1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan masyarakat yang begitu pesat dan meningkatnya kriminalitas, di dalam kehidupan bermasyarakat berdampak kepada sesuatu kecenderungan dari anggota masyarakat itu sendiri untuk berinteraksi satu dengan yang lainnya, dalam interaksi ini sering terjadi sesuatu perbuatan yang melanggar hukum dan kaidah-kaidah yang telah ditentukan dalam masyarakat, untuk menciptakan rasa aman, tentram dan tertib dalam masyarakat. Dalam hal ini tidak semua anggota masyarakat dapat menaatinya, dan masih ada saja yang menyimpang yang pada umumnya prilaku tersebut kurang disukai oleh masyarakat1. Anak sebagai generasi muda disamping sebagai objek juga berperan sebagai subjek pembangunan.
Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa di masa yang akan datang, yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara seimbang.
1 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta, 2000, hal 21
2
Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan2. Berkenaan dengan istilah sistem peradilan pidana atau criminal justice system tidak terpisah dari istilah sistem yang digambarkan oleh Davies et.al sebagai “the word system conveys an impression of a complec to end” artinya bahwa kata system menunjukkan adanya suatu kesan dari objek yang komplek lainnya dan berjalan dari awal sampai akhir, oleh karena itu dalam mewujudkan tujuan sistem tersebut ada empat instansi yang terkait yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Keempat komponen tersebut harus bekerja sama secara terpadu (Integrated Criminal Justice Administration).
Berproses secara terpadu artinya bahwa keempat sub sistem ini bekerja sama berhubungan walaupun masing-masing berdiri sendiri. Polisi selaku penyidik melakukan penyidikan termasuk penyelidikan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. Jaksa selaku penuntut umum melakukan penuntutan berdasarkan hasil penyidikan yang disampaikan oleh penyidik. Hakim atas dasar dakwaan penuntut umum melakukan pemeriksaan dalam sidang pengadilan.
Seperti halnya orang dewasa, anak sebagai pelaku tindak pidana juga akan mengalami proses hukum yang identik dengan orang dewasa yang
2 Mardjono Reksodiputro, Kriminlogi dan Sistem Peradilan Pidana, (Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia), Jakarta,1997, hal. 84
3
melakukan tindak pidana, arti kata identik disini mengandung arti ”hampir sama”, yang berbeda hanya lama serta cara penanganannya.
Menghadapi dan menangani proses peradilan anak yang terlibat tindak pidana, maka hal yang pertama yang tidak boleh dilupakan adalah melihat kedudukannya sebagai anak dengan semua sifat dan ciri-cirinya yang khusus, dengan demikian orientasi adalah bertolak dari konsep perlindungan terhadap anak dalam proses penangannya sehingga hal ini akan berpijak pada konsep kejahteraan anak dan kepentingan anak tersebut. Penanganan anak dalam proses hukumnya memerlukan pendekatan, pelayanan, perlakuan, perawatan serta perlindungan yang khusus bagi anak dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
Menurut Retnowulan Sutianto perlindungan anak merupakan suatu bidang Pembangunan Nasional, melindungi anak adalah melindungi manusia, dan membangun manusia seutuh mungkin. Hakekat Pembangunan Nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berbudi luhur.
Mengabaikan masalah perlindungan anak berarti tidak akan memantapkan pembangunan nasional3. Akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang dapat mengganggu penegakan hukum, ketertiban, keamanan, dan pembangunan nasional. Maka, ini berarti bahwa perlindungan anak harus diusahakan apabila kita ingin mengusahakan pembangunan nasional yang memuaskan.
3Romli Atmasasmita, Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1997, hal. 166
4
Proses penanganan anak yang berhadapan dengan hukum erat kaitannya dengan penegakan hukum itu sendiri, dimana dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (juvenile justice system). Menurut Barda Nawawi Arief, Sistem Peradilan Pidana pada hakikatnya merupakan ”sistem kekuasaan menegakkan hukum pidana” yang diwujudkan dalam 4 (empat) subsistem yaitu4 :
1. Kekuasaan ”Penyidikan” (oleh Badan/Lembaga Penyidik);
2. Kekuasaan ”Penuntutan” (oleh Badan/Lembaga Penuntut Umum);
3. Kekuasaan ”Mengadili dan Menjatuhkan putusan/pidana” (oleh Badan Pengadilan);
4. Kekuasaan ”Pelaksanaan Putusan Pidana” (oleh Badan/Aparat Pelaksana/Eksekusi).
Keempat institusi pilar sistem peradilan pidana anak telah diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri sebagai landasan yuridis bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan kewenangannya.
Perlindungan dalam proses penyidikan kepada anak terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak adalah sebagai bentuk perhatian dan perlakuan khusus untuk melindungi kepentingan anak. Perhatian dan perlakuan khusus tersebut berupa perlindungan hukum agar anak tidak menjadi korban dari penerapan hukum yang salah yang dapat menyebabkan penderitaan mental, fisik dan sosialnya. Perlindungan terhadap anak sudah diatur dalam ketentuan hukum mengenai anak. Khususnya bagi anak yang melakukan tindak
4Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana Tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,Semarang, 2006, hal. 20.
5
pidana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Bahwa Undang-undang No. 11 Tahun 2012 dan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 memberikan pembedaan perlakuan dan perlindungan terhadap pelaksanaan hak-hak dan kewajiban anak, khususnya anak sebagai tersangka dalam proses peradilan pidana, yaitu meliputi seluruh prosedur acara pidana, mulai dari penyelidikan, penyidikan dan berakhir pada pelaksanaan pidana.
Contoh kasus percabulan yang dilakukan GM yang berusia 14 tahun terhadap ST yang berusia 11 tahun.Tersangka GM melakukan aksinya di dalam bengkel tallane yang bertempat di Mangga Dua Atas Kecamatan Nusaniwe Kota Ambon. Mengingat pelaku percabulan merupakan anak di bawah umur untuk itu negara harus memberikan perlindungan hukum terhadap pelaku agar pelaku dikemudian hari menjadi orang yang baik dan tidak melakukan kejahatan lagi, meskipun anak sebagai pelaku tindak pidana tetapi apa yang merupakan hak-hak anak tetap diperhatikan.
Dalam proses penyidikan terdakwa ditanya oleh penyidik anak dengan suara keras sehingga, membuat terdakwa GM menjadi takut dan tertekan dalam memberikan keterangan dan juga terdakwa GM tidak didamping oleh petugas pendamping khusus. Dengan demikian jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perubahan atas Undang-Undang 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Pasal 18 dan Pasal 64, hak terdakwa GM sebagai anak yang berhadapan dengan hukum telah dilanggar atau diabaikan oleh
6
aparat penegak hukum dan melanggar Hak Asasi Manusia dan juga penjatuhan pidana terhadap terdakwa GM tidak tepat menurut UU SPPA Pasal 82.
Dalam proses tahapan penyidikan anak nakal, tidak hanya sekedar mencari bukti serta penyebab kejadian, tetapi juga diharapkan dapat mengetahui latar belakang kehidupan anak tersebut sebagai pertimbangan dalam menentukan tuntutan terhadap tersangka. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, penulis ingin mengkaji lebih lanjut penulisan ini dengan judul : “Pemeriksaan Perkara Pidana Anak Pada Tahap Penyidikan (Kajian Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah adalah : apakah penyidik dalam melaksanakan proses penyidikan terhadap anak yang melakukan tindak pidana telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 ?.
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk Menganalisis dan membahas proses penyidikan terhadap anak yang melakukan tindak pidana telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012.
7
2. Sebagai salah satu persyaratan akademik guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura.
D. Manfaat Penelitian
1. Mengetahui proses penyidikan terhadap anak yang melakukan tindak pidana telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012.
2. Sebagai sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum khususnya hukum acara pidana guna mengetahui proses penyidikan terhadap anak yang melakukan tindak pidana telah sesuai dengan Undang- Undang Nomor 11 tahun 2012.
E. Kerangka Teori
Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya tindak pidana dalam suatu peristiwa.Ketika diketahui ada tindak pidana terjadi, maka saat itulah penyidikan dapat dilakukan berdasarkan hasil penyelidikan.
Pada tindakan penyelidikan, penekanannya diletakkan pada tindakan “mencari dan menemukan” suatu “peristiwa” yang dianggap atau diduga sebagai tindakan pidana. Sedangkan pada penyidikan titik berat penekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti”.Penyidikan bertujuan membuat terang tindak pidana yang ditemukan dan juga menentukan pelakunya.
8
Pengertian penyidikan tercantum dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP yakni dalam Bab I mengenai Penjelasan Umum, yaitu: “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”
Berdasarkan rumusan Pasal 1 butir 2 KUHAP, unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian penyidikan adalah:
a. Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang mengandung tindakan- tindakan yang antara satu dengan yang lain saling berhubungan;
b. Penyidikan dilakukan oleh pejabat publik yang disebut penyidik;
c. Penyidikan dilakukan dengan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
d. Tujuan penyidikan ialah mencari dan mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi, dan menemukan tersangkanya.
Berdasarkan keempat unsur tersebut dapat disimpulkan bahwa sebelum dilakukan penyidikan, telah diketahui adanya tindak pidana tetapi tindak pidana itu belum terang dan belum diketahui siapa yang melakukannya.Adanya tindak pidana yang belum terang itu diketahui dari penyelidikannya.5
Penyidik menurut Pasal 1 butir ke-1 KUHAP adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
5.Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia,:
Bayumedia Publishing, Malang, 2005, hal.380-381
9
KUHAP lebih jauh lagi mengatur tentang penyidik dalam pasal 6, yang memberikan batasan pejabat penyidik dalam proses pidana. Adapun batasan pejabat dalam tahap penyidikan tersebut adalah pejabat penyidik POLRI dan Pejabat penyidik negeri sipil.
Disamping yang diatur dalam Pasal 1 butir ke 1 KUHAP dan Pasal 6 KUHAP, terdapat lagi Pasal 10 yang mengatur tentang adanya penyidik pembantu disamping penyidik.6
a. Pejabat Penyidik Polri :Untuk mengetahui siapa yang dimaksud dengan orang yang berhak sebagai penyidik ditinjau dari segi instansi maupun kepangkatan, ditegaskan dalam pasal 6 KUHAP. Dalam pasal tersebut ditentukan instansi dan kepangkatan seorang pejabat penyidik. Bertitik tolak dari ketentuan pasal 6 KUHAP yang dimaksud, yang berhak diangkat sebagai pejabat penyidik antara lain adalah:Agar seorang pejabat kepolisian dapat diberi jabatan sebagai penyidik, maka harus memenuhi syarat kepangkatan sebagaimana hal itu ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (2) KUHAP. Menurut penjelasan Pasal 6 ayat 2, kedudukan dan kepangkatan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah, diselaraskan dan diseimbangkan dengan kedudukan dan kepangkatan penuntut umum dan hakim peradilan umum. Peraturan Pemerintah yang mengatur masalah kepangkatan penyidik adalah berupa PP Nomor 27 Tahun 1983. Syarat kepangkatan dan pengangkatan pejabat penyidikan antara lain adalah sebagai berikut:
6. M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, cet VII (Jakarta: Sinar Grafika, Jakarta, 2009,, hal 110
10 1. Pejabat Penyidik Penuh
Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai pejabat “penyidik penuh”, harus memenuhi syarat-syarat kepangkatan dan pengangkatan,yaitu:
a. Sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua
b. Atau yang berpangkat bintara dibawah Pembantu Letnan Dua apabila dalam suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat Pembantu Letnan Dua;
c. Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia 2. Penyidik Pembantu
Pasal 10 KUHAP menentukan bahwa Penyidik Pembantu adalah Pejabat Kepolisan Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara menurut syarat-syarat yang diatur denganperaturan pemerintah.7Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai “penyidik pembantu” diatur didalam Pasal 3 PP Nomor 27 Tahun 1983. Menurut ketentuan ini, syarat kepangkatan untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik pembantu:
1. Sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi;
2. Atau pegawai negeri sipil dalam lingkungan Kepolisian Negara dengan syarat sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (Golongan II/a);
3. Diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing.
7.Nico Ngani, I Nyoman Budi Jaya; Hasan Madani, Mengenal Hukum Acara Pidana, Bagian Umum Dan Penyidikan .Liberty, Yogyakarta) hal 19.
11 b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP, yaitu pegawai negeri sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai penyidik.Pada dasarnya, wewenang yang mereka miliki bersumber pada undang-undang pidana khusus, yang telah menetapkan sendiri pemberianwewenang penyidikan pada salah satu pasal.
Secara konkrit penyidikan dapat diperinci sebagai tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mendapatkan keterangan tentang: Kini dengan adanya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah tercipta persamaan persepsi diantara para Sarjana Hukum tentang pengertian penyidikan.
a. Tindak pidana yang telah dilakukan;
b. Kapan tindak pidana itu dilakukan;
c. Dimana tindak pidana itu dilakukan;
d. Dengan apa tindak pidana itu dilakukan e. Bagaimana tindak pidana itu dilakukan f. Mengapa tindak pidana itu dilakukan; dan
g. Siapa pembuatnya atau yang melakukan tindak pidana itu.8
Pelaksanaan penyidikan merupakan tindakan pertama-tama yang dapat dan harus segera dilakukan oleh penyidik jika terjadi atau ada persangkaan telah terjadi suatu tindak pidana. Apabila ada persangkaan telah dilakukan kejahatan atau pelanggaran maka harus di usahakan apakah hal tersebut sesuai
8H. Harris, Pembaharuan Hukum Acara Pidana Yang terdapat dalam HIR, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Bina Cipta, Jakarta, 1987,hal 51
12
dengan kenyataan, benarkah telah dilakukan suatu tindak pidana dan jika benar demikian, siapakah pembuatnya.9
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dalam Pasal 1 ayat (3) menyebutkan bahwa anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang telah mencapai usia 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana yaitu :
1) Yang diduga, disangka, didakwa, atau dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana;
2) Yang menjadi korban tindak pidana atau yang melihat dan/atau mendengar sendiri terjadinya suatu tindak pidana.
Anak yang berhadapan dengan hukum dapat juga dikatakan sebagai anak yang terpaksa berkontak dengan sistem pengadilan pidana karena :
1) Disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum;
atau
2) Telah menjadi korban akibat perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan orang/kelompok orang/lembaga/negara terhadapnya; atau
3) Telah melihat, mendengar, merasakan, atau mengetahui suatu peristiwa pelanggaran hukum.
Dilihat ruang lingkupnya maka anak yang berhadapan dengan hukum dapat dibagi menjadi :
1) Pelaku atau tersangka tindak pidana;
9Sudarto, 1962 “Peranan Kejaksaan dalam penyidikan, penuntut dan pemeriksaan perkara pidana dalam sidang Pengadilan Negeri”.Majalah Publikasi, Nomor 1. Penerbit Yayasan Lembaga Research dan Anfiliasi Industri Universitas Diponegoro. Semarang, hal 7
13 2) Korban tindak pidana;
3) Saksi suatu tindak pidana.
Kenakalan anak disebut juga dengan Juvenile Deliquency. Juvenile atau yang (dalam bahasa Inggris) dalam bahasa Indonesia berarti anak-anak; anak muda, sedangkan Deliquency artinya terabaikan atau mengabaikan yang kemudian diperluas menjadi jahat, kriminal, pelanggar peraturan dan lain-lain.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, delikuensi diartikan sebagai tingkah laku yang menyalahi secara ringan norma dan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat10.
Perbuatan dikatakan delinkuen apabila perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma yang ada dalam masyarakat dimana ia hidup atau suatu perbuatan yang anti sosial yang didalamnya terkandung unsur-unsur anti normatif.11
Pengertian Juvenile Deliquency menurut Kartini Kartono adalah sebagai berikut : Juvenile Deliquency yaitu perilaku jahat atau dursila, atau kejahatan atau kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang12.
Menurut Romli Atmasasmita Juvenile Deliquency adalah setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak dibawah umur 18 tahun dan belum
10 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,1991, hal. 219.
11 Sudarsono, Kenakalan Remaja, Rineka Cipta, Jakarta,1991, hal. 10.
12 Kartini Kartono, Pathologi Sosial (2), Kenakalan Remaja, Rajawali Pers, Jakarta, 1992, hal. 7
14
kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan13.
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip- prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi14.
2. Tipe Penelitian
Dalam penulisan ini akan digunakan tipe penelitian yang bersifat deskritif analistis. Deskritif analistis15, yang dimaksudkan yaitu dengan menggunakan pendekatan yuridis normative dirumuskan dengan hasil penelitian kepustakaan, dimungkinkan untuk dapat mendiskripsikan berbagai temuan baik melalui penelitian empiris maupun penelitian kepustakaan dan data yang diperoleh akan dianalisis dan dikaji dalam suatu sistem penulisan yang terstruktur, sehingga dengan hasil didiskripsi tersebut akan ditarik kesimpulan dan dilengkapi dengan saran-saran.
13 Romli Atmasasmita, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja, Armico, Bandung, 1983, hal. 40.
14 Peter Mahmud Marzuki, PenelitianHukum, Prenada Media Group, Edisi Pertama Cetakan Ke Empat, Jakarta, 2005, hal 35
15 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum dan Yurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hal 12
15 3. Sumber Bahan Hukum
a. Bahan Hukum Primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari perundang-undangan yaitu: Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
1. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
3. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 4. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak b. Bahan Hukum Sekunder adalah memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer yang terdiri dari pendapat ilmiah para sarjana dan buku- buku literatur yang berkaitan dengan perlindungan anak.
c. Bahan Hukum Tersier adalah memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang terdiridari kamus hukum, ensiklopedia dan sebagainya yang berkaitan dengan perlindungan anak.
4. Teknik Pengumpulan dan Analisa Bahan Hukum a. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Bahan hukum yang diperoleh melalui studi kepustakaan.Dalam arti keseluruhan bahan hukum yang diperoleh kemudian dihubungkan satu
16
dengan yang lainnya dengan pokok permasalahan, sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
b. Analisa Bahan Hukum
Analisa bahan hukum yang digunakan untuk menganalisa bagaimana pemanfaatan yang telah terkumpul untuk digunakan dalam pemecahan masalah penelitian.Dengan demikian bahan atau hasil yang dikumpulkan kemudian dianalisa dengan menggunakan metode yang bersifat kualitatif16.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini berpedoman pada buku pedoman penulisan yakni terdiri dari empat Bab yaitu : Bab I merupakan pendahuluan yang terdiri atas : latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II merupakan tinjauan pustaka yang membahas tentang pengertian dan tujuan penyidikan, anak yang bermasalah dengan hukum, sistem peradilan pidana anak. Bab III merupakan hasil dan pembahasan . yang membahas tentang anak dalam proses peradilan pidana pemeriksaan perkara pidana anak pada tahap penyidikan menurut Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012, kendala- kendala yang dihadapi penyidik dalam penyidikan perkara anak.Bab IV merupakan Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan Saran.
16 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Op.Cit,hal 144