• Tidak ada hasil yang ditemukan

Home - Open Access Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Home - Open Access Repository"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

8 2.1 Konsep Halusinasi

2.1.1 Defenisi

Halusinasi adalah distorsi persepsi palsu yang terjadi pada respons neurobiologis maladaptive. klien merasakan stimulasi yang sebetulnya tidak ada. halusinasi penglihatan dan pendengaran yang merupakan gejala dari Early Psychosis, yang sebagian besar terjadi pada usia remeja akhir atau dewasa awal, bingung peran yang berdampak pada rapuhnya kepribadian sehingga terjadi gangguan konsop diri dan menarik diri dari lingkungan sosial yang lambat laun membuat penderita menjadi asik dengan hayalan dan menyebabkan timbulnya halusinasi. (Ervina, 2018).

Halusinasi adalah suatu gejala gangguan jiwa. Pasien mengalami perubahan sensori persepsi merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau penghiduan. Pasien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada (Dermawan, 2018).

Halusinasi adalah persepsi klien terhadap lingkungan tanpa stimulus yang nyata, artinya klien mengiterprestasikan sesuatu yang tidak nyata stimulus / rangsangan dari luar (Manulang, 2021).

Halusinasi merupakan gangguan jiwa dimana klien mengalami perubahan persepsi sensori, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, rasa, sentuhan, atau penciuman (Abdurkhman &

Maulana 2022). Halusinasi merupakan persepsi yang diterima oleh panca inderatanpa adanya stimulus eksternal. Klien dengan halusinasi sering merasakan keadaan/kondisi yang hanya dapat dirasakan olehnya namun tidak dapat dirasakan oleh orang lain (Harkomah, 2019).

(2)

Berdasarkan beberapa defenisi diatas halusinasi merupakan gangguan persepsi panca Indera, adanya stimulus eksternal yang merasakan sensasi palsu namun tidak dapat dirasakan oleh orang lain.

2.1.2 Tanda Dan Gejala

Tanda dan gejala gangguan persepsi sensori halusinasi yang dapat teramati sebagai berikut (Dalami, 2016):

2.1.2.1 Halusinasi Penglihatan

Perilaku yang dapat teramati pada klien gangguan halusinasi penglihatan adalah:

a. Melirikkan mata ke kiri dan ke kanan seperti mencari siapa atau apa saja yang sedang dibicarakan.

b. Mendengarkan dengan penuh perhatian pada orang lain yang sedang tidak berbicara atau pada benda seperti mebel.

c. Terlihat percakapan dengan benda mati atau dengan seseorang yang tidak tampak.

d. Menggerakan-gerakan mulut seperti sedang berbicara atau sedang menjawab suara.

2.1.2.2 Halusinasi Pendengaran

Perilaku yang dapat teramati pada klien gangguan halusinasi pendengaran adalah:

a. Tiba-tiba tampak tanggap, ketakutan atau ditakutkan oleh orang lain, benda mati atau stimulus yang tidak tampak.

b. Tiba-tiba berlari keruangan lain.

2.1.2.3 Halusinasi Penciuman

Perilaku yang dapat teramati pada klien gangguan halusinasi penciuman adalah :

a. Hidung yang dikerutkan seperti mencium bau yang tidak enak.

(3)

b. Mencium bau tubuh.

c. Mencium bau udara ketika sedang berjalan ke arah orang lain.

d. Merespon terhadap bau dengan panik seperti mencium bau api atau darah.

e. Melempar selimut atau menuang air pada orang lain seakan sedang memadamkan api.

2.1.2.4 Halusinasi Pengecapan

Perilaku yang terlihat pada klien yang mengalami gangguan halusinasi pengecapan adalah:

a. Meludahkan makanan atau minuman.

b. Menolak untuk makan, minum dan minum obat.

c. Tiba-tiba meninggalkan meja makan.

2.1.2.5 Halusinasi Perabaan

Perilaku yang tampak pada klien yang mengalami halusinasi perabaan yaitu tampak menggaruk-garuk permukaan kulit.

Tanda dan gejala halusinasi dinilai dari hasil observasi terhadap klien serta ungkapan klien. Adapun tanda dan gejala klien halusinasi adalah sebagai berikut:

2.1.2.6 Data subjektif klien mengatakan:

a. Mendengar suara-suara atau kegaduhan.

b. Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap.

c. Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya.

d. Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartun, melihat hantu dan monster.

e. Mencium bau-bauan seperti bau darah, urin, feses, kadang-kadang bau itu menyenangkan.

f. Merasakan rasa seperti darah, urin dan feses.

g. Merasa takutan atau senang dengan halusinasinya.

(4)

2.1.2.7 Data Objektif

a. Bicara atau tertawa sendiri.

b. Marah marah tanpa sebab.

c. Mengarahkan telinga kearah tertentu.

d. Menutup telinga.

e. Menunjuk kearah tertentu.

f. Ketakutan kepada sesuatu yang tidak jelas.

g. Mencium sesuatu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu.

h. Menutup hidung, sering meludah, menggaruk garuk permukaan kulit.

2.1.3 Etiologi

Faktor predisposisi klien halusinasi menurut (Oktiviani, 2020):

2.1.3.1 Faktor Predisposisi a. Faktor perkembangan

Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya control dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil,.mudah frustasi, hilang percaya diri.

b. Faktor sosiokultural

Seseorang yang merasa tidak diterima dilingkungan sejak bayi akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungan.

c. Biologis

Faktor biologis mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogen neurokimia. Akibat stress berkepanjangan menyebabkan teraktivitasnya neuro transmitter otak.

(5)

d. Psikologis

Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanngungjawab mudah terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidak mampuan psien dalam mengambil keputusan yang tepat demimasa depannya, klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alamnyata menuju alam khayal.

e. Sosial Budaya

Meliputi klien mengalami interaksi social dalam fase awal dan comfortin, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat membahayakan.

Klien asyik dengan Halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata.

2.1.3.2 Faktor Presipitasi

Faktor presipitasi merupakan stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan, ancaman, atau tuntutan yang memerlukan social ekstra untuk menghadapinya.

Adanya rangsangan dari lingkunagan, seperti partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama tidak diajak komunikasi, objek yang ada di lingkungan, dan juga suasana sosial terisolasi sering menjadi pencetus terjadinya halusinasi. Hal tersebut dapat meningkatkan Sosial dan kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik (Stuart, Keliat & Pasaribu 2016).

2.1.4 Klasifikasi Halusinasi

Klasifikasi halusinasi terbagi menjadi 5 antaranya:

2.1.4.1 Halusinasi Pendengaran

Mendengar suara-suara atau kebisingan, seperti suara orang atau suara yang berbentuk kebisingan yang kurang keras

(6)

sampai kata-kata yang jelas berbicara tentang klien, bahkan sampai percakapan lengkap antara dua orang atau lebih.

Pikiran yang didengar oleh klien dimana klien disuruh untuk melakukan sesuatu yang kadang-kadang membahayakan (Muhit, 2016). Halusinasi pendengaran adalah mendengar suara atau bunyi yang berkisar dari suara sederhana sampai suara berbicara mengenai klien sehingga klien berespon terhadap suara atau klien bunyi tersebut (Harkomah, 2019).

2.1.4.2 Halusinasi Penglihatan

Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya gambaran geometris, gambaran kartun, banyangan yang rumit dan kompleks. Bayangan menyenangkan atau menakutkan seperti melihat monster (Muhit, 2016). Halusinasi penglihatan adalah yang dimana kontak matakurang, senang menyendiri, terdiam dan memandang kesuatu sudut dan sulit berkonsentrasi (Erviana & Hargiana, 2018).

Berdasarkan beberapa defenisi diatas Halusinasi merupakan gangguan penglihatan yang stimulus visual dalam bentuk klitan cahaya, gambar geometris, dapat dilihat dari kontak mata kurang, senang menyendiri dan sulit berkonsentrasi.

2.1.4.3 Halusinasi Penciuman

Membaui bau-bauan tertentu seperti daah, urin, atau feses, umumnya bau-bauan yang tidak menyenangkan. Halusinasi penciuman sering akibat stroke, tumor, kejang atau demensia (Muhit, 2016). Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis danbau yang menjijikan seperti darah, urine atau fases kadang tercium bau harum.

Berdasarkan beberapa defenisi diatas halusinasi penghidu merupakan gangguan penciuman bau yang biasanya

(7)

ditandai dengan membaui aroma seperti darah, urine dan fases terkadang membaui aroma segar.

2.1.4.4 Halusinasi Pengecapan

Merasa seperti mengecap rasa seperti darah, urin atau feses (Muhit, 2016).

2.1.4.5 Halusinasi Sentuhan

Merasa disentuh, disentuh, ditiup, dibakar, atau bergerak di bawah kulit seperti ulat (Muhit, 2016).

2.1.5 Rentang Respon

Halusinasi adalah reaksi maladaftif individu yang berbeda terhadap rentang respons neurobiologis (Stuart, Keliat & Pasaribu, 2016). Ini adalah perasaan maladaptasi. Jika pasien memiliki pandangan yang sehat akurat, mampu mengenali dan menafsirkan rangsangan menurut pancaindera (pendengaran, penglihatan, penciuman, rasa dan sentuhan) pasien halusinasi Bahkan jika stimulusnya di antara keduatanggapan tersebut terdapat tanggapan yang terpisah Karena satu hal mengalami sosial yang abnormal, yaitu kesalah pahaman Stimulus yang diterimanya adalah ilusi. Pengalaman Pasien yang luas Jika penjelasan untuk stimulasi sensorik tidak menurut stimulus yang diterima, rentang responsnya adalah sebagai berikut:

ADAPTIF MALADATIF

Rentang Respon

• Pikiran logis

• Persepsi akurat

• Emosi konsisten dengan

pengalaman

• Perilaku sesuai

• Berhubungan soial

• Distorsi pikiran

• Ilusi

• Reaksi emosional

• Perilakuaneh/tidak biasa

• Menarik diri

• Gangguan pikir

• Sulit merespon emosi

• Perilaku disorganisasi

• Isolasi sosial

Keterangan:

2.1.5.1 Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima oleh norma-norma sosial budaya yang berlaku. Dengan kata lain

(8)

individu tersebut dalam batas normal jika menghadapi suatu akan dapat memecahkan masalah tersebut.

Respon adaptif meliputi:

a. Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan.

b. Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan.

c. Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari pengalaman ahli.

d. Perilaku sesuai adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas kewajaran.

e. Hubungan sosial adalah proses suatu interkasi dengan orang laindan lingkungan.

2.1.5.2 Respon Psikososial Meliputi:

a. Proses piker terganggu yang menimbulkan gangguan.

b. Ilusi adalah miss intrerprestasi atau penilaian yang salah tentang yang benar-benar terjadi (objek nyata) karena gangguan panca indra.

c. Emosi berlebihan atau kurang.

d. Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas untuk menghindari Interaksi dengan orang lain.

e. Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari hubungan dengan orang lain.

2.1.5.3 Respon maladaptive adalah respon indikasi dalam menyelesaikan masalah yang menyimpang dari norma- norma sosial, budaya dan lingkungan, adapun respon maladaptive ini meliputi:

a. Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan sosial.

(9)

b. Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah satu ataupersepsi eksternal yang tidak realita atau tidak ada.

c. Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbuldari hati

d. Perilaku tak terorganisir merupakan perilaku yang tidak teratur. Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami olehindividu dan diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu kecelakaan yang negatif mengancam.

2.1.6 Fase Halusinasi

Halusinasi terbagi atas bebarapa fase (Oktiviani, 2020):

2.3.6.1 Fase Pertama/Sleep Disorder

Pada fase ini klien merasa banyak masalah, ingin menghindar dari lingkungan, takut diketahui orang lain bahwa dirinya banyak masalah. Masalah makin terasa sulit karna berbagai stressor terakumulasi, misalnya kekasih hamil, terlibat narkoba, dikhianati kekasih, masalah dikampus, dropout, dst. Masalah terasa menekan karena terakumulasi sedangkan supportsistem kurang dan persepsi terhadap masalah sangat buruk. Sulit tidur berlangsung trus- menerus sehingga terbiasa menghayal. Klien menganggap lamunan-lamunan awal tersebut sebagai pemecah masalah 2.3.6.2 Fase Kedua / Comforting

Klien mengalami emosi yang berlanjut seperti adanya perasaan cemas, kesepian, perasaan berdosa, ketakutan, dan mencoba memusatkan pemikiran pada timbulnya kecemasan. Ia beranggapan bahwa pengalaman pikiran dan sensorinya dapat dia kontrol bila kecemasannya diatur, dalam tahap ini ada kecenderungan klien merasa nyaman dengan halusinasinya.

(10)

2.3.6.3 Fase Ketiga / Condemning

Pengalaman sensori klien menjadi sering datang dan mengalami bias. Klien mulai merasa tidak mampu lagi mengontrolnya dan mulai berupaya menjagajarak antara dirinya dengan objek yang dipersepsikan klien mulai menarikdiri dari orang lain, dengan intensitas waktu yang lama.

2.3.6.4 Fase Keempat / Kontrolling Severe Level of Anxiety

Klien mencoba melawan suara-suara atau sensori abnormal yang datang. Klien dapat merasakan kesepian bila halusinasinya berakhir. Dari sinilah dimulai fase gangguan psikotik.

2.3.6.5 Fase ke lima / Conquering Panic Level of Anxiety

Pengalaman sensorinya terganggu. Klien mulai terasa terancam dengan datangnya suara-suara terutama bila klien tidak dapat menuruti ancaman atau perintah yang ia dengar dari halusinasinya. Halusinasi dapat berlangsung selama minimal empat jam atau seharian bila klien tidak mendapatkan komunikasi terapeutik. Terjadi gangguan psikotik berat.

2.1.7 Komplikasi

Halusinasi dapat menjadi suatu alasan mengapa pasien melakukan tindakan perilaku kekerasan karena suara-suara yang memberinya perintah sehingga rentan melakukan perilaku yang tidak adaptif.

Perilaku kekerasan yang timbul pada pasien skizofrenia diawali dengan adanya perasaan tidak berharga, takut dan ditolak oleh lingkungan sehingga individu akan menyingkir dari hubungan interpersonal dengan orang lain (Keliat, 2016). Komplikasi yang dapat terjadi pada klien dengan masalah utama gangguan sensori persepsi halusinasi, antara lain: resiko prilaku kekerasan, harga diri rendah dan isolasi sosial.

(11)

2.2 Gangguan Jiwa 2.2.1 Defenisi

Gangguan jiwa adalah sindrom pola perilaku seseorang yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment) di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia, yaitu fungsi psikologik, perilaku, biologic, dan gangguan itu tidak hanya terletak di dalam hubungan antara orang itu tetapi juga dengan masyarakat (Yusuf, dkk, 2015).

Gangguan jiwa merupakan deskripsi sindrom dengan variasi penyebab. Banyak yang belum diketahui dengan pasti dan perjalanan penyakit tidak selalu bersifat kronis. Pada umumnya serta adanya afek yang tidak wajar atau tumpul (Yusuf, dkk, 2015).

2.2.2 Penyebab Gangguan Jiwa

Manusia bereaksi secara keseluruhan somato-psiko-sosial. Gejala gangguan jiwa yang menonjol adalah unsur psikisnya, tetapi yang sakit dan menderita tetap sebagai manusia seutuhnya (Maramis, 2010) dalam kutipan (Yusuf, dkk, 2015).

2.2.2.1 Faktor somatic (somatogenik), yakni akibat gangguan pada neuroanatomi, neurofisiologi dan neurokimia, termasuk tingkat kematangan dan perkembangan organic serta factor prenatal dan perinatal.

2.2.2.2 Faktor psikologik (psikogenik), yang terkait dengan interaksi ibu dan anak, peranan ayah, persaingan antar saudara kandung, hubungan dalam keluarga, pekerjaan, permintaan maaf.

2.2.2.3 Faktor sosial budaya, yang meliputi factor kestabilan keluarga, pola mengasuh anak, tingkat ekonomi, perumahan dan masalah kelompok minoritas yang meliputi prasangka, fasilitas kesehatan dan kesejahteraan yang tidak memadai, serta pengaruh rasial dan keagamaan.

(12)

2.2.3 Dampak Gangguan Jiwa

Menurut Kurniawan (2016) dari anggota yang menderita gangguan jiwa bagi keluarga diantaranya keluarga belum terbiasa dengan:

2.2.3.1 Penolakan

Sering terjadi dan timbul ketika ada keluarga yang menderita gangguan jiwa, pihak anggota keluarga lain menolak penderita tersebut dan meyakini memiliki penyakit berkelanjutan. Selama episode akut anggota keluarga akan khawatir dengan apa yang terjadi pada mereka cintai.

2.2.3.2 Stigma

Informasi dan pengetahuan tentang gangguan jiwa tidak semua dalam anggota keluarga mengetahuinya. Keluarga menganggap penderita tidak dapat berkomunikasi layaknya orang normal lainnya. Menyebabkan beberapa keluarga merasa tidak nyaman untuk mengundang penderita dalam kegiatan tertentu. Stigma dalam begitu banyak di kehidupan seharihari, tidak mengherankan, semua ini dapat mengakibatkan penarikan dari aktif berpartisipasi dalam kehidupan sehari-hari.

2.2.3.3 Frustasi, Tidak Berdaya dan Kecemasan

Sulit bagi siapa saja untuk menangani dengan pemikiran aneh dan tingkah laku aneh dan tak terduga. Hal ini membingungkan, menakutkan, dan melelahkan. Bahkan ketika orang itu stabil pada obat, apatis dan kurangnya motivasi bisa membuat frustasi. Anggota keluarga memahami kesulitan yang penderita miliki. Keluarga dapat menjadi marah-marah, cemas, dan frustasi karena berjuang untuk mendapatkan kembali ke rutinitas yang sebelumnya penderita lakukan.

(13)

2.2.3.4 Kelelahan dan Burn out

Seringkali keluarga menjadi putus asa berhadapan dengan orang yang dicintai yang memiliki penyakit mental. Mereka mungkin mulai merasa tidak mampu mengatasi dengan hidup dengan orang yang sakit yang harus terus-menerus dirawat. Namun seringkali, mereka merasa terjebak dan lelah oleh tekanan dari perjuangan sehari-hari, terutama jika hanya ada satu anggota keluarga mungkin merasa benar- benar diluar kendali. Hal ini bisa terjadi karena orang yang sakit ini tidak memiliki batas yang ditetapkan di tingkah lakunya. Keluarga dalam hal ini perlu dijelaskan kembali bahwa dalam merawat penderita tidak boleh merasa letih, karena dukungan keluarga tidak boleh berhenti untuk selalu mensupport penderita.

2.2.3.5 Duka

Kesedihan bagi keluarga di mana orang yang dicintai memiliki penyakit mental. Penyakit ini mengganggu kemampuan seseorang untuk berfungsi dan berpartisipasi dalam kegiatan normal dari kehidupan sehari-hari, dan penurunan yang dapat terus-menerus. Keluarga berduka ketika orang yang dicintai sulit untuk disembuhkan dan melihat penderita memiliki potensi berkurang secara substansial bukan sebagai yang memiliki potensi berubah.

2.3 Terapi Aktivitas Kelompok 2.3.1 Defenisi

Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) adalah manual, rekreasi, dan teknik kreatif untuk memfasilitasi pengalaman seseorang serta meningkatkan respon sosial dan harga diri. Terapi aktivitas kelompok merupakan salah satu terapimodalitas yang dilakukan perawat kepada sekelompok pasien yang mempunyai masalah keperawatan yang sama. Terapi aktivitas kelompok dibagi sesuai dengan kebutuhan

(14)

yaitu, stimulasi persepsi sensori, orientasi realita, sosialisasi dan penyaluran energi (Keliat & Akemat, 2016).

2.3.2 Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi

Terapi aktivitas kelompok (TAK) simulasi persepsi adalah terapi yang menggunakan aktivitas mempersepsikan berbagai stimulasi yang terkait dengan pengalaman dengan kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok. Tujuan dari terapi ini untuk membantu pasien yang mengalami kemunduran orientasi, menstimuli persepsi dalam upaya memotivasi proses berfikir dan afektif serta mengurangi perilaku maladaptif (Sutejo, 2017). Hasil diskusi kelompok dapat berupa kesepakatan persepsi atau alternatif penyelesaian masalah.

2.3.3 Kegiatan Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi 2.3.3.1 Tujuan

a. Tujuan Umum

Pasien dapat meningkatkan kemampuan diri dalam mengontrol halusinasi dalam kelompok secara bertahap.

b. Tujuan Khusu.

1) Pasien dapat mengenal halusinasi.

2) Pasien dapat mengontrol halusinasi dengan menghardik.

3) Pasien dapat mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan.

4) Pasien dapat mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap.

5) Pasien dapat memanfaatkan obat dengan baik.

2.3.3.2 Kriteria Anggota Kelompok

Menurut Sustrami dan Sundari (2014), kriteria anggota kelompok yang sesuai yaitu:

a. Pasien yang mengalami halusinasi pendengaran.

b. Pasien halusinasi pendengaran yang sudah terkontrol.

c. Pasien yang dapat diajak kerjasama.

(15)

2.3.3.3 Proses Seleksi

a. Berdasarkan observasi dan wawancara.

b. Menindak lanjuti asuhan keperawatan.

c. Informasi dan keterangan dari pasien sendiri dan perawat.

d. Penyelesian masalah berdasarkan masalah keperawatan.

e. Pasien cukup kooperatif dan dapat memahami pertanyaan yang diberikan.

f. Mengadakan kontrak dengan pasien.

2.3.3.4 Waktu dan Tempat Pelaksanaan - Hari, tanggal, Waktu, dan Tempat.

2.3.3.5 Nama Anggota Kelompok 2.3.3.6 Media dan Alat

a. Boardmarker/spidol b. Whiteboard/papan tulis c. Kertas

d. Bolpoin 2.3.3.7 Metode

a. Diskusi

b. Bermain peran 2.3.3.8 Susunan Pelaksana

Berikut peran perawat dan uraian tugas dalam terapi aktivitas kelompokmenurut Sutejo (2017) adalah sebagai berikut :

a. Leader b. Co-leader c. Fasilitator d. Observer

(16)

2.3.3.9 Uraian Tugas a. Leader

1) Membacakan tujuan dan peraturan kegiatan terapi aktifitas kelompok sebelum kegiatan dimulai.

2) Memberikan memotivasi anggota untuk aktif dalam kelompok dan memperkenalkan dirinya.

3) Mampu memimpin terapi aktifitas kelompok dengan baik dan tertib.

4) Menetralisir bila ada masalah yang timbul dalam kelompok.

5) Menjelaskan permainan.

b. Co-Leader

1) Menyampaikan informasi dari fasilitatorke leader tentang aktifitas

2) Membantu leader dalam memimpin permainan.

3) Mengingatkan leader jika kegiatan menyimpang.

4) Memberikan punishment bagi kelompok yang kalah.

c. Fasilitator

1) Memfasilitasi pasien yang kurang aktif.

2) Memberikan stimulus pada anggota kelompok.

3) Berperan sebagai role play bagi pasien selama kegiatan.

d. Observer

1) Mengobservasi dan mencatat jalannya proses kegiatan.

2) Mencatat perilaku verbal dan nonverbal pasien selama kegiatan berlangsung.

3) Mencatat peserta yang aktif dan pasif dalam kelompok.

(17)

4) Mencatat jika ada peserta yang drop out dan alasan drop out.

2.3.3.10 Setting Tempat

Gambar 1 Setting Tempat TAK (Sumber: Sutejo, 2017).

2.3.3.11 Sesi TAK Stimulasi Persepsi:

a. Sesi 1` : Mengenal halusinasi

b. Sesi 2 : Mengontrol halusinasi dengan teknik menghardik

c. Sesi 3 : Mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan / membuat jadwal kegiatan

d. Sesi 4 : Mencegah halusinasi dengan bercakap-cakap e. Sesi 5 : Mengontrol halusinasi dengan patuh minum

obat.

2.3.3.12 Tahap TAK stimulasi persepsi halusinasi pendengaran menurut Keliat dan Akemat (2016) adalah sebagai berikut : a. Tahap Persiapan

1) Memilih pasien sesuai dengan kriteria melalui proses seleksi, yaitu pasien dengan gangguan sensori persepsi halusinasi pendengaran.

(18)

2) Membuat kontrak dengan pasien.

3) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.

b. Tahap Orientasi 1) Salam terapeutik

a) Salam dari perawat kepada pasien.

b) Perkenalkan nama dan panggilan perawat (pakai papan nama).

c) Menanyakan nama dan panggilan semua pasien (beri papannama).

2) Evaluasi/validasi

Menanyakan perasaan pasien saat ini.

3) Kontrak

a) Perawat menjelaskan tujuan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu menegenal suara-suara yang didengar. Jika pasien sudah terbiasa menggunakan istilah halusinasi, gunakan kata

“halusinasi”.

b) Perawat menjelaskan aturan main berikut:

(1) Jika ada pasien meninggalkan kelompok harus minta izin kepada perawat.

(2) Lama kegiatan 45 menit.

(3) Setiap pasien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.

c. Tahap Kerja

1) Sesi 1: Mengenal halusinasi

a) Perawat menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan, yaitu mengenal suara-suara yang didengar tentang isinya, waktu terjadinya, situasi terjadinya, dan perasaan pasien pada saat terjadi.

b) Perawat meminta pasien untuk menceritakan tentang halusinasinya, mulai dari pasien yang

(19)

ada di sebelah kanan perawat secara berurutan berlawanan jarum jam sampai semua pasien mendapat giliran. Hasilnya ditulis di whiteboard.

c) Beri pujian pada pasien yang melakukan dengan baik.

d) Simpulkan isi, waktu terjadi, situasi terjadi, dan perasaan pasien dari suara yang biasa didengar.

2) Sesi 2: Mengontrol halusinasi dengan teknik menghardik

a) Perawat menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan, yaitu cara pertama mengontrol halusinasi dengan teknik menghardik.

b) Perawat meminta pasien untuk menyebutkan cara yang selamaini digunakan untuk mengatasi halusinasinya, menyebutkan efektivitas cara, mulai dari pasien yang ada di sebelah kanan perawat secara berurutan berlawanan jarum jam sampai semua pasien mendapat giliran. Hasilnya ditulis di whiteboard.

c) Perawat menjelaskan dan memperagakan cara mengontrol halusinasi dengan teknik menghardik yaitu kedua tangan menutup telinga dan berkata

“Diamlah suara-suara palsu, aku tidak maudengar lagi”.

d) Perawat meminta pasien untuk memperagakan Teknik menghardik, mulai dari pasien yang ada di sebelah kanan perawat sampai semua pasien mendapat giliran.

e) Beri pujian setiap kali pasien selesai memperagakan.

(20)

3) Sesi 3: Mengontrol halusinasi dengan membuat jadwal kegiatan

a) Perawat menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan, yaitu cara kedua mengontrol halusinasi dengan membuat jadwal kegiatan.

Jelaskan bahwa dengan melakukan kegiatan yang teratur akan mencegah munculnya halusinasi.

b) Perawat meminta pasien menyampaikan kegiatan yang biasa dilakukan sehari-hari, dan tulis di whiteboard.

c) Perawat membagikan formulir jadwal kegiatan harian. Perawat menulis formulir yang sama di whiteboard.

d) Perawat membimbing satu persatu pasien untuk membuat jadwal kegiatan harian, dari bangun pagi sampai tidur malam. Pasien menggunakan formulir, perawat menggunakan whiteboard.

e) Perawat melatih pasien memperagakan kegiatan yang telah disusun.

f) Perawat meminta pasien untuk membacakan jadwal yang telah disusun. Berikan pujian dan tepuk tangan bersama untuk pasien yang sudah selesai membuat jadwal dan membacakan jadwal yang telah dibuat.

g) Perawat meminta komitmen masing-masing pasien untuk melaksanakan jadwal kegiatan yang telah disusun dan memberitanda M kalau dilaksanakan, tetapi diingatkan terlebih dahulu oleh perawat, dan T kalau tidak dilaksanakan.

(21)

4) Sesi 4: Mengontrol halusinasi dengan bercakap- cakap

a) Perawat menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan, yaitu caraketiga mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap. Jelaskan bahwa pentingnya bercakap-cakap dengan orang lain untuk mencegah halusinasi.

b) Perawat meminta tiap pasien menyebutkan orang yang biasadan bisa diajak bercakap-cakap.

c) Perawat meminta pasien menyebutkan pokok pembicaraan yang biasa dan bisa dilakukan.

d) Perawat memperagakan cara bercakap-cakap jika halusinasi muncul “Suster, ada suara di telinga, saya mau ngobrol saja dengan suster” atau

“Suster saya mau ngobrol tentang kegiatan harian saya”.

e) Perawat meminta pasien untuk memperagakan percakapan dengan orang disebelahnya.

f) Berikan pujian atas keberhasilan pasien.

g) Ulangi (5) dan (6) sampai semua mendapat giliran.

5) Sesi 5: Mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat

a) Perawat menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan, yaitu cara terakhir mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat. Jelaskan bahwa pentingnya patuh minum obat yaitu mencegah kambuh karena obat memberi perasaan tenang, dan memperlambat kambuh.

b) Perawat menjelaskan kerugian tidak patuh minum obat, yaitu penyebab kambuh.

(22)

c) Perawat meminta pasien menyampaikan obat yang diminum dan waktu meminumnya. Buat daftar di whiteboard.

d) Perawat menjelaskan lima benar minum obat, yaitu benar obat, benar waktu, benar pasien, benar cara, benar dosis.

e) Minta pasien untuk menyebutkan lima benar cara minum obat,secara bergiliran.

f) Berikan pujian pada paisen yang benar.

g) Mendiskusikan perasaan pasien setelah teratur minum obat (catat di whiteboard).

h) Menjelaskan keuntungan patuh minum obat, yaitu salah satu cara mencegah halusinasi atau kambuh.

i) Menjelaskan akibat/kerugian tidak patuh minum obat, yaitu kejadian halusinasi atau kambuh.

j) Minta pasien menyebutkan kembali keuntungan patuh minum obat dan kerugian tidak patuh minum obat.

k) Memberi pujian tiap kali pasien benar.

d. Tahap Terminasi 1) Evaluasi

a) Perawat menanyakan perasaan pasien setelah mengikuti TAK.

b) Perawat menanyakan jumlah cara mengontrol halusinasi yang selama ini dipelajari.

c) Perawat memberikan pujian atas keberhasilan pasien.

2) Tindak lanjut

Menganjurkan pasien menggunakan empat cara mengontrol halusinasi.

(23)

3) Kontrak yang akan datang

a) Perawat mengakhiri sesi TAK stimulasi persepsi untuk mengontrol halusinasi.

b) Buat kesepakatan baru untuk TAK yang lain sesuai indikasi pasien.

e. Evaluasi dan Dokumentasi

Evaluasi dilakukan saat TAK berlangsung, khususnya pada tahapkerja. Formulir evaluasi atau lembar observasi pada TAK sesuai sesi yang dilakukan.

2.3.4 Keterkaitan TAK Stimulasi Persepsi dengan Kemampuan Pasien Mengontrol Halusinasi

Terapi aktivitas kelompok adalah salahsatu terapi modalitas yang merupakanupaya untuk memfasilitasi perawat atau psikoterapis terhadap sejumlah pasien pada waktu yang sama. Terapi aktivitas kelompok (TAK) stimulasi persepsi adalah pasien dilatih mempersepsikan stimulus yang disediakan atau stimulus yang pernah dialami (Keliat Budi Anna, 2014) Tujuan dari terapi aktivitas adalah untuk memantau dan meningkatkan hubungan interpersonal antar anggota (Purwanto,2015). Hasil diskusi kelompok dapat berupa kesepakatan persepsi atau alternative penyelesaian masalah (Keliat Budi Anna, 2014).

Kemampuan pasien dalam mengontrol halusinasi bisa kendalikan dengan terapi aktifitas kelompok stimulasi persepsi halusinasi. Terapi aktivitas kelompok (TAK) stimulasi persepsi adalah pasien dilatih mempersepsikan stimulus yang disediakan atau stimulus yang pernah dialami dalam kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok.

Kemampuan persepsi pasien dievaluasi dan ditingkatkan pada tiap sesi. Dengan proses ini diharapkan respons pasien terhadap berbagai stimulus dalam kehidupan menjadi adaptif (Sustrami& Sundari, 2014).

(24)

Penggunaan terapi kelompok dalam praktek keperawatan jiwa akan memberikan dampak positif dalam upaya pencegahan, pengobatan atau terapi serta pemulihan kesehatan. Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi ini sebagai upaya untuk memotivasi proses berpikir, mengenal halusinasi, melatih pasien mengontrol halusinasi serta mengurangi perilaku maladaptif (Ningsih, P. et.al, 2013).

Menurut Purwaningsih dan Karlina (2010) Terapi Aktivitas Kelompok memberikan hasil yang lebih besar terhadap perubahan perilaku pasien, meningkatkan perilaku adaptif serta mengurangi perilaku maladaptif. Bahkan Terapi Aktivitas Kelompok memberikan modalitas terapeutik yang lebih besar dari pada hubungan terapeutik antara dua orang yaitu perawat dan klien.

2.4 Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian-penelitian yang akan dilakukan Kerangka konsep ini terdiri dari variabel-variabel sertahubungan variabel yang satu dengan yang lain (Notoatmodjo, 2012).

Dalam penelitian ini konsep yang diajukan adalah kemampuan mengontrol halusinasi sebagai variable terikat (dependen) dan terapiaktivitas sebagai intervening.

Berdasarkan landasan teori tersebut diatas, maka kerangka konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

(25)

Keterangan :

: Variabel Independen (Yang Diteliti).

: Variabel Dependen.

2.5 Hipotesis Penelitian

Menurut Dantes (2012) Menyatakan hipotesis sebagai praduga atau asumsi yang harus diuji melalui data atau fakta yang diperoleh dengan jalan penelitian. Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk pertanyaan. Hipotesis dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori (Sugiyono,2014). Berdasarkan landasan teori tersebut, maka hipotesis dari penelitian ini adalah: Ada pengaruh terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi terhadap kemampuan pasien mengontrol halusinasi diruang jiwa di RSUD Brigjend H. Hasan Basry Kandangan.

Referensi

Dokumen terkait

Our findings showed that testicular weight, testicular diameter, seminiferous tubule diameter, and spermatogenic cell count could be predicted based on the