi Anak yang Berhadapan dengan Hukum di Kota Bandung, dalam Marlin, Justice...Ibid, hal. 46 Hasil Lokakarya Penyusunan Draft Pedoman Perlindungan Anak Berhadapan dengan Hukum yang diselenggarakan oleh UNICEF pada tanggal 1-2 Juni 2005 di Jakarta. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Kenakalan remaja adalah perilaku kriminal anak yang jika dilakukan oleh orang dewasa, dianggap sebagai kejahatan atau pelanggaran hukum. 48. Anak Upaya Penanggulangan Kekerasan Anak Diakui oleh Lembaga P2tp2a dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Bandar Lampung dengan penyuluhan, penegakan hukum yang maksimal dan keseriusan aparat penegak hukum dalam menyikapi kekerasan terhadap anak. Selain itu, Indonesia juga memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai upaya memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak, seperti di bidang pendidikan, kesehatan, keagamaan, dan sosial, termasuk hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum.
Hal ini sesuai dengan informasi yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan beberapa anak yang terlibat kasus tindak pidana di Polrestabes Semarang. Polisi adalah pelabuhan utama atau panggilan pertama untuk sistem peradilan anak dan merupakan pihak pertama yang berwenang untuk menentukan status anak yang bermasalah dengan hukum. Berbagai bukti empiris menunjukkan bahwa masih ada anak-anak yang tidak mendapatkan perlakuan seperti yang diharapkan.
Hal inilah yang membuat aparat penegak hukum harus melakukan edukasi atau sosialisasi terlebih dahulu kepada masyarakat agar masyarakat dapat memahami undang-undang perlindungan anak. Hasil lokakarya tentang draf panduan perlindungan hukum terhadap kekerasan terhadap anak yang diadakan oleh UNICEF pada tanggal 1-2 Juni 2005 di Jakarta. Konvensi Hak Anak, yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1989.
Orisinalitas Penelitian
METODE PENELITIAN
Pendekatan Penelitian
Berdasarkan fokus dan tujuan penelitian, maka penelitian ini merupakan penelitian mendalam untuk mendapatkan data yang lengkap dan terperinci. Penelitian deskriptif kualitatif, menurut Best sebagaimana dikutip Sukardi, adalah “metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasikan objek sebagaimana adanya”.50 Demikian pula, Prasetya mengungkapkan bahwa “penelitian deskriptif adalah penelitian yang menjelaskan fakta sebagaimana adanya”. 51 Prasetya Irawan, Logika dan Prosedur Inkuiri: Pengantar Teori Inkuiri Sosial dan Pedoman Praktikum bagi Siswa dan Peneliti Awal, (Jakarta: STAIN), 1999, p.59.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang temuannya diperoleh atas dasar paradigma, strategi, dan penerapan model secara kualitatif.52 Sedangkan menurut Mance yang dikutip oleh Moleong, penelitian kualitatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) Merupakan tradisi Jerman yang didasarkan pada idealisme, humanisme, dan kulturalisme; (2) penelitian ini dapat menghasilkan teori, mengembangkan pemahaman, dan menjelaskan realitas yang kompleks; (3) memiliki pendekatan induktif-deskriptif; (4) membutuhkan waktu yang lama; (5) Data berupa uraian, dokumen, catatan lapangan, foto dan gambar; (6) Informan adalah “Variasi Maksimum”; (7) berorientasi pada proses; (8) Penelitian dalam konteks mikro.53.
Sumber Data
Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan tentang bahan hukum primer dan sekunder.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik Analisis Data
Secara umum dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab anak melakukan tindak pidana terdiri dari 2 (dua) faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Selain faktor internal yang telah dijelaskan oleh peneliti, faktor eksternal yang paling dominan menyebabkan anak melakukan kejahatan adalah faktor keluarga. Dapat juga kita simpulkan bahwa anak sebagai pelaku tindak pidana memerlukan perhatian dan perlakuan khusus, juga dari segi perlindungan anak.
Dari hambatan yang ada tersebut, hambatan eksternal yang sangat dominan dalam upaya penanggulangan tindak pidana kekerasan anak yaitu penolakan penyelesaian melalui gangguan dari pihak korban atau keluarga korban dan juga pandangan masyarakat terhadap tindak pidana. Dengan kendala tersebut, diharapkan kinerja kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana anak sebagai pelaku dapat ditingkatkan demi kepentingan terbaik dan kelangsungan hidup anak sebagai milik negara. Namun pada kenyataannya kejahatan yang dilakukan oleh anak terlalu ekstrim untuk disebut kejahatan, karena anak pada hakekatnya memiliki mental yang tidak stabil, proses stabilitas psikologis menghasilkan sikap dan perilaku kritis, agresif yang cenderung mengganggu ketertiban umum.
Dalam peraturan perundang-undangan yang ada, perlu diterapkan sistem diversi yaitu upaya memperbaiki korban dan/atau pelaku kejahatan terhadap anak untuk upaya melakukan pemulihan, baik sebagai korban maupun pelaku untuk mendapatkan keputusan yang terbaik bagi anak. Menurut peneliti, upaya yang dilakukan untuk menanggulangi tindak pidana kekerasan oleh anak ditinjau dari aspek HAM di Polrestabes Semarang sebaiknya dilakukan dengan 3 (tiga) upaya yaitu tindakan preventif, tindakan punitif dan tindakan kuratif. Namun dari ketiga upaya tersebut harus diprioritaskan pada tindakan preventif atau tindakan yang dapat mencegah terjadinya kenakalan pada anak, sehingga jika upaya preventif dilanjutkan oleh pihak Kepolisian setidaknya dapat mereduksi atau menghentikan niat anak tersebut ketika akan melakukan tindak pidana. melakukan tindak pidana atau kriminalitas yang mengarah pada tindak pidana.
Negara sebagai organisasi tertinggi dan terkuat juga memiliki andil yang besar dalam perlindungan hak anak, yang diwujudkan dengan mengeluarkan peraturan tentang perlindungan anak, sehingga ada jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak yang akan memiliki berdampak pada kelangsungan perlindungan anak. kegiatan dan mencegah penyimpangan dalam pelaksanaan perlindungan anak.. kendala yang sering muncul menjadi pelajaran bagi aparat penegak hukum yang dalam menangani anak yang berkonflik dengan hukum tentunya harus mengutamakan kepentingan anak. mewujudkan kepentingan terbaik bagi anak berdasarkan asas kepentingan terbaik bagi anak guna mewujudkan keadilan bagi anak. Perlunya kesadaran hukum, penegakan hukum dan perilaku anggota masyarakat dalam upaya penanganan tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh anak sehingga tindakan preventif, punitif dan kuratif benar-benar dapat bermanfaat dalam meminimalisir kejadian anak bermasalah dengan hukum. (ABH). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN