1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Retardasi mental merupakan kondisi dimana adanya perkembangan secara mental yang mengalami penghentian atau tidak lengkap dengan ditandai permasalahan pada kemampuan dalam masa-masa perkembangannya seperti kemampuan kognitif, motorik, bahasa, dan sosial, Rusdi (Dianna & Lailiyah, 2019) PPDGJ-III dan DSM-5.
Davidson et. al. (disitasi oleh, Rianti & Dharmawan, 2018) anak retardasi mental memiliki IQ kurang dari 70 yang dimana keberfungsiannya di bawah rata-rata. Anak retardasi mental setidaknya mengalami minimal dua hambatan fungsi dalam bersosial secara adaptif dari segi komunikasi, kemandirian personal hygiene, mengurus diri, berkeluarga, keterampilan hubungan interpersonal, pemanfaatan sumber daya dalam komunitas, pengambilan keputusan secara mandiri, keterampilan akademi secara fungsional, rekreasi, bekerja, serta menjaga kesehatan dan keamanan diri, adanya gejala mulainya retardasi mental sebelum anak mencapai usia 18 tahun.
Menurut World Health Organization (WHO) 2023 penyandang disabilitas di dunia diperkirakan telah mencapai 1,3 miliar orang yang dimana setara dengan 16% total dari populasi manusia di bumi. WHO (Panzilion et al., 2021) juga menambahkan bahwa perkiraan anak retardasi mental di dunia dapat mencapai angka 450 juta bahkan lebih, retardasi mental juga merupakan penyakit yang menjadi beban tersendiri di dunia dengan angka 12%. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (disitasi oleh, Fajar et al., 2022) menjelaskan bahwa di Indonesia anak yang mengalami retardasi mental sebanyak 962.011 orang dengan kriteria retardasi mental ringan paling tinggi yaitu 80%, retardasi mental sedang sebesar 12%, dan retardasi mental sangat
berat sebesar 8% dengan penderita yang paling besar jenis kelamin laki-laki sebesar 60% dan penderita perempuan sebesar 40%.
Statistik Persekolahan SLB (2021) angka anak dengan retardasi mental di seluruh Indonesia mencapai angka 80.837 dan 1.286 anak di provinsi Kalimantan Selatan dengan jumlah tertinggi di pulau Kalimantan.
Berdasarkan karakteristik dari penyandang retardasi mental di atas maka dapat ditarik permasalahan bahwa anak dengan retardasi mental mengalami kesulitan untuk hidup secara mandiri (Sobri, 2020). Sikap dan tindakan dari kemandirian adalah ketika seseorang tidak ketergantungan pada orang lain untuk menyelesaikan tugasnya termasuk dalam proses pembelajaran (Sobri, 2020). Menurut Mahmud (disitasi oleh Sobri, 2020:8) mengklasifikasikan kemandirian ke dalam tiga tipe, yaitu kemandirian emosional, perilaku dan nilai.
Perkembangan kemandirian anak normal dalam 6-10 tahun termasuk dalam proses tumbuh kembang anak. Dimana dalam proses perkembangan ini akan muncul beberapa aspek kemandirian, yaitu perkembangan kognitif, emosional, sosial, perkembangan bicara, perkembangan sensorik dan motorik (C.S. Mott Children’s Hospital University Of Michigan Health, 2021).
Menurut Neugarten (disitasi oleh Ambarita, 2021) perubahan dari kanak- kanak menjadi dewasa adalah proses dalam remaja. Umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun, dan berakhir pada usia akhir remaja atau awal dewasa muda, kedewasaan yang berkembang tidak hanya dari segi fisik, tetapi juga dari sosial-psikologis. Nainggolan et al. (2023) mengatakan bahwa anak usia 6-12 tahun umumnya memiliki kebersihan diri seperti kebersihan tangan, rambut, kuku, kulit, dan telinga. Usia sekolah 7-12 tahun mencakup kebersihan tangan, kuku, dan baju (Triasmari & Kusuma, 2019, disitasi oleh Sunarti, 2022). Perbedaan antara anak yang mandiri dan tidak dapat dilihat dari kegiatannya sehari-hari, contohnya yaitu anak yang mandiri dapat makan dan mandi sendiri tanpa bantuan orang lain, sedangkan anak yang tidak
memiliki kemandirian personal hygiene akan mendapatkan pelayanan serta bantuan dari keluarga dan lingkungan sekitarnya (Fadhli, 2017).
Menurut Restian (2020:85) terjadinya retardasi mental bisa terjadi karena faktor genetik atau tidak diketahui secara pasti (simpleks), hal ini bisa disebut dengan retardasi mental primer. Faktor luar yang berpengaruh pada otak bayi saat di kandungan atau kanak-kanak disebut faktor sekunder. Penyebab primernya, yaitu penyakit otak nyata (postnatal), pranatal (tidak jelas), kelainan kromosom, prematur, gangguan mental, kurangnya interaksi sosial dan emosional.
Sari dan Santy (2017) menjelaskan bahwa kemandirian personal hygiene adalah suatu kemampuan yang hadir atau muncul karena adanya latihan bukan muncul secara tiba-tiba, latihan tersebut bertujuan agar anak tidak mengalami permasalahan dalam proses tumbuh kembangnya. Menurut Pursitasari et al. (2020) kemampuan personal hygiene mampu memberikan dampak baik terhadap kesehatan, meskipun penyandang disabilitas memiliki status kesehatan yang lebih rendah dari individu dengan keadaan yang normal. Kurangnya perawatan diri mampu menyebabkan munculnya beberapa penyakit pada area mulut seperti gingivitis periodontitis, dan karies yang disebabkan karena gigi yang tidak dibersihkan dengan baik. Kurangnya perawatan pada diri dapat memunculkan permasalahan seperti perasaan tidak nyaman yang disebabkan pakaian kotor, karena penyandang disabilitas tidak memiliki kemampuan toileting (Pursitasari et al., 2020).
Menurut Fadilah (disitasi oleh, Rokhman & Rohmah, 2019) permasalahan disabilitas memberikan dampak terhadap perkembangan pada proses kemandirian dalam hidup, sehingga jika anak dengan disabilitas tidak mampu menguasai keterampilan dan kemandirian maka mereka akan membutuhkan pendidikan yang dikemas secara khusus untuk meningkatkan kemampuannya dalam beraktivitas baik di lingkungan sekitar, di rumah, maupun di sekolah.
Anak retardasi mental yang tidak mandiri dan ketergantungan akan muncul
sebagai stressor bagi keluarga yang merawatnya, sehingga mampu memberikan pengaruh terhadap kemampuan perawatan yang diberikan oleh keluarga yang dimana pengetahuan berperan penting didalamnya (TIM FIK disitasi oleh, Rosmaharani et al., 2019).
Ayuni (disitasi oleh, Indahwati et al., 2021) menyebutkan, bahwa keluarga berperan aktif sebagai pemecah masalah dengan cara mengumpulkan informasi dari seluruh dunia dan memberikan saran dan informasi yang membangun kepada anggota keluarga yang mengalami permasalahan.
Keluarga juga berfungsi sebagai pemandu umpan balik untuk menjadi penengah dalam proses pemecahan masalah, sebagai pembimbing dan pemberian pujian, berperan dalam memberikan dukungan secara penuh dari segi bantuan, tenaga, bahkan waktu untuk mendengarkan keluh kesah yang dirasakan oleh anak, keluarga juga dapat membantu anak agar dapat berkembang secara emosional dengan memberikan kasih sayang, kepedulian, kepercayaan, menjadi pendengar yang baik, dan sebagai pemberi nasihat yang baik (Ayuni disitasi oleh, Indahwati et al., 2021). Menurut Sari dan Santy (2017), dukungan keluarga sangat dibutuhkan untuk mendorong kemandirian personal hygiene tunagrahita, sehingga keluarga perlu fokus pada personal hygiene anak dengan memberikan informasi dan edukasi terkait personal hygiene agar kemandirian anak dalam hal tersebut meningkat.
Berdasarkan observasi dan wawancara peneliti di SLB Pelambuan Banjarmasin yang dilakukan hari jumat 17 Maret 2023 pada 9 orang tua wali anak retardasi mental ringan mendapatkan hasil bahwa 8 dari 9 orang tua tersebut merasa bahwa anaknya memerlukan bantuan untuk melakukan perawatan pada dirinya sendiri. Contohnya, anak memerlukan bantuan untuk mengenakan pakaian, memasang kancing baju, makan, menggosok gigi, membersihkan dirinya sendiri secara mandiri, memotong kuku kaki dan tangan, mencuci tangan, dan mengingatkan waktu-waktu tertentu untuk
melakukan personal hygiene. Berdasarkan hasil tersebut, peneliti mendapatkan ketertarikan untuk melakukan penelitian yang berjudul
“Hubungan Dukungan Keluarga dengan kemandirian personal hygiene pada anak retardasi mental di SLB Negeri Pelambuan Banjarmasin”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kemandirian pada Anak Retardasi Mental di SLB Negeri Pelambuan Banjarmasin.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kemandirian personal hygiene pada Anak Retardasi Mental di SLB Negeri Pelambuan Banjarmasin.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini sebagai berikut:
1. Mengetahui dukungan keluarga pada anak retardasi mental di SLB Negeri Pelambuan Banjarmasin.
2. Mengetahui kemandirian personal hygiene pada anak retardasi mental di SLB Negeri Pelambuan Banjarmasin.
3. Menganalisis hubungan dukungan keluarga dengan kemandirian personal hygiene pada anak retardasi mental di SLB Negeri Pelambuan Banjarmasin.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Peneliti
Sebagai pembelajaran serta pemahaman terkait hubungan dukungan keluarga dengan kemandirian personal hygiene pada anak retardasi mental di SLB Negeri Pelambuan Banjarmasin.
1.4.2 Bagi Masyarakat
Dengan adanya penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan, informasi, dan masukan kepada orang tua terkait pentingnya kesadaran dan dukungan keluarga dengan kemandirian personal hygiene anak retardasi mental.
1.4.3 Bagi Institusi
Menambah referensi dan sumber informasi bagi mahasiswa di Fakultas Keperawatan dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Banjarmasin terkait hubungan dukungan keluarga dengan kemandirian personal hygiene pada anak retardasi mental di SLB Negeri Pelambuan Banjarmasin.
1.4.4 Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan
Hasil dari penelitian ini diharapkan berguna sebagai bahan evaluasi untuk meningkatkan penyuluhan atau promosi kesehatan kepada masyarakat khususnya orang tua mengenai pentingnya kesadaran dan dukungan keluarga dengan kemandirian anak retardasi mental.
1.5 Penelitian Terkait
1.5.1 Penelitian Oktavia Alfita Sari dan Wesiana Heris Santy (2017),
“Hubungan Dukungan Keluarga terhadap Tingkat Kemandirian Personal Hygiene Anak Tunagrahita di SLB Tunas Mulya Kelurahan Sememi Kecamatan Benowo” bertujuan untuk mengungkap hubungan dari dukungan keluarga dengan tingkat kemandirian personal hygiene pada anak tunagrahita dengan menggunakan pendekatan cross sectional yang diterapkan pada sampel sebanyak 25 orang tua, dari total 27 orang tua, menggunakan teknik simple random sampling, serta teknik pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner. Analisis yang digunakan adalah korelasi spearman rank dengan nilai α = 0,05. Hasil penelitian yang diperoleh 52% responden memberikan dukungan baik, 44% cukup mandiri, P Value=0,030, sehingga ρ< α maka H0 ditolak, yang artinya bahwa terdapat
hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkat kemandirian personal hygiene. Dukungan keluarga yang paling banyak diterapkan oleh orang tua pada anaknya adalah dukungan instrumen, dapat dikatakan bahwa keluarga telah menyediakan fasilitas yang dibutuhkan oleh anaknya, sehingga dapat memberikan pengaruh yang positif pada perkembangan anaknya. Sedangkan jenis dukungan keluarga yang paling sedikit diterapkan adalah dukungan penilaian yang dapat dikatakan bahwa orang tua masih belum memberikan kepercayaan dan rasa penerimaan saat anak melakukan personal hygiene sendiri. Pekerjaan juga merupakan faktor penunjang agar orang tua bisa memberikan dukungan keluarga kepada anak yang dimana semakin tinggi tingkat pendidikan pada orang tua, maka akan semakin mudah orang tua dalam mendapatkan dan menerima informasi dari lingkungan sekitar atau pihak sekolah terutama mengenai cara menjaga kesehatan (personal hygiene), serta semakin rendahnya pendidikan yang dimiliki akan memberikan hambatan terhadap perkembangan pada sikap individu kepada nilai-nilai yang diajarkan. Faktor sosial ekonomi juga mampu memberikan pengaruh terhadap dukungan keluarga, hal tersebut dikarenakan semakin tingginya tingkat ekonomi yang dimiliki, maka semakin tinggi pula cepat tanggap orang tua terhadap kondisi pada anak dan memiliki kesigapan dalam mencari informasi serta bantuan. Agar anak mampu melakukan personal hygiene dengan mandiri diperlukan latihan terus menerus, konsisten, dan lingkungan sekolah yang mendukung. Hal tersebut dikarenakan anak tuna grahita dan anak normal memiliki perbedaan yang dimana anak normal dapat dengan mudah mengerti dan mengingat hal-hal apa saja yang diajarkan dalam beberapa kali pengajaran.
1.5.2 Penelitian Syukrianti Syahda dan Mazdarianti (2018), “Hubungan Dukungan Keluarga Terhadap Kemandirian Anak Retardasi Mental di SDLB Bangkinang Tahun 2016”. Tujuannya yaitu untuk
mendapatkan pengetahuan terkait hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kemandirian anak retardasi mental di SDLB Bangkinang, menggunakan desain cross sectional study, total sampling 42 orang tua, analisis bivariat dan univariat dengan uji chi square. Penelitian tersebut membuahkan hasil bahwa terdapat 24 orang anak yang tidak mendapatkan dukungan keluarga, 3 diantaranya mandiri, sementara itu dari 18 anak, 6 diantaranya tidak mandiri.
Dalam penelitian ini didapatkan nilai P-value sebesar 0,001 (p<0,05), derajat keamanan (a-0,05) yang mengartikan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan kemandirian anak retardasi mental. Didapatkan nilai OR=14,0 menunjukan bahwa anak retardasi mental yang tidak menerima dukungan dari keluarganya untuk tidak mandiri memiliki peluang sebanyak 14 kali lipat. Orang tua yang memiliki kesibukan dalam bekerja, tidak sabaran, kurang penerimaan menyebabkan terjadinya dukungan keluarga yang rendah. Lalu terdapat anak retardasi mental yang telah menerima dukungan dari keluarganya, akan tetapi tidak dapat mandiri yang disebabkan oleh orang tua yang memiliki kecemasan tinggi, sedangkan anak yang tidak mendapatkan dukungan dari keluarganya, tetapi tetap bisa hidup dengan mandiri dikarenakan terdapat pembantu dan keluarga yang memberikan bantuan dalam melaksanakan aktivitas.
1.5.3 Penelitian Ita Pursitasari, Allenidekania Allenidekania, dan Nur Agustini (2020), “Appreciation of Family Support and the abilities of children with special needs to maintain personal hygiene: an Indonesia Case Study”. Desain yang diterapkan adalah cross sectional, dengan menggunakan sampel 84 orang tua, dengan kuesioner dan dilanjutkan tiga sub kuesioner secara berkelanjutan.
Penelitian tersebut membuahkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara karakteristik anak berkebutuhan khusus dengan kebersihan diri dan tidak terdapat hubungan antara karakteristik pada orang tua
(umur, pekerjaan, pendidikan, dan pendapatan) dengan kebersihan diri. Namun, terdapat hubungan antara dukungan informasi, instrumental, emosional, dan penghargaan dengan personal hygiene, artinya dukungan apresiasi yang baik memiliki risiko sebesar 17,672 kali untuk dapat menjaga kebersihan diri secara mandiri. Dukungan yang paling berpengaruh adalah dukungan penghargaan. Penelitian tersebut mendapatkan kesimpulan bahwa terdapat suatu hubungan signifikan antara informasi, instrumental, emosional, dan dukungan apresiasi dan kemampuan dari anak berkebutuhan khusus dalam menjaga kebersihan diri. Adapun faktor lain yang memengaruhi dukungan keluarga adalah pendidikan dan pengalaman orang tua, dimana sebagian besar adalah SMA serta pengalaman orang tua memengaruhi kesiapan orangtua dalam menjalankan tugasnya.
Kualitas hidup anak menjadi lebih baik saat diasuh oleh ibu yang berpendidikan tinggi dan mendapat tambahan dukungan sosial dari seluruh anggota keluarga.
1.5.4 Penelitian Yayu Eka Kartika, Ikeu Nurhidayah, dan Hendrawati (2020), “Dukungan Keluarga Dalam Kemandirian Perawatan Diri Anak Retardasi Mental Ringan di SLB-C YKB Garut”. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mendapatkan pengetahuan terkait dukungan keluarga yang dapat diberikan kepada anak retardasi mental kategori ringan dalam kemandirian untuk merawat diri. Metode deskriptif kuantitatif, menggunakan total sampling sebanyak 39 responden, menggunakan kuesioner terkait dukungan keluarga.
Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa terdapat (51,3%) keluarga yang memberikan dukungan pada anak retardasi mental untuk melakukan perawatan diri dan (48,7%) tidak memberikan dukungan.
Adapun faktor yang mendukung keluarga tidak mendukung terlihat dari data pendidikan orang tua, sebanyak 17 orang (43,6%) berpendidikan rendah dan terdapat 20 orang (51,3%) yang
memberikan dukungan dari segi aspek emosional, informasional, instrumental, sosial, dan penghargaan.
1.5.5 Penelitian Suci Mandasaari, Agrina, Ririn Muthia Zukhaira (2020),
“Gambaran Kemampuan Personal Hygiene Anak Retardasi Mental Menurut Orang Tua” dengan metode deskriptif yang menggunakan sebanyak 23 orang tua sebagai sampel, alat ukur kuesioner kemandirian personal hygiene, analisa univariat, Hasil penelitian dengan anak retardasi mental sedang mampu dilatih sehingga anak mampu mandiri, 25 orang anak (78,1%) mandiri melakukan personal hygiene, 6 orang anak (18,8%) cukup mandiri, 1 orang anak (3,1%) kurang mandiri. Tingkatan IQ memberikan pengaruh terhadap kemandirian personal hygiene pada anak retardasi mental, khususnya dalam tingkatan sedang anak mampu dilatih. Adapun gambaran jenis personal hygiene yang dilakukan yaitu merawat kulit, kebersihan mulut, rambut, mata, hidung, kaki, bak/bab. Namun, jarang merawat telinga dan memotong kuku kaki dan tangan.
1.5.6 Penelitian Kristianty Rointan Parulian, Sri Indiyah Supriyanti, Sudibyo Supriadi (2020), “Hubungan Karakteristik Anak, Dukungan Keluarga dengan Kemandirian Personal Hygiene Anak Tunagrahita”.
Tujuannya adalah untuk mendapatkan pengetahuan terkait hubungan karakteristik pada anak dan dukungan keluarga dengan kemandirian personal hygiene pada anak tunagrahita. Desain yang diterapkan pada penelitian ini yaitu, deskriptif korelasi dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Terdapat total sampling 39 orang tua, metode penelitian chi square dengan P-value < 0,05. Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa ketidakmandirian terkait personal hygiene pada anak tunagrahita sebesar 35,9% yang tidak memiliki hubungan dengan usia, jenis kelamin, dukungan informasional, emosional, dan kemandirian terkait personal hygiene pada anak tunagrahita. Orang tua disarankan dapat memberikan dukungan keluarga secara terus-
menerus dengan memberikan pelatihan khusus untuk melatih anak tunagrahita agar memiliki kemandirian terkait personal hygiene.
1.5.7 Penelitian Sena Lesmana, Gusgus Ghraha Ramadhanie, dan Henny Suzana Mediani (2021) dengan judul “Pengetahuan dan Sikap Orang Tua Terhadap Kemandirian Anak Retardasi Mental Ringan” yang bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat pengetahuan dan sikap orang tua terhadap kemandirian anak retardasi mental ringan di SLB Negeri Garut. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif pada pendekatan kuantitatif yang dimana variabel penelitian digambarkan secara deskriptif tanpa adanya penelitian tentang hubungan pada variabel yang diteliti. Penelitian ini membuahkan hasil bahwa gambaran pengetahuan dan sikap orang tua terhadap anak retardasi mental ringan yang disajikan dapat ditarik kesimpulan bahwa dari frekuensi 38 responden pengetahuan orang tua pada kategori Baik dengan persentasi 65,8 %, sikap orang tua pada kategori baik dengan persentase 63,2 % dan kemandirian anak retardasi mental pada kategori Mandiri dengan persentase 65,8 %. Secara keseluruhan Gambaran pengetahuan dan sikap orang tua terhadap kemandirian anak retardasi mental ringan di SLB Negeri B garut berada pada kategori baik.