• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN FUNGSI BALAI PEMASAYARAKATAN (BAPAS) MAKASSAR DALAM PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA PADA SISTEM PIDANA ANAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "PELAKSANAAN FUNGSI BALAI PEMASAYARAKATAN (BAPAS) MAKASSAR DALAM PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA PADA SISTEM PIDANA ANAK"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

PELAKSANAAN FUNGSI BALAI PEMASAYARAKATAN (BAPAS) MAKASSAR DALAM PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA

PADA SISTEM PIDANA ANAK

TESIS

Diajukan untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat Guna Memperolah Gelar Magister Hukum

Oleh :

NURYULI NURDIN 46 18 10 10 22

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKLUM UNIVERSITAS BOSOWA MAKASSAR

2021

(2)
(3)

ii

(4)

ii

(5)

iv

(6)

v

(7)

vi

(8)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat hidayah dan karunia – Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini dengan judul “PELAKSANAAN FUNGSI BALAI MAKASSAR PEMASYARAKATAN (BAPAS) MAKASSAR DALAM PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA PADA SISTEM PIDANA ANAK” sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Pascasarjana Universitas Bosowa Makassar.

Terima Kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua tercinta Bapak DRS. H. Nurdin Daud, ibu Hj. Bansuhari, S.Pdi yang telah merawat dan membesarkan dan membimbing penulis dengan penuh ketulusan, kesabaran, keikhlasan sehingga tidak lepas dari do’a yang senantiasa diberikan oleh kedua orang tua penulis. Serta terima kasih pula kepada suami tercinta H. Nur Akbar, S.E., M.Ak bersama anak Muh, Athoriq Arya Raharja, Muh. Raadhiy Arya Miqdad, Muh. Althof Arya Miftah, Atikah Ratu Akbar dan saudara penulis Nuraeni Nurdin, S.Km, Ir Isyadi Sirajuddin, M.Si yang selalu sabar mendampingi dan membantu penulis baik dalam suka maupun duka serta memberikan semangat kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini, masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati senantiasa mengharapkan saran dan kritikan yang sifatnya kontruktif dalam rangka kesempurnaan. Dalam penyusunan tesis ini utamanya dalam penelitian berbagai

vii

(9)

kendala yang dihadapi penulis, namun tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebar – besarnya kepada Bapak Dr. Baso Madiong, S.H., M.H Sebagai Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktunya memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis semoga diberikan kesehatan oleh Allah SWT dan Ibu Dr. Yulia Hasan, S.H., M.H. sebagai pembimbing semoga sukses selalu. Serta penulis mengucapkan terima kasih setulus – tulusnya dan penghargaan setinggi – tingginya kepada yang terhormat :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. M Saleh Pallu, M. Eng, selaku rektor Universitas Bosowa Makassar.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Batara Surya, M.Si, selaku Direktur Pascasarjana Universitas Bosowa Makassar.

3. Bapak Dr. Syamsul Bahri, S.Sos., M.Si, selaku Asisten Direktur Pascasarjana Universitas Bosowa Makassar.

4. Bapak Dr. Baso Madiong, S.H., M.H, selaku Program Studi (KPS) Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar.

5. Terima Kasih kepada Dr. Ruslan Renggong, S.H., M.H dan Dr. Almusawwir, S.H., M.H, selaku penguji yang telah memberikan masukan atau saran – saran dan koreksi yang berkaitan dengan substansi maupun memberikan pelayanan administrasi yang baik.

6. Terima Kasih kepada para staf dan pegawai Pascasarjana Universitas Bosowa Makassar.

viii

(10)

7. Terima Kasih kepada saudara dan saudariku pada Angkatan 2018 Fakultas Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Bosowa Makassar yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

Akhirnya kepada Allah SWT jualah kita kembalikan segalanya, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagu agama bangsa dan Negara khusus pada diri penulis sendiri.

Makassar, 05 Maret 2021

Nuryuli Nurdin

ix

(11)

x

(12)

xi

(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan suatu bangsa dan negara. Anak merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas, diperlukan pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial serta perlindungan dari segala kemungkinan yang membahayakan bagi anak.

Terkait dengan psikologi anak, negara mengeluarkan instrumen-instrumen hukum agar membedakan perlakukan hukum terhadap anak, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.

Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh anak disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua yang akhirnya membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat mempengaruhi nilai dan perilaku anak. Kurang lebih empat ribu anak di Indonesia diajukan ke pengadilan setiap tahunnya atas suatu kejahatan ringan. Pada umumnya mereka tidak mendapatkan dukungan, baik dari pengacara maupun dinas sosial.

(14)

Dengan demikian mereka akan dijebloskan kedalam penjara atau rumah tahanan. Kondisi ini sangat memperihatinkan karena banyak anak yang harus berhadapan dengan sistem peradilan dan mereka ditempatkan dipenahanan dan pemenjaraan bersama orang dewasa sehingga mereka rawan mengalami tindak kekerasan. Melihat prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip non diskriminasi yang mengutamakan kepentingan terbaik bagi anakdan hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan tumbuh kembang anak sehingga diperlukan penghargaan terhadap anak, termasuk anak yang melakukan tindak pidana.

Oleh karena itu maka diperlukan suatu sistem peradilan anak yang di dalamnya terdapat proses penyelesaian perkara anak diluar mekanisme pidana konvensional. Muncul suatu pemikiran gagasan untukhal tersebut yaitu ide diversi, karena lembaga pemasyarakatan bukanlah jalan untuk menyelesaikan permasalahan anak dan rawan terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak.

Hal ini yang mendorong ide diversi menjadi suatu pertimbangan yang sangat penting dalam menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak.

Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memperkuat eksistensi Balai Pemasyarakatan atau BAPAS dalam proses peradilan.

BAPAS melalui petugas pembimbing pemasyarakatan tidak hanya menjadi instansi yang memberikan tugas untuk melakukan penelitian kemasyarakatan berkaitan dengan anak yang terlibat dalam perkara pidana sebagaimana yang pernah diatur dalam undang-undang pengadilan anak.

(15)

Tetapi melalui undang-undang sistem pengadilan pidana anak ini, BAPAS menjadi salah satu unsur penting dalam proses penyelesaian tindak pidana yang dilakukan atau melibatkan anak. Dalam undang-undang sistem pengadilan pidana anak mengedepankan upaya untuk menghindarkan anak dari proses peradilan (diversi).

Pelaksanaan proses peradilan anak cenderung tidak sesuai dengan undang- undang yang mengikat para institusi khususnya BAPAS. Hal ini terlihat dari hasil pemantauan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Kota Makassar pada Tahun 2018 terhadap BAPAS yang ada di Kota Makassar, di mana KPAI mendapatkan laporan bahwa terdapat beberapa penyimpangan seperti mayoritas anak tidak didampingi penasehat hukum dan Pembimbing Kemasayarakatan (BAPAS) selama proses peradilan, mayoritas putusan hakim pidana penjara, banyak anak terampas haknya selama proses peradilan, diantaranya hak pendidikan, hak kesehatan, hak untuk berkreasi, dan anak jalanan yang menjadi anak berkonflik dengan hukum seringkali ditahan karena tidak ada yang menjamin1.

Di samping itu Pendampingan Kemasyarakatan (disingkat PK) tidak dapat melakukan pendampingan secara penuh sebagaimana mestinya kepada Anak dalam menjalani proses peradilan. Hal ini antara lain disebabkan oleh keterbatasan jumlah PK yang dimiliki BAPAS Makassar, sehingga seorang PK harus mendampingi beberapa orang Anak yang menjalani proses peradilan yang seringkali lokasinya berjauhan dengan waktu yang terbatas.

1 Berita ANtara New, Edisi Maret 2019

(16)

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, penulis bermaksud melakukan penelitian dengan: “PELAKSANAAN FUNGSI BALAI PEMASYARAKATAN (BAPAS) MAKASSAR DALAM PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA PADA SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah pelaksanaan fungsi Balai Pemasyarakatan Makassar dalam perlindungan Hak Asasi Manusia pada sistem peradilan pidana anak?

2. Faktor apakah yang menjadi kendala Balai Pemasyarakatan Makassar dalam perlindungan hak asasi manusia pada sistem peradilan pidana anak?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan fungsi Balai Pemasyarakatan Makassar dalam perliondungan Hak Asasi Manusia pada sistem peradilan pidana anak.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis kendala yang dihadapi Balai Pemasyarakatan Makassar dalam perlindungan hak asasi manusia pada sistem peradilan pidana anak

D. Kegunaan Penelitian

1. Dari segi teoritis, dapat memberikan sumbangan teoritis bagi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan, dalam hal ini perkembangan dan kemajuan Ilmu Hukum Pidana. Diharapkan penulisan ini dapat dijadikan referensi tambahan bagi para akademisi,

(17)

penulis, dan para kalangan yang berminat dalam kajian bidang yang sama

2. Dari segi praktis, dapat dijadikan masukan dan sumber informasi bagi pemerintah dan lembaga yang terkait, terutama bagi para aparat penegak hukum dalam rangka penerapan supremasi hukum. Juga dapat dijadikan sumber informasi dan referensi bagi para pengambil kebijakan guna mengambil langkah strategis dalam pelaksanaan penerapan hukum. Bagi masyarakat luar, penulisan ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi dan referensi untuk menambah pengetahuan.

(18)

BAB II

KERANGKA TEORI DAN KONSEPTUAL

A. Landasan Teori 1. Teori Negara Hukum

Perkembangan teori negara hukum merupakan produk sejarah, disebabkan rumusan atau pengertian negara hukum berkembang telah mengikuti perkembangan umat manusia. Secara sederhana negara hukum dapat diartikan sebagai negara yang didasarkan pada hukum. Artinya kekuasaan negara tersebut didasarkan dan dibatasi oleh hukum. Kekuasaan itu didasari oleh rakyatnya karena dilandasi hukum. 2

Pengertian Indonesia sebagai negara hukum dapat dikaji dalam penjelasan UUD RI 1945, dalam perubahan UUD 1945 Pasal 1 ayat (3), berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Konsekuensi ketentuan ini adalah bahwa setiap sikap, kebijakan dan perilaku alat Negara dan penduduk harus berdasarkan dan sesuai dengan hukum. Sekaligus ketentuan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dan arogansi kekuasaan, baik yang dilakukan oleh alat negara ataupun penduduk. 3

Dalam kepustakaan Indonesia, istilah negara hukum merupakan terjemahan langsung dari Rechtsstaat. Di zaman modern konsep negara hukum di negara Eropa Kontinental dikembangkan oleh antara lain Immanuel Kant, Paul Laband,

2 Idrus Affandi, 1998, Tata Negara, Jakarta, PT. Balai Pustaka (Persero). Hal :82

3 Ni’matul Huda, 2007, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi, Yogyakarta, UII Press,. Hal: 61-62.

(19)

Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu

“Rechtsstaat”. 4

Sedangkan dalam tradisi. Anglo Amerika, Konsep Negara Hukum dikembangkan oleh A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule Of Law”. Menurut Julius Stahl, konsep negara hukum yang disebutkannya dengan istilah

“Rechtsstaat” itu mencakup empat elemen penting, yaitu : 5 1. Perlindungan Hak Asasi Manusia

2. Pembagian Kekuasaan

3. Pemerintahan Berdasarkan Undang-Undang 4. Peradilan Tata Usaha Negara.

Ciri-ciri di atas menunjukkan bahwa ide sentral rechtsstaat adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang bertumpu atas prinsip kebebasan dan persamaan. Adanya Undang-Undang Dasar akan memberikan jaminan konstitusional terhadap asas kebebasan dan persamaan.

Adanya pembagian kekuasaan untuk menghindari penumpukan kekuasaan dalam satu tangan yang sangat cenderung pada penyalahgunaan kekuasaan yang berarti pemerkosaan terhadap kebebasan dan persamaan. 6

Sedangkan A.V.Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutkannya dengan istilah “The Rule Of Law”, yaitu : 7

4 Padmo Wahjono, 2019, Ilmu Negara Suatu Sidtematik, Sinar Grafika.. Hal: 30.

5 Ibid.

6 Ibid.

7 Ibid. Hal : 72

(20)

1. Supremacy of Law, supremasi hukum untuk menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan kesewenangan-wenangan, prerogatif atau discretionary authority yang luas dari pemerintah.

2. Equaliaty before the law, persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court; ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada diatas hukum; tidak ada peradilan administrasi Negara.

3. Due Process of Law, melalui proses hukum; ini berarti setiap yang dirumuskan dan ditegaskan dalam konstitusi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu untuk menjamin kepastian hukum.

Keempat prinsip “rechtsstaat” yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip “Rule of Law” yang dikembangkan oleh A.V.Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang. 8

Dalam paham Negara hukum yang demikian, harus di buat jaminan bahwa hukum itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi.

Oleh karena itu, prinsip supremasi hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri, pada dasarnya berasal dari kedaulatan rakyat (demokratishe rechsstaat). Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan, dan ditegakkan berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat). Prinsip Negara hukum tidak boleh ditegakkan dengan mengebaikan prinsip demokrasi yang diatur dalam Undang-Undang Dasar. Oleh

8 Ibid.

(21)

karena itu, perlu ditegaskan pula bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat yang diberlakuakn menurut Undang-Undang Dasar yang diimbangi penegasan Indonesia adalah Negara hukum yang berkedaulatan atau demokrasi. 9

2. Teori Keadilan

Masalah keadilan, bukanlah masalah yang baru dibicarakan para ahli, namun pembicaraan tentang keadilan telah dimulai yang baru dibicarakan para ahli, namun pembicaraan tentang keadilan telah dimulai sejak Aristoteles sampai dengan saat ini. Bahkan , setiap ahli mempunyai pandangan yang berbeda tentang esensi keadilan. Teori yang mengkaji dan menganalisis tentang keadilan dari sejak Aristoteles sampai saat ini, disebut dengan teori keadilan. Teori keadilan yang dalam bahasa Inggris disebut dengan theory of justice, sedangkan dalam bahasa Belandanya disebut dengan theorie van rechtvaardigheid terdiri dari dua kata, yaitu:

a. Teori ; b. Keadilan.

Kata keadilan berasal dari kata adil. Dalam bahasa Inggris, disebut

“Justice”, bahasa Belanda disebut dengan “rechtvaardig”. Adil diartikan dapat diterima secara objektif.10 Keadilan dimaknakan sifat (perbuatan, perlakuan) yang adil.11 Ada tiga pengertian adil, yaitu :

9 Jimly Asshiddiqie, 2016, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta, Fakuktas Universitas Indonesia. Hal : 57.

10 Alga, dkk, 1983, Mula Hukum, Jakarta, Binacipta. Hal : 7

11 Departemen Pendidikan dan Kebudayaa, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, balai Pustaka. Hal :6-7

(22)

a. Tidak berat sebelah atau tidak memihak;

b. Berpihak pada kebenaran;

c. Sepatutnya atau tidak sewenang-wenang

Pengertian tentang keadilan dikemukakan oleh Jhon Stuart Mill dan Notonegoro.

Jhon Stuart Mill menyajikan pendapatnya tentang pengertian keadilan.

Keadilan adalah :

“ Nama bagi kelas-kelas aturan moral tertentu yang menyoroti kesejahteraan manusia lebih dekat daripada dan karenanya menjadi kewajiban yang lebih absolute aturan penuntun hidup apapun yang lain. Keadilan juga merupakan konsepsi di mana kita menemukan salah satu esensinya, yaitu hak yang diberikan kepada individu-mengimplikasikan dan memberikan kesaksian mengenai kewajiban yang lebih mengikat”.12

Ada dua hal yang menjadi fokus keadilan yang dikemukanan oleh Jhon Stuart Mill, yang meliputi :

1. Eksistensi Keadilan; dan 2. Esensi Keadilan.

Menurut Jhon Stuart Mill bahwa eksistensi keadilan merupakan aturan moral. Moral adalah berbicara tentang baik dan buruk. Aturan moral ini harus difokuskan untuk kesejahteraan manusia. Sementara itu, yang menjadi esensi atau hakikat keadilan adalah merupakan hak yang diberikan kepada individu untuk

12 Karen Lebacqz, 2011, Teori-teori Keadilan, Bandung, Penerbit : Nusa Media. Hal: 23

(23)

melaksanakannya. Noonegoro menyajikan tentang konsep keadilan. Keadilan adalah :

“kemampuan untuk memberikan kepada diri sendiri dan orang lain apa yang semestinya, apa yang telah menjadi haknya. Hubungan antara manusia yang terlibat di dalam penyelenggaraan keadilan terbentuk dalam pola yang disebut hubungan keadilan segitiga, yang meliputi keadilan distributif (distributive justice), keadilan bertaat atau legal (legal justice), dan keadilan komutatif (komutative justice)”.

Untuk itu, perlu disajikan pengertian teori keadilan. Teori keadilan merupakan :

“Teori yang mengkaji dan menganalisis tentang ketidak berpihakan, kebenaran atau ketidak sewenang-wenangan dari institusi atau individu terhadap masyarakat atau individu yangb lainnya”

Fokus teori ini pada keadilan yang terjadi dalam masyarakat, bangsa dan negara. Keadilan yang hakiki adalah keadilan yang terdapat dalam masyarakat.

Dalam realitasnya, yang banyak mendapat ketidakadilan adalah kelompok masyarakat itu sendiri. Sering kali, institusi, khususnya institusi pemerintahan selalu melindungi kelompok ekonomi kuat, sedangkan masyarakat sendiri tidak pernah dibelanya.

3. Teori Pengawasan

Agar pelaksanaan pengelolaan benda sitaan dapat berjalan dengan baik dan sesuai peraturan yang berlaku, tentu saja tidak semudah yang direncanakan. Lebih dari itu, dalam pengelolaannya tentu memerlukan sebuah pengawasan. Penjelasan

(24)

lebih detail tentang pengawasan dapat dilihat dari pendapat Arifin Abdul Rahman bahwa maksud dari pengawasan itu adalah : 13

1. Untuk mengetahui apakah segala sesuatu berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.

2. Untuk mengetahui apakah segala sesuatu telah berjalan sesuai prinsip- prinsip yang telah ditetapkan.

3. Untuk mengetahui apakah kelemahan-kelemahan serta kesulitan- kesulitan dan kegagalan-kegagalannya, sehingga dapat diadakan perubahan untuk memperbaiki serta mencegah pengulangan kegiatan yang salah.

4. Untuk mengetahui apakah segala sesuatu berjalan efisien dan apakah tidak dapat diadakan perbaikan-perbaikan lebih lanjut sehingga mendapat efisien.

Dengan pengawasan dapat diketahui sampai dimana penyimpangan, penyalahgunaan, kebocoran, pemborosan, penyelewengan, dan lain-lain kendala di masa yang akan datang. Jadi keseluruhan dari pengawasan adalah kegiatan membandingkan apa yang sedang atau sudah dikerjakan dengan apa yang direncanakan sebelumnya, karena itu perlu kriteria, norma, standar dan ukuran tentang hasil yang ingin dicapai. 14

Dari pengertian pengawasan ditas, terdapat hubungan yang erat antara pengawasan dan perencanaan, karena pengawasan dianggap sebagai aktivitas

13 Vivtor M Situmorang dan jusuf juhrif, 1995, Aspek Hukum Pengawasan Melekat, Jakarta, PT.

Rineka Cipta. Hal : 23.

14 Rahardjo Adisasmita, 2011, Pengelolaan Pendapatan & Anggaran Daerah, Penerbit : Graha Ilmu, Yogyakarta.

(25)

untuk menemukan, mengoreksi penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan dan hasil yang dicapai dari aktivitas-aktivitas yang direncanakan. Dalam hubungan ini, Harold Koontz dan Cyriel P. Donel berpendapat bahwa perencanaan dan pengawasan merupakan dua sisi mata uang yang sama.

Dengan demikian jelas bahwa tanpa rencana, maka pengawasan tidak mungkin dapat dilaksanakan, karena tidak ada pedoman atau petunjuk untuk melakukan pengawasan itu. Rencana tanpa pengawasan akan cenderung memberi peluang timbulnya penyimpangan-penyimpangan, penyelewengan dan kebocoran tanpa ada alat untuk mencegah, oleh karena itu diperlukan adanya pengawasan.

Pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen yang sangat penting, sehingga berbagai ahli manajemen dalam memberikan pendapatannya tentang fungsi manajemen selalu menempatkan unsur pengawasan sebagai fungsi yang penting.

B. Balai Pemasyarakatan (BAPAS)

BAPAS merupakan Unit Pelaksana Teknis (selanjutnya disingkat UPT) di bidang Pemasyarakatan luar lembaga yang merupakan pranata atau satuan kerja dalam lingkungan Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia yang bertugas melakukan pembimbingan terhadap klien sampai seorang klien dapat memikul beban/masalah dan dapat membuat pola sendiri dalam menanggulangi beban permasalahan hidup. Pembimbingan yang dimaksud dilakukan di luar Lembaga Pemasyarakatan (sisingkat LAPAS) ataupun Rumah Tahanan Negara (selanjutnya disingkat RUTAN).

(26)

Sejarah berdirinya BAPAS, dimulai pada masa Pemerintahan Hindia Belanda yaitu dengan berdirinya Jawatan Reclassering yang didirikan pada Tahun 1927 dan berada pada kantor pusat jawatan kepenjaraan. Jawatan ini didirikan untuk mengatasi permasalahan anak-anak/ pemuda Belanda dan Indo yang memerlukan pembinaan khusus.

Kegiatan Jawatan Reclassering ini adalah memberikan bimbingan lanjutan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), pembimbingan bagi WBP anak dan dewasa yang mendapatkan pembebasan bersyarat, serta pembinaan anak yang diputus dikembalikan kepada orang tuanya dan menangani anak sipil. Petugas Reclassering disebut Ambtenaar de Reclassering. Institusi ini hanya berkiprah selama 5 tahun dan selanjutnya dibekukan karena krisis ekonomi akibat terjadinya Perang Dunia I.

Istilah reklasering dipakai oleh R. Soesilo dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pada pasal-pasal berikut15:

1. Penjelasan Pasal 14d menyebutkan atau memakai istilah

“Reclassering atau Pra Yuana”.

2. Pasal 16 ayat (2) berbunyi: “Keputusan sebelumnya dewan pusat untuk reclassering di dengar”. Penjelasan Pasal 16 : “Pelepasan bersyarat itu dengan pertimbangan Dewan Pusat Reclassering”.

Sementara Moeljatno menggunakan istilah reklasering, dalam Pasal 16 ayat (1) dan (2) KUHP: “Keputusan sebelum Dewan Reklasering Pusat di dengar”.

Menurut Sudarsono pengertian reklasering adalah: “Langkah/ tindakan

15 R. Soesilo, 2001. Pokok-Pokok Hukum Pidana; Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus. : Politea, Bogor. Hal 11

(27)

pengembalian kepada masyarakat atau kepada kehidupan yang biasa misalnya dengan mengawasi orang yang dihukum dengan syarat memberi bantuan kepada orang-orang yang baru keluar dari Lembaga Pemasyarakatan ( LP )”16.

Membicarakan sejarah pembentukan Bapas, maka tidak akan terlepas dari sejarah pemasyarakatan secara keseluruhan yang bermula dari sistem kepenjaraan.

Untuk lebih memberikan gambaran mengenai asal mula beridirinya Bapas, dalam tulisan ini penulis mencoba memaparkannya dalam tiga periode, yakni periode sebelum proklamasi kemerdekaan sebelum tahun 1945, periode kepenjaraan tahun 1945-1963 dan periode pemasyarakatan 1963 sampai dengan sekarang.

Periode pertama yakni periode sebelum proklamasi kemerdekaan, pada masa ini tugas-tugas di bidang kepenjaraan dilaksanakan oleh institusi bernama

“Gevangenis Tucht, Opvuding, Reclaseering & Armwezen” (Kepenjaraan, Reklasering, dan Urusan-Urusan Orang Miskin), dengan peraturan berupa

“Gestichten Reglement” staatsblad 1917 No. 708 (Reglemen Penjara). Urusan yang menangani tentang ke-Bapas-an saat itu dikenal dengan istilah reklasering.

Pada tanggal 5 Agustus 1927 melalui “Gouveernements Besluit”

(Keputusan Pemerintah) dibentuklah satu badan bernama “Central College voor de Reclassering” yang bertugas memberikan saran kepada Direktur Justisi tentang segala masalah prinsipil dan lain-lain yang berhubungan dengan reklasering.

Setelah itu diangkat pula “Ambtenar der Reklasering” pada tahun 1928 yang pada saat itu baru ada satu, yakni di Jawa Barat, jabatan inilah yang menjadi cikal bakal jabatan fungsional Pembimbing Kemasyarakatan (PK) yang pada saat itu

16 Sudarsono, 2003 Pengantar Tata Hukum Indonesia.PT. Rineka Cipta, Jakarta. Hal 43

(28)

memiliki tugas diantaranya untuk pelaksanaan pendidikan paksa bagi anak-anak nakal dan pengawasan bagi orang yang oleh hakim dijatuhi putusan voorwaardelijke veroordeeling (VV) atau pidana bersyarat (dalam hukum pidana Inggris-Amerika dikenal dengan istilah probation) sesuai Pasal 14a KUHP dan Voorwaardelijke Invrijheidstelling (VI) atau pelepasan bersyarat sesuai Pasal 15 KUHP (dalam hukum pidana Inggris-Amerika dikenal dengan istilah parole)17.

Setelah pendudukan Jepang (1942-1945), terjadi perpindahan kekuasaan kepada Jepang, dalam periode ini sistem kepenjaraan mengalami banyak kemunduran dan merupakan masa kegelapan sehingga urusan-urusan untuk reklasering menjadi tidak terlaksana.

Periode kedua, tahun 1945-1963 berlaku sistem kepenjaraan, fungsi kepenjaraan pada masa ini dilaksanakan oleh satu instansi bernama Jawatan Kepenjaraan, Pendidikan Paksa dan Reklassering. Sesuai dengan Surat Putusan Kepala Jawatan Kepenjaraan, Pendidikan Paksa dan Reklassering tertanggal Jakarta 14 Nopember 1950 Nomor J.H. 6/19/16. bahwa Kantor Besar Jawatan Kepenjaraan (pada waktu itu singkatannya KBDK terdiri dari bagian bagian : Penempatan Orang-Orang Terpenjara dan Statistik (bagian I), Perbendaan (bagian II), Urusan Pegawai (bagian III), Perbendaharaan (bagian IV), Pembukuan Perusahaan (bagian V), Urusan Umum, Arsip dan Expedisi (bagian VI), Pendidikan Paksa dan Reklasering (bagian VII), Pendidikan (bagian VIII).

Dengan Surat Menteri Kehakiman tanggal 11 November 1947 Nomor G.8/2066, ditandatangani oleh Kepala Penjabatan Kepenjaraan atas nama menteri, ditetapkan

17Insan Firdaus, 2019. Peranan Pembimbing Kemasyarakatan Dalam Upaya Penanganan

Overcrowded Pada Lembaga Pemasyarakatan. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum Volume 13, Nomor 3, November 2019 hal 339

(29)

pula Instruksi Pegawai Pembantu Reklasering dan Pegawai Pembantu Reklasering Pusat antara lain mengenai hak-hak dan kewajibannya.

Periode ketiga, tahun 1964 sampai dengan sekarang berlaku sistem pemasyarakatan. Dengan adanya surat Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 15 Juli 1964 Nomor J.S.4/12/21, yang merupakan penyempurnaan terhadap struktur organisasi Departemen Kehakiman yang telah ditetapkan sebelumnya dengan Surat Keputusan Menteri tanggal 12 Februari 1964 Nomor J.S.444, Kepala Direktorat Pemasyarakatan berada di tempat echelon yang kedua, sebagai pemimpin pelaksanaan kebijakan Menteri di bidang pemasyarakatan dan bertanggung jawab langsung kepada Menteri Kehakiman.

Setelah Indonesia merdeka, institusi ini dipandang perlu untuk dimunculkan kembali, kemudian dikenal dengan Dewan Pertimbangan Pemasyarakatan (DPP) yang menjadi Tim Pengamat Pemasyrakatan (TPP) yang berada dibawah naungan Menteri Kehakiman.

Setelah periode pemasyarakatan ini, berangsur-angsur dikeluarkan peraturan-pertaturan, baik berupa surat edaran maupun keputusan menteri mengenai organisasi serta tugas balai Bispa diantaranya :

1. Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Tuna Warga Nomor DDP.2.1/1/13 Tahun 1977 tentang Tugas-tugas Balai Bispa;

2. Surat Direktur Jenderal Bina Tuna Warga Nomor DDP.2.1/1/1 Tahun 1977 tentang Tugas-tugas Balai Bispa;

(30)

3. Surat Kepala Direktorat Bispa Nomor DBTU.5.22/77 tentang Penjelasan Tugas-tugas Balai Bispa mengenai Pembuatan Penelitian Kemasyarakatan Dalam Rangka Pemeriksaan pada Pengadilan Negeri;

4. Surat Kepala Direktorat Bispa Nomor DBTU/4/22/77 tentang Penjelasan Tugas-tugas Balai Bispa mengenai Prosedur Peradilan Anak Sipil;

5. Surat Kepala Direktorat Bispa Nomor DBTU/9/2/77 tentang Penjelasan Tugas-tugas Balai Bispa mengenai Prosedur Pengangkatan Anak;

6. Surat Kepala Direktorat Bispa Nomor DBTU/10/2/77 tentang Penjelasan Tugas-tugas Balai Bispa mengenai Penelitian Kemasyarakatan guna Melengkapi Data Bahan Pembinaan Tuna Warga Dalam Lembaga;

7. Surat Kepala Direktorat Bispa Nomor DBTU/14/2/77 tentang Penjelasan Tugas-tugas Balai Bispa mengenai Penelitian Kemasyarakatan Dalam Rangka Usaha Asimilasi dan Integrasi;

8. Surat Kepala Direktorat Bispa Nomor DBTU/16/9/77 tentang Penjelasan Tugas-tugas Balai Bispa mengenai Prosedur Pengasuhan Anak.

Berdasarkan keputusan Presidium Kabinet Ampera tanggal 3 Nopember 1966 Nomor : HY.75 / U / 11 / 66 tentang Struktur Organisasi dan Tugas-tugas Departemen, maka mengilhami pembentukan Direktorat Bimbingan Sosial dan Pengentasan Anak (Direktorat BISPA) di bawah Direktorat Jenderal Bina Tuna

(31)

Warga, dan semenjak itu ada dua direktorat yaitu Direktorat Pemasyarakatan dan Direktorat BISPA. BISPA dibentuk dengan surat Keputusan Menteri Kehakiman RI No.Y.S.I/VI/1970, kemudian berdasarkan surat Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga No.4.1/X/1943 tanggal 14 Mei 1974 dibuka kantor BISPA untuk masing- masing daerah yang mencapai 44 kantor BISPA.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.02-PR.07.03 tahun 1987 tanggal 2 Mei 1987 dibentuklah Organisasi dan Tata Kerja Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak atau Balai BISPA. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.01-PR.07.03 tahun 1997 tanggal 12 Pebruari 1997 tentang nomenklatur (perubahan nama) Balai BISPA berubah menjadi BAPAS (Balai Pemasyarakatan) hingga saat ini.

1. Dasar Hukum (UU No.11 Tahun 2012)

Balai Pemasyarakatan melalui Pembimbing Kemasyarakatan (PK) yang memiliki tugas untuk melakukan penelitian kemasyarakatan berkaitan dengan anak yang terlibat dalam perkara pidana sebagaimana yang pernah diatur dalam UU Pengadilan Anak. Akan tetapi setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Balai Pemasyarakatan menjadi salah satu unsur penting dalam proses penyelesaian tindak pidana yang dilakukan atau melibatkan anak.

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur mengenai tugas BAPAS yang dalam hal ini dilakukan oleh Petugas Kemasyarakatan yang merupakan bagian dari

(32)

Balai Pemasyarakatan. Di mana dalan UU Nomor 11 Tahun 2012 diatur mengenai yang termasuk Petugas Kemasyarakatan (Pasal 63), syarat untuk dapat diangkat sebagai Pembimbing Kemasyarakatan (Pasal 64), tugas Pembimbing Kemasyarakatan (Pasal 65).

Menurut Gunarto bahwa Balai Pemasyarakatan (BAPAS) dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya berdasar pada18:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

b. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

c. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak d. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak

e. PP Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan

f. Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M. 01.PK.10 Tahun 1998 Tentang Tugas, Kewajiban dan Syarat-Syarat bagi Pembimbing Masyarakat.

g. Petunjuk Teknis Menteri Kehakiman Nomor E.40.PR.05.03 Tahun 1987 Tentang Bimbingan Klien Pemasyarakatan.

h. PP Nomor 57 Tahun 1999 Tentang Kerja Sama Penyelenggaraan Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan

18 Gunarto, Peranan Bapas Dalam Perkara Anak, diunduh dari http://bangopick.wordpress.com/- 2008/02/09 /peranan-bapas-dalam-perkara-anak/tanggal 26 Oktober 2017

(33)

2. Visi dan Misi Balai Pemasyarakatan a. Visi

Menjadi Institusi yang terpercaya, bersih, dan bermartabat b. Misi

1) Memberikan pelayanan hukum, perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia;

2) Memberikan pelayanan Penelitian Kemasyarakatan.

3) Melakukan Pembinaan dan pendampingan terhadap Klien Pemasyarakatan, dan;

4) Melakukan pengawasan terhadap klien pemasyarakatan dalam rangka perlindungan Hak Asasi Manusia, penegakans hukum dan pencegahan kejahatan.

3. Tugas Pokok dan Fungsi menurut UU No.11 Tahun 2012 a. Tugas Pokok

Dalam Pasal 65 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan bahwa Pembimbing kemasyarakatan bertugas:

1) Membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan diversi,melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap anak selama proses diversi dan pelaksanaan kesepakatan, termasuk melaporkannya kepada pengadilan apabila diversi tidak dilaksanakan;

(34)

2) Membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan persidangan dalam perkara anak, baik di dalam maupun di luar sidang, termasuk di dalam LPAS dan LPKA;

3) Menentukan program perawatan anak di LPAS dan pembinaan anak di LPKA bersama dengan petugaspemasyarakatan lainnya;

4) Melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau dikenai tindakan; dan

5) Melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak yang memperoleh asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat.

Dalam Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.01-PK.04.10 Tahun 1998 tentang Tugas, Kewajiban, dan Syarat-Syarat bagi Pembimbing Kemasyarakatan dijelaskan bahwa tugas pembimbing kemasyarakatan adalah sebagai berikut:

1) Melakukan penelitian kemasyarakatan untuk: Membantu tugas penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam perkara anak nakal;

(Pasal ini sudah diamandemen menjadi, “Pembimbing kemasyarakatan bukan lagi hanya sebagai “pembantu”, tetapi statusnya samasama sebagai penegak hukum yang masing- masing mempunyai tugas khusus); menentukan program pembinaan narapidana di lapas dan anak didik pemasyarakatan

(35)

di lapas anak; menentukan program perawatan tahanan di rutan;

menentukan program bimbingan dan/atau bimbingan tambahan bagi klien pemasyarakatan.

2) Melaksanakan bimbingan kemasyarakatan dan bimbingan kerja bagi klien pemasyarakatan;

3) Memberikan pelayanan terhadap instansi lain dan masyarakat yang meminta data atau hasil penelitian kemasyarakatan klien tertentu;

4) Mengoordinasikan pembimbing kemasyarakatan dan pekerja sukarela yang melaksanakan tugas pembimbingan; dan

5) Melaksanakan pengawasan terhadap terpidana anak yang dijatuhi pidana pengawasan, anak didik pemasyarakatan yang diserahkan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh dan orang tua, wali, dan orang tua asuh yang diberi tugas pembimbingan.

b. Fungsi

Fungsi pembimbing kemasyarakatan dalam melaksanakan program bimbingan terhadap klien adalah untuk:

1) Menyadarkan klien untuk tidak melakukan kembali pelanggaran hukum/tindakpidana;

2) Menasihati klien untuk selalu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang positif/baik;

3) Menghubungi dan melakukan kerja sama dengan pihak ketiga/pihak tertentu dalam menyalurkan bakat dan minat klien

(36)

sebagai tenaga kerja, untuk kesejahteraan masa depan ari klien tersebut.

4. Peran Balai Pemasyarakatan Pada Perlindungan Anak

Sebagaimana diketahui bahwa setiap anak yang berhadapan dengan hukum berhak untuk mendapatkan perlindungan baik fisik, mental, spiritual maupun sosial sesuai dengan prinsip-prinsip Konvensi Hak-Hak Anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak yang meliputi :

a. Non Diskriminasi

b. Kepentingan yang terbaik untuk anak

c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan d. Penghargaan terhadap anak

Berdasarkan prinsip-porinsip tersebut, baik anak yang berhadapan dengan hukum, Balai Pemasyarakatan melalui Pembimbing Kemasyarakatan mempunyai kekuatan untuk menentukan keputusan yang terbaik bagi anak, melalui rekomendasi dalam Penelitian Kemasyarakatan maupun dalam pembimbingan.

Pembimbingan Kemasyarakatan (PK) merupakan jabatan tehnis yang disandang oleh petugas pemasyarakatan di BAPAS dengan tugas pokok melaksanakan bimbingan dan penelitian terhadap warga binaan pemasyarakatan (WBP) sesuai Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang RI No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.

Dengan peran BAPAS yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarkatan (PK) juga dapat ditemukan pada Undang-Undang No.3

(37)

Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Bab IV Pasal 34 ayat (1) yang menyatakan bahwa Pembimbing Kemasyarakatan bertugas:

a. Membantu memperlancar tugas penyidik, penuntut umum dan Hakim dalam perkara anak nakal, baik didalam maupun di luar sidang anak dengan membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan (LITMAS).

b. Membimbing, membantu dan mengurus anak nakal berdasarkan putusan pengadilan yang menjatuhi pidana bersyarat, pidana pengawasan, pidana denda diserahkan kepada Negara dan harus mengikuti latihan kerja atau yang memperoleh pembebasan bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan.

Pada Pasal 55, 57 dan 58 Undang-Undang No.3 Tahun 1997 terdapat rumusan tentang Pembimbing Kemasyarakatan bahkan kewajibannya untuk hadir dalam sidang anak. Pada Pasal 56 diatur kewajiban Hakim untuk memerintahkan Pembimbing Kemasyarakatan menyampaikan laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai anak yang akan disidangkan sebelum sidang dibuka.

Pada Pasal 59 ayat (2) mewajibkan kepada hakim dalam putusannya untuk mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari pembimbing kemasyarakatan sudah harus dimulai semenjak proses penyidikan. Dalam Pasal 42 ayat (2) penyidik wajib meminta pertimbangan dan saran pembimbingan kemasyarakatan.

Adapun Kewajiban Pembimbing Kemasyarakatan adalah : 1. Menyusun laporan atas hasil penelitian kemasyarakatan;

(38)

2. Mengikuti sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan;

3. Mengikuti sidang pengadilan yang memeriksa perkara anak nakal ; 4. Melaporkan setiap pelaksanaan tugas kepada Kepala Balai

Pemasyarakatan.

Sumarsono A. Karim menambahkan bahwa sikap seorang pembimbing terhadap seseorang yang sedang dibimbing memiliki ciri-ciri sebagai berikut19 :

1. Empati, yaitu pembimbing perlu berada dan bersatu dengan yang dibimbing, merasakan apa yang dirasakan si terbimbing, membiarkan diri sendiri mengalami atau menyatu dalam pengalaman si terbimbing, bersikap manusiawi dan tidak bereaksi mekanis dan merasakan apa arti hakekat manusia;

2. Tidak menggurui, yaitu mengingat si terbimbing cenderung tidak suka digurui, maka sikap pembimbing sebaiknya menunjukan perkawanan dan kebersamaan (with-ness) dalam layanan bimbingannya. Karena dengan sikap ini si terbimbing merasa dihargai dan tidak diremehkan;

3. Mendengarkan aktif, yaitu memelihara perhatian yang terpusat pada si terbimbing, mendengarkan segala sesuatu yang diutarakan dan berusaha memahami seluruh pesannya (kata-katanya, perasaan dan perilakunya);

4. Respek, yaitu sikap memandang si terbimbing secara positif, menghargai, hangat, pengertian dan sensitif terhadap hal-hal yang

19Sumarsono A. Karim, 2003. Metode dan Teknik Penelitian Kemasyarakatan. Badan Pembinaan Sumberdaya Manusia Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta. Hal 91

(39)

menyinggung perasaan si terbimbing (pikirkan, rasakan, baru ucapkan);

5. Jangan bersikap konfrontasi mendadak, sikap menyerang dengan kata- kata, perasaan dan perilaku si terbimbing yang salah akan menumbuhkan kerenggangan hubungan. Pembimbing harus hati-hati jika ingin melakukan konfrontasi, perlu diperhatikan waktu dan cara

“non-judgment” yang digunakan. Agar konfrontasi ini menimbulkan

“mis-understanding” bagi si terbimbing, maka konfrontasi harus terdiri atas pengungkapan kontradiksi atau diskripsi klien dengan perilakunya dan pemberian komentar;

6. Merepleksikan perasaan, pembimbing mencoba memahami perasaan si terbimbing dan mempercayai ekspresi oerasaan sendiri; dan

7. Bersikap wajar, pembimbing perlu bersikap jujur, apa adanya, wajar, tidak dibuat-buat, terbuka dan konsisten dalam proses bimbingan.

Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, Sumarsono juga menjelaskan bahwa seorang PK Bapas harus taat kepada kode etik PK antara lain20 :

1. Pegang teguh rahasia klien dan rahasia-rahasia lain yang berkaitan dengan klien;

2. Hormati klien karena ia punya harga diri, ia adalah pribadi berbeda dengan pribadi lainnya;

3. Terimalah / layani klien sebagaimana keberadaannya;

20Sumarsono, A Karim, Ibid hal 21

(40)

4. Ikut sertakan klien dalam memecahkan masalah;

5. Tempatkan kepentingan klien di atas kepentingan pribadi;

6. Jangan bedakan pelayanan klien atas dasar SARA dan status sosialnya;

7. PK hendaknya memperhatikan : sikap rendah hati, sederhana, sabar, tertib, percaya diri, tak mengenal putus asa, kreatif, tegas, berani karena benar;

8. PK tidak egois tapi berusaha memahami kliennya, kesulitan-kesulitan klien, kekurangan-kekurangan klien dan kelebihan kliennya;

9. Punya tanggung jawab pada Allah, masyarakat, negara dan bangsa, serta klien;

10. Rela membantu klien

5. Balai Pemasyarakatan Dalam Perspektif Peradilan Pidana Anak

Lahirnya Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) memberikan harapan yang sangat besar bagi Kementerian Hukum dan HAM (c.q. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan) untuk segera memperkuat eksistensi Balai Pemasyarakatan dalam proses peradilan. Hal ini tidak lain karena UU SPPA ini memberikan peran yang begitu besar bagi Balai Pemasyarakatan (Bapas) dalam penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.

Bapas, melalui petugas Pembimbing Kemasyarakatan (PK), tidak hanya menjadi instansi yang diberikan tugas untuk melakukan penelitian kemasyarakatan berkaitan dengan anak yang terlibat dalam perkara pidana

(41)

sebagaimana yang pernah diatur dalam UU Pengadilan Anak. Tetapi, melalui UU SPPA ini, Bapas menjadi salah satu unsur penting dalam proses penyelesaian tindak pidana yang dilakukan atau melibatkan anak.

UU SPPA ini mengatur secara jelas dan tegas peran yang harus, bahkan pada beberapa peran mempunyai gradasi "wajib”, dijalankan oleh Bapas. Peran yang dijalankan Bapas tersebut bergerak sejak tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.

Namun demikian, semangat yang terkandung dalam UU SPPA ini adalah dengan mengedepankan upaya pemulihan secara berkeadilan (Restoratif Justice) dan menghindarkan anak dari proses peradilan (diversi).

Oleh karena itu, Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di Pengadilan Negeri wajib diupayakan Diversi.

Namun perlu juga dipahami bahwa tidak semua jenis tindak pidana dapat dilakukan Diversi. Diversi ini dilaksanakan dalam hal tindak pidana dilakukan: diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Sedangkan jika perkara anak harus masuk dalam proses peradilan, maka Bapas (dalam hal ini Pembimbing Kemasyarakatan) atau pendamping lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mempunyai kewajiban untuk memberikan pendampingan terhadap anak dalam setiap tingkat pemeriksaan (Pasal 23). Secara lebih rinci, merujuk pada UU SPPA, dapat dikemukakan

(42)

peran Bapas dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, sebagai berikut :

a) Proses Diversi

Dalam proses Diversi, Bapas mempunyai peran strategis, yaitu:

1) Petugas PK Bapas harus terlibat dalam proses diversi yang dilakukan pada setiap tingkat pemeriksaan. Keterlibatan petugas PK Bapas ini adalah dengan memberikan pertimbangan kepada penyidik, penuntut umum, dan hakim selama proses diversi tersebut. Pertimbangan ini di muat dalam hasil penelititan kemasyarakatan (litmas) yang dilakukan oleh petugas PK Bapas.

(Pasal 8 dan 9 UU SPPA)

2) Memberikan rekomendasi tentang bentuk kesepakatan Diversi yang dilakukan oleh Penyidik untuk menyelesaikan tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat, harus didasarkan pada rekomendasi petugas PK Bapas. Bentuk kesepakatan Diversi dapat berupa :

a) Pengembalian kerugian dalam hal ada korban;

b) Rehabilitasi medis dan psikososial;

c) Penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;

d) Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau

(43)

pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan. (Pasal 10 UU SPPA)

3) Setelah kesepakatan Diversi di setujui dan dilaksanakan, petugas PK Bapas wajib melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan. Dalam hal kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan dalam waktu yang ditentukan, Pembimbing Kemasyarakatan segera melaporkannya kepada pejabat yang bertanggung jawab.

Pejabat yang bertanggung jawab wajib menindak lanjuti laporan dalam waktu paling lama 7 ( tujuh ) hari. (Pasal 14 UU SPPA ) 4) Petugas PK Bapas juga terlibat dalam pengambilan keputusan

dalam proses diversi dalam hal anak belum berumur 12 (dua belas) tahun. Keputusan yang diambil adalah dalam bentuk:

menyerahkannya kembali kepada orangtua/ Wali; atau mengikut sertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.

Terhadap keputusan tersebut di atas, Bapas wajib melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan kepada Anak. Dalam hal hasil evaluasi sebagaimana di maksud pada ayat (3) Anak di nilai masih memerlukan pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan lanjutan, masa pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan dapat di perpanjang paling lama 6

(44)

(enam) bulan. (Pasal 21 UU SPPA ) Itulah peran yang di emban oleh Bapas sejak awal proses Diversi hingga pelaksanaan keputusan Diversi.

b) Tahap Penyidikan

Dalam tahap penyidikan, peran petugas PK Bapas adalah memberikan pertimbangan atau saran kepada penyidik setelah tindak pidana di laporkan atau diadukan. Dalam hal ini, permintaan pertimbangan atau saran kepada petugas PK Bapas merupakan kewajiban bagi penyidik. (Pasal 27 UU SPPA). Makna yang terkandung dalam pasal ini adalah apabila penyidik tidak meminta pertimbangan atau saran kepada PK Bapas terkait penanganan anak maka dapat di katakan proses penyidikan tersebut batal demi hukum (tidak sah).

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 28 UU SPPA, Bapas mempunyai kewajiban untuk menyerahkan penelitian kemasyarakatan kepada Penyidik dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam setelah permintaan penyidik diterima.

c) Tahap Pemeriksaan Pengadilan

Pada tahap pemeriksaan pengadilan, peran strategis Bapas adalah:

1) Memberikan pendampingan terhadap anak dalam sidang pengadilan.(Pasal 55 UU SPPA)

2) Membacakan laporan hasil penelitian kemasyarakatan setelah surat dakwaan di bacakan.(Pasal 57 UU SPPA)

(45)

3) Hadir pada saat pemeriksaan Anak Korban dan / atau Anak Saksi. (Pasal 58 ayat (2) UU SPPA)

4) Dan melakukan pendampingan terhadap Ana Korban dan / atau Anak Saksi yang dilakukan pemeriksaan langsung jarak jauh dengan alat komunikasi audiovisual.(Pasal 58 ayat (3) UU SPPA)

Laporan hasil penelitian kemasyarakatan yang di sampaikan oleh PK Bapas wajib menjadi bahan pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan dalam perkara anak. Dan apabila laporan penelitian kemasyarakatan ini tidak di pertimbangkan dalam putusan Hakim, maka putusan batal demi hukum.

Pengadilan mempunyai kewajiban memberikan petikan putusan pada hari putusan di ucapkan, selain kepada Anak atau Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan Penuntut Umum, juga memberikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan. Sedangkan salinan putusan wajib diberikan paling lama 5 (lima) hari sejak putusan diucapkan kepada anak atau advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Penuntut Umum.

Mencermati peran BAPAS yang begitu besar dalam penanganan dalam perkara anak sebagaimana yang diatur dalam UU SPPA, maka memperkuat Bapas merupakan satu hal yang wajib segera dilakukan. Sudah semestinya, BAPAS dipenuhi dengan petugas PK yang mempunyai kompetensi yang memadai sehingga mampu menyajikan laporan hasil

(46)

penelitian kemasyarakatan yang layak bagi aparat hukum lain (Polisi, Jaksa, atau Hakim) dalam menentukan keputusan terhadap anak; mampu melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak selama proses Diversi dan pelaksanaan kesepakatan, termasuk melaporkannya kepada pengadilan apabila Diversi tidak dilaksanakan.

Pada tataran lebih jauh, kebutuhan tentang petugas PK yang memiliki kompetensi yang memadai ini juga mempunyai peran penting dalam ikut menentukan program perawatan Anak di Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) dan pembinaan Anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) bersama dengan petugas pemasyarakatan lainnya dan melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak yang memperoleh asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat.

C. Hak Asasi Manusia

a. Pengertian Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia (selanjutnya disingkat HAM), berasal dari bahasa Inggris, yaitu human rights, bahasa Prancis: droits de l'homme) adalah sebuah konsep hukum dan normatif yang menyatakan bahwa manusia memiliki hak yang melekat pada dirinya karena ia adalah seorang manusia. HAM berlaku kapanpun, di manapun, dan kepada siapapun, sehingga sifatnya universal. HAM pada

(47)

prinsipnya tidak dapat dicabut. HAM juga tidak dapat dibagi-bagi, saling berhubungan, dan saling bergantung21.

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak dasar yang dimiliki manusia yang dibawanya sejak lahir yang berkaitan dengan martabat dan harkatnya sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang tidak boleh dilanggar, dilenyapkan oleh siapapun juga22

HAM adalah hak-hak yang melekat pada diri manusia dan tanpa hak-hak itu, manusia tidak dapat hidup layaknya sebagai manusia. Hak tersebut diperoleh bersama dengan kelahirannya atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat.

HAM bersifat umum karena diyakini bahwa beberapa hak dimiliki tanpa perbedaan atas bangsa, ras, atau jenis kelamin. HAM juga bersifat supralegal, artinya tidak tergantung pada adanya pada suatu negara atau UUD, kekuasaan pemerintah, bahkan memiliki kewenangan lebih tinggi karena berasal dari sumber yang lebih tinggi yakni Tuhan.

Menurut Jack Donnely "Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia.Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagaimanusia23."

Selanjutnya menurut Miriam Budiardjo bahwa " bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan

21 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka, 1999), cet-1, hal 292.

22Todung Mulya Lubis, 1999. Hak Asasi Manusia, Sinar Harapan, Jakarta , hlm. 3.

23Ikhwan, 2007. Pengadilan HAM di Indonesia Dalam Prespektif Hukum Islam,. Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, Jakarta, hal , 21-22

(48)

dengan kelahirannya di dalam kehidupan masyarakat. Dianggap bahwa beberapa hak itu dimilikinya tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras,agama, kelamin dan karena itu bersifat universal. "24

HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki manusia yang dibawanya sejak lahir yang berkaitan dengan martabat dan harkatnya sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang tidak boleh dilanggar, dilenyapkan oleh siapapun juga, Sedangkan HAM menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), menyatakan bahwa HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlidnungan harkat dan martabat manusia.

HAM seperti yang dikemukakan oleh Harun Nasution adalah: tuntutan yang secara moral bisa dibenarkan, agar seluruh manusia dapat menikmati dan melaksanakan kebebasan dasar mereka, harta benda dan pelayanan-pelayanan mereka dipandang perlu untuk mencapai harkat kemanusiaan, yaitu hak asasi manusia pada dasarnya merupakan suatu hak atau kepunyaan seseorang yang sama sekali tidak dapat ditarik dari dalam diri seseorang25.

Senada dengan hal tersebut, dikemukakan oleh Masdar F. Mas‟udi:

menyatakan hak asasi manusia adalah kumpulan hak yang melekat pada manusia dan tidak ada ketentuan apapun yang bisa mengurangi dan mencabut hak tersebut.

24 Miriam Budiardjo

,

2004. Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hal 21.

25 Harun Nasution, 1999 Hak Asasi Manusia Dalam Islam. : Pustaka Firdaus Jakarta.

Hal 19

(49)

Hak asasi ini tidak menuntut positivisme, yaitu tidak menuntut keharusan untuk dimuat dalam undang-undang atau kontitusi26.

Dalam sejarah umat manusia, telah tercatat banyak kejadian ketika seseorang atau segolongan manusia mengadakan perlawanan terhadap penguasa dan golongan lain untuk memperjuangkan apa yang dianggap haknya dan dalam proses itu telah lahir beberapa hak berupaketentuan yang mendasari kehidupan manusia karena bersifat universal dan asasi.

Sejalan dengan amanat Konstitusi, Indonesia berpandangan bahwa pemajuan dan perlindungan HAM harus didasarkan pada prinsip bahwa hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial budayadan hak pembangunan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, baik dalam penerapan, pemantauan, maupun pelaksanaannya.

Perjuangan untuk memperoleh pengakuan dan jaminan terhadap hak asasi manusia, sepanjang sejarah umat manusia selalu mengalami pasang surut. Puncak perjuangan untuk memperoleh pengakuan dan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia, ditandai dengan lahirnya Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia yang dikenal dengan Universal Declaration of Human Right27.

Hakekat HAM merupakan upaya menjaga keselamatan eksis tensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Begitu juga upaya menghormati, melindungi dan

26 Masdar F. Mas‟udi, 1999. Agama dan Hak Rakyat. : Guna Aksara, Jakarta. Hal 116

27Rahmad Zainuddin, 2004. Hak-hak Asasi Manusia. Yayasan Obor, Jakarta. Hal 31

(50)

menjunjung tinggi HAM, menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antar individu, pemerintah (aparatur pemerintahan baik sipil maupun militer dan Negara).

HAM baru diakui saat lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Ingris yang mencanangkan bahwa raja yang tadinya berkekuasaan absolut menjadi terbatas, dapat dimintai pertanggungjawabannya di muka umum. Lahirnya Magna Charta kemudian diikuti oleh peraturan sejenis yang lebih dikenal dengan bil of right tahun 1969.

Dalam perkembangan berikutnya, HAM ditandai dengan The American Declaration of Independence. Dalam deklarasi ini dipertegas, manusia adalah merdeka sejak ada dalam perut ibunya, hingga tidak logis bila setelah lahir mereka dibelenggu.

Kemudian tahun 1798 lahir the French declaration, dimana HAM diperinci lagi sehingga melahirkan dasar the rule of law. Selain itu terdapat suatu tonggak sejarah yang tidak dapat dilupakan, yaitu pencanangan the four freedom, oleh presiden F.D Roosevelt, dalam pidatonya di depan kongres tanggal 6 Januari 1941.

Hak-hak asasi manusia memiliki nilai pokok yang dihormati oleh banyak negara, berusaha dengan kesungguhan untuk menjaganya dan meninggalkan dari semua bentuk usaha yang dapat mengabaikan kebebasan. Kebebasanlan yang menjadi tolak ukur kemajuan peradaban dan bernilai tinggi. Sebaliknya, penyia- nyiaan terhadap suatu apa saja yang ada kaitannya dengan hak-hak asasi manusia, suatu negara atau umat dapat terbilang mengalami keterbelakangan.

(51)

Kebebasan adalah sebuah pemikiran pokok pertama dalam advertensi ini, dimana titik fokusnya bahwa secara alami manusia dilahirkan dalam keadaan merdeka.Realitasnya, kebebasan diantara hak-hak asasi manusia adalah lambang, keinginan dan ambisi, tetapi setelah hak hidup dan berdirinya hak ini pada dasarnya penghormatan manusia, maka hak-hak asasi manusia bergantung pada diri manusia, hartanya, hak-hak material dan spiritual. Dan kesemuanya itu secara global berputar seputar kehormatan manusia yang sangat diperhatikan dalam hak persamaan dan kebebasan.

Istilah kebebasan menurut definisi agama adalah buah, terjemah sampel dan praktik bagi agama yang mendengungkan pembebasan manusia dari semua warna ikatan dan kehambaan pada selain Allah Sang Pencipta, yang mengadakan wujud manusia atas dasar kemuliaan manusia28.

Roosevelt mengemukakan ajakan untuk membangun suatu dunia baru harus didasarkan atas 4 (empat) kebebasan dasar manusia sebagai berikut29:

1. Freedom of speech (kebebasan mengutamakan pendapat);

2. Fredom of religion (kebebasan untuk beragama);

3. Freedom for fear (kebebasan dari rasa takut)dan 4. Freedom from want (kebebasan dari kekurangan)

Hak asasi manusia biasanya dialamatkan kepada negara, atau dalam kata lain, negaralah yang mengemban kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan

28Agus Nuryanto, 2003. Pembebasan Wanita Terjemahdari the quran women and modern soecity oleh Asghar Ali Engineer. LKIS, Yogyakarta. hal 207

29 Rozali Abdullah, 2002. Perkembangan HAM dan Keberadaan Peradilan HAM di Indonesia : Ghalia Indonesia, Jakarta.

(52)

memenuhi hak asasi manusia, termasuk dengan mencegah dan menindak lanjuti pelanggaran yang dilakukan oleh swasta.

Pelanggaran HAM dikategorikan dalam dua jenis, yaitu30: a. Kasus pelanggaran HAM yang bersifat berat, meliputi

1. Pembunuhan masal (genosida)

Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkanatau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, dan agama dengancara melakukan tindakan kekerasan (UUD No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM)

2. Kejahatan Kemanusiaan

Kejahatan kemanusiaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan berupa serangan yangditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil seperti pengusiran penduduk secarapaksa, pembunuhan, penyiksaan, perbudakkan dll.

b. Kasus pelanggaran HAM yang biasa, meliputi : 1. Pemukulan

2. Penganiayaan

3. Pencemaran nama baik

4. Menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya 5. Menghilangkan nyawa orang lain

30, Miriam , Budiardjo. 2016. Dasar-dasar Ilmu Politik. :PT. Gramedia Pustaka, Jakarta. Hal 29

(53)

Upaya penanganan pelanggaran HAM di Indonesia yang bersifat berat, maka penyelesaiannya dilakukan melalui pengadilan HAM, sedangkan untuk kasus pelanggaran HAM yang biasa diselesaikan melalui pengadilan umum. Beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari untuk menghargai dan menegakkan HAM antara lain dapat dilakukan melalui perilaku sebagai berikut31 :

1. Mematuhi instrumen-instrumen HAM yang telah ditetapkan.

2. Melaksanakan hak asasi yang dimiliki dengan penuh tanggung jawab.

3. Memahami bahwa selain memiliki hak asasi, setiap orang juga memiliki kewajiban asasi yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab.

4. Tidak semena-mena terhadap orang lain.

5. Menghormati hak-hak orang lain

b. Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional

Hak Asasi Manusia mempunyai arti penting bagi kehidupan manusia karena persoalannya berkaitan langsung dengan hak dasar yang dimiliki manusia yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, dalam hal hak asasi mereka berbeda- beda.Martabat manusia, sebagai substansisentral hak-hak asasi manusia didalamnya mengandung aspek bahwa manusia memiliki hubungan secara eksistensial dengan Tuhannya.

31 Binsar Gultom, .2010. Pelanggaran HAM Dalam Hukum Keadaan Darurat di Indonesia. : PT.

Gramedia Utama Pustaka, Jakarta. Hal 62

(54)

Wacana tentang Hak Asasi Manusia sesungguhnya telah menjadi perhatian dan perjuangan umat manusia bersamaan dengan perkembangan peradaban dunia demi tercapainya kemuliaan kehidupan manusia. Hal ini menunjukan munculnya kesadaran baru bagi manusia bahwa dirinya memiliki kehormatan yang harus dipelihara dan sebagai bagian penting dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Bagi Indonesia sebelum Deklarasi Universal HAM 1948 diterima oleh majelis umum PBB, masalah HAM bukan hal baru. Dasarnya bangsa Indonesia telah mengenal dan memahami HAM bahkan sebelum Indonesia merdeka. Hal tersebut dapat ditelusuri lewat sejarah perjalanan panjang perjuangan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan yang sejati. Misalnya, organisasi Boedi Oetomo yang memperjuangkan hak-hak kebebasan berserikat bdan berpendapat, perhimpunan Indonesia yang menitik-beratkan perjuangannya pada hak menetukan nasib diri sendiri (the right of self-determination), dan begitu juga organisasi-organisasi yang lainnya.

Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya termasuk di dalamnya perlindungan terhadap HAM, yang menjadi kewajiban bagi setiap penyelenggara negara untuk menegakkan keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum, Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam pembentukan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala

(55)

bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

Ketentuan ini secara rinci mengatur mengenai hak untuk hidup dan hak untuk tidak dihilangkan paksa dan atau tidak dihilangkan nyawa, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, hak anak, dan hak atas kebebasan baragama. Selain mengatur HAM diatur pula mengenai kewajiban dasar, serta tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).

1. Asas-Asas perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 ini memberi pengaturan yang lebih rinci tentang pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia.Dengan dilandasi asas-asas hak asasi manusia yang universal seperti tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, undang-undang ini memberikan jaminan perlindungan dan pelaksanaan hak asasi manusia bagi setiap warga Negara. Asas-asas tersebut diantaranya :

a. Menegaskan komitmen bangsa Indonesia untuk menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan kebebasan manusia.

Dinyatakan bahwa Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kewajiban manusia sebagai hak kodrati yang melekat dan tidak dapat dipisahkan dari manusia.

Referensi

Dokumen terkait

Penulis mencoba untuk membahas mengenai kemampuan Undang- Undang Tentang Hak Asasi Manusia dalam melindungi hak-hak dari keluarga pelaku tindak pidana terorisme

(2) Bagaimana pelaksanaan perlindungan hak asasi manusia terhadap saksi dan (3) Apa yang menjadi hambatan Polisi dalam penegakan hak asasi manusia terhadap saksi dalam

Oleh karena itu, kewajiban untuk memberikan jaminan atas perlindungan hak asasi tersangka, terdakwa dan terpidana selama menjalani proses peradilan pidana sampai menjalani

Undang Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Undang Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang Undang nomor26 tahun 2000 tentang Peradilan Hak

Lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana belum sejalan dalam penerapanya dengan prinsip perlindungan Hak Asasi Manusia,

HAK ASASI MANUSIA VERSUS HAK ASASI ALAM dan PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN SEBAGAI WUJUD.. PERLINDUNGAN HAK

Di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, ketentuan Pasal 18 ayat 1 menyatakan bahwa; “Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka

Kesimpulan Upaya perlindungan hukum dan Hak Asasi Manusia terhadap korban perdagangan anak sudah diatur dan dijamin dalam sistem perundang- undangan nasional Indonesia pada UUD 1945