HUBUNGAN ANTARPRIBADI SUTRADARA DAN AKTOR DALAM MENCIPTAKAN SENI PERAN
Handhika Perdhana Putra
Universitas Bina Sarana Informatika, Bandung [email protected]
0000-0003-4815-67562
ABSTRAK
Hubungan antarpribadi menjadi sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya itu, hubungan antarpribadi pun sangat penting dalam menciptakan sesuatu. Seperti halnya hubungan antarpribadi sutradara dan aktor dalam menciptakan seni peran yang baik. Dalam menciptakan seni peran yang baik, hubungan antarpribadi sutradara dan aktor sangat dibutuhkan. Dengan terciptanya hubungan antarpribadi yang baik maka bisa tersampaikannya imajinasi seorang sutradara terhadap aktornya. Metodologi yang diterapkan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Teknik pengumpulan data yang dilakukan yaitu observasi dan wawancara, proses teknik pengumpulan data dibantu dengan tiga informan yang merupakan sutradara, aktor senior, dan aktor junior di teater koma. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa didalam teater koma terdapat hubungan antarpribadi yang baik. Dengan didukung oleh teori CMM (Coordinated Management Of Meaning), sutradara mengutamakan kualitas komunikasi didalam hubungan antarpribadi dengan menggunakan model komunikasi yang berdasarkan atas hubungan kekeluargaan. Dimulai dari tahapan hubungan yang dibentuk oleh sutradara sampai dengan faktor yang menumbuhkan hubungan mereka.
Sutradara menggunakan komunikasi yang baik dalam meningkatkan kualitas seni peran dengan percakapan sehari-harinya.
Kata Kunci: Hubungan Antarpribadi, Seni Peran, Sutradara, Aktor
ABSTRACT
Interpersonal relationships become very important in everyday life. Not only that, interpersonal relationships are also very important in creating something. Like the interpersonal relationships between directors and actors in creating good acting. In creating good role arts, the interpersonal relationship between the director and actors is needed. With the creation of a good interpersonal relationship, the director's imagination of the actor can be conveyed. The methodology used in this study is a qualitative research method with a case study approach. Data collection techniques used were observation and interviews, the process of data collection techniques was assisted by three informants who were directors, senior actors, and junior actors in the coma theater.
The results of this study indicate that in a coma theater there is a good interpersonal relationship. Supported by CMM (Coordinated Management Of Meaning) theory, the director prioritizes the quality of communication in interpersonal relationships by using a communication model based on family relationships. Starting from the stage of the relationship formed by the director to the factors that foster their relationship. The director uses good communication in improving the quality of acting by his daily conversation.
Keywords: Interpersonal Relations, Acting, Director, Actor
PENDAHULUAN
Dalam menciptakan seni peran, selain naskah yang bagus peran sutradara pun sangat penting. Hal ini bisa ditunjukkan dari bagaimana hubungan antaarpribadi didalamnya. Perlu diketahui, suatu bukti nyata bahwa banyak kelompok masyarakat yang melihat siapa sutradara dan aktornya terlebih dahulu sebelum ia memutuskan untuk membeli tiket sebuah pementasan teater.
Dalam (Doyin 2001) hasil penelitian menunjukkan bahwa hal utama yang harus diperhatikan oleh seorang aktor adalah pelatihan dan kemauan mengikuti inovasi- inovasi dalam teater. Beberapa pustaka juga beberapa pendapat praktisi teater menunjukkan bahwa kunci keberhasilan seorang aktor selain bakat yang dimiliki adalah kesungguhan dalam berlatih. Kekuatan pelatihan tidak diukur dari sering tidaknya berlatih, namun diukur dari ketepatan cara berlatih. Selain itu, pelatihan- pelatihan dasar memang harus selalu dilakukan, baik ketika akan memainkan sebuah pementasan maupun tidak.
Dalam hasil penelitian tersebut selain sikap aktif dan bakat dari seorang aktor, disebutkan juga bahwa kekuatan pelatihan tidak diukur dari seringnya berlatih, namun diukur dari ketepatan cara berlatih. Hal ini berkaitan juga dengan pentingnya sebuah hubungan antarpribadi seorang aktor dan orang yang melatih aktor tersebut, yakni sutradara. Di dalam melatih seni peran, seorang sutradara harus mempunyai hubungan yang baik dengan aktor-aktornya. Hal ini dimaksudkan agar tercipta dan terbangunnya chemistry antara sutradara dan aktor, sehingga proses penciptaan seni peran pun dapat berjalan dengan baik.
Didalam menciptakan seni peran yang baik, frekuensi dan intensitas hubungan sutradara dan aktor juga sangat mempengaruhi. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadinya kesalahan penerimaan pesan dari sutradara terhadap aktor. Jika hubungan sutradara dan aktor tidak baik, maka bisa dipastikan kurang maksimalnya aktor dalam memainkan perannya dengan baik. Hal ini didasari atas harus sampainya seluruh imajinasi sutradara terhadap aktornya, sehingga pertunjukkan yang dilakukan akan berjalan dengan baik, walaupun pasti ada kekurangannya. Berbeda hal dengan film, didalam teater seorang aktor harus bisa tahan berperan dengan baik dalam waktu yang cukup lama, yaitu 2 sampai 4 jam, khususnya di teater koma.
Teater koma adalah salah satu dari kelompok teater yang hingga kini masih sangat eksis di bidangnya. sampai saat ini, kurang lebih teater koma sudah mementaskan 158 pertenjukkan teater, baik itu pertunjukkan di gedung yang dilakukan secara langsung, maupun pertunjukkan di tv yang dilakukan secara off air.
Teater koma berdiri pada tahun 1977 yang dibentuk oleh 13 seniman teater dijakarta.
Dari awal terbentuknya teater koma hingga saat ini, yang bertahan menjadi penulis naskah dan sutradara tunggalnya adalah Nano Riantiarno yang juga didampingi oleh istrinya sebagai salah satu anggota teater koma yakni Ratna Riantiarno. Dari dulu hingga sampai saat ini, teater koma juga salah satu dari kelompok teater di Indonesia yang bisa mendapatkan penonton hingga puluhan ribu tiap tahunnya. Hal ini disebabkan karena teater koma konsisten untuk membuat pertunjukkan setiap tahunnya, minimal dua kali dalam setahun.
Tidak hanya dari segi konsisten, penerapan manajamen juga sangat penting didalam suatu kelompok teater. Di teater koma, manajemen langung dipegang oleh istri dari Nano Riantiarno yaitu Ratna Riantiarno. Teater koma merupakan salah satu kelompok seni teater di Indonesia yang kreatif dan produktif. Bukan hanya itu saja, pencarian bentuk-bentuk inovatif yang selalu dilakukan dan kerja keras dari seluruh
anggotanya pun sangat baik. Kreativitas sangat mewarnai pada setiap hasil karya dan mencirikan dengan gaya bahasa, gerak, musik, penjiwaan pada setiap karakter dan tema yang diangkat berorientasi pada kehidupan budaya keseharian, hal ini tidak lepas dari peran seorang pemimpin sekaligus sutradara dalam teater koma.
Dalam bukunya teater koma yang berjudul ―membaca teater koma 1977-2017‖
terdapat penjelasan bagaimana budaya kerja teater koma. Di Indonesia jika orang membahas manajemen teater, mau tidak mau juga akan membicarakan manajemen teater koma. Harus diakui dan begitulah kenyataannya. Dari sisi pemanfaatan manajemen seni pertunjukkan, teater koma dianggap berada dibarisan paling depan.
Memang, teater koma bukan kelompok teater pertama dan bukan satu-satunya di Indonesia yang menggunakan manajemen terap guna dalam pengelolaan organisasi produksinya, tapi masyarakat terlanjur menganggap bahwa apa yang telah dilakukan kelompok teater berusia lebih dari 30 tahun itu sebagai sebuah lompatan keberhasilan. (Riantiarno 2017:41)
Teater koma adalah kelompok teater modern yang mempunyai anggota yang terbilang sangat banyak. Kurang lebih sekitar 500 seniman pernah terlibat dalam produksinya terhitung sejak tahun 1977. Sekitar 35 seniman, siap terlibat pagelaran.
Dan lebih dari 10 seniman berikrar hanya bekerja untuk teater, Slamet Rahardjo adalah salah satunya. Beliau adalah aktor teater terkenal dari dulu hingga saat ini.
Hubungan baik yang dibangun sejak dulu oleh Nano Riantiarno dengan Slamet Raharjolahlah yang membuat kuatnya seni peran yang ditularkan olehnya kepada aktor-aktor muda pada saat itu.
Sudah bukan rahasia umum, apalagi dikalangan kelompok pecinta seni teater.
Pada setiap pertunjukan teater koma, penonton selalu membludak dan rela membayar tiket yang relatif tidak murah. Bahkan apabila karcis habis, penonton tidak segan-segan membeli dari calo dengan harga berkali-kali lipat, dan itulah yang selalu terjadi setiap digelarnya pementasan teater koma.
Pada awalnya memang harus di akui bahwa Nano Riantiarno dan Ratna Riantiarno lah yang sangat capek dalam mendirikan teater koma ini. Berteater dan mendirikan sebuah kelompok kesenian bukan hanya bergelut dengan masalah- masalah dalam bidang artistiknya saja, akan tetapi perkara non-artistik lebih sering terjadi dan lebih menyita energi. Sebagai pemimpin juga sutradara dari teater koma, Nano riantiarno pun terkadang ikut bermain didalam sebuah pertunjukkan teater. Ia memberikan panduan bagaimana cara bekerja yang baik, efisien dan efektif. Bahkan sekaligus berupaya mencarikan dana untuk mendukung kegiatan. Pada masa-masa awal berdirinya teater koma, jika ingin membuat sebuah pertunjukkan, Nano Riantiarno harus menulis dua skenario film, dan honorya dipergunakan untuk pembiayaan produksi teaternya. Mungkin dedikasi dari awal hingga sampai saat ini lah bagian dari kekuatan Nano Riantiarno dan sangat melekat dengan teater koma.
Namun kembali lagi kepada permasalah utamanya yaitu bagaimana seorang sutradara menciptakan seni peran yang baik didalam sebuah pertunjukkan. Dalam hal ini dengan berpatokan kepada salah satu afiliasi teater besar di Indonesia yaitu teater koma. Penjelasan diatas adalah salah satu alasan mengapa peneliti memilih objek teater koma sebagai bahan dasar dari penelitian ini. Fenomena ini menjadi semakin sangat menarik untuk di teliti, mengingat bahwa walaupun setiap sutradara dan aktor yang memang seharusnya baik dalam hubungan antarpribadi, akan tetapi kita belum tahu komunikasi antarpribadi apa yang dibangun didalamnya.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka timbul rasa ketertarikan peneliti ingin meneliti bagaimana model hubungan yang di terapkan oleh sutradara teater
koma terhadap para aktor-aktornya dalam menciptakan seni peran yang baik.
Dengan mengangkat permasalahan tersebut, peneliti kemudian mengambil fokus dalam penelitian ini dengan judul ―Hubungan Antarpribadi Sutradara dan Aktor Dalam Menciptakan Seni Peran‖.
KAJIAN LITERATUR Komunikasi Interpersonal
Pada awalnya komunikasi antarpersonal dimaksudkan sebagai komunikasi lisan yang terjadi antara dua atau lebih idividu pada tingkat pribadi, face-to-face.
Komunikasi antarpersonal meliputi segala bentuk komunikasi yang pesan-pesannya dikirim dan dipertukarkan secara lisan, tertulis, dan non verbal. Komunikasi
antarpersonal dapat beroperasi dalam beberapa level komunikasi lainnya, seperti komunikasi kelompok, organisasi, publik, dan komunikasi massa. (Liliweri 2015:3) (Devito 1989) dalam bukunya Interpersonal Communication; komunikasi antarpersonal adalah;
a. Proses pengitiman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau diantara sekelompok kecil orang-orang, dengan efek dan beberapa umpan balik seketika b. Komunikasi yang menghubungkan (connected) antara para mitra yang romantik, pada pelaku bisnis, dokter dan pasien, dan lain-lain, yang meliputi seluruh kehidupan manusia sehingga komunikasi antarpribadi terjadi karena interaksi antarpribadi yang memengaruhi individu lain dalam berbagai cara tertentu.
c. Interaksi verbal dan nonverbal antara dua atau lebih orang yang saling bergantung satu sama lain, interdependent people, dimana yang dimaksudkan dengan itu adalah komunikasi antarpersonal yang terjadi antara orang-orang yang saling terkait dimana diantara mereka saling memengaruhi satu sama lain.
‖interdependent people” seperti hubungan antara seorang bapak dengan anak, dua orang yang sedang bercinta, dua orang teman karib, dan terkadang juga komunikasi di antara beberapa orang dalam kelompok kecil yang karib seperti keluarga.
1. Fungsi Komunikasi Interpersonal
Fungsi komunikasi interpersonal adalah berusaha meningkatkan hubungan insani, menghindari dan mengatasi konflik-konflik pribadi, mengurangi ketidak pastian sesuatu, serta berbagai pengetahuan dan pengalaman dengan orang lain.(Cangara 2004:33). Komunikasi interpersonal dapat meningkatkan hubungan kemnusiaan diantara pihak-pihak yang berkomunikasi. Dalam hidup bermasyarakat seseorang bisa memperoleh kemudahan dalam hidupnya karena memiliki pasangan hidup.
Melalui komunikasi interpersonal juga dapat berusaha membina hubungan baik, sehingga menghindari dan mengatasi terjadinya konflik-konflik yang terjadi (Cangara 2004:56). Adapun fungsi lainn dari komunikasi interpersonal adalah:
a. Mengenali diri sendiri dan orang lain
b. Komunikasi interpersonal memungkinkan kita untuk mengethaui lingkungan kita secara baik
c. Menciptakan dan memelihara hubungan baik antar personal d. Mengubah sikap dan perilaku
e. Bermain dan mencari hiburan dengan berbagai kesenangan pribadi f. Membantu orang lain dalam menyelesaikan masalah.
Fungsi umum dari pada komunikasi interpersonal adalah menyampaikan pesan yang umpan baliknya diperoleh saar proses komunikasi tersebut berlangsung.
1. Aspek-Aspek Komunikasi Interpersonal
(Devito 2011) menyatakan bahwa komunikasi interpersonal mempunyai aspek-aspek sebagai berikut:
a. Keterbukaan
Kualitas keterbukaan mengacu pada sedikitnya tiga aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikator dalam hubungan interpersonal yang efektif harus bisa terbuka pada orang atau komunikan yang diajaknya ber-interaksi. Kedua, mengacu pada kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Ketiga, menyangkut ―kepemilikan‖ perasaan dan pikiran.
b. Empati
Henry Bachrach dalam (Devito 2011) mendefinisikan empati sebagai ―kemampuan seseorang untuk mengetahui apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu, melalu kacamata orang lain itu‖. Orang yang empatik mampu memahami motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan sikap mereka, serta harapan dan keinginan mereka untuk masa mendatang.
c. Sikap Mendukung
Hubungna interpersonal yang efektif adalah hubungan dimana terdapat sikap mendukung. Maksudnya adalah satu sama lain saling memberikan dukungan terhadap pesan yang disampaikan.
d. Sikap Positif
Seseorang mengkomunikasikan sikap positif dalam komunikasi interpersonal dengan sedikitnya dua cara; pertama, menyatakan sikap positif. Kedua, secara positif mendorong orang yang menjadi teman berinteraksi.
e. Kesetaraan
Komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila suasananya setara, artinya harus ada pengakuan secara diam-diam bahwa ledua pihak sama-sama bernilai dan berharga, dan bahwa masing-masing pihak mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan.
2. Komunikasi Interpersonal Efektif
menurut Hardjana dalam (Suranto 2011) komunikasi interpersonal dikatakan efektif apabila pesan yang diterima dan dimengerti sebagaimana dimaksud oleh pengirim pesan. Setelah pesan yang diterima dapat dimengerti oleh penerima pesan, maka ditindak lanjuti dengan sebuah perbuatan secara sukarela oleh penerima pesan yang meningkatkan kualitas hubungan pribadi.
Faktor-Faktor Yang Menumbuhkan Hubungan Interpersonal
Banyak komunikasi interpersonal terjadi, akan tetapi pola komunikasi interpersonal mempunyai efek yang berlainan pada hubungan interpersonal. Tidak benar anggapan bahwa makin sering orang melakukan komunikasi dengan orang lain, makin baik hubungan mereka. Masalahnya adalah bukan seberapa sering orang melakukan komunikasi interpersonal, akan tetapi bagaimanakah komunikasi itu dilakukan. Tiga fakto yang menumbuhkan hubungan interpersonal menurut (Rakhmat 2018:160-171)
a. Percaya
Diantara berbagai faktor yang mempengaruhi hubungan komunikasi interpersonal, faktor percaya adalah salah satu yang paling penting. Sejak tahap pertama dalam hubungan interpersonal (tahap perkenalan), sampai pada tahap kedua (tahap peneguhan), percaya menentukan efektivitas komunikasi. Secara ilmiah,
percaya didefinisikan sebagai ―mengandalkan perilaku orang untuk mencapai tujuan yang dikehendakim yang pencapaiannya tidak pasti dan dalam situasi yang penuh resiko. (Griffin 1967:224-234)
Definisi ini menyebutkan tiga unsur percaya: pertama, ada situasi yang menimbulkan resiko. Bila orang menaruh kepercayaan kepada seseorang, ia akan menghadapi resiko. Resiko itu dapat berupa kerugian. Bila tidak ada resiko, percaya tidak diperlukan. Kedua, orang yang menaruh kepercayaannya kepada orang lain berarti menyadari bahwa akibat-akibatnya bergantung pada perilaku orang lain.
Ketiga, orang yang yakin bahwa perilaku orang lain akan berakibat baginya.
b. Sikap Suportif
Sikap suportif adalah sikap yang mengurangi sikap defensif dalam komunikasi.
Orang bersikap defensif bila ia tidak menerima, jujur, dan tidak empatis. Sudah jelas, melalui sikap defensif komunikasi interpersonal akan gagal, hal ini dikarenakan orang yang mempunyai sikap defensif akan lebih banyak melindungi diri dari ancaman ketika ia menanggapi persoalan dalam berkomunikasi dari pada memahami pesan orang lain.
Komunikasi defensif bisa saja terjadi karena faktor-faktor personal diantanya yaitu; ketakutan, kecemasan, harga diri yang rendah, dan sebagainya, atau bisa juga karena faktor-faktor situasional (perilaku komunikasi orang lain)
Tahap-Tahap Hubungan Interpersonal
Hubungan interpersonal berlangsung melewati tiga tahap; pembentukan hubungan, peneguhan hubungan dan pemutusan hubungan
1. Pembentukan Hubungan Interpersonal
Tahap ini sering disebut sebagai tahap peneguhan (acquaintance process);
diuraikan secara terperinci oleh Theodore Newcomb dalam The Acquaiantance Process (1961), Donny Byrne dalam The Attraction Paradigm (1971), dan Dalmas A. Taylor dalam Social Penetratoin:The Development Of Interpersonal Relationship (1973); Di sini kita tidak akan menguraikan proses ini secara terperinci. Fokus kita ialah pada proses penyampaian dan penerimaan informasi dalam pembentukan hubungan.
Jika perkenalan adalah proses penyampaian informasi, beberapa orang peneliti, seperti Newcomb (1961), Berger (1973), Zunin (1972), dan Duck (1976), menemukan hal-hal menarik dari proses perkenalan. Fase pertama, ―fase kontak yang permulaan‖ (initial contact phase), ditandai oleh usaha kedua belah pihak untuk ―menangkap‖ informasi dari reaksi kawannya. Masing-masing pihak berusaha
―menggali‖ secepatnya identitas, sikap, dan nilai pihak lain. Bila mereka merasa ada kesamaan, mulailah dilakukan proses pengungkapan diri. Bila mereka merasa berbeda, mereka akan berusaha menyembunyikan dirinya. Hubungan interpersonal mungkin diakhiri. Proses saling memiliki ini disebut Newcomb sebagai reciprocal scanning (saling menyelidiki). Pada tahap ini, informasi yang dicari dan disampaikan umumnya berkisar mengenai data demografis; usia, pekerjaan, tempat tinggal, keadaan keluarga, dan sebagainya.
Dengan pengetahuan mengenai demografis, seseorang berusaha membentuk sebuah kesan tentang orang lain. Orang akan melahirkan banyak informasi dengan memasukkan pengalaman pada kategori yang ada. Data demografis mamudahkan kategorisasi ini. Menurut Charles R. Berger (1972) dalam (Rakhmat 2018:155) informasi pada tahap kenalan dapat dikelompokkkan pada tujuh kategori:
(1) Informasi demografis
(2) Sikap dan pendapat: tentang orang atau objek (3) Rencana yang akan datang
(4) Kepribadian
(5) Perilaku pada masa lalu (6) Orang lain
(7) Hobi dan minat
Tidak selalu informasi itu kita peroleh melalui komunikasi verbal. Kita juga membentuk kesan dari petunjuk proksemik, kinesik, paralinguistik, dan artifaktual.
Cara orang mempertahankan jarak, gerak tangan, lirikan mata, intonasi suara, serta pakaian yang dikenakannya akan membentuk kesan pertama. Kesan pertama ini bisa sangat menentukan apakah hubungan harus diakhiri atau dikuatkan.
Menurut William Brooks dan Philip Emmert dalam (Rakhmat, 2018:156) kesan pertama sangat menentukan; karena itu hal-hal yang pertama terlihat-hal yang menentukan kesan pertama menjadi sangat penting. Para psikolog sosial menemukan bahwa penampilan fisik, apa yang diucapkan pertama, apa yang dilakukan pertama menjadi penentu yang penting terhadap pembentukan citra pertama tentang orang itu. (Brooks dan Emmert, 1976:24).
2. Peneguhan Hubungan Interpersonal
Hubungan interpersonal tidak bersifat statis, tetapi selalu berubah. Untuk memelihara dan memperteguh interpersonal, perubahan memerlukan tindakan- tindakan tertentu untuk mengembalikan keseimbangan (equilibrium). Ada empat faktor yang amat pentong dalam memelihara keseimbangan: keakraban, kontrol, respons yang tepat, dan nada emosional yang tepat.
Keakraban merupakan pemenuhan kebutuhan akan kasih sayang. Hubungan interpersonal akan terjaga apabila kedua belah pihak sepakat tentang bagaimana tingkat keakraban yang dibutuhkan. Menurut Argyle dalam (Rakhmat, 2018:156) jika dua orang melakukan tingkat keakraban yang berbeda akan terjadi ketidakserasian dan kejanggalan. Jika A menggunakan teknik sosial seperti beridiri lebih dekat, melihat lebih sering, dan tersenyum lebih banyak daripada B, maka B akan merasa A bersifat agresif dan terlalu akrab, sedangkan A akan merasa B bersikap acuh tak acuh dan sombong.
Faktor yang kedua adalah kesepakatan tentang siapa yang akan mengontrol siapa dan bilamana. Jika dua orang mempunyai pendapat berbeda sebelum mengambil kesimpulan, siapakah yang harus berbicara lebih banyak, siapakah yang menentukkan, siapakah yang dominan. Pada umumnya konflik terjadi apabila masing-masing pihak ingin berkuasa atau tidak ada yang mau mengalah.
Faktor yang ketiga adalah ketepatan respons, respons A harus diikuti oleh respons B yang sesuai. Dalam percakapan, misalnya pertanyaan harus disambut dengan jawaban, lelucon dengan tertawa, permintaan keterangan dengan penjelasan.
Respons ini bukan saja berkenaan dengan pesan-pesan verbal, tetapi juga pesan- pesan nonverbal. Hubungan interpersonal akan mengalami keretakan apabila respons dalam suatu percakapan tidak ditanggapi dengan tepat.
Faktor yang keempat yang memlihara hubungan interpersonal adalah keserasian suasan emosional ketika berlangsungnya komunikasi. Walaupun mungkin saja terjadi dua orang berinteraksi dengan suasana emosional yang berbeda, tetapi interaksi itu tidak akan stabil. Besar kemungkinan salah satu pihak mengakhiri interaksi atau mengubah suasana emosi. Bila A turut sedih ketika B mengungkapkan penderitaannya, A menyamakan suasan emosionalnya dengan suasana emosional B.
B akan menganggap A ―dingin‖, bila A menanggapi penderitaan B dengan perasaan yang netral.
Model Analisis Transaksional
Model ini berasala dari psikiater Eric Berne (1964, 1972) yang menceritakannya dalam buku Games People Play. Analisisnya kemudian dikenal sebagai analisis transaksional. Dalam model ini, orang-orang berhubungan dalam bermacam-macam permainan. Mendasari permainan ini adalah tiga kepribadian manusia-orang tua, orang dewasa, dan anak (Parent, adult, child). Orang tua adalah kepribadian yang merupakan asumsi dan perilaku yang kita terima dari orang tua kita atau orang yang kita anggap orang tua kita. Orang dewasa adalah bagian kepribadian yang mengolah informasi secara rasional, sesuai dengan situasi dan biasanya berkenaan dengan masalah-masalah penting yang memerlukan pengambilan keputusan secara sadar.
Anak adalah unsur kepribadian yang diambil dari perasaan dan pengalaman kanak- kanak dan mengandung potensi intuisi, spontanitas, kreativitas dan kesenangan.
Dalam hubungan interpersonal, kita menampilkan salah satu aspe kepribadian kita (orang tua, orang dewasa, anak) dan orang lain membalasnya dengan salah satu aspek tersebut juga. Misalkan, suatu hari seorang suami sakit; demam dan ingin meminta perhatian istri pada penderitaannya (ini kepribadian anak). Seorang istri menyadari rasa sakit suaminya dan ia mau merawa suaminya seperti seorang ibu (ini kepribadian orang tua). Hubungan interpersonal mereka akan berlangsung baik.
Transaksi yang terjadi bersifat komplementer. Bila seorang istri tidak begitu menghiraukan penyakit suaminya dan memberi saran ―pergilah ke dokter, saya sudah bilang, bapak kecapaian‖, yang terjadi adalah transaksi silang (anak dibalas dengan orang dewasa). Berne menyebutkan berbagai permainan yang diakukan orang dalam transaksi interpersonalnya. Tidak mungkin kita menyebutkan semuanya disini.
KAJIAN TEORITIS
Teori Coordinated Management Of Meaning (CMM)
Teori Coordinated Management Of Meaning (CMM) bila diartikan dalam bahasa indonesia adalah teori manajemen makna terkoordinasi yang ditemukan oleh W.
Barnett dan Vernon Cronen pada tahun 1980. Dasar pemikiran teori ini yaitu percaya bahwa kualitas kehidupan personal kita dan kualitas dunia sosial kita terhubung secara langsung dengan kualitas komunikasi dimana kita terlibat.
Pada umumnya, teori CMM digunakan dalam konteks keluarga, budaya, dan sebagainya. Dengan mampu berkonversasi dengan baik, orang biasa memperbaiki kualitas hidup personal dan kualitas dunia sosialnya (Griffin 2003). Teori ini berhubungan dengan komunikasi antara sutradar dan aktor dalam menciptakan seni peran. Melalui teori ini diharapkan dapat memberi gambaran apakah dengan berkomunikasi yang efektif dapat menciptakan seni peran yang baik.
Asumsi teori ini dikembangkan berdasarkan pandangan mereka yang menganggap bahwa percakapan adalah basic material yang membentuk dunia sosial.
Pearce dan Cronen menghadirkan CMM sebagai sebuah teori praktis yang ditujukan untuk membuat kehidupan menjadi lebih baik. Tidak seperti ahli teori objektivis lainnya, mereka tidak mengklaim teori ini sebagai hukum besi komunikasi yang
menjadi penguasa kebenaran bagi setiap orang dalam setiap situasi. Bagi Pearce dan Cronen, mereka memandang teori CMM sebagai teori yang berguna untuk mensimulasi cara berkomunikasi yang dapat meningkatkan kualitas hidup setiap orang dalam percakapan sehari-hari (Mubarok and Adnjani 2014:92)
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif, karena dengan demikian peneliti dapat mengkaji permasalahan yang lebih mendalam yang sedang diteliti. Permasalahan yang dikaji oleh peneliti merupakan permasalahan interpersonal yakni hubungan antarpribadi sutradara dan aktor dalam menciptakan seni peran. Hal ini didasari oleh karena penelitian kualitatif merupakan penelitian yang biasanya diterapkan terhadap tingkah laku dan juga hubungan keakrabatan.
Dengan metode ini juga peneliti bisa mendapatkan data deskriptif berupa ucapan, tulisan, dan perilaku dari orang-orang yang diamati. Hal ini sangat sejalan dengan permasalahan yang sedang diteliti oleh peneliti.
Dalam (Creswell 2010:5) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif menerapkan cara pandang yang bergaya induktif, berfokus pada makna individua, dan menerjemahkan kompleksitas suatu persoalan. Berdasarkan hasil penjelesan tersebut maka peneliti yakin bahwa metode penelitian kualitatif sangat sesuai dengan permasalahan yang sedang diteliti. Hal ini berdasarkan pada fokus permaslahan peneliti yakin dengan permasalahan individual antara beberapa orang dalam suatu kelompok. Proses penelitian kualitatif ini juga melibatkan upaya-upaya penting yang mendalam seperti mengajukan pertanyaan, mengumpulkan data yang spesifik dari para informan dan juga data-data tertulis yang ada.
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, hal itu dikarenakan tujuan utama dari penelitian ini adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar yang telah ditetapkan. Secara umum terdapat tiga macam teknik pengumpulan data yakni observasi, wawancara, dan dokumentasi. (1) Observasi, Dalam melakukan penelitian kualitatif maka terlebih dahulu seorang peneliti melakukan observasi, hal ini berguna untuk memperoleh dan menelaah terlebih dahulu apa saja fakta penelitian dilapangan yang menarik untuk dijadikan sebuah penelitian dan juga untuk membuka wawasan mengenai masalah yang akan diteliti. Nasution (1988) dalam (Sugiyono 2014:64) menyatakan bahwa observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para ilmuan hanya dapat bekerja berdasarkan data, yaitu dakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi. Data itu dikumpulkan dan sering dengan bantuan berbagai alat yang sangat canggih, sehingga benda-benda yang sangat kecil maupun yang sangat jauh dapat di observasi dengan jelas. Dalam penelitian ini, peneliti mengobservasi kelompok kesenian teater koma di Jakarta. Peneliti ikut menyaksikan proses latihan yang dijalankan oleh teater koma dalam sebuah rencana pertunjukkan teater. Dalam hal ini peneliti mendapatkan temuan-temuan penting yang diperlukan dalam permasalah penelitian yang diteliti. (2) Wawancara, Wawancara adalah suatu proses komunikasi diadik, relasional dengan tujuan yang serius dan ditetapkan terlebih dahulu dan dirancang untuk mempertukarkan perilaku dan melibatkan tanya jawab.
(L Tubbs and Moss 2005:40). Wawancara dilakukan secara bebas tetapi tetap menggunakan pedoman wawancara agar pertanyaan terarah. Sasaran wawancara adalah sutradara dan aktor-aktor teater koma.Dalam wawancara ini peneliti
menanyakan berbagai macam pertanyaan dengan tujuan menggali informasi lebih mendalam. Pertanyaan wawancara digunakan peneliti untuk menggabungkan hasil observasi agar hasil penelitian bisa lebih akurat. (3) Dokumentasi, Peneliti juga menggunakan dokumentasi sebagai bagian dasar dari teknik pengumpulan data.
Dokumentasi ini bertujuan untuk pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen, literatur maupun kajian kepustakaan terkait masalah yang akan diangkat dan bisa didapatkan dari buku-buku-, artikel, berita, foto, dan lain-lain..
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan, cerita, biografi, peraturan, dokumen, kebijakan. Dokumen yang berbentuk gambar misalnya foto, gambar hidup, sketsa dan lain-lain. (Sugiyono, 2009:240)
Teknik Analisis Data
Pada penelitian ini peneliti menggunakan beberapa tehnik analisis data
yang menurut Miles dan Huberman (Dalam Soeprapto, 2011 : 73-72) terdiri dari tiga komponen yaitu : (1) Reduksi data, Reduksi berasal dari kata reduce yang berarti mengurangi, atau berasal dari kata reduction yang berarti pengurangan. Dalam artian bahwa tahap ini dimaksudkan sebagai tahap pengurangan atau tahap seleksi terhadap data yang telah diperoleh peneliti. Data yang direduksi tersebut sudah barang tentu data yang tidak berguna, tidak relevan, atau data yang tidak secara langsung memberikan jawaban terhadap permasalahan yang dirumuskan oleh para peneliti.
Hal ini dirasa perlu dilakukan oleh peneliti karena dalam penelitian kualitatif sering kali terjadi informan atau responden yang tidak selamanya dapat memberikan jawaban yang sesuai dengan kebutuhan peneliti. (2) Penyajian Data, Penyajian data merupakan tahap yang dilakukan setelah proses pengumpulan data dinyatakan selesai atau setidak-tidaknya mendekati selesai. Penyajian data ini merupakan proses pengumpulan informasi yang disusun berdasar kategori atau pengelompokan- pengelompokan yang diperlukan oleh peneliti. (3) Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi, Penarikan kesimpulan merupakan langkah dari peneliti untuk menangkap makna dari serangkaian sajian data yang dituangkan dalam bentuk kalimat yang ringkas, singkat dan padat, sehingga para pembaca menjadi mudah untuk menangkap benang merah dari uraian panjang sebuah laporan penelitian. Pada penelitian ini selain menarik kesimpulan dari data yang tersaji, peneliti juga akan melakukan verifikasi data untuk melakukan peninjauan mengenai kebenaran dari penyimpulan, khususnya dengan melihat keterkaitannya dengan relevansi dan konsistensinya terhadap judul, tujuan, dan perumusan masalah yang ada.
Uji Keabsahan Data
Demi menghasilkan data yang akurat, peneliti dalam hal ini melakukan uji keabsahan data. Data yang sah akan menghasilkan kesimpulan yang benar, sementara data yang salah akan menarik kesimpulan yang salah. Setelahnya akan dilakukan proses. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan suatu data dengan cara memanfaatkan teknik/sesuatu yang lainnya di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya. Denzim (1978) membedakan empat macam triangulasi sebagai tekniik pemeriksaan yang
memanfaatkan penggunaan Sumber, metode, penyidik, dan teori.
Trianguasi data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan sumber data, artinya peneliti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan informasi yang memperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif.
Triangulasi sumber data dipilih oleh peneliti untuk menguji keabsahan data pada penelitian ini, karena pada metode ini memberikan peneliti kesempatan untuk mengoreksi kekeliruan oleh sumber data. Selain itu pada metode triangulasi sumber data ini peneliti bisa menguji data yang diperoleh dari satu sumber dengan sumber lain. Adanya metode keabsahan data dengan triangulasi sumber data juga mampu memberikan peneliti gambaran yang lebih memadai atau beragam perspektif dalam mengungkap gejala yang diteliti.
Paradigma Konstrukivisme
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivis, hal ini di sebabkan karena peneliti akan mengkonstruksikan segala fenomena dilapangan dengan mengamati yang sedang terjadi guna untuk dianalisis lebih mendalam. Paradigma konstruktivis ini memandang komunikasi sebagai suatu proses produksi dan pertukaran makna (Eriyanto 2005:42)
Melalui paradigma ini peneliti akan mengkonstruksikan bagaimana hubungan antarpribadi sutradara dan aktor dalam menciptakan seni peran dengan analisis yang mendalam. Menurut Liser dalam (Basrowi and Suwandi 2009:50), pemahaman yang bersifat relatif dan dinamis terhadap suatu realitas itu diproduksi berdasarkan dunia pengalaman sebagai out of worlds. Realitas sebagai objek pemahaman disikapi sebagai lebenswelt; realitas yang makna atau esensinya mengatasi kenyataan konkretnya. Esensi atau makna realitas tersebut dipahami berdasarkan penandam reduksi, dan penentuan relasi indikatif sebagaimana terbentuk dalam dunia pengalaman peneliti. Oleh karena itu, pemahaman terhadap suatu realitas sebagao pure description tidak dapat diujikan pada kenyataan konkretnya melainkan pada
‖experience unity” of sign and thing signified.
Paradigma konstruktivis bermula dari yang umum menuju yang spesifik, paradigma konstruktivis menjelaskan bahwa realitas tertampilkan dalam simbol- simbol melalui bentuk-bentuk deskriptif serta pengetahuan diperoleh tidak melalui indra semata karena pemahaman mengenai makna adalah jauh lebih penting.
(Poerwandari 2007:23). Paradigma ini lebih menekankan pada pemahaman makna pada suatu realita dari yang paling umum hingga yang paling khusus.
Studi Kasus
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan studi kasus dimana kasus yang akan diangkat adalah tentang bagaimana hubungan antarpribadi sutradara dan aktor dalam menciptakan seni peran. Studi kasus ialah suatu rangkaian kegiatan ilmiah yang dilakukan secara intensif, terinci dan mendalam tentang suatu program, peristiwa, dan aktivitas, baik pada tingkat perorangan, sekelompok orang, lembaga, atau organisasi untuk memperoleh pengetahuan mendalam tentang peristiwa tersebut. (Rahardjo 2017:3)
Dari sisi cakupan wilayah kajiannya, studi kasus terbatas pada wilayah yang sempit (mikro), karena mengkaji perilaku pada tingkat individu, kelompok, lembaga dan organisasi. Walau cakupan atau wilayah kajiannya sempit, secara substantif
penelitian studi kasus sangat mendalam, dan diharapkan dari pemahaman mendalam itu dapat diperoleh sebuah komsep atau teori tertentu untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
Seperti jenis penelitian kualitatif yang lainnya, yaitu fenomenologi, etnografi, etnometodologi, dan lainnya, penelitian studi kasus pun dilakukan dengan latar alamiah, holistik dan mendalam. Alamiah artinya kegiatan pemerolehan data dilakukan dalam konteks kehidupan nyata (real-life events). Tidak perlu ada perlakuan-perlakuan tertentu baik terhadap subjek penelitian maupun konteks dimana penelitian dilakukan. Biarkan semuanya secara ilmiah..(Rahardjo 2017:10) Holistik artinya peneliti harus bisa memperoleh informasi yang akan menjadi data secara komperhensif sehingga tidak meninggalkan informasi yang tersisa. Dari data akan diperoleh fakta atau realitas. Agar memperoleh informasi yang komperhensif, peneliti tidak saja menggali informasi dari partisipan dan informan utama melalui wawancara mendalam, tetapi juga orang-irang disekitar subjek penelitian, catatan- catatan harian mengenai kegiatan subjek atau rekam jejak subjek.
Selain wawancara mendalam, ada lima teknik pengumpulan data penelitian studi kasus, yakni dokumentasi, observasi langsung, observasi terlibat (participant observation), dan artifak fisik. Masing-masing untuk saling melengkapi. Inilah kekuatan studi kasus dibanding metode lain dalam penelitian kualitatif.
Menurut Lincoln dan Guba, sebagaimana dikutip (Mulyana 2013:201-202), keistimewaan Studi kasus meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Studi kasus merupakan sarana utama bagi penelitian emik, yakni menyajikan pandangan subjek yang diteliti
b. Studi kasus menyajikan uraian menyeluruh yang mirip dengan apa yang dialami pembaca dalam kehidupan sehari-hari (everyday real-life)
c. Studi kasus merupakan sarana efektif untuk menunjukkan hubungan antara peneliti dengan subjek atau informan
d. Studi kasus memungkinkan pembaca untuk menemukan konsistensi internal yang tidak hanya merupakan konsistensi gaya dan konsistensi faktual tetapi juga keterpercayaan (trystworyhiness)
e. Studi kasus memberikan ―uraian tebal‖ yang duperlukan bagi penilaian atas transferabilitas
f. Studi kasus terbuka bagi penilaian atas konteks yang turut berperan bagi pemaknaan atas fenomena dalam konteks tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Mengenal Latar Belakang Anggota Teater Koma
Didalam memulai suatu hubungan antarpribadi terdapat beberapa tahap yang harus dilalui oleh sutradra dan aktor. Dengan dilaluinya tahap-tahap ini diharapkan sutradara dan aktor dapat mengenali satu sama lainnya. Dimulai dari tahap pembentukan hubungan yang meliputi informasi demografis, sikap dan pendapat, kepribadian, dan hobi atau minat, sampai kepada tahap peneguhan hubungan yang meliputi keakraban, kontrol, ketepatan respons, dan keserasian suasana emosional.
Dalam tahap hubungan antarpribadi ini, peneliti menemukan beberapa tahap hubungan antarpribadi antara sutradara dan aktor. Dimulai dari tahap pembentukan hubungan, tahap peneguhan hubungan, dan pemutusan hubungan. Apapun teori hubungan antarpribadi yang kita gunakan, kita akan melihat hal yang sama:
hubungan antarpribadi melibatkan dan membentuk kedua belah pihak (Rakhmat, 2018:153).
Dalam hubungan antarpribadi ketika komunikator berhubungan dengan komunikan, komunikan bukan lagi komunikan yang biasa. Komunikan berubah karena pertemuan dengan komunikator, begitupun komunikator berubah karena kehadiran komunikan. Artinya adalah dalam hubungan antarpribadi ada suatu pengaruh besar sehingga dalam suatu hubungan mempunyai pengaruh masing- masing dan dari kedua belah pihak (komunikan dan komunikator).
Dalam suatu hubungan antarpribadi ada yang namanya berbagai pengalaman.
Apabila pengalaman yang dibagikan oleh komunikator menyenangkan dan membuat nyaman bagi komunikan, maka hubungan ini akan terus belanjut. Bahkan hubungan bisa di perkuat dan di pertahankan hingga batas waktu yang tidak bisa ditentukan.
Sebaliknya, bila dalam hubungan ada yang merasa dirugikan, maka hubungan akan bersilang dan dapat dipastikan hubungan tidak bisa dilanjutkan saat itu juga.
Tahap yang pertama adalah pembentukan hubungan antarpribadi. Didalam suatu hubungan antarpribadi ada tahap yang dinamakan pembentukan, Tahap ini sering disebut sebagai tahap perkenalan (acquaintance process) diuraikan secara terperinci oleh Theodore Newcomb dalam The Acquaintance Process (1961), Donny Byrne dalam The Attraction Paradigm of Antarpribadi Relationship (1973); disini kita tidak akan menguraikan proses ini secara terperinci. Fokus kita ialah para proses penyampaian dan penerimaan informasi dalam pembentukan hubungan (Rakhmat, 2018:154).
Seperti pada kajian literatur yang sudah peneliti lampirkan pada bab 2, fase pertama dalam pembentukan hubungan antarpribadi adalah ―fase kontak permulaan (initial contact phase)‖, pada fase ini ditandai oleh usaha kedua pihak untuk menangkap informasi dari reaksi lawan bicara nya. Masing-masing pihak mencoba menggali informasi secepeatnya seperti identitas, sikap, dan nilai pihak lainnya.
Proses saling menilik ini disebut Newcomb sebagai reciprocal scanning (saling menyidik). Pada tahap ini informasi yang dicari dan disampaikan umumnya berkisar mengenai data demografis; usia, pekerjaan, tempat tinggal, keadaan keluarga, dan sebagainya (Rakhmat, 2018:155).
Seperti penjelasan diatas, di Teater Koma terdapat kesempatan seorang sutradara untuk melakukan fase pertama ini. Setelah para aktor-aktor baru melewati proses penseleksian, maka tahap terakhir adalah tahap wawancara dengan sutradara tetap teater koma yakni Nano Riantiarno. Hal ini terdapat dalam hierarki makna teori CMM, yaitu Tindak Tutur (Dialog). Menurut Pearce dalam West & Turner bahwa tindak tutur adalah tindakan-tindakan yang kita lakukan dengan cara berbicara seperti: memuji, menghina, berjanji, mengancam, menyatakan, dan bertanya. Pearce juga mengatakan bahwa tindak tutur bukanlah benda, tindak tutur adalah konfigurasi dari logika makna dan tindakan dari percakapan, dan konfigurasi ini dibangun bersama.
Dalam tahap wawancara ini Nano Riantiarno sebagai sutradara menyelediki siapakah calon aktor-aktornya ini. Seperti dijelaskan pada penjelasan diatas, Nano Riantiarno mencari tahu dengan melakukan wawancara seperti alasan kenapa para calon aktornya tertarik ikut masuk kedalam teater koma, pekerjaannya, tempat tinggal, keadaan keluarga, dan sebagainya. Nano Riantiarno juga mengenal calon aktornya melalui sikap calon aktornya seperti apa, bakat apa yang dia punya, bagaimana konsistensinya dalam berproses teater, dan sebagainya.
Menurut Charles R. Berger (1973) dalam (Rakhmat, 2018:155) menjelaskan
bahwa informasi pada tahap perkenalan dapat dikelompokkan pada tujuh kategori:
(1) informasi demografis; (2) sikap dan pendapat :tentang orang atau objek; (3) rencana yang akan datang; (4) kepribadian: misalnya :bagaimana anda menghadapi kenaikan harga sekarang ini?: (5) perilaku pada masa lalu, misalnya ―mengapa anda memilih sekolah pada jurusan seni?‖; (6) orang lain; misalnya, ―apa anda kenal dengan putu wijaya?‖; (7) hobi dan minat.
Nano Riantiarno sebagai sutradara mengenal aktor-aktornya. Seperti pengetahuan tentang demografisnya, ia juga mengenal bagimana aktor-aktornya ketika bersikap dan bagaimanakah aktor-aktornya berpendapat tentang berbagai macam hal. Ia juga mengenal kepribadian para aktor-aktornya melalui sesi diskusi bersama semua anggota teater koma. Ia juga mengetahui hoby semua aktornya beserta minat mereka masing-masing.
Tahap kedua dalam hubungan antarpribadi adalah tahap peneguhab hubungan antarpribadi. Dalam (Rakhmat, 2018:156) menjelaskan bahwa hubungan antarpribadi tidak bersifat statis, tetapi selalu berubah. Unutuk memelihara dan memperteguh hubungan antarpribadi, perubahan memerlukan tindakan-tindakan tertentu untuk mengembalikan keseimbangan (equilibirum). Ada empat faktor yang amat penting dalam memelihara keseimbangan; keakraban, kontrol, respons yang tepat, dan nada emosional yang tepat. Hal ini berkaitan juga dengan hierarki makna teori CMM yakni Episode (Interaksi). Menurut Pearce dan Cronen dalam West &
Turner bahwa episode mendeskripsikan konteks dimana orang bertindak. Pada level ini sudut pandang kita adalah pengaruh dari konteks terhadap makna. Selanjutnya proses episode dalam konteks hubungan antarpribadi sutradara dan aktor dalam menciptkan seni peran melalui interaksi sebagai berikut.
a. Keakraban
Nano riantiarno sebagai sutradara sangat akrab dengan semua aktor-aktornya, dari mulai aktor baru apalagi aktor-aktor yang sudah lama bergabung dengan teater koma. Hal ini berdasarkan observasi yang peneliti lihat dilapangan, bahkan ia mengenal semua aktornya beserta pementasan apa saja yang pernah aktor itu mainkan, padahal hingga saat ini pementasan yang dilakukan oleh teater koma cukup banyak yaitu 158 pementasan, yang tentunya dengan aktor yang berbeda- beda.
b. Kontrol
Kontrol juga dilakukan oleh Nano Riantiarno kepada semua aktor-aktornya. Kontrol yang dimaksud dalam hal ini adalah kesepakatan tentang siapa yang akan mengontrol siapa. Sebagai sutradara ia mengontrol para senior agar konflik tidak terjadi, karena biasanya senior ingin lebih berkuasa dibandingkan juniornya. Ia mengontrol agar hal-hal seperti itu tidak terjadi di teater koma.
c. Ketepatan respons
Kemudian ketepatan respons. Dalam (Rakhmar, 2018:156-157) menjelaskan bahwa respons; artinya respon A harus diikuti oleh respon B yang sesuai. Dalam percakapan misalnya pertanyaan harus disambut dengan jawaban, lelucon dengan tertawa, permintaan keterangan dengan penjelasan. Respons ini bukan saja berkenaan dengan pesan-pesan verbal, tetapi juga pesan-pesan nonverbal.
Dalam hal ketepatan respons, Nano Riantiarno sebagai sutradara berusaha untuk menjadikan suasana berbeda-beda, seperti disaat latihan teater ia harus mengkondisikan bagaimana para aktor bisa serius dalam kegiatan, dan bila terlihat aktor-aktor lesu, maka ia mencoba untuk mencarikan suasan dengan candaan dan tawaan.
d. Nada emosional yang tepat
(Rakhmat, 2018:158-159) faktor keempat yang memelihara hubungan antarpribadi adalah keserasian suasana emosional ketika berlangsungnya komunikasi. Walaupun mungkin saja terjadi dua orang berinteraksi dengan suasana emosional yang berbeda, tetapi interaksi itu tidak akan stabil. Besar kemungkinan salah satu pihak mengakhiri interaksi atau mengubah suasana emosi.
Nano Riantiarno sebagai sutradara menghindari hal-hal seperti diatas. Didalam proses penyutradaraan ia sering menjumpai aktor-aktornyan yang mengeluh masalah pribadinya masing-masing, bahkan bisa di katakan banyak. Sebagai seorang sutradara yang harus pula menjadi orang tua bagi aktor-aktornya, ia sangat peduli dan menerima curahan hati masalah pribadi masing-masing aktornya. Hal ini sebanding dengan masalah keserasian suasan emosional mereka.
Kemudian tahap terakhir dalam hubungan antarpribadi adalah tahap pemutusan hubungan antarpribadi. Dalam hubungan sutradara dan aktor kata pemutus hubungan masih jarang akan tetapi pernah terjadi. Hal ini didasari pada peraturan awal masuk sebagai anggota teater koma adalah selama-lamanya. Namun berbeda hal apabila ada aktor yang mengundurkan diri ketika proses produksi pementasan dilakukan.
Prinsip Kerja Organisasi Teater Koma
Dalam pembahasan kali ini, penulis akan menampilkan bagaimana prinsip kerja yang dibangun oleh Teater Koma. Prinsip kerja ini didasari atas dua hal, yang pertama adalah percaya. Percaya adalah faktor yang paling penting yang mempengaruhi hubungan antarpribadi. Percaya juga bisa menentukan efektivitas komunikasi. Kemudian yang kedua adalah sikap suportif. sikap suportif adalah sikap yang mengurangi sikap defensif dalam komunikasi. Orang akan bersikap defensif bila ia tidak menerima, tidak jujur, dan tidak empatis. Apabila sikap suportif tidak ditanamkan didalam suatu hubungan, maka komunikasi antarpribadi akan gagal hal ini disebabkan karena orang yang bersikap defensif akan lebih banyak melindungi diri dari ancaman yang ditanggapinya dalam berkomunikasi dibandingkan memahami pesan dari orang lain.
Dalam hubungan antarpribadi bukan masalah seberapa sering intensitas seseorang berkomunikasi, akan tetapi bagaimana komunikasi itu dilakukan. Bila antara komunikator dan komunikan terdapa sikap curiga didalamnya, maka bukan makin baik hubungan mereka akan tetapi makin jauh hubungan mereka. Dalam hal ini ada tiga faktor yang menumbuhkan hubungan antarpribadi, yakni; percaya, sikap suportif, dan sikap terbuka. Hal ini berkaitan dengan hierarki makna teori CMM yakni Isi. Menurut Pearce dan Cronen dalam West & Turner level isi (content) merupakan langkah awal di mana data mentah dikonversikan menjadi makna.
Pemaknaan level isi dalam penelitian ini adalah bagaimana makna isi dari hubungan antarpribadi sutradara dan aktor dalam menciptakan seni peran. Sutradara memaknai hubungan ini melalui tida faktor sebagai berikut:
a. Percaya
Percaya adalah faktor utama dalam hubungan antarpribadi. Bila komunikator percaya terhadap komunikannya, bila komunikator yakin tidak ada pengkhianatan didalam suatu hubungan antarpribadi, maka komunikator akan bersifat terbuka kepada komunikannya. (Giffin, 1967:224-234) dalam (Rakhmat, 2018:160) menjelaskan bahwa percaya didefinisikan sebagai ―mengandalkan perilaku orang untuk mencapai tujuan yang dikehendaki, yang pencapaiannya tidak pasti dan dalam
situasi yang penuh resiko.
Nano riantiarno sebagai sutradara mempercayai semua aktor-aktornya dalam berseni peran. Kepercayaan diberikannya dalam bentuk improvisasi adegan, atau dalam bentuk penerjemahan naskah menjadi sebuah seni peran. Dengan mempercayai ia yakin bahwa semuanya akan berjalan dengan lancar, walaupun tidak semua aktor tidak mengkhianatinya dalam artian kurang maksimal ketika latihan. Biasanya ia menyiasatinya dengan mengganti aktor ditengah latihan.
Ada tiga faktor utama yang dapat menumbuhkan sikap percaya atau mengembangkan komunikasi yang didasarkan pada sikap saling percaya: menerima, empati, dan kejujuran (Rakhmat, 2018:162).
b. Sikap suportif
Faktor yang kedua dalam menumbuhkan hubungan antarpribadi antara sutradara dan aktor adalah sikap suportif. sikap suportif adalah sikap yang mengurangi sikap defensi dalam komunikasi. Orang bersikap defensif apabila ia tidak menerima, tidak jujur, dan tidak empatis (Rakhmat, 2018:165)
Sikap suportif juga sangat dijunjung tinggi ole Nano riantiarno sebagai sutradara. Ia melakukan sikap suportif dengan manyama ratakan semua aktor-aktornya. Ia tidak membedakan latihan antara aktor baru dan aktor lama. Baginya ketika produksi pementasan dimulai, berarti semuanya akan mulai dari nol. Maka intensitas dan pertaruan latihan pun akan disama ratakan.
c. Sikap terbuka
Faktor terakhir dalam menumbuhkan hubungan antarpribadi adalah sikap terbuka.
Sikap terbuka (open mindedness) amat besar pengaruhnya dalam menumbuhkan komunikasi antarpribadi yang efektif. Lawan dari sikap terbuka adalah dogmatisme (sikap tertutup). Sikap terbuka yang dilakukan Nano riantiarno sebagai sutradara diantaranya adalah menilai permasalah secara objektif, dengan menggunakan data dan logika.
Ia juga selalu mencari infromasi terhadap permasalah pada aktor-aktornya, seperti ketika ada aktor yang bermasalah dalam latihannya, ia harus mengetahui apa yang melatar belakangi aktor tersebut bermasalah dengan mencari informasi dari berbagai sumber. Ia juga harus jernih dalam berfikir ketika datang permasalahan- permasalahan ditengah latihan.
Teori CMM (Coordinated Management Of Means) relevan dengan pembahasan ini.
Faktor-faktor yang menumbuhkan hubungan antarpribadi yang dibentuk dalam hubungan antara sutradara dan aktor menjelaskan bagaimana kualitas komunikasi sangat penting didalam menumbuhkan hubungan antarpribadi yang baik. tiga faktor yang memperjelas bagaimana komunikasi penting didalam hubungan antarpibadi sutradara dan aktor adalah percaya, sikap suportif dan sikap terbuka.
Budaya Kerja Teater Koma
Budaya komunikasi yang dibangun di teater koma adalah budaya keluarga.
Teater koma membangun budaya keluarga ini dari berbagai macam aspek, salah satunya adalah dari aspek komunikasi. Cara berkomunikasi di teater koma sama halnya dengan cara berkomunikasi sebuah keluarga, dimana seorang sutradara di tuntut harus bisa menjadi orang tua bagi dan orang dewasa bagi aktor-aktornya.
Peneliti akan memberikan skema pembahasan dalam bentuk mind mapping dari hasil temuan dilapangan.
dengan menggunakan Analisis Transaksional Eric Brene (1964), peneliti
menemukan bermacam-macam permainan dalam hubungan antarpribadi antara sutradara dan aktor. Mendasari permainan ini adalah tiga bagian kepribadian manusia-orang tua, orang dewasa, dan anak (parent, adult, child) (Rakhmat, 2018:151). Hal ini berkaitan juga dengan hierarki makna dalam teori CMM yakni Hubungan (kontrak). Menurut Pearce dan Cronen dalam West & Turne level makna keempat adalah level hubungan (relationshio), dimana dua orang menyadari potensi dan batasan mereka sebagai mitra dalam sebuah hubungan. Hubungan dapat dikatakan sebagai kontrak, dimana terdapat tuntunan dalam berprilaku. Hubungan yang dijalankan antara sutradara dan aktor adalah sebagai berikut:
Yang pertama adalah orang tua. Orang tua dalam hubungan antarpribadi antara sutradara dan aktor ini dimainkan oleh sutradara (Nano Riantiarno), didalam hubungan antarpribadi, sutradara memberlakukan diri sebagai orang tua dimata aktor-aktornya. Sebab sebagai sutradara, ia harus mengetahui latar belakang para aktornya, sifat-sifat para aktornya, kemampuan para aktornya, seperti layaknya orang tua mengetahui anaknya.
Orang tua adalah aspek kepribadian yang merupakan asumsi dan perilaku yang kita terima dari orang tua kita atau orang yang kita anggap orang tua kita (Rakhmat, 2018:152). Berdasarkan penjelasan tersebut, orang tua bukanlah hanya orang tua kandung saja akan tetapi dijelaskan dalam penjelsan tersebut yakni dengan kata
‗anggap‘, artinya siapapun bisa menjadi orang tua kita, sama halnya seperti sutradara merupakan orang tua dari para aktor-aktornya.
Kemudian yang kedua adalah orang dewasa. Didalam hubungan antarpribadi antara sutradara dan aktor, sutradara pun bermain sebagai orang dewasa, dimana seorang sutradara pun bisa menjadi tempat mencurahkan isi hatinya layaknya seorang adik bercerita kepada kakaknya. Sebagai orang dewasa, sutradara harus bisa menyelesaikan masalah-masalah kecil yang ada disekitarnya, seperti masalah hubungan antara sesama aktor.
Orang dewasa adalah bagian kepribadian yang mengolah informasi secara rasional, sesuai dengan situasi dan biasanya berkenaan dengan masalah-masalah penting yang memerlukan pengambilan keputusan secara sadar (Rakhmat, 2018:152). Dalam penjelasan diatas, orang dewasa harus rasional. Begitupula dalam hubungan intepersonal antara sutradara dan aktormya. Seorang sutradara harus rasional dan tidak memihak dalam menyelesaikan masalah apapun. Ia tidak boleh membedakan antara senior dan jenior. Sutradara juga harus ikut andil dalam masalah-masalah, dari mulai yang kecil hingga masalah penting, dan dia harus bisa mengambil keputusan sebagai orang dewasa, bukan hanya sebagai sutradara saja.
Yang ketiga adalah anak-anak. Dalam hubungan ini anak-anak dimainkan oleh aktornya, bukan sutradaranya. Akan tetapi jika kita simpulkan dari analisis peneliti diatas. Sutradara yang bermain sebagai orang tua dan juga orang dewasa dalam hubungan ini, ia harus sensitif terhadap perasaan para anak-anak atau adiknya dimana dalam hubungan ini dimainkan oleh para aktor-aktornya.
Sebagaimana Nano Riantiarno lakukan kepada para aktornya, ia harus membawa suasana dalam latihan menjadi suasan yang membahagiakan, jangan sampai tegang.
Karena ia tahu bahwa yang ia sedang didik adalah anak-anaknya, dan ia sebagai orang tua juga orang dewasanya. Hal ini juga sesuai dengan pengakuan para aktor- aktornya, dimana semua aktor-aktor di Teater Koma sudah menganggap Nano Riantiarno sebagai orang tua mereka, bukan lagi sebagai seorang sutradara.
Teori CMM (Coordinated Management Of Means) relevan dengan pembahasan ini. Oleh karena pada dasarnya teori ini digunakan dalam konteks hubungan
keluarga. Model hubungan yang terjadi antara sutradara dan aktor di teater koma adalah model kekeluargaan. Dimana seorang sutradara yang menjadi orang tua bagi aktor-aktornya. Sutradara memanfaatkan sebuah hubungan yang baik untuk jalan lebih mudah dalam menciptakan seni peran.
PENUTUP
Berdasarkan hasil dari pembahasan yang telah di uraikan, maka peneliti akan menarik kesimpulan dan saran yang peneliti dapatkan dari hasil wawancara dan observasi kepada informan yang di jadikan sebagai subjek penelitian dengan judul Hubungan Antarpribadi Sutradara dan Aktor Dalam Menciptakan Seni Peran.
Berikut ini beberapa kesimpulan dan saran.
Tahapan yang dilakukan sutradara dan aktor dalam hubungan antarpribadi yang pertama adalah tahap pembentukan hubungan. Dalam tahap ini masing-masing pihak mencoba menggali informasi secepatnya, seperti identitas, sikap, kepribadian, dan nilai pihak lainnya. Kemudian tahapan yang kedua adalah tahap peneguhan. Dalam tahap ini diperlukannya keseimbangan dalam hubungan antarpribadi yaitu meliputi keakraban, control, repons yang tepat, dan nada emosional yang tepat.
Ada beberapa faktor yang mendorong terbentuknya hubungan antarpribadi.
Pertama adalah percaya. Dengan kepercayaan suatu hubungan akan memberikan keterbukaan pada masing-masing pihak. Kepercayaan harus diberlakukan dalam hubungan antara sutradara dan aktor yakni sutradara harus percaya kepada aktornya dalam berseni peran. Yang kedua adalah sikap suportif. Sikap suportif yang dilakukan sutradara terhadap aktornya adalah dengan menyama ratakan semua actor- aktornya. Tidak boleh ada kesenjangan sosial antara aktor satu dengan aktor lainnya.
Model hubungan antarpribadi sutradara dan aktor di Teater Koma adalah model permainan, dimana mendasari model ini ada tiga kepribadian manusia yaitu orang tua, orang dewasa, dan anak. Dalam hubungan antarpribadi seorang sutradara harus bisa menjadikan dirinya sebagai orang tua terhadap semua aktor-aktornya. Dalam menciptakan seni peran seorang sutradara harus bisa memposisikan dirinya layaknya orang tua yang mendidik anaknya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
AW Suranto. 2011. Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta: Graha Ilmu
Basrowi, and Suwandi. 2009. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Rineka Cipa.
Cangara, Hafied. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta.
Creswell, John W. 2010. Research Design, Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, Dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Devito, Joseph A. 1989. The Interpersonal Communication Book. New York.
———. 2011. Komunikasi Antarmanusia. Tangerang Selatan: Karisma Publishing Group.
Doyin, Mukh. 2001. ―Masalah Keaktoran Dalam Teater Modrn.‖ Harmonia Jurnal Pengetahuan Dan Pemikiran Seni 2(3): 21–28.
Eriyanto. 2005. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: PT. Lkis.
Griffin, Em. 2003. A First Look at Communication Theory. Boston-Toronto: McGraw Hill.
Hasugian, Iva Madelyn, dkk. 2019. Upaya Membangun Komunikasi Interpersonal Yang Efektif Antara Orang Tua Dan Anak Dalam Mengembangkan Bakat Akademik Khusus Remaja Di SMA Negeri 3 Samarinda. 7(1):179-189
Jafar, Rauf Abdul. 2017. Komunikasi Interpersonal Antara Mahasiswa Thailand Dengan Mahasiswa Indonesia Di Institut Agama Islam Negeri Surakarta [Skripsi].
Surakarta. Institut Agama Islam Negeri Surakarta
Khoiron, Ahmad. 2015. Komunikasi Interpersonal Antara Pimpinan Dan Staf.
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
L Tubbs, Stewart, and Sylvya Moss. 2005. Human Communication Konteks-Konteks Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset.
Liliweri, A. 2015. Komunikasi Antarpersonal. Jakarta: Pernamedia Group.
Moeleong, Lexy J. 2017. Metode Penelitian Kualitatif. Cetakan ke 36.
Bandung:PT:Remaja Rosdakarya Offset.
Mubarok, and made dwi Adnjani. 2014. Komunikasi Antarpribadi Dalam Masyarakat Majemuk. Jakarta Timur: Dapur Buku.
Mulyana, Dedy. 2013. METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF:PARADIGMA BARU ILMU KOMUNIKASI DAN ILMU SOSIAL LAINNYA. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset.
Ningtias, Tia. 2016. Analisis Komunikasi Interpersonal Bagian Pelayanan Dan
Administrasi Perusahaan Listrik Negara (PLN) Area Samarinda Dalam Menangani Keluhan Pelanggan. 4(3). 399-409.
Nugrahani, Farida. 2014. METODE PENELITIAN KUALITATIF DALAM PENELITIAN PENDIDIKAN BAHASA. Surakarta.
Poerwandari, K. 2007. Pendekatan Kualitatif Dalam Penelitian Psikologi. Jakarta: PSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Putra, Nanda F. P. 2013. Peranan Komunikasi Interpersonal Orang Tua Dan Anak Dalam Mencegah Perilaku Seks Pranikah Di Sma Negeri 3 Samarinda Kelas XII.
1(3):35-53.
Rahardjo, H Mudjia. 2017. ―Studi Kasus Dalam Penelitian Kualitatif:Konsep Dan Prosedurnya.‖ Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
Rakhmat, Jalaludin. 2018. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset.
Riantiarno, Nano. 2017. Membaca Teater Koma. Jakarta.
Stewart L Tubbs dan Sylvya Moss. 2005. Human Communication Konteks-Konteks Komunikasi. Bandung:PT Rosda Karya
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Pendekatan Kuantitatif. Bandung: Alfabeta.
Suprapto, Tommy. 2011. Pengantar Ilmu Komunikasi dan Peran Manajemen Dalam Komunikasi. Jakarta:PT Buku Seru.
Suranto, AW. 2011. Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta: Graha Ilmu.
West, Richard & Turner, Lynn. 2014. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi, Terjemah oleh Brian Marswendy. Jakarta:Salemba Humanika.
Yuwita, Nurma, Darsono, Suryadi. 2015. Studi Konstruksi Makna Hubungan Antarumat Beragama Dengan Pendekatan Model (Coordinated Management Of Meaning- CMM). 18(4):267-276.