• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA SELF EFFICACY DENGAN ADVERSITY QUOTIENT SISWA/I KELAS X DAN XI TATA BOGA SMK SANTA MARIA JUANDA - JAKARTA

N/A
N/A
Stef Tino Prasetiyo

Academic year: 2023

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA SELF EFFICACY DENGAN ADVERSITY QUOTIENT SISWA/I KELAS X DAN XI TATA BOGA SMK SANTA MARIA JUANDA - JAKARTA"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

JAKARTA

SKRIPSI

DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI PERSYARATAN DALAM MENDAPATKAN GELAR SARJANA PENDIDIKAN STRATA SATU

OLEH : MARIA FAUSTINA NIM : 2006 – 34 - 002

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING FAKULTAS KEGURUAN DAN ILU PENDIDIKAN UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA

JAKARTA 2010

(2)
(3)
(4)

Maria Faustina (2006-34-002)

HUBUNGAN ANTARA SELF EFFICACY DENGAN ADVERSITY QUOTIENT

SISWA/I KELAS X DAN XI TATA BOGA SMK SANTA MARIA JUANDA – JAKARTA TAHUN AJARAN 2009/2010

xii + 45 halaman + 5 tabel + 2 grafik + 15 lampiran Kata Kunci : Self Efficacy, Adversity Quotient

Self Efficacy adalah gambaran penilaian mengenai kapabilitas yang diyakini individu dalam melakukan suatu tugas yang spesifik dalam situasi tertentu. Konsep self efficacy tidak merujuk pada konsep kepercayaan diri secara global, namun merujuk pada kepercayaan diri seseorang dalam situasi dan tugas yang spesifik. Ketika seseorang menghadapi keadaan yang spesifik atau melakukan tugas tertentu, di saat itulah self efficacy terlihat. Self efficacy berpengaruh terhadap jenis aktifitas dan tingkat kesulitan sebuah tugas yang hendak dipilih. Sumber self efficacy antara lain pengalaman di masa lalu (actual performance), pengalaman orang lain (vicarious experiences), dukungan secara verbal (verbal persuasion), dan keadaan emosi (emotional arousal). Self efficacy terukur dari empat proses psikologis yaitu cognitive, affective, motivational, dan decision process.

Adversity quotient adalah kemampuan seseorang menghadapi sebuah kesulitan dan tantangan yang dihadapinya, kemudian memberikan respon berdasarkan dimensi control, origin dan ownership, reach, dan endurance. Keempat dimensi ini digunakan untuk mengukur adversity quotient. Faktor-faktor pembentuk dalam adversity quotient berasal dari komponen kinerja, bakat dan kemauan, kecerdasan, kesehatan, dan karakter, genetika, pendidikan, dan keyakinan. Faktor tersebut membentuk tiga jenis orang menurut tingkat adversity quotient yang dimiliki, yaitu individu yang berhenti (quitters), individu yang berkemah (campers), para pendaki (climbers). Dalam menghadapi tantangan, respon ketiga tipe orang tersebut berbeda-beda. Respon dan perilaku tersebut akan terlihat berdasarkan dimensi control, origin dan ownership, reach, dan endurance

(5)

individu perlu meningkatkan adversity quotient dalam setiap usaha yang dikeluarkan di saat menghadapi suatu tantangan.

Tujuan penelitian ini adalah melihat hubungan antara self efficacy dengan adversity quotient. Peneliti memilih jenis penelitian korelasional dan menggunakan metode pengumpulan data skala penilaian untuk mengukur self efficacy dan adversity quotient.

Instrumen self efficacy terdiri dari 119 pernyataan yang telah diujicobakan, sebanyak 47 pernyataan dinyatakan valid dan reliabilitas instrumen sebesar 0,956. Instrumen adversity quotient terdiri dari 88 pernyataan telah diujicobakan, sebanyak 30 pernyataan dinyatakan valid dan reliabilitas instrumen sebesar 0,936.

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan positif yang signifikan sebesar 0,398 antara self efficacy dengan adversity quotient. Ini berarti, semakin tinggi tingkat self efficacy diri seseorang, akan semakin tinggi pula tingkat adversity quotient. Sebaliknya, semakin rendah tingkat self efficacy seseorang, maka akan semakin rendah tingkat adversity quotient.

Saran peneliti bagi program studi Bimbingan dan Konseling adalah program studi harus membekali ilmu bimbingan dan konseling pada mahasiswa terutama peminat pendidikan di mana akan sering menghadapi siswa/i. Pembekalan yang dapat diberikan berupa pelatihan atau program praktek lapangan yang bisa lebih menambah keterampilan mahasiswa untuk membuat pengajaran dan memotivasi bagi siswa/i untuk meningkatkan self efficacy, agar siswa memiliki konsep yang positif mengenai kemampuan diri yang dimiliki. Self efficacy yang tinggi secara positif akan membantu meningkatkan kemampuan siswa untuk meningkatkan adversity quotient sehingga daya juang dan usaha yang dikeluarkan bisa lebih maksimal.

Daftar Pustaka : 18 (1977 – 2009)

Pembimbing Skripsi : Dra. Aloysia Hendriastuti, M.A

(6)

Puji syukur kepada Tuhan Yesus yang telah memberikan segala hikmat dan penyertaanNya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan antara Self Efficacy dengan Adversity Quotient Siswa/i Kelas X dan XI Tata Boga SMK Santa Maria Juanda – Jakarta.” Adapun penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selesainya skripsi ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Dra. Aloysia Hendriastuti, M.A, selaku pembimbing skripsi yang telah banyak membantu penulis dengan memeberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

2. Ibu Sri Purnami, S.Pd., selaku Kepala Sekolah SMK Santa Maria Juanda, atas kesempatan untuk melakukan penelitian.

3. Ibu Maria Claudia W., selaku pembimbing akademik yang tidak pernah lelah memotivasi penulis untuk terus berjuang menyelesaikan skripsi.

4. Ibu P.V Sriyani Wikarta, S.Pd., selaku Kepala Program Studi Bimbingan dan Konseling FKIP Unika Atma Jaya Jakarta.

5. Ibu Prof. Dr. Laura Sudarnoto selaku dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unika Atma Jaya.

6. Guru-guru SMK Santa Maria, khususnya Ibu Ani yang telah banyak membantu penulis dalam mempelajari kurikulum Tata Boga, juga Ibu Isti dan Ibu Anastasia untuk kesempatan menggunakan jam pelajaran BK.

7. Dosen-dosen FKIP Bimbingan dan Konseling, khususnya Ibu Gerda K.W.

M.Psi, yang banya membantu sebagai Pembimbing Akademik kedua. Juga

(7)

8. Papa, Mama, Theo dan Emon, terima kasih untuk kesabaran, dukungan dan doa untuk penulis bisa menyelesaikan skripsi dengan secepatnya.

9. Teman-teman komsel penulis, khususnya Tineke dan Ka Abby, sahabat dan mentor yang senantiasa berdoa, memotivasi, dan memberikan banyak masukan untuk penulis dalam mengerjakan skripsi.

10. Teman-teman angkatan 2006, Natal, Sisca, Lisa, Deta, Rara, Sony, Shang Hyang, dan semua yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah banyak membantu penulis selama 4 tahun.

11. Yayasan Master’s Hand, tempat penulis bekerja yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk dapat konsultasi dan mengurus skripsi di sela jam kerja.

Penulis menyadari penuh bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna, dan perlu banyak masukan untuk dikembangkan lebih lagi. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.

Jakarta, 21 Juni 2010 Penulis,

Maria Faustina

(8)

Halaman judul ... i

Berita Acara Ujian Skripsi ... ii

Persetujuan Pembimbing Skripsi ... iii

Abstrak ... iv

Kata Pengantar ... vi

Daftar Isi ... viii

Daftar Tabel ... x

Daftar Grafik ... xi

Daftar Lampiran ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat ... 7

BAB II KAJIAN TEORI ... 9

A. Kerangka Teori ... 9

1. Self Efficacy ... 9

2. Adversity Quotient ... 17

3. Sekolah Menengah Kejuruan Tata Boga ... 26

B. Kerangka Berpikir ... 28

BAB III METODE PENELITIAN ... 30

A. Subjek Penelitian ... 30

B. Waktu dan Tempat Penelitian ... 30

C. Variabel Penelitian ... 31

(9)

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 35

B. Analisis Deskriptif ... 35

C. Analisis Korelasi ... 38

D. Pembahasan Hasil Penelitian ... 39

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

A. Kesimpulan ... 41

B. Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 44

(10)

Tabel 1. Statistik Deskriptif Self Efficacy ... 35

Tabel 2. Klasifikasi Skor Self Efficacy ... 36

Tabel 3. Statistik Deskriptif Adversity Quotient ... 37

Tabel 4. Klasifikasi Skor Adversity Quotient ... 37

Tabel 5. Tabel Korelasi ... 38

(11)

Grafik 1. Klasifikasi Skor Self Efficacy ... 36 Grafik 2. Klasifikasi Skor Adversity Quotient ... 37

(12)

Lampiran I. Kisi-kisi Skala Penilaian Self Efficacy ... 46

Lampiran II. Kisi-kisi Skala Penilaian Adversity Quotient ... 47

Lampiran III. Skala Penilaian Variabel Self Efficacy (Sebelum Uji Validitas) ... 48

Lampiran IV. Skala Penilaian Variabel Adversity Quotient (Sebelum Uji Validitas ... 59

Lampiran V. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Self Efficacy ... 66

Lampiran VI. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Adversity Quotient ... 69

Lampiran VII. Skala Penilaian Variabel Self Efficacy (Setelah Uji Validitas ... 72

Lampiran VIII. Skala Penilaian Variabel Adversity Quotient (Setelah Uji Validitas) .... 77

Lampiran IX. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Self Efficacy (Setelah item buruk dibuang) ... 80

Lampiran X. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Adversity Quotient (Setelah item buruk dibuang) ... 82

Lampiran XI. Korelasi dan Frekuensi Self Efficacy dan Adversity Quotient ... 83

Lampiran XII. Skor Self Efficacy ... 84

Lampiran XIII. Skor Adversity Quotient ... 90

Lampiran XIII. Laporan Konsultasi Skripsi ... 95

Lampiran XIV. Surat Ijin Melakukan Skripsi ... 96

(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Indonesia dan pendidikan sampai kapanpun tidak bisa dipisahkan. Semua orang tahu bahwa ketika pendidikan Indonesia dibicarakan, maka mau tak mau kualitas anak didik, tenaga pendidiknya, alat-alat dan sarana pendidikan, sistem pendidikannya harus dibicarakan juga. Komponen tesebut akan menghasilkan kualitas pendidikan yang utuh dalam bentuk seorang manusia yang berkepribadian dewasa dan bersusila. Kualitas manusia tersebut adalah tiang-tiang pemancang bagi bangsa ini yang akan menggambarkan seberapa besar kualitas bangsa.

Laporan UNDP tahun 2009 mengenai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun menunjukkan bahwa Indonesia masih menduduki peringkat ke 108 dari 177 negara dilihat dari pengukuran tingkat pembangunan manusianya.

Indonesia masih berada di bawah Sri Lanka, Jamaica, dan Vietnam.

(http://id.wikipedia.org). Faktor-faktor yang menentukan kualitas Indeks Pembangunan Manusia Indonesia memang bukan ditentukan oleh faktor pendidikan semata. Faktor seperti kesehatan, daya beli masyarakat, memang menentukan tingkat kesejahteraan suatu bangsa. Namun, faktor pendidikan bisa menjadi indikator komposit yang menentukan suatu bangsa.

Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan

(14)

sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).

Pendidikan yang baik bukan hanya pendidikan yang menghasilkan manusia- manusia dengan tingkat kejeniusan yang tinggi, namun menciptakan manusia dewasa dan mandiri, bukan hanya sekedar menambah angka jumlah kelulusan setiap tahunnya. Yang jadi pertanyaan selanjutnya setelah para siswa lulus, lalu mau jadi apa? Jumlah pengangguran pada tahun 2008 sebanyak 9,43 jiwa (8,46%) (sumber: www.setneg.go.id). Lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah penyumbang terbesar penganggur di Indonesia, yakni 3,36 juta orang atau 35,6 persen dari 9,43 juta penganggur. Tidak lolos seleksi dalam penerimaan kerja dikarenakan para pelamar tersebut tidak memenuhi kualifikasi sebagai tenaga kerja. Jumlah penganggur itu masih ditambah mereka yang baru lulus program sarjana, yakni 630.000 orang, ada lulus program diploma 510.000 orang. (Warta Kota, 2009)

Berdasarkan data BPS bulan Febuari 2009, angka pengangguran lulusan SMK sebesar 15,69% lebih besar dibanding tingkat lulusan pendidikan lainnya. Jumlah pengangguran lulusan SD sebesar 4,51%; lulusan SMP sebesar 9,38%; lulusan SMA sebesar 12,36%; lulusan Diploma sebesar 15,38%; dan lulusan Universitas sebesar 12,94%. Dari semua tingkatan pendidikan, jumlah pengangguran terbesar ada pada lulusan tingkat SMK. Menjadi suatu pertanyaan bagi peneliti, mengapa jumlah pengangguran terbesar justru muncul dari SMK? Padahal, belakangan ini sering terdengar, bahwa kuantitas SMK akan ditingkatkan agar mendekati jumlah SMA. Pemerintah juga banyak menampilkan iklan-iklan dan himbauan agar

(15)

pelajar lulusan SMP dapat mempertimbangkan SMK sebagai pilihan sekolah lanjutan. Pada kenyataannya banyak lulusan sekolah menengah kejuruan yang belum siap bekerja dan menjadi pengganguran, ada beberapa diantaranya lebih senang dan memilih menjadi pegawai atau buruh, dan sebaliknya hanya sedikit sekali yang tertarik untuk berwirausaha (Kompas, 2004).

Setiap orang tahu mengenai kesuksesan, namun tidak semua orang dapat mencapainya. Ini karena adanya faktor keinginan (motivasi) mencapai sesuatu mendorong individu untuk sukses. Individu yang memiliki Need for achivement yang tinggi akan berani dalam mengambil keputusan yang harus dibuatnya.

Keinginan yang tinggi untuk berhasil dalam mencapai sesuatu membentuk kepercayaan diri dan pengendalian diri yang tinggi (Locus of control) individu tersebut. Pengendalian timbul dari kepercayaan (belief) individu terhadap sesuatu yang ada di luar dirinya.

Faktor yang lainnya adalah self-efficacy. Menurut Bandura, 1994 (wikipedia.org) persepsi diri dan kemampuan diri berperan dalam membangun intensi. Individu yang merasa memiliki self-efficacy tinggi akan memiliki intensi yang tinggi untuk kemajuan diri. Menurut Bandura, 1994 (wikipedia.org), individu yang memiliki self efficacy yang tinggi akan sangat mudah dalam menghadapi tantangan. Individu tidak merasa ragu karena individu tersebut memiliki kepercayaan yang penuh dengan kemampuan dirinya. Saat menghadapi masalah, individu mampu bangkit dari kegagalan yang dialaminya.

Inilah yang menjadi tantangan bagi sekolah kejuruan, yaitu bagaimana supaya dapat mencetak tenaga terampil yang siap diterima di lapangan kerja dan di tengah krisis ekonomi dan sempitnya lapangan pekerjaan. Dibutuhkan siswa yang

(16)

memiliki kepercayaan diri (self efficacy) dan daya juang (adversity quotient) yang tinggi untuk dapat memanfaatkan tantangan yang ada menjadi peluang.

Permasalahan bukan terdapat pada peluang, namun pada usaha dan tenaga yang dikeluarkan oleh seseorang untuk memanfaatkan setiap peluang yang ada. Setiap usaha dan tenaga yang dikeluarkan itu tergambar dalam adversity qoutient.

Adversity quotient menjadi penting karena banyak orang menjadi gagal mencapai kesuksesan karena sikap yang salah, yaitu sikap yang memutuskan untuk mundur dan berhenti dari perjuangan.

Bandura dalam Pervin (1996) menyatakan bahwa orang yang memiliki self efficacy yang tinggi akan bangkit kembali dari kegagalan, dan menghadapi segala rintangan dengan mencoba berbagai strategi dan bukan mencemaskan akibatnya nanti bila melakukan kesalahan. Sikap menghadapi masalah ini merupakan gambaran mengenai daya juang (adversity quotient). Julian Rotter dalam Stoltz (2000) menyatakan bahwa orang-orang yang yakin dan mampu untuk bisa mengontrol situasi yang ada, dan menganggap kesulitan berasal dari dalam dirinya dan bisa diatasi (internal locus of control) tidak akan mengalami depresi dan cenderung mau bertindak untuk memperbaiki situasi yang buruk tersebut dibanding dengan orang-orang yang menganggap bahwa segala kesulitan berasal dari luar yang tidak bisa dikontrol (external locus of control). Jadi, Bandura dan Rotter menggambarkan individu yang memiliki keyakinan yang tinggi mengenai kemampuannya akan mampu berjuang lebih ekstra dibanding orang yang lain.

Jakarta memiliki 65 SMK Negri, 521 SMK Swasta, dan total SMK di Jakarta sebanyak 586 Sekolah Menengah Kejuruan (sumber: npsn.jardiknas.org), baik dari jurusan pariwisata, akuntansi, teknik mesin, dan lain sebagainya. Salah satu

(17)

sekolah yang dipilih untuk penelitian ini adalah SMK Santa Maria, salah satu SMK swasta yang ada di Jakarta yang memiliki dua jurusan, yaitu tata boga dan busana. SMK Santa Maria sudah cukup terkenal dalam jurusan Tata Boga.

Sebelum melakukan penelitian ini, peneliti melakukan praktek konseling di sekolah tersebut. Banyak informasi dan fakta yang didapat mengenai keadaan siswa/i di sekolah tersebut. Beberapa siswa mengalami kesulitan dalam hal beradaptasi dengan sekolah, terutama siswa/i kelas X. Alasan yang dikemukakan oleh siswa, antara lain jurusan tata boga bukan bidang yang diminati, ada juga yang memilih jurusan tata boga karena ingin menghindari pelajaran umum di SMA dan merasa pelajaran Tata Boga jauh lebih mudah.

Secara kualitas, jurusan tata boga SMK Santa Maria sudah mendapat pengakuan. Sekolah ini sering mengadakan perlombaan, baik sebagai tuan rumah maupun sebagai peserta dalam beberapa perlombaan. Sekolah ini sudah memiliki fasilitas memadai untuk mendukung kegiatan belajar. Tentunya dari segi tenaga pengajar berpengalaman tidak menjadi hambatan untuk kemajuan belajar siswa/i.

Hal yang menarik bagi peneliti adalah, dengan adanya pembekalan skill disertai tersedianya fasilitas yang memadai dan lengkap menjamin tercetaknya pribadi- pribadi yang siap untuk masuk dunia kerja? Sikap mental seperti apakah yang bisa dihasilkan, terutama bagi siswa/i yang tidak berminat di bidang tata boga.

Peneliti ingin melihat seberapa besar self efficacy siswa/i SMK berpengaruh terhadap adversity quotient siswa/i di sekolah. Oleh karena itu, peneliti ingin melakukan suatu penelitian mengenai hubungan antara self efficacy dengan adversity quotient siswa/i kelas X dan XI jurusan Tata Boga SMK Santa Maria Juanda.

(18)

B. Permasalahan

1. Identifikasi masalah.

a. Bagaimana cara meningkatkan kualitas manusia Indonesia?

b. Apa yang membuat SMK mendominasi tingkat pengganguran tertinggi dibandingkan jenjang pendidikan yang lain?

c. Bagaimanakan kualitas lulusan SMK saat ini?

d. Mana yang lebih berkualitas antara lulusan SMK dan SMA?

e. Apa yang harus dilakukan supaya kualitas lulusan SMK meningkat?

f. Bagaimana mempersiapkan lulusan SMK untuk masuk dunia kerja?

g. Bagaimana tingkat self efficacy siswa/i SMK?

h. Seberapa besar adversity quotient (AQ) siswa/i SMK?

2. Pembatasan masalah.

Peneliti membuat pembatasan masalah yaitu hubungan antara self efficacy dengan adversity quotient siswa/i kelas X dan XI jurusan Tata Boga SMK Santa Maria Juanda, Jakarta.

3. Perumusan masalah.

Dari pembatasan masalah yang sudah dibuat oleh peneliti, maka peneliti membuat perumusan masalah.

a. Bagaimana gambaran tingkat self efficacy siswa/i kelas X dan XI jurusan Tata Boga SMK Santa Maria?

b. Bagaimana gambaran tingkat adversity quotient siswa/i kelas X dan XI jurusan Tata Boga SMK Santa Maria?

c. Apakah ada hubungan antara self efficacy dengan adversity quotient?

(19)

C. Tujuan Penelitian.

Dalam penelitian ini, peneliti mencoba untuk menjawab permasalahan yang sudah diutarakan sebelumnya. Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka peneliti membuat tujuan-tujuan dari penelitian ini, sebagai berikut:

1. untuk mengetahui tingkat self efficacy siswa/I kelas X dan XI jurusan Tata Boga SMK Santa Maria.

2. untuk mengetahui tingkat adversity quotient siswa/i kelas X dan XI jurusan Tata Boga SMK Santa Maria.

3. untuk mengetahui hubungan antara self efficacy dengan adversity quotient.

D Manfaat

1. Untuk Kepala Sekolah, hasil penelitian ini dapat menjadi gambaran mengenai tingkat self efficacy dan hubungannya dengan adversity quotient para siswa SMK Santa Maria. Hasil ini dapat menjadi pertimbangan dalam upaya peningkatan dan mempertahankan kualitas belajar anak. Hal ini dapat jadi pertimbangan dalam pembuatan program-program kerja, pelatihan-pelatihan skill, kompetisi yang bisa lebih meningkatkan rasa self efficacy dan adversity quotient siswa/i.

2. Untuk wali kelas dan guru bidang studi tata boga : Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi guru-guru dan wali kelas yang berinteraksi langsung dengan siswa. Dengan melihat keadaan tingkat self efficacy dan adversity quotient siswa, guru bisa memikirkan dan merencanakan perlakuan atau treadment seperti apa yang bisa diberikan untuk

(20)

meningkatkan skill dan meningkatkan keyakinan diri siswa saat melakukan tugas tata boga.

3. Untuk Guru BK : Hasil penelitian ini berguna untuk guru BK. Siswa membutuhkan dukungan mental secara verbal dari orang di sekitarnya.

Butuh orang-orang yang bukan hanya mampu meningkatkan skill dan kemampuan, namun juga mampu memotivasi siswa untuk meningkatkan sikap mental yang positif.

4. Untuk Program Studi : Hasil dari penelitian ini dapat memperlengkapi pengetahuan para mahasiswa untuk terjun di lapangan, terutama bagi mahasiswa yang mengambil bidang peminatan pendidikan. Mahasiswa dituntut untuk dapat menghadapi siswa-siswa yang dihantui oleh rasa takut akan ketidakmampuan dalam memotivasi diri untuk berhasil. Lebih lanjut, diharapkan sebagai calon konselor harus dapat membantu meningkatkan self efficacy dan adversity quotient peserta didik. Program studi juga dapat memberikan ilmu-ilmu dan pengetahuan baru yang lebih up to date, seperti mengenai pentingnya self efficacy dan adversity quotient.

(21)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Self Efficacy

1. Definisi Self Efficacy

Self Efficacy juga diartikan sebagai “Personal judgment of performance capabilities on a particular type of task at a particular point in time.” (Stipek, 2002). Ini merupakan gambaran mengenai penilaian atas kemampuannya sendiri dalam melakukan sesuatu perbuatan pada waktu tertentu.

Penjelasan lainnya mengenai hubungan self efficacy dengan diri seseorang, seperti yang dikatakan oleh Bandura (1977b) dalam Pervin (1996) :

“Self efficacy relates to the perceived ability to cope with specific situations. It related to the judgments people make concerning their ability to meet specific demands in specific situations.” Self efficacy berhubungan dengan rasa mampu untuk mengatasi situasi tertentu. Ini berhubungan dengan penilaiaan seseorang mengenai kemampuannya untuk mengadapi tuntutan-tuntutan tertentu dalam keadaan tertentu juga.

Di dalam buku Self Regulation of Learning and Performance, Schunk dan Zimmerman (1989) membandingkan siswa yang ragu-ragu terhadap kapasitas dalam belajar dengan siswa yang memiliki self efficacy yang tinggi untuk menyelesaikan tugas akan lebih siap, pekerja keras, tetap bertahan saat mengalami kesulitan.

Ada tiga hal penting dalam konsep self efficacy, yang pertama merujuk kepada proses kognitif yang ada di dalam konsep diri. Pribadi seseorang

(22)

merupakan konsep, gagasan, atau gambaran mental seperti konsep lainnya.

Konsep, gagasan, atau gambaran mental itu mempengaruhi pikiran, perasaan, dan tindakan seseorang. Self efficacy adalah proses kognitif yang berujung pada tindakan seseorang.

Hal kedua yaitu konsep self efficacy bukan merujuk pada konsep diri secara global. Penilaian mengenai self efficacy dilakukan pada tugas dan situasi tertentu. Menurut Bandura dalam Pervin (1996), sekalipun banyak psikolog membahas mengenai konsep diri dan harga diri, Bandura menganggap konsep ini terlalu umum dan kurang baik dalam memprediksi bagaimana seseorang akan berperilaku dalam situasi tertentu.

Hal ketiga yang penting adalah melibatkan sumbangan kognitif untuk motivasi. Sekalipun pada saat tertentu dalam area motivasi, teori kognisi sosial tidak diterima, namun bagaimanapun juga bidang ini ditempatkan pada hubungan dalam tujuan dan standar. Tujuan ini berhubungan dengan hal akhir yang diinginkan, sedangkan standar berhubungan dengan perilaku atau penampilan yang diinginkan. Standar ini mungkin berasal dari luar yaitu penilaian yang dilakukan oleh yang lain, atau dari dalam yang mewakili penilaian terhadap diri sendiri. Pujian maupun kritikan baik dari dalam maupun luar dapat menjadi sumber motivasi.

Pada intinya, dapat dikatakan bahwa self efficacy adalah gambaran mengenai penilaian diri seseorang (siswa) mengenai kemampuannya untuk melakukan suatu tugas yang spesifik dalam situasi tertentu. Inilah yang membedakan self efficacy dengan konsep diri lainnya, yaitu hubungannya dengan tugas yang spesifik.

(23)

2. Sumber Self Efficacy :

Bandura dalam Pervin (1996) menyebutkan empat faktor yang memperngaruhi self efficacy, yaitu Actual performance accomplishment, vicarious experiences, verbal persuasion, dan emotional arousal

Actual performance accomplishment adalah penemuan informasi terpenting mengenai self efficacy. Pengalaman individu dalam kegagalan dan kesuksesan di masa lalu dapat menjadi kekuatan dan kelemahan dalam self efficacy individu. Penilaian self efficacy dipengaruhi oleh kepercayaan sebelumnya, harapan, kesukaran tugas, banyaknya usaha yang dikeluarkan, banyaknya pertolongan dari luar, dan lainnya.

Vicarious experiences, adalah saat di mana individu melihat keberhasilan dan kegagalan orang lain, sehingga individu dapat mengevaluasi diri sendiri.

Jika individu melihat seseorang yang memiliki kemampuan yang sama dan berhasil dalam melakukan aktivitas yang sama dengan individu tersebut, maka itu akan membangun tingkat self efficacy yang dimilikinya.

Verbal Persuasion, membuat individu terpengaruh oleh sikap dan kepercayaan yang dikomunikasikan oleh orang lain mengenai apa yang individu mampu lakukan. Kepercayaan diri dikomunikasikan oleh orang tua, pasangan, atau teman yang dapat membuat perbedaan besar dalam self efficacy dalam memunculkan perasaan percaya diri atau sebaliknya, rasa ragu-ragu dan kurang percaya diri. Di sisi lain, pengungkapan dalam kepercayaan diri harus diikuti dengan pengalaman nyata (actual experience) untuk dapat menyumbangkan makna ke dalam perasaan mengenai self efficacy.

(24)

Emotional Arousal, berarti secara emosi individu menerima informasi yang menyangkut self efficacy dalam sebuah situasi tertentu. Ada dua perasaan yang dapat muncul, yaitu perasaan terancam dan berat hati yang berhubungan dengan kemungkinan kegagalan, juga perasaan kegembiraan yang berhubungan dengan berharap sukses. Kedua perasaan ini memiliki dapat muncul dan mempengaruhi keyakinan self efficacy.

Schunk (1989) mengatakan : “Student acquire efficacy information by socially comparing their performances with those of others. Similar others offer the best basis for comparison.” Dapat dikatakan, bahwa dengan membandingkan kemampuan yang dimiliki dengan kemampuan orang lain, siswa bisa menemukan self efficacy yang dimiliki.

Siswa mampu memperoleh informasi mengenai kemampuan diri sendiri dari orang-orang di sekitarnya, seperti orang tua, guru, teman-teman, dan lainnya. Dukungan sosial dibutuhkan untuk mampu membangkitkan tingkat self efficacy siswa. Dengan masukan-masukan dan dorongan yang positif, maka anak mampu memiliki tingkat self efficacy yang baik.

Information acquired from these sources does not influence self efficacy automatically but rather is cognitively appraised” (Bandura dalam Schunk, dkk, 1989). Artinya, efek dari informasi yang ditemukan atau didapat siswa tidak secara langsung dirasakan, tapi pada akhirnya akan mempengaruhi penilaian secara kognitifnya.

(25)

3. Pengaruh Self Efficacy

Setelah mengetahui mengenai asal munculnya self efficacy dalam diri seseorang, maka harus juga mengetahui mengenai pengaruh self efficacy sendiri. Dikatakan oleh Bandura (dalam Gredler, 1986) : “Self Efficacy is hypothesized to influence choice of activities, effort expended, and persistence.” Hal ini berarti dalam memilih suatu aktifitas, dalam menentukan jumlah dan besarnya tenaga yang dikeluarkan, dan kualitas ketekunan dalam suatu tugas seseorang dipengaruhi oleh self efficacy yang dimiliki.

Self efficacy penting untuk dimiliki karena self efficacy berpengaruh terhadap aktivitas individu. Secara jelas, individu akan berpikir, merasakan, dan berperilaku secara berbeda pada situasi ketika individu yakin akan kemampuannya dibanding situasi ketika individu merasa terancam dan tidak kompeten.

Pervin (1996) mengatakan, bahwa pengaruh self efficacy ada tiga, yaitu komitmen untuk mencapai tujuan, dimana terlihat seberapa banyaknya usaha yang dilakukan; pengaruh yang kedua terhadap reaksi emosi terhadap tugas dan produktivitas dalam usaha yang dikeluarkan; ketiga, self efficacy memiliki peran penting dalam performa individu untuk mencapai tujuan.

Secara umum, individu dapat melihat manfaat self efficacy lewat suatu penelitian yang hasilnya menunjukan bahwa orang yang memiliki self efficacy yang tinggi memiliki sedikit pengalaman stress dan mampu memiliki problem solving dibanding dengan orang yang memiliki tingkat self efficacy yang rendah. Hal penting yang selanjutnya juga ditegaskan oleh Bandura dalam Pervin (1996) yaitu self efficacy berdampak untuk kesehatan. Berdasarkan

(26)

suatu penelitian, kesadaran akan self efficacy bermanfaat terhadap fungsi dalam sistem ketahanan tubuh.

Bandura dalam Pervin (1996) menyatakan bahwa ada tiga hal yang diterapkan dari self efficacy yaitu motor skills, career choices, serta health and wellness. Motor skills berhubungan dengan motivasi atau penggerak yang mendorong seseorang melakukan sesuatu. Career choices adalah kategori tugas yang dipilih oleh seseorang, mencakup tingkat kesulitannya. Health and wellness mengacu pada kesehatan seseorang yang dipengaruhi oleh tingkat self efficacy seseorang, Dalam buku Motivation to Learning, dikatakan oleh Zimmerman (1995): Self efficacy yang tinggi dapat membuat seseorang memiliki kemauan untuk mendekati dan bertahan dalam tugas-tugas, juga dapat mengurangi ketakutan dan kegelisahan, serta fokus pada pemecahan masalah, strategi, pengalaman emosi yang positif. Hal-hal ini berpengaruh terhadap hasil kesuksesan.

4. Karakteristik Self Efficacy ditinjau dari proses Psikologis.

Bandura (dalam Gredler, 1986) menyatakan bahwa dalam proses psikologis, self efficacy mempengaruhi fungsi manusia yang secara tidak langsung melalui empat proses psikologis utama, yaitu cognitive, motivational, affective, dan decision process.

a. Cognitive

Proses psikologis terjadi mencakup juga proses berpikir seseorang.

Setiap orang memiliki pemikiran mengenai setiap stimulus yang datang. Stimulus yang datang tersebut diolah secara cognitive dan

(27)

menghasilkan sebuah pemikiran atau gagasan. Hasil inilah yang nantinya menjadi dasar pemikiran dan idealisme yang akan menjadi dasar pertimbangan seorang individu menentukan arah hidupnya.

Individu sering kali digerakan oleh prinsip-prinsip dan keyakinan yang dipercayai, dan itu ada di dalam pemikiran individu.

Seorang individu yang memiliki self efficacy yang tinggi secara cognitive memiliki gagasan mengenai pencapaian kesuksesan, dan memiliki cara berpikir analisa. Berbeda dengan individu yang memiliki self efficacy rendah, individu berpikir secara tidak teratur, dan tidak memiliki pemikiran atau gagasan mengenai kesuksesan. Inilah perbedaan arah hidup antara cara berpikir orang yang memiliki self efficacy tinggi dengan orang yang memiliki self efficacy rendah.

b. Motivation:

Setiap orang hidup digerakan oleh motivasi yang berbeda-beda.

Motivasi berbicara mengenai dorongan yang mengarahkan seorang individu kepada tujuan yang hendak dicapai. Motivasi membuat keadaan individu menjadi jelas terlihat dan lebih terarah. Motivasi dapat menjadi penguat untuk seorang individu tetap bertahan dalam suatu tekanan untuk mencapai tujuan.

Motivasi juga dapat menunjukkan perbedaaan antara seorang individu yang memiliki self efficacy tinggi dengan seseorang yang memiliki self efficacy rendah. Orang yang memiliki self efficacy yang tinggi memiliki tujuan yang hendak dicapai. Tujuan yang dimiliki disertai dengan banyaknya usaha yang dikeluarkan, dan juga ketekunan untuk

(28)

mencapai suatu tujuan. Berbeda dengan individu yang memiliki self efficacy rendah yang justru tidak memiliki motivasi, bahkan cenderung mengurangi usaha yang dikeluarkan dan mudah menyerah pada kesulitan yang dihadapi.

c. Affective:

Proses psikologis juga mencakup dimensi affective. Affective berpusat dalam proses psikologis individu saat individu meresponi sebuah stimulus dalam bentuk perasaan dan emosi. Affective adalah mengenai apa yang individu rasakan. Individu mengarahkan hidupnya juga didasari atas apa yang dirasakan. Perasaan yang dirasakan ini mengarahkan individu untuk menentukan arah hidupnya.

Perbedaan antara seorang individu yang memiliki self efficacy tinggi dan rendah bisa diukur dari segi affectivenya. Seorang individu dengan self efficacy yang tinggi secara affective jauh lebih tenang. Individu mampu mengelola emosi dan perasaan yang dirasakan, dan memberikan feedback kembali secara positif dan menciptakan lingkungan psikologis yang baik.

Berbeda dengan seorang individu yang memiliki self efficacy tinggi, seseorang dengan self efficacy yang rendah cenderung mengalami kecemasan, frustasi, dan depresi dalam menghadapi suatu tugas. Orang dengan emosi yang terganggu cenderung berespon negatif terhadap lingkungan, sehingga tidak tercipta lingkungan kondisi yang positif.

(29)

d. Decision Process:

Akhirnya, self efficacy dapat dilihat juga dari decision process.

Decision process merupakan realisasi dari suatu proses psikologis.

Individu merespon stimulus yang ada dalam bentuk sebuah tindakan dan keputusan. Tindakan ini dapat diukur dan dijadikan indikator respon individu terhadap stimulus, apakah itu positif atau negatif.

Perbedaan yang terjadi antara orang yang memiliki self efficacy tinggi dan rendah juga dapat dilihat dan diukur. Orang yang memiliki self efficacy yang tinggi cenderung menyukai tugas-tugas yang penuh tantangan dibanding dengan orang yang memiliki self efficacy yang rendah yang cenderung menghindari tugas-tugas yang sulit dan mencari tugas yang gampang. Jadi perbedaannya terletak pada respon individu membuat keputusan memilih jenis tugas atau tanggung jawab.

B. Adversiy Quotient (Daya Juang) 1. Definisi Adversity Quotient

Berdasarkan Webster’s Ninth New Collegate Dictionary (dalam Sutedja, 2003), adversity diartikan sebagai kondisi atau pengalaman yang berkaitan dengan penderitaan, kesulitan, atau kesusahan. Sedangkan quotient memiliki pengertian sebagai angka atau bilangan yang dihasilkan dari pembagian bilangan yang satu dengan bilangan lainnya, ratio angka yang biasanya dikali seratus antara skor tes atau pengukuran dimana skor didapatkan.

Stoltz (2000) mengatakan Adversity Quotient (AQ) adalah bentuk kecerdasan selain IQ, SQ, dan EQ yang ditujukan untuk mengatasi kesulitan.

(30)

AQ bisa dijelaskan dalam tiga bentuk, pertama AQ adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Kedua, AQ merupakan suatu ukuran untuk mengetahui respon seseorang terhadap kesulitan. Dan terakhir, AQ merupakan serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respons seseorang terhadap kesulitan, yang akan berakibat memperbaiki efektifitas pribadi dan profesional seseorang secara keseluruhan.

AQ memberi tahu seberapa jauh kemampuan untuk bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan seseorang untuk mengatasinya. AQ juga bisa meramalkan siapa yang akan hancur. AQ juga meramalkan siapa yang akan melampaui harapan-harapan atas kinerja dan potensi individu serta siapa yang akan gagal. Dan terakhir, AQ juga meramalkan siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan bertahan.

2. Faktor penentu Adversity Quotient

Paul G. Stoltz (2000) menggambarkan di dalam bukunya mengenai pohon kesuksesan yang semakin memperjelas peran yang dimainkan oleh AQ dalam menunjukkan semua aspek potensi yang individu miliki seumur hidup. Semua orang sama halnya seperti pohon yang diberkahi oleh berbagai macam unsur kesuksesan. Namun, pada kenyataannya, jika seseorang memiliki AQ yang relatif rendah, maka potensi yang dimiliki akan tetap saja kerdil. Sebaliknya, jika seseorang memiliki AQ yang cukup tinggi, maka akan berkembang pesat.

Faktor-faktor penentu ini dianalogikan dalam bagian-bagian sebuah pohon, yaitu daun: kinerja; cabang: bakat dan kemauan; batang sebagai kecerdasan, kesehatan, dan karakter; akar: genetika, pendidikan, dan keyakinan.

(31)

a. Daun: Kinerja. Daun merujuk kepada bagian yang paling diperhatikan dan mudah dilihat oleh orang lain. Bagian tersebut merupakan bagian yang paling menyolok, maka orang lain paling sering menilai dan mengevaluasi kinerja. Hal ini mencakup pekerjaan, karir, kenaikan pangkat, persahabatan, dan lainnya. Namun, tentunya daun ini tidak serta merta mucul begitu saja, ada cabang pohon dibalik daun ini.

b. Cabang: bakat dan kemauan. Stoltz (2000) menyebut cabang pohon sebagai factor resume yang menggambarkan keterampilan, kompetensi, pengalaman, dan pengetahuan yang dimiliki, yaitu menggabungkan apa yang diketahui dan apa yang mampu dikerjakan.

Gabungan ini disebut sebagai bakat. Namun, ternyata resume saja tidaklah cukup. Ada hal lain yang perlu dilihat, yaitu hasrat yang menggambarkan motivasi, antusiasme, gairah, dorongan, ambisi dan semangat yang menyala. Jadi, seseorang membutuhkan bakat dan hasrat untuk mencapai kesuksesan. Namun, seperti cabang pohon, bakat dan hasrat yang tidak muncul begitu saja, kita juga harus melihat batang pohonnya.

c. Batang sebagai kecerdasan, kesehatan, dan karakter. Banyak orang yang menjadikan IQ, Indeks Prestasi/ GPA sebagai pengukur dari kecerdasan. Peneliltian Howard Gardner dalam Stoltz (2000) mengatakan bahwa kecerdasan mempunyai tujuh bentuk: linguistik, kinestetik, spasial, logika, matematis, musik, interpersonal, dan intrapersonal. Dalam diri setiap orang ada bentuk-bentuk kecerdasan yang dominan dan banyak mempengaruhi pilihan karir, minat belajar,

(32)

dan hobi-hobi yang dilakukan. Kesehatan emosi dan fisik juga berpengaruh terhadap pencapaian kesuksesan. Penyakit bisa mengalihkan perhatian seseorang yang sedang mendaki gunung kesuksesan. Sedangkan, kondisi fisik dan emosi yang sehat justru bisa membantu seseorang mendaki kesuksesannya. Karakter juga mendapat perhatian yang penting. Stoltz (2000) mengatakan bahwa banyak para pengarang buku-buku seperti Stephen Covey, William Bennet, Laura Schlesinger yang mengajak para pembacanya untuk memiliki karakter- karakter yang baik seperti kejujuran, keadilan, kelurusan hati, kebijaksanaan, kebaikan, keberanian, dan kedermawanan, semua dianggap penting untuk mencapai kesuksesan.

d. Akar: genetika, pendidikan, dan keyakinan. Semua faktor, baik itu daun, cabang pohon, batang pohon yang digambarkan sebagai faktor- faktor kesuksesan tidak terlepas dari faktor akar, yaitu genetika, pendidikan dan keyakinan. Genetika memang tidak menentukan nasib seseorang, namun faktor ini memiliki pengaruhnya. Kajian yang paling terkenal adalah kajian tentang anak kembar di University of Minnesota, yang melacak ratusan anak kembar identik yang sejak lahir sudah terpisah selama empat puluh tahun. Masing-masing anak kembar saling bertemu dan menceritakan tentang diri mereka masing-masing.

Dan hasilnya banyak menunjukkan kesamaan antara kedua anak kembar tersebut, baik dalam kesamaan nama, kesamaan mereka menamai anjing mereka, bidang yang mereka pelajari, hobi yang mirip, sampai nama istri dan nama anak mereka. Sama seperti genetika yang

(33)

bisa mempengaruhi minat, hobi seseorang, pendidikan juga bisa mempengaruhi kecerdasan, pembentukan kebiasaan yang sehat, perkembangan watak, keterampilan, hasrat, dan kinerja yang dihasilkan. Dan faktor akar yang ketiga adalah keyakinan. Keyakinan mencakup iman, yang mempengaruhi kelangsungan hidup seseorang.

Ada banyak buku-buku spiritualitas yang sudah bisa ditemukan dalam buku-buku bisnis, seperti Jesus as CEO, Handbook for the Soul, The Soul of Leadership, The Path, Seven Spritiual Laws for Success. Iman diyakini sebagai faktor yang sangat penting dalam harapan, tindakan, moralitas, kontribusi, dan bagaimana kita memperlakukan sesama kita.

3. Tiga Jenis Tipe orang menurut tingkat Adversity Quotient.

a. Mereka yang Berhenti (Quitters): ini merupakan jenis orang-orang yang memilih untuk keluar, menghindari tanggung jawab, mundur dan berhenti. Orang-orang jenis ini menolak kesempatan yang ada, dan mereka banyak memilih untuk tidak menghiraukan dorongan untuk mendaki gunung kesuksesan dan dengan demikian juga meninggalkan banyak hal yang ditawarkan oleh kehidupan.

b. Mereka yang Berkemah (Campers): orang-orang tipe ini memang lebih baik dari tipe Quitters. Mereka telah menanggapi tantangan pendakian, mereka juga sudah mencapai tingkat tertentu. Namun, mereka memilih untuk berhenti pada suatu tingkat dan berkemah di sana, sehingga pendakiannya tidak selesai. Mereka tidak mungkin dapat mempertahankan keberhasilan tanpa melanjutkan pendakiannya.

(34)

c. Para Pendaki (Climbers): orang-orang ini merupakan tipe si pendaki, orang yang seumur hidupnya membaktikan dirinya pada pendakian.

Para climbers selalu mendaki dengan pemikiran-pemikiran mengenai kemungkinan-kemungkinan dan tidak pernah mengijinkan apapun menjadi hambatan untuknya, karena ia hanya ingin terus mendaki.

4. Dimensi Adverity Quotient.

a. Control (Kendali).

Control atau kendali menunjukkan seberapa banyak kendali yang seseorang rasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Karena kendali yang sebenarnya dalam suatu situasi tidak mungkin diukur, maka kendali yang dirasakan jauh lebih penting.

Tanpa merasakan kendali, harapan dan tindakan akan hancur, dan dengan kendali, hidup dapat diubah dan tujuan-tujuan akan terlaksana.

Kendali sendiri dimulai dan diawali dengan pemahaman bahwa seuatu, dalam bentuk apapun itu, dapat dilakukan. Contoh pernyataan yang menunjukkan adanya kendali adalah: ”Saya mampu mengatasi setiap pelajaran yang sangat sulit”; ”Banyak hal yang dapat saya lakukan.”.

Respon-respon ini menunjukan bahwa seseorang merasakan keuletan dan tekat yang tidak mudah menyerah. Sedangkan orang-orang yang memiliki control yang rendah akan cenderung berpikir ”Hal ini di luar jangkauan saya!”; ”Tidak ada yang dapat saya lakukan sama sekali.”

Pada umumnya, kendali bersifat internal dan seringkali sangat individual, kendali itu ada pada diri sendiri bukan pada suatu kejadian atau objek masalah. Oleh karena itu, setiap orang bisa mengendalikan

(35)

responnya terhadap suatu kejadian. Respon inilah yang akan menjadi benih tempat tumbuhnya harapan dan tindakan.

b. Origin dan Ownership (Asal usul dan Pengakuan)

Origin dan ownership merujuk kepada asal usul dan pengakuan akan sebuah kesulitan yang dialami. Origin dan ownership mempertanyakan dua hal: ”Siapa dan apa yang menjadi asal usul dari suatu kesulitan?”

dan ”Sampai sejauh manakah seseorang mengakui akibat-akibat kesulitan itu?” Pertama, origin berbicara mengenai asal usul dari suatu kesulitan yang dialami. Orang yang memiliki AQ rendah cenderung menempatkan rasa bersalah yang tidak semestinya atau berlebihan atas peristiwa atau pun kejadian yang terjadi. Dalam hal ini, seseorang melihat bahwa satu-satunya penyebab atau asal-usul dari suatu masalah berasal dari dirinya sendiri.

Stoltz (2000) mengatakan bahwa rasa bersalah memiliki dua fungsi, pertama untuk membantu seseorang belajar, kedua, rasa bersalah menjurus kepada penyesalan. Keduanya jadi bermanfaat jika dalam dosis dan takaran yang tepat. Namun, jika terlampau banyak, maka akan melemahkan semangat dan menjadi destruktif. Rasa bersalah yang destruktif akan menghancurkan energi, harapan, harga diri, dan bahkan sistem kekebalan tubuh.

Orang-orang dengan nilai origin yang rendah akan cenderung berkata

”ini semua salah saya”; ”saya memang bodoh”, ”saya mengacaukan semuanya.” Sebaliknya, jika seseorang memiliki skor yang tinggi, ia

(36)

akan cenderung menganggap sumber-sumber kesulitan berasal dari luar diri, dan menempatkan peran diri sendiri secara sewajarnya.

Stoltz (2000) mengatakan “Jauh lebih penting ukuran sampai sejauh manakah seseorang mengakui akibat kesulitan dibanding mengakui diri sendiri sebagai penyebab kesulitan.” Orang yang tidak mengakui diri sebagai sumber masalah bukan berarti ia tidak memikul tanggung jawab. Mengakui akibat yang ditimbulkan oleh kesulitan merupakan pencerminan dari tanggung jawab. Inilah yang merupakan dimensi kedua, yaitu ownership.

AQ mengajarkan seseorang untuk bisa memiliki rasa tanggung jawab sebagai salah satu cara memperluas kendali, pemberdayaan, dan motivasi dalam mengambil tindakan (Stoltz, 2000). Seseorang dengan AQ yang tinggi, ia memiliki sikap yang sangat bertanggung jawab, ia berorientasi pada tindakan, ia bisa meningkatkan kendali, dan tentunya ia bertanggung jawab. Sedangkan, orang yang memiliki AQ yang rendah, ia akan gagal sebelum bertindak, cepat menyerah, suka menuding orang lain untuk bertanggung jawab, kurang dalam kinerja, dan ia pun suka membuat orang lain marah.

Jika disimpulkan, orang yang memiliki AQ rendah akan mempersalahkan dirinya secara berlebihan, namun ia pun lari dari tanggung jawab. Sedangkan, orang yang memiliki AQ tinggi ia tidak akan terlalu mempersalahkan dirinya sebagai sumber dari sebuah kesulitan, namun ia mau bertanggung jawab dan bertindak melakukan sesuatu untuk memperbaiki kesalahan dan kesulitan yang terjadi.

(37)

c. Reach (Jangkauan)

Reach berbicara mengenai sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian-bagian yang lain dari kehidupan. Respon orang-orang dengan AQ rendah akan membuat kesulitan merembes ke segi-segi lain dalam kehidupannya. Sebagai contoh, hasil ujian jelek, jadi kesal dan mudah marah-marah, konflik dengan teman, di rumah diomeli oleh orang tua, lalu jatuh sakit.

Seseorang dengan AQ rendah akan menganggap bahwa peristiwa buruk sebagai bencana, dan membiarkannya meluas, seraya menyedot kebahagiaan dan ketenangan pikiran anda saat proses berlangsung.

Sedangkan, seseorang dengan AQ tinggi akan membatasi jangkauan masalahnya hanya pada peristiwa yang sedang dihadapi.

d. Endurance (Daya Tahan)

Endurance membicarakan mengenai seberapa lamakah kesulitan akan berlangsung dan seberapa lamakah penyebab kesulitan itu akan berlangsung. Seseorang yang memiliki AQ rendah akan berpikir bahwa kesulitan dan penyebab kesulitan itu akan berlangsung lama, kalau bukan selama-lamanya.

Seligman dalam Stoltz (2000) melakukan sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa ada perbedaan antara orang yang mengkaitkan suatu kesulitan yang sifatnya sementara versus sesuatu yang lebih permanen. Teori atribusi juga diterapkan ke bidang olahraga, dan ditemukan bahwa mereka yang melihat kemampuan mereka sebagai penyebab kegagalan (penyebab yang stabil) cenderung kurang

(38)

bertahan dibandingkan mereka yang melihat kegagalah terkait dengan usaha (penyebab yang sifatnya sementara) yang mereka lakukan.

Orang yang memiliki AQ tinggi akan melihat bahwa kegagalan atau masalah yang datang terkait dengan sesuatu yang sifatnya sementara, bukan sesuatu yang stabil dan abadi.

C. Sekolah Menengah Kejuruan Tata Boga

1. Tujuan Sekolah Menengah Kejuruan Program Keahlian Tata Boga

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) program keahlian Tata Boga sebagai bagian dari pendidikan menengah bertujuan menyiapkan siswa/ tamatan :

a. memasuki lapangan kerja serta dapat mengembangkan sikap profesional dalam lingkup keahlian Pariwisata, khususnya Tata Boga.

b. mampu memilih karir, mampu berkompetisi dan mampu mengembangkan diri dalam lingkup keahlian Pariwisata, khususnya Tata Boga.

c. menjadi tenaga kerja tingkat menengah untuk mengisi kebutuhan dunia usaha dan industri pada saat ini maupun masa yang akan datang dalam lingkup keahlian Pariwisata, khususnya Tata Boga.

d. menjadi warga negara yang produktif, adaptif dan kreatif.

2. Jabatan dan Lingkup Pekerjaan Lulusan SMK Tata Boga

Lulusan SMK jurusan Tata Boga, secara umum memang diarahkan untuk siap memasuki dunia kerja sesuai dengan tingkat keahliannya. Namun tidak tertutup peluang bagi siswa/i yang mempunyai kelebihan untuk melanjutkan pendidikan keahliannya ke jenjang yang lebih tinggi, baik di dalam maupun di

(39)

luar negeri. Selain usaha-usaha jasa boga murni, peluang usaha lain yang berhubungan seperti usaha wisata dan perhotelan merupakan kesempatan luas yang terbuka bagi lulusan program ini.

Jabatan tamatan program keahlian ini adalah Pelaksana Tata Boga, dengan lingkup pekerjaan : mengolah dan menghidangkan masakan Indonesia, mengolah dan menghidangkan masakan Cina, mengolah dan menghidangkan masakan kontinental, mengolah dan menghidangkan kue-kue Indonesia, mengolah dan menghidangkan kue-kue kontinental, mengolah dan menghidangkan aneka roti.

3. Mata Pelajaran SMK Tata Boga a. Normatif & Adaptif

Ada sebelas mata pelajaran normatif dan adaptif yang wajib diikuti oleh siswa di samping pelajaran produktif tata boga, yaitu : Pendidikan Agama Katholik, PKN dan Sejarah, Bahasa Indonesia, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Seni dan Budaya (kls.X : Menari), Matematika, Bahasa Inggris, IPS, Keterampilan Komputer dan Pengelolaan Informasi (KKPI), IPA, Kewirausahaan

b. Produktif

1) Prosedur hygiene dan K3

2) Pengolahan dan penyajian makanan Indonesia 3) Pengolahan dan penyajian makanan Continental

4) Menata meja dan melayani makan-minum menurut standar Table Manner International (Tata Hidang)

5) Mengolah dan menyajikan berbagai jenis minuman non alkohol

(40)

6) Pengelolaan usaha boga c. Muatan Lokal

1) Bahasa Perancis

2) Membatik (untuk kelas XI)

4. Kiprah di Tengah Masyarakat di SMK Santa Maria:

a. Siswa/i tidak hanya menghabiskan hari-hari belajar dan latihannya di lingkungan sekolah. Selama masa pendidikan mereka juga mengikuti berbagai kegiatan yang ada dalam masyarakat, terutama yang terkait dengan keahliannya dan juga melaksanakan magang di dunia kerja.

b. Program prakerin (Praktik Kerja Industri) atau dulu dikenal dengan istilah magang kerja atau PKL (Praktek Kerja Lapangan) atau PSG (Pendidikan sistem Ganda) yang dilaksanakan selama tiga bulan di dunia usaha yang berkaitan dengan jurusan seperti : restoran, usaha catering, hotel dan rumah sakit.

D. Kerangka Berpikir

Seseorang yang mengetahui kemampuan dirinya dan percaya akan kemampuan tersebut dalam melakukan suatu tugas cenderung lebih yakin dibandingkan dengan orang yang tidak tahu dan tidak yakin akan kemampuannya dalam melakukan suatu tugas. Orang yang yakin akan kemampuan dirinya lebih yakin juga dalam mengeluarkan sebuah usaha dan daya juang. Individu memiliki alasan lebih untuk tetap melanjutkan perjuangan dan usaha, individu tahu seberapa besar batasan kekuatan dan kelemahan yang ada.

(41)

Seorang siswa sekolah kejuruan pun dituntut untuk memiliki suatu kemampuan sesuai dengan bidang yang dipilih dalam sekolah kejuruan tersebut.

Jika siswa tersebut yakin dan tahu pasti kemampuannya dalam bidang tersebut, maka siswa pun juga dapat dengan yakin dan pasti mengeluarkan sejumlah usaha dan tenaga untuk terus berjuang dalam menyelesaikan tugas itu.

Self efficacy menunjukkan keyakinan diri seorang siswa SMK Tata Boga dalam melakukan tugas-tugas memasak di dapur. Ketika seorang siswa yakin kalau dirinya memang memiliki kemampuan dalam hal tata boga, secara otomatis siswa akan mengeluarkan sejumlah usaha yang lebih dan maksimal agar ia dapat menjadi berhasil di bidang tersebut. Siswa yang yakin mengenai kemampuan dirinya, yakin dalam mengeluarkan sejumlah usaha dan tenaga diharapkan juga yakin bisa mendapatkan keberhasilan yang ingin dicapai.

Siswa yang memiliki self efficacy yang tinggi akan bangkit kembali dari kegagalan, dan menghadapi segala rintangan dengan mencoba berbagai strategi dan bukan mencemaskan akibatnya nanti bila melakukan kesalahan. Sikap positif tersebut disebut sebagai daya juang (adversity quotient). Siswa yang memiliki keyakinan tinggi mengenai kemampuannya akan mampu berjuang lebih ekstra dibanding orang lain. Bagaimana hubungan self efficacy dan adversity quotient nantinya akan terlihat lebih jelas lagi ketika siswa/i masuk ke dalam dunia kerja yang sesungguhnya.

Self Efficacy Adversity Quotient

(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Subjek Penelitian

Penelitian dilakukan di SMK Santa Maria Juanda, dengan mengambil populasi siswa/i kelas X dan XI Tata boga sebagai Subjek Penelitian. Masing-masing terdiri dari dua paralel kelas. Jadi totalnya sebanyak empat kelas, terdiri dari X Tata Boga 1 sebanyak 25 siswa, X Tata Boga 2 sebanyak 24 siswa, XI Tata Boga 1 sebanyak 28 siswa, dan XI Tata Boga 2 sebanyak 28 siswa. Total keseluruhan siswa sebanyak 105 siswa. Untuk uji coba, peneliti akan mengambil satu kelas yaitu kelas X Tata Boga I berjumlah 25 siswa. Sedangkan total siswa sebagai subjek penelitian sebanyak 80 siswa.

B. Waktu dan Tempat

Pelaksanaan penelitian ini berlangsung selama kurang lebih 10 bulan, yang dimulai pada semester ganjil 2009. Penelitian dilakukan di SMK Santa Maria Juanda, yang terletak di Jalan Ir. Juanda No. 29. Jakarta Pusat. Penelitian diawali dengan penyususan proposal pada bulan Agustus 2009 sampai September 2009.

Peneliti mulai mengerjakan Bab I, II, dan III dari bulan Oktober 2009 sampai bulan Desember 2009. Bulan Januari 2010 sudah memulai menyusun kisi-kisi untuk uji coba. Bulan Februari 2010 sampai Maret 2010 melakukan uji coba ke sekolah dan revisi. Bulan April 2010 melakukan pengumpulan dan pengolahan data penelitian. Bulan Mei 2010 menyusun Bab IV dan V. Bulan Juni dan Juli 2010 pelaporan draft skripsi.

(43)

C. Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua variabel, yaitu Self Efficacy sebagai variabel independen dan Adversity Quotient sebagai variabel dependen.

1. Definisi Operasional

a. Self Efficacy : gambaran mengenai penilaian diri seseorang (siswa) mengenai keyakinan akan kemampuannya melakukan suatu tugas yang spesifik dalam situasi tertentu, yang terukur dari proses psikologis : cognitive, affective, motivational, dan decision process.

b. Adversity Quotient: Kemampuan seseorang menghadapi sebuah kesulitan dan tantangan yang dihadapinya, dan kemudian memberikan respon terhadap kesulitan atau tantangan yang dihadapinya berdasarkan dimensi control, origin dan ownership, reach, dan endurance.

D. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif non-eksperimental karena peneliti tidak menciptakan atau memanipulasi variabel yang dikehendaki pada diri subjek dan hendak diukur dalam keadaan alamiah dan apa adanya (Arikunto, 2002). Penelitian menggunakan metode penelitian korelasi, dimana peneliti mau melihat hubungan antara self efficacy dengan adversity quotient, sesuai dengan pendapat Gay dalam Emzir (2008) “Tujuan studi korelasional adalah menentukan hubungan antara variabel, atau untuk menggunakan hubungan tersebut untuk membuat prediksi.

(44)

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data untuk variabel independen yaitu self efficacy, peneliti menggunakan teknik non tes dalam mengumpulkan data, yaitu berupa skala penilaian Likert. Skala penilaian terdiri atas sejumlah pernyataan dengan empat alternatif pilihan jawaban, yaitu Selalu (SS), Sering (SR), Kadang-kadang (KK), Tidak Pernah (TP). Setiap butir pernyataan yang tertuang dalam skala penilaian ini berhubungan dengan tugas tata boga. Skala penilaian terdiri dari komponen mengenai mengenai karakteristik self efficacy berdasarkan proses psikologi: cognitive, motivational, affective dan decision process.

Untuk variabel dependen, Adversity Quotient (AQ) digunakan teknik non tes juga, yaitu skala penilaian Likert. Setiap pernyataan dalam skala tersebut memiliki empat alternatif pilihan jawaban, yaitu Selalu (SS), Sering (SR), Kadang-kadang (KK), Tidak Pernah (TP). Skala penilaian untuk dimensi adversity quotient terdiri dari control, origin dan ownership, reach, dan endurance.

Untuk pernyataan positif diberikan skor: Selalu (SS) = 4, Sering (SR) = 3, Kadang-kadang (KK) = 2, Tidak Pernah (TP) = 1. Perhitungan ini berlaku untuk kedua variabel. Skor dari masing-masing responden ditentukan oleh skor dari setiap pernyataan yang ada.

F. Teknik Analisis Data 1. Analisis Uji Coba.

a. Analisis rasional : peneliti melakukan analisis rasional dengan bantuan pembimbing skripsi, para dosen, teman mahasiswa, dan orang-orang

(45)

yang mengerti mengenai bidang ini untuk memberikan masukan analisis pernyatan secara rasional.

b. Analisis Empiris :

Setelah analisa rasional, peneliti melaksanakan analisia empiris melalui uji coba yaitu mendapatkan pernyataan yang valid dan reliabel. Uji coba dilakukan terhadap 25 responden. Pernyataan dianggap valid jika r hitung memiliki koefisien korelasi lebih besar dari r tabel yaitu sebesar 0.396 pada taraf signifikan 5%. Untuk mengukur, peneliti menggunakan analisis koefisien korelasi product moment. Sedangkan untuk pengujian reliabilitas instrumen, peneliti menggunakan koefisien Alpha. Analisis ini dilakukan dengan bantuan program SPSS (Statistical Package for Social Sciences) versi 12.00.

Untuk variabel self efficacy, ada 119 pernyataan yang diuji cobakan.

Pernyataan variabel self efficacy yang valid sebanyak 47 pernyataan, yaitu nomor 1, 2, 4, 6, 9, 13, 14, 15, 17, 18, 21, 22, 23, 25, 27, 34, 35, 36, 37, 42, 45, 46, 48, 49, 50, 54, 59, 60, 62, 63, 66, 67, 68, 75, 77, 82, 83, 90, 93, 98, 99, 100, 105, 109, 112, 114, 115. Sisa pernyataan variabel self efficacy sebanyak 72 item dinyatakan tidak valid.

Sebanyak 88 item pernyataan untuk variabel adversity quotient diuji cobakan kepada 25 responden yang sama. Hasil item pernyataan yang valid sebanyak 30 item pernyataan, yaitu nomor 3, 8, 13, 15, 18, 25, 28, 29, 31, 32, 34, 38, 44, 45, 48, 51, 54, 57, 58, 59, 62, 63, 64, 65, 67, 78, 79, 80, 82, 86. Sisa pernyataan variabel adversity quotient sebanyak 58 dinyatakan tidak valid. Reliabilitas koefisien alpha

(46)

sebesar 0.956 untuk variabel self efficacy dan sebesar 0.936 untuk variabel adversity quotient.

2. Analisis Data Penelitian

Hasil data yang sudah didapat akan diolah dengan menggunakan program komputer SPSS 12.00. Pengujian akan menggunakan rumus korelasi product moment, yaitu melihat hubungan antara dua variabel, yaitu self efficacy dan adversity quotient. (Arikunto, 1997)

( )( )

( )

{ ∑

2

2

} { ∑

2

( ∑ )

2

}

=

Y Y

N X

X N

Y X XY

rxy N

Keterangan :

rxy = korelasi kedua variabel N= Jumlah responden X = variabel Self Efficacy Y = variabel Adversity Quotient

(47)

Self Efficacy

80 0 147.28 148.00 158 15.653 105 176 11782 Valid

Missing N

Mean Median Mode

Std. Deviation Minimum Maximum Sum

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Analisis Deskriptif

Berdasarkan hasil pengolahan data, peneliti memaparkannya dalam bentuk tabel dan grafik dan menguraikannya secara kuantitatif. Masing-masing variabel akan dipaparkan secara jelas dan terperinci. Seperti yang terlihat pada tabel 1, rerata (mean) dari skor variabel self efficacy sebesar 147.28 dari 80 responden.

Skor maksimal dari variabel self efficacy sebesar 176, sedangkan skor minimun self efficacy sebesar 105. Untuk skor modus self efficacy sebesar 158. Skor untuk standard deviation self efficacy sebesar 15.653.

Tabel 1

Statistik Deskriptif Self Efficacy

Peneliti membuat rentang nilai untuk melihat klasifikasi tinggi rendahnya self efficacy siswa. Rentang nilai dihitung dari jumlah skor maksimal (jumlah butir x skor maksimal), yaitu 47 x 4 = 188. Selanjutnya, (skor maksimal – skor minimal) : 3. (188-47):3 = 47, jadi rentang nilainya adalah 47. Peneliti membuat klasifikasi tinggi, sedang, dan rendah.

(48)

Tabel 2.

Klasifikasi Skor Self Efficacy

Klasifikasi Rentang Nilai Jumlah %

Tinggi 143-188 54 67.5 %

Sedang 95-142 26 31.25 %

Rendah 47-94 0 0 %

Grafik 1. Klasifikasi Skor Self Efficacy

Tabel 2 dan grafik 1 menunjukkan kalau sebanyak 67,5 % atau 54 responden tergolong ke dalam klasifikasi tinggi dengan rentang nilai 143-188. Sebanyak 31.25 % atau 26 responden masuk ke dalam klasifikasi sedang dengan rentang nilai 95-142. Sedangkan, untuk klasifikasi rendah, tidak ada satu pun responden yang masuk ke dalamnya atau 0 %.

Secara kuantitatif, skor mean variabel adversity quotient sebesar 85.46 dari 80 responden. Skor maksimal adversity quotient sebesar 105, sedangkan skor minimum adversity qoutient sebesar 59. Skor modus untuk adversity quotient sebesar 80. Standart deviation untuk adversity quotient sebesar 9.275. Hasil ini bisa dilihat pada tabel 3.

0

26

54

Rendah (47-94) Sedang (95-142) Tinggi (143-188) Klasifikasi Skor Self Efficacy

(49)

Tabel 3

Statistik Deskriptif Adversity Quotient

Peneliti juga membuat rentang nilai untuk mengklasifikasikan skor adversity quotient. Rentang nilai dihitung dengan rumus yang sama seperti rumus untuk menghitung rentang nilai self efficacy, yaitu (skor maksimal – skor minimal) : 3 = (120 - 30) : 3 = 30. Berdasarkan rentang skor tersebut, peneliti menggolongkan klasifikasi tinggi, sedang, dan rendah.

Tabel 4.

Klasifikasi Adversity Quotient Klasifikasi Rentang Nilai Jumlah %

Tinggi 90 – 120 27 33.75 %

Sedang 60 – 89 52 65 %

Rendah 30 – 59 1 1.25 %

Adversity Quotient

80 0 85.46 85.00 80 9.275 59 105 6837 Valid

Missing N

Mean Median Mode Std. Deviation Minimum Maximum Sum

1

52

27

Rendah (47-94) Sedang (95-142) Tinggi (143-188) Klasifikasi Skor Adversity Quotient

(50)

Correlations

1 .398**

. .000

80 80

.398** 1

.000 .

80 80

Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N

Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N

Self Efficacy

Adversity Quotient

Self Efficacy

Adversity Quotient

Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

**.

Tabel 4 dan grafik 2 menunjukkan kalau sebanyak 33.75 % atau 27 responden tergolong ke dalam klasifikasi tinggi dengan rentang nilai 90-120. Sebanyak 65 % atau 52 responden masuk ke dalam klasifikasi sedang dengan rentang nilai 60-89.

Sedangkan, untuk klasifikasi rendah, ada 1 responden atau sebesar 1.25%.

B. Analisis Korelasi

Hasil perhitungan analisa data penelitian mengenai hubungan antara self efficacy dengan adversity quotient ditampilkan pada tabel 5. Hasil analisa data dari 80 responden menunjukan adanya hubungan atau korelasi secara significant pada taraf 1% antara self efficacy dengan adversity quotient, yaitu sebesar 0.398.

Hal ini berarti ada korelasi secara positif antara variabel self efficacy dengan adversity quotient. Jika self efficacy meningkat, maka adversity quotient juga akan meningkat.

Tabel 5.

Tabel Korelasi

C. Pembahasan Hasil Penelitian

Gambar

Tabel 4 dan grafik 2 menunjukkan kalau sebanyak 33.75 % atau 27 responden  tergolong ke dalam klasifikasi tinggi dengan rentang nilai 90-120

Referensi

Dokumen terkait

antara kecerdasan daya juang ( Adversity Quotient ) dengan prestasi belajar. Kegunaan praktis, dapat digunakan salah satu bahan masukan

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SERTA SELF REGULATED LEARNING SISWA SMA DITINJAU BERDASARKAN

Perlakuan dalam penelitian ini dilakukan dengan bentuk bimbingan kelompok sebanyak 6 kali pertemuan dengan tujuan untuk membantu meningkatkan self efficacy karir

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan Self-Efficacy terhadap kemandirian belajar siswa pada mata pelajaran produktif

Hasil yang diperoleh dari pengujian hipotesis menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara self efficacy dengan intensi berwirausaha pada siswa kelas

Perlakuan dalam penelitian ini dilakukan dengan bentuk bimbingan kelompok sebanyak 6 kali pertemuan dengan tujuan untuk membantu meningkatkan self efficacy karir

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Teknik self talk dalam layanan konseling kelompok efektif untuk meningkatkan adversity quotient, yang ditandai dengan

H2: Self Efficacy generates a negative impact on Work Stress The Effect of Adversity Quotient on Emotional Intelligence Based on the results of research conducted by Hopkins &