• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN - UNDARIS Repository

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "HASIL PENELITIAN - UNDARIS Repository"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

Perumusan Masalah

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini sangat penting sehingga dapat memberikan pedoman atau arah untuk bergerak sesuai dengan tujuan penelitian.

Manfaat Penelitian

Pornografi anak termasuk kekerasan seksual dan eksploitasi seksual komersial anak dan terkait dengan prostitusi anak dan. Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (selanjutnya disingkat Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual) merupakan upaya pembaharuan peraturan perundang-undangan untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (selanjutnya disingkat RUU Penghapusan Kekerasan Seksual) merupakan upaya reformasi perundang-undangan untuk mengatasi berbagai persoalan kekerasan terhadap perempuan.

Pandangan bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan terhadap kesusilaan saja justru didukung oleh negara melalui isi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Rancangan Undang-Undang Kekerasan Seksual berupaya menyelesaikan berbagai kasus kekerasan seksual yang ada dengan mengidentifikasi berbagai bentuk dan jenis. Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyiapkan materi dan pedoman pencegahan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Hak-hak korban kekerasan seksual juga diatur dalam UU Kekerasan Seksual sebagaimana dijelaskan dalam pasal berikut. Ruang lingkup kejahatan kekerasan seksual yang terbatas membatasi permasalahan nyata yang dialami oleh korban kekerasan seksual. Nilai kemanfaatannya adalah penanganan korban kekerasan seksual harus memenuhi kebutuhan dan hak korban serta efektif bagi masyarakat luas.

Batasan ruang lingkup kekerasan seksual sendiri diatur dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Orisinalitas Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA

Pendekatan Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan data primer dan data sekunder yang diambil dengan dua cara yaitu penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan, dengan uraian sebagai berikut. Data sekunder, merupakan bahan penelitian yang diambil dari studi literatur yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, serta bahan non hukum. Bahan non hukum yaitu berupa buku-buku administrasi pemerintahan, data statistik dan dokumen non hukum lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, perlu ditentukan teknik pengumpulan data yang tepat, maka peneliti menggunakan teknik sebagai berikut. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji atau memahami data sekunder berdasarkan literatur dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan erat dengan penelitian ini. Selain itu, peneliti memperhatikan hubungan antara data primer dan data sekunder serta antara bahan hukum yang dikumpulkan.

Karena para pekerja seks komersial adalah pendatang yang ditampung di sebuah panti. Setiap pekerja seks komersial atau yang disebut pensiunan memberikan tip kepada PTL (Pengawal Tamu Hotel) minimal Rp 50.000,00. Bapak A pemilik tempat hiburan karaoke, berumur 45 tahun, sudah memiliki istri berumur 26 tahun dengan gelar sarjana kebidanan dan memiliki 2 (dua) orang balita.

A menjelaskan secara singkat bagaimana tempat usaha ini dulunya menyediakan para wanita penghibur atau pekerja seks komersial secara langsung, dan pelanggan atau pengunjung dapat langsung memilih wanita penghibur di Ladies Room untuk menemani pelanggan selama di ruang karaoke atau untuk melayani sebagai pekerja seks komersial. Namun dengan peraturan yang diterapkan oleh pihak terkait, pemilik karaoke saat ini tidak lagi menempatkan pekerja seks komersial atau wanita penghibur di tempat hiburan karaoke, semuanya disediakan tempat khusus yang disebut ibu asuh atau rumah kost. Namun bukan berarti tempat hiburan karaoke tidak bisa lagi menggunakan jasa pekerja seks komersial, mereka tetap beroperasi seperti biasa.

B menceritakan bagaimana ia bekerja sebagai perantara atau penghubung antara tempat hiburan dengan karaoke dan PSK atau pekerja seks komersial. B menerima upah atau bayaran dari tempat hiburan karaoke berkisar antara 50.000 sampai 100.000 dan dari pelacur atau pekerja seks komersial antara 100.000 sampai 150.000 per transaksi. C menjadi PSK untuk menambah penghasilan dan memenuhi kebutuhan anak dan orang tuanya.

Pembahasan

Penghapusan kekerasan seksual adalah segala upaya untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual, menangani, melindungi dan merehabilitasi korban, menindak pelaku dan berusaha mencegah terulangnya kembali kekerasan seksual. Kekerasan seksual terjadi secara berulang dan terus menerus, namun tidak banyak orang yang memahami dan peka terhadapnya. Kekerasan seksual seringkali dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan belaka, padahal fakta menunjukkan bahwa dampak kekerasan seksual terhadap korban sangat serius dan traumatis serta dapat berlangsung seumur hidup.

Kategorisasi ini tidak hanya mengurangi tingkat kejahatan yang dilakukan, tetapi juga menimbulkan pandangan bahwa kekerasan seksual hanyalah masalah moral. Hal ini pada gilirannya berdampak pada banyaknya kasus kekerasan seksual yang tidak ditangani secara hukum, namun melalui upaya rekonsiliasi di luar proses peradilan, ternyata pengalaman perempuan korban kekerasan seksual menunjukkan bahwa kekerasan seksual dapat menghancurkan seluruh integritas dan nyawa korban yang menyebabkan korban merasa tidak mampu melanjutkan. Pasal-pasal yang disampaikan dalam RUU Kekerasan Seksual yang tidak diatur oleh undang-undang lain termasuk pelaksanaan pencegahan kekerasan seksual terdapat dalam Pasal 5 RUU Kekerasan Seksual sebagai berikut.

Selain itu, bentuk dan jenis kekerasan seksual diatur secara rinci melalui Pasal 11 Rancangan Undang-Undang Kekerasan Seksual yang menjelaskan sebagai berikut. Dengan mengakomodir kekerasan seksual jenis ini dalam RUU Kekerasan Seksual diharapkan mampu mengatasi kasus-kasus kekerasan seksual yang ada sehingga para pelaku mendapatkan sanksi sesuai dengan perbuatannya. Perlindungan bagi korban kekerasan seksual dirasa kurang optimal karena masih kurangnya pemahaman masyarakat tentang penyebab dan akibat dari kekerasan seksual.

Hukum positif yang berlaku saat ini mengatur tentang isu kekerasan seksual, namun semua peraturan tersebut tidak memberikan pemahaman yang utuh tentang persoalan yang mendalam terkait dengan kekerasan seksual. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti tersedianya aparatur dan sarana dan prasarana hukum yang memadai dan berkualitas bagi korban kekerasan seksual, 2 (dua) merupakan unsur fundamental dari syarat berlakunya undang-undang. Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP) adalah suatu sistem terpadu yang menunjukkan proses keterkaitan antar lembaga/pihak yang berwenang menangani kasus kekerasan seksual dan akses pelayanan yang mudah dan terjangkau bagi korban di setiap hukum. proses. proses kasus kekerasan seksual.

Nilai keadilannya adalah bahwa perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual harus mengutamakan kepentingan korban melalui cara dan situasi yang mendukung korban untuk mendapatkan haknya. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) mendefinisikan kekerasan seksual sebagai pemaksaan hubungan seksual, yang dilakukan terhadap seseorang yang berstatus suami atau istri, atau seseorang yang tinggal dalam wilayah rumah tangga, atau terhadap kepada salah satu orang dalam objek keluarganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Apalagi penyebutan tindak pidana kekerasan seksual dalam UU No. 31 Tahun 2014 menunjukkan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual diperlukan sebagai dasar bagi LPSK untuk memberikan perlindungan bagi korban dari setiap tindak pidana kekerasan seksual.

Sebab, frase kekerasan seksual tidak diatur dalam KUHP, sedangkan UU PKDRT memberikan makna yang sangat terbatas pada frase kekerasan seksual. Dengan berpedoman pada asas lex posteriori derogat legi priori (undang-undang yang lahir kemudian mengesampingkan undang-undang lama), RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, khususnya terhadap jenis apapun. kekerasan seksual yang korbannya berhak mendapatkan perlindungan LPSK.

Saran

Kendalanya di implementasi hukum, karena memang dari kasus-kasus yang keluar, meski seperti gunung es, sangat sedikit pelaku tindak pidana perdagangan manusia yang bisa dijebloskan ke penjara”. Untuk mengatasi kendala tersebut, pemerintah telah mengembangkan berbagai pelatihan, khususnya bagi aparat penegak hukum itu sendiri, seperti melalui Lembaga Pendidikan Kepolisian (LEMDIKPOL) dan lembaga terkait lainnya. Pelatihan membahas inti permasalahan, membangun kesepahaman dengan penegak hukum agar memiliki persepsi yang sama. Diperlukan pendekatan partisipatif yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan untuk memperkenalkan konsep sistem penegakan hukum yang berperspektif keadilan.

Selain itu, perlu juga diperkenalkan konsep sistem penegakan hukum yang setara gender dengan menelaah pengalaman pihak-pihak yang terlibat dalam penanganan kasus perempuan. Diharapkan pemerintah, penegak hukum, LSM dan media massa serta masyarakat lebih terlibat dalam upaya penanggulangan tindak pidana perdagangan perempuan pekerja seks komersial. Diharapkan anggota DPR segera mengesahkan RUU Trafficking in Women dan menyamakan persepsi terhadap tindak pidana perdagangan perempuan (trafficking in the moment).

Abdullah Cholili, Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan, Makalah Seminar Perlindungan Perempuan dari Pelecehan dan Kekerasan Seksual, PPK UGM-Ford Foundation, November 1996. El-Muhtaj, Majd, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia Dari UUD 1945 hingga Amandemen 2002 UUD 1955, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009. Marlina dan Zuliah Azmiati, Hak Kembali Bagi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang, Refika Aditama, Bandung, 2015.

Muhammad Kemal Darmawan, Pemberdayaan Korban Perdagangan Manusia, dalam Antologi Studi Korban Tindak Pidana Korban Kejahatan: Jakarta, FISIF UI Press, 2011, halaman 111. Mansour Fakih, Gender sebagai Analisis Sosial, Jurnal Analisis Sosial Henny, 1997 Nuraeny, Nuraeny. Hukum Pidana Dasar dan Perkembangannya, Gramata. Salam Siku, Abdul, Melindungi Hak Asasi Saksi dan Korban dalam Proses Peradilan Pidana, Perdana Menteri Indonesia, 2016.

Soerjono Soekamto dan Purnadi Purbacaraka Gabungan Ilmu Hukum dan Ilmu Hukum, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2000). Soetandyo Wignjosoebroto, Pelecehan seksual Tinjauan Sosial Budaya, Seminar Nasional Kejahatan Kesusilaan dan Pelecehan Seksual Dalam Perspektif Hukum Pidana dan Politik, Fakultas Hukum UII, Jogyakarta, 1-2 November 1994,.

Referensi

Dokumen terkait

Effects of the different rates of urease and nitrification inhibitors on gaseous emissions of ammonia and nitrous oxide, nitrate leaching and pasture production from urine patches in