PBB dan Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, sementara di tingkat regional, hak asasi manusia ditegakkan oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa, Pengadilan Hak Asasi Manusia Antar-Amerika, serta Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Hak Penduduk Afrika.
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) sendiri telah diratifikasi oleh hampir semua negara di dunia saat ini.
Dalam Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dikenal keadilan restoratif (restorative justice). Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain terkait untuk bersama-sama mencari solusi yang adil dengan menekankan pemulihan pada keadaan semula, bukan pembalasan
Keadilan restoratif merupakan suatu bentuk model pendekatan baru dalam penyelesaian perkara pidana. model pendekatan restorative justice ini sebenarnya telah digunakan di beberapa negara dengan fokus pendekatannya kepada pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian kasus hukum yang terjadi diantara mereka. Walaupun model pendekatan ini masih banyak diperdebatkan dalam tataran teori oleh para ahli, namun dalam kenyataannya tetap tumbuh dan eksis serta mempengaruhi kebijakan dan praktek hukum dibanyak negara33. Permasalahan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia merupakan suatu fenomena sosial yang senantiasa ada sejak mulainya kehidupan manusiakarena manusia merupakan makhluk sosial yang mempunyai kehendak atau kepentingan yang tidak seragam antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. semakin tingginya kompleksitas dan persaingan yang semakin keras dalam kehidupan bermasyarakat cenderung meningkatkan atau setidaknya berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan. Muncul banyaknya perkara atau sengketa dalam masyarakat bila tidak ditangani dengan baik sudah tentu akan mengganggu keseimbangan dalam masyarakat terlebih apabila masalah-masalah tersebut
33Henny Saida Flora, Keadilan Restoratif Sebagai Alternatif Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Dan Pengaruhnya Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. Jurnal UBELAJ, Volume 3 Number 2, October 2018.hal 143
berkaitan dengan suatu tindak pidana.Secara umum penyelesaian masalah atau sengketa ini dapatditempuh dengan dua jalur yaitu dengan menggunakan jalur litigasi dan jalur non litigasi.
Pada dasarnya kedua jalur ini bertujuan untuk menciptakan suatu keadilan bagi masyarakat pada umumnya, dan keadilan untuk para pihak pada khususnya.
Penggunaan salahsatu jalur penyelesaian perkara litigasi maupun non litigasi tersebut akan sangat ditentukan oleh konsep dan tujuan penyelesaian perkara yang ingin dicapai oleh para pihak serta yang tidak kalah pentingnya adalah itikad baik dari para pihak untuk menyelesaiikan perkara tersebut.Dewasa ini apabila terjadi suatu tindak pidana, masyarakat cenderung menggunakan jalur pengadilan yang secara konsep akan menciptakan keadilan namun dalam kenyataannya hal ini merupakan hal yang tidak mudah untuk dicapai. Hal ini dikarenakan hasil yang akan dicapai dari proses penyelesaian perkara dengan jalur peradilan besifat win lose solution, di mana akan terdapat pihak yang menang dan ada pihak yang kalah34. Dengan kenyataan seperti ini penyelesaian suatu perkara melalui jalur peradilan tradisional apda umumnya kerap menimbulkan satu rasa tidak enak di benak pihak yang kalah, sehingga berupaya untuk mencari keadilan ke tingkat peradialn lebih lanjut.
Bagir Manan, dalam tulisannya menguraikan tentang substansi ”restorative justice” yang berisi prinsip-prinsip, antara lain: ”Membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok masyarakatmenyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana. Menempatkan pelaku, korban,dan masyarakat sebagai
34Henny Saida Flora,bid hal 144
”stakeholders” yang bekerja bersama dan langsungberusaha menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak (win-win solutionons)”35.
Terhadap kasus tindak pidana yang di lakukan oleh anak, maka restorative justice system setidak-tidaknya bertujuan untuk memperbaiki /memulihkan (to restore) perbuatan kriminal yang dilakukan anak dengan tindakan yang bermanfaat bagi anak, korban dan lingkungannya yang melibatkan mereka secara langsung (reintegrasi dan rehabilitasi) dalam penyelesaian masalah, dan berbeda dengan cara penanganan orang dewasa ,yang kemudian akan bermuara pada tujuan dari pidana itu sendiri36. Menurut Barda Nawawi Arief tujuan pemidanaan bertitik tolak kepada “perlindungan masyarakat” dan “perlindungan/pembinaan individu pelaku tindak pidana37.
Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. Sistem Peradilan Pidana Anak meliputi38:
a. Penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini; b.persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan
b. Persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum; dan
35 Eva Achjani Zulfa, Mendefinisikan Keadilan Restoratif, Eva Achjani Zulfa, http://evacentre.blog spot.com/2009/11/definisi-keadilan-restoratif.html (diakses 29 april 2011) hal 2.
36DS. Dewi, 2012. Restorative justice, Diversionary Schemes and Special Children’s Courts in Indonesia. Artikel tidak diterbitkan, hal. 1.
37Barda Nawawi Arief, 2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Kencana Prenada Media Group Jakarta,,hal. 98..
38 Institute for Criminal Justice Reform, “Panduan Praktis untuk Anak yang Berhadapan dengan Hukum”, Institute for Criminal Justice Reform, http://icjr.or.id/panduan-praktis-untuk-anak-yang-berhadapan-dengan-hukum/ (diakses 8 juli 2013)
c. Pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.
Penerapan prinsip restorative justice dan proses diversi sebagai upaya penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak walaupun secara yuridis formil telah diatur secara jelas dan tegas di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, namun secara formil pula muncul permasalahan terkait dengan waktu berlakunya undang-undang tersebut yang pada Pasal 108 disebutkan:
“Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan” yang berarti undang-undang tersebut baru berlaku pada bulan Juli tahun 2014, hal ini tentu akan memunculkan permasalahan bagi penyelesaian tindak pidana yang melibatkan anak, di samping itu kesiapan bagi seluruh aparatur penegak hukum, pemahaman masyarakat, dan sarana serta pra-sarana menjadi faktor pendukung yang tidak dapat dikesampingkan dalam menunjang berlakunya undang-undang tersebut. Ketika faktor pendukung tersebut tidak memadai maka akan menimbulkan permasalahan kembali dan tentunya akan berimbas bagi anak baik langsung maupun tidak langsung.