HUBUNGAN POLA ASUH OTORITER ORANGTUA DENGAN KEMAMPUAN INTERAKSI SOSIAL SISWA
CORRELATION BETWEEN AUTHORITARIAN PARENTING STYLE AND STUDENTS’
SOCIAL INTERACTION SKILLS Oleh:
Nurhalisyah Ningsih SMPN 1 Amonggedo Email: [email protected] Kata Kunci:
Pola Asuh Otoriter;
Interaksi Sosial
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pola asuh otoriter orangtua dengan kemampuan interaksi sosial siswa SMP Negeri 9 Kendari.
Jenis Penelitian ini adalah penelitian korelasional. Subjek dalam penelitian ini adalah sebanyak 37 siswa yang dipilih dengan menggunakan teknik proportional random sampling. Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan angket pola asuh otoriter orangtua dan angket kemampuan interaksi sosial siswa. Berdasarkan hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa skor pola asuh otoriter orangtua sebesar 175,19 atau kategori rendah, skor kemampuan interaksi sosial siswa sebesar 89,24 atau kategori rendah. Selanjutnya, berdasarkan hasil analisis inferensial menggunakan analisis korelasi person menunjukkan nilai koefisien korelasi data nilai angket pola asuh otoriter orangtua dan kemampuan interaksi sosial siswa -0,243, jika dibandingkan dengan rtabel pada α = 0,05 dan n = 37 sebesar 0,275, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang kuat pola asuh otoriter orangtua dan kemampuan interaksi sosial siswa.
Keywords:
Authoritarian Parenting Style;
Social Interactions
ABSTRACT
This study aims to determine the relationship between authoritarian parenting and the social interaction skills of students at SMP Negeri 9 Kendari. This type of research is correlational research. The subjects in this study were 37 students who were selected using the proportional random sampling technique. The data in this study were collected using a questionnaire on the authoritarian parenting pattern of parents and a questionnaire on students' social interaction abilities. Based on the results of descriptive analysis, it shows that the score of the authoritarian parenting pattern of parents is 175.19 or the low category, the score of students' social interaction abilities is 89.24 or the low category. Furthermore, based on the results of inferential analysis using person correlation analysis, the data correlation coefficient value of the questionnaire value of the authoritarian parenting pattern of parents and students' social interaction skills is -0.243, when compared with rtable at = 0.05 and n = 37 of 0.275, it can be concluded that there is a strong relationship between parents' authoritarian parenting and students' social interaction skills.
Pendahuluan
Pada dasarnya setiap individu adalah makhluk sosial yang senantiasa hidup dalam lingkup masyarakat baik itu lingkungan fisik maupun lingkungan psikologis yang di dalamnya saling mengadakan hubungan timbal balik antara individu satu dengan individu lainnya. Salah satu ciri bahwa kehidupan sosial itu ada yaitu dengan adanya interaksi dan interaksi sosial menjadi faktor utama di dalam hubungan antar dua orang atau lebih yang saling memengaruhi. Walgito (2003: 76) mengemukakan interaksi sosial adalah hubungan antara individu satu dengan individu lain, individu satu dapat memengaruhi individu yang lain atau sebaliknya, jadi terdapat adanya hubungan yang saling timbal balik. Interaksi sosial merupakan salah satu cara individu untuk memelihara tingkah laku sosial individu tersebut sehingga individu tetap dapat bertingkah laku sosial dengan individu lain.
Sedangkan Gillin dan Gillin (Soekanto, 2012: 43) mengemukakan interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia.
Fenomena saat ini menunjukkan bahwa nilai sosial siswa di sekolah semakin menurun, banyak siswa yang tidak perduli dengan teman, tidak perduli dengan orangtua, serta sering melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan diri sendiri dan sekolah. Perilaku ini terjadi dengan begitu saja yang biasanya tanpa disadari oleh siswa itu sendiri. Beberapa contoh fenomena menurunnya interaksi sosial siswa adalah sebagai berikut: 1) pada tanggal 2 Februari 2019 ada siswa yang memersekusi atau melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap gurunya. Siswa berinisial AA itu melawan ketika ditegur gurunya saat merokok di kelas dan sempat viral di media sosial, akhirnya siswa tersebut meminta maaf (https://www.merdeka.com), dan 2) pada tanggal 1 Februari 2020 siswa SMP Negeri 16 Malang di bully oleh teman sekolahnya, akibat dari kejadian tersebut korban dirawat di rumah sakit.
Dua kasus tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk interaksi sosial yang buruk. Adapun cirinya adalah tidak bertanggungjawab, sifat yang sangat agresif dan sangat yakin pada diri pribadi, perasaan tidak aman dalam kelompok, merasa tidak nyaman dengan lingkungan baru, memikirkan/berkhayal mengenai hal-hal yang diinginkan, mundur ke perilaku yang sebelumnya agar disenangi dan diperhatikan, dan menggunakan mekanisme pertahanan seperti rasionalisme, proyeksi, berkhayal dan memindahkan (Hurlock dalam Fatnar dan Anam. 2014).
Kasus seperti di atas juga peneliti temukan pada siswa di SMP Negeri 9 Kendari, berdasarkan hasil wawancara dengan guru diperoleh informasi bahwa ada siswa yang acuh tak acuh dengan teman, cuek, mengejek, memaki, berkata kasar, menghina, menendang siswa lain, kurang memiliki empati dan kurang kepedulian dengan lingkungan sosialnya. Penjelasan tersebut dikuatkan oleh penjelasan siswa pelaku yang berinisial ER bahwa ia merasa sudah melakukan hubungan sosial dan pergaulan yang baik dengan siswa lainnya. Ia berkeyakinan jika perilakunya baik dan tidak menyakiti siswa lainnya dan ia juga tidak mengetahui jika ada yang salah dengan perilakunya tersebut. Padahal idealnya dalam berinteraksi dengan orang lain harus saling menguntungkan dan tidak menyakiti orang lain.
Mahmudah (2010: 54) mengemukakan 5 faktor yang mendasari berlangsungnya interaksi sosial individu antara lain yaitu imitasi, sugesti, identifikasi, empati, dan proses interaksi sosial. Faktor- faktor yang memengaruhi kemampuan interaksi sosial siswa di atas terbentuk pada diri siswa yang dimulai sejak anak berada dalam lingkungan keluarga karena lingkungan keluarga merupakan lingkungan awal yang dialami oleh setiap individu. Di dalam keluarga seorang anak dibentuk menurut pola asuh yang diterapkan oleh orangtua. Pola asuh orangtua ini akan membentuk sikap dan perilaku anak, bila asuhan yang diterima anak di dalam keluarga santun, baik, saling pengartian, saling menghargai, maka anak akan mengembangkan perilaku yang baik atau demokratis. Namun jika anak menerima asuhan yang keras berupa pemaksaan aturan oleh orangtua, pemberian hukuman jika anak melanggar, pengekangan dan kaku dalam mendidik anak, maka anak akan mengembangkan sikap dan perilaku yang otoriter.
Steinberg (1998) mengemukakan “In authoritarian households, where rules are rigidly enforced and seldom explained to the child, adjusting to adolescence is more difficult for the family.
authoritarian parents may see the child's increasing emotional independence as rebellious or
disrespectful, and they may resist their adolescent's growing need for independence, rather than react to it openly. authoritarian parents, on seeing that their daughter is becoming interested in boys, may implement a rigid curfew in order to restrict her social life”. Yang artinya “Di rumah tangga yang otoriter, di mana aturan ditegakkan secara kaku dan jarang dijelaskan kepada anak, menyesuaikan diri dengan remaja lebih sulit bagi keluarga. Orangtua yang otoriter mungkin melihat peningkatan kemandirian emosional anak sebagai pemberontak atau tidak sopan, dan mereka dengan tegas menolak kebutuhan remaja mereka akan kemandirian, daripada bereaksi secara terbuka. orangtua otoriter, melihat bahwa anak perempuan mereka menjadi tertarik pada anak laki-laki, dapat menerapkan jam malam yang kaku untuk membatasi kehidupan sosialnya”.
Tipe pengasuhan yang menekankan otoritas, membatasi, adanya kendali yang penuh terhadap kehidupan anak, tidak memberi peluang anak untuk berdialog secara verbal, dan pemberian hukuman fisik maupun verbal sebagai bentuk pembelajaran atas kesalahan adalah pola pengasuhan otoritarian (otoriter). Pengasuhan secara otoriter yang membatasi anak dan memberikan hukuman berupa hukuman fisik ketika tidak mampu memenuhi standar yang orangtua tetapkan akan membuat anak menjadi pendiam, menarik diri, malas berkomunikasi, marah dan kesal kepada orangtua tetapi tidak berani mengungkapkan dan menyampaikan pendapatnya kepada orang lain sehingga anak menjadi tidak terampil dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Pola asuh otoriter adalah gaya yang bersifat membatasi dan menghukum, di mana orangtua mendesak anaknya agar mengikuti pengarahan mereka serta menghormati pekerjaan dan jerih payah mereka. Baumrind (Santrock, 2017:
290) mengemukakan bahwa Orangtua otoriter menempatkan batasan-batasan yang tegas pada anak dan tidak banyak memberikan peluang kepada anak untuk bermusyawarah. Orangtua otoriter juga mungkin memukul anak, menetapkan aturan-aturan secara kaku tanpa memberikan penjelasan, dan menunjukkan kemarahan terhadap anak.
Dampak pola asuh otoriter pada anak yaitu munculnya penegakan disiplin yang terlampau keras dan anak selalu mendapatkan tekanan sehingga mengakibatkan anak tidak dapat mengembangkan diri sehingga kemandiriannya tidak dapat berkembang dengan baik atau dengan kata lain anak tergantung pada keinginan atau kehendak orangtua (Gunarsa dalam Parinduri, dkk. 2017). Anak yang mendapatkan pengasuhan otoriter dari orangtuanya akan cenderung merasa tidak puas, tidak percaya dengan orang lain dan cenderung menarik diri dari lingkungan sosial. Selanjutnya, Harianti (Parulian dan Yulianti: 2019) menyatakan masalah kesehatan sosial berasal dari diri anak dan hubungan dengan orangtua bila tidak terselesaikan akan menimbulkan hambatan perkembangan bagi anak. Hambatan perkembangan tersebut dimanifestasikan dalam bentuk ketidakmampuan anak dalam berinteraksi dengan orang lain dan bahkan dalam bentuk kenakalan yang berujung pada perilaku kriminal. Dengan demikian peneliti bermaksud melaksanakan sebuah penelitian dengan tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan pola asuh otoriter orangtua dengan kemampuan interaksi sosial siswa.
Interaksi sosial
Santoso (2010: 32) mengemukakan interaksi sosial dapat pula meningkatkan jumlah atau kuantitas dan mutu atau kualitas dari tingkah laku sosial individu sehingga individu makin matang di dalam bertingkah laku sosial dengan individu lain di dalam situasi sosial. Walgito (2003: 78) menyebutkan interaksi sosial adalah hubungan antara individu satu dengan individu lain, individu satu dapat memengaruhi individu yang lain atau sebaliknya, jadi terdapat adanya hubungan yang saling timbal balik. Interaksi sosial merupakan salah satu cara individu untuk memelihara tingkah laku sosial individu tersebut sehingga individu tetap dapat bertingkah laku sosial dengan individu lain.
Bonner (Gerungan, 1996: 37) menjelaskan interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia, di mana kelakuan individu yang satu memengaruhi, mengubah memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya. Definisi ini menggambarkan kelangsungan timbal baliknya interaksi sosial antara dua atau lebih manusia itu. Berdasarkan penjelasan para ahli tersebut dapat dipahami kemampuan interaksi sosial merupakan kesanggupan individu untuk saling berhubungan dan bekerja sama dengan individu lain maupun kelompok di mana kelakuan individu yang satu dapat memengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu lain atau sebaliknya, sehingga terdapat adanya hubungan yang saling menguntungkan.
Dayakisni & Hudaniah (2009: 89) mengemukakan empat ciri-ciri interaksi sosial yang mendasari individu dalam berinteraksi dengan orang lain: 1) jumlah pelakunya lebih dari satu orang, (2) terjadinya komunikasi di antara pelaku melalui kontak mata, 3) memunyai maksud atau tujuan yang jelas dan 4) dilaksanakan melalui suatu pola dan bentuk sistem sosial tertentu. Selanjutnya, terdapat 5 faktor yang mendasari interaksi sosial menurut Mahmudah (2010: 54) yaitu: 1) faktor imitasi, 2) faktor sugesti, 3) faktor identifikasi, 4) faktor simpati, dan 5) proses interaksi sosial. Hal ini berarti tiap-tiap orang itu merupakan sumber dan pusat psikologis yang memengaruhi hidup kejiwaan orang lain, dan efek itu bagi tiap-tiap orang tidak sama. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perasaan, pikiran dan keinginan yang ada pada seseorang tidak hanya sebagai tenaga yang bisa menggerakkan individu itu sendiri, melainkan merupakan dasar pula bagi aktivitas psikologis orang lain. Semua hubungan sosial baik yang bersifat operation, cooperation maupun non-cooperation merupakan hasil interaksi individu.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa interaksi sosial seorang anak pada awalnya berkembang dalam lingkungan terkecil yaitu keluarga. Di dalam keluarga orangtua menunjukkan sikap dan perilaku yang berupa bentuk pola asuh kepada anak, kemudian anak melakukan imitasi dan identifikasi terhadap sikap dan perilaku yang ditunjukkan oleh orangtua, seorang anak akan melakukan identifikasi terhadap peran orangtua. Anak laki-laki misalnya akan meniru peran ayah dan anak perempuan juga akan meniru peran ibu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa seorang anak pada awal kehidupannya yaitu ketika masih kecil dalam lingkungan keluarga akan melakukan imitasi dan identifikasi terhadap peran orangtua yang akan membentuk pribadi seorang anak.
Pola asuh otoriter orangtua
Pola asuh pada dasarnya merupakan sikap dan kebiasaan orangtua yang diterapkan saat mengasuh dan membesarkan anak dalam kehidupan sehari-hari. Pola asuh di setiap keluarga memunyai karakteristik yang berbeda. Baumrind (Santrock, 2012: 290) mengemukakan bahwa pola asuh otoriter adalah gaya yang bersifat membatasi dan menghukum, di mana orangtua mendesak anaknya agar mengikuti pengarahan mereka serta menghormati pekerjaan dan jerih payah mereka. Orangtua otoriter menempatkan batasan-batasan yang tegas pada anak dan tidak banyak memberikan peluang kepada anak untuk bermusyawarah. Orangtua otoriter juga mungkin memukul anak, menetapkan aturan- aturan secara kaku tanpa memberikan penjelasan, dan menunjukkan kemarahan terhadap anak.
Pola asuh otoriter orangtua adalah pola asuh yang memberikan kesempatan pada anak untuk menentukan pilihannya dalam batas yang sudah ditentukan oleh orangtua. Pola asuh otoriter adalah gaya membatasi dan menghukum ketika orangtua memaksa anak-anak untuk mengikuti arahan mereka dan menghormati pekerjaan serta upaya mereka (Santrock, 2012). Mainarno (Rohmatun, 2014: 57) menjelaskan bahwa pola pengasuhan otoriter, yang dicirikan dengan orangtua memunyai kecenderungan untuk membentuk dan melakukan kontrol yang ketat terhadap anak-anaknya, dengan memberikan penegasan terhadap standar tertentu yang harus dipatuhi dan diikuti oleh anak-anaknya, yang pada pelaksanaannya dengan melibatkan adanya hukuman dan dengan paksaan, supaya tingkah laku yang diharapkan dan diinginkan oleh orangtua dapat terbentuk pada anak.
Menurut Baumrind (Santrock, 2012) menjelaskan gaya pengasuhan dibagi menjadi empat, yaitu: 1) pengasuhan otoritarian, ini adalah gaya yang membatasi dan menghukum, di mana orangtua mendesak anak untuk mengikuti arahan orangtua dan menghormati pekerjaan dan upaya mereka; 2) pengasuhan otoritatif, gaya ini mendorong anak untuk mandiri, namun masih menempatkan batas dan kendali pada tindakan mereka; 3) pengasuhan mengabaikan, gaya ini di mana orangtua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak; 4) dan pengasuhan yang menuruti, suatu gaya di mana orangtua sangat terlibat dengan anak tetapi tidak menaruh banyak tuntutan dan kontrol yang ketat pada mereka.
Pribadi dan Subowo (Syamaun, 2012: 28) mengatakan beberapa hal yang menjadi ciri-ciri pola asuh orangtua yang otoriter, yaitu sebagai berikut: 1) terkesan memusuhi, 2) tidak kooperatif, 3) menguasai, 4) memarahi anak, 5) menuntut yang tidak realistis, 6) memerintah anak, 7) menghukum secara fisik, 8) tidak memberikan keleluasaan (mengekang), 9)membentuk disiplin secara sepihak, dan 10) membentak dan berkata kasar.
Helmawati (2014: 138) mengungkapkan beberapa ciri pola asuh otoriter, yaitu sebagai berikut:
1) menggunakan komunikasi satu arah, 2) memaksakan keinginan terhadap anak, 3) menetapkan aturan secara sepihak, 4) tidak menerima kritik dari anak, 5) mengekang. Ciri-ciri perilaku tersebut merupakan refleksi dari kecenderungan pribadi yang manipulatif. Orangtua yang otoriter cenderung mengendalikan anak dengan standar perilaku sesuai dengan keinginannya dan menghukum jika anak melakukan pelanggaran. Selanjutnya, Baumrind (Ningrum dan Soeharto: 2015) mengemukakan bahwa pola asuh otoriter memiliki beberapa ciri-ciri, yaitu: 1) tingginya kontrol dari orangtua terhadap anak. Orangtua lebih menghargai kontrol dan kepatuhan terhadap anak tanpa banyak bertanya dan berkomunikasi, 2) tuntutan kedewasaan terhadap anak. Anak dianggap sebagai orang dewasa yang dapat melaksanakan semua keinginan orangtua, 3) kurang seimbangnya komunikasi orangtua dengan anak. Hubungan orangtua dan anak kurang hangat dan tidak responsif, dan 4) pendidikan bersifat kaku. Semua aturan dan keinginan orangtua dipaksakan kepada anak tanpa ada diskusi ataupun komunikasi dengan anak.
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa ciri-ciri pola asuh otoriter yaitu terkesan memusuhi, tidak kooperatif, menguasai, suka memarahi anak, menuntut yang tidak realistis, memerintah anak, menghukum secara fisik, tidak memberikan keleluasaan, membentuk disiplin secara sepihak, membentak dan berkata kasar. Orangtua juga menggunakan komunikasi satu arah, semua aturan yang telah dibuat oleh orangtua harus ditaati oleh anak. Selain itu, orangtua mengontrol dan mengevaluasi perilaku anak dengan sejumlah standar yang telah dibuat agar anak sesuai dengan keinginan orangtua. Sikap otoriter orangtua ditunjukkan dengan adanya penggarisan norma oleh orangtua yang wajib dipatuhi oleh anak. Pelanggaran terhadap peraturan itu memunyai sanksi bagi anak.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 9 Kendari Kota Kendari selama 3 bulan (tiga bulan) yaitu dimulai dari bulan Februari 2020 sampai dengan bulan April 2020. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif korelasional, yakni suatu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas yaitu pola asuh otoriter orangtua terhadap variabel terikat yaitu kemampuan interaksi sosial siswa. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMP Negeri 9 Kendari yang berjumlah 366 orang. Pengambilan sampel penelitian ini menggunakan teknik proportional random sampling. Menurut Arikunto (2016: 107) bahwa jika subjek penelitian kurang dari 100 maka sebaiknya diambil semuanya dan jika jumlah subjek lebih dari 100 maka sampel penelitian diambil 10-15% atau 20-25% sehingga penelitiannya adalah penelitian populasi. Dengan demikian, sampel dalam penelitian ini adalah 10% x 367 = 36,6 maka dibulatkan menjadi 37 siswa.
Penelitian ini menggunakan alat pengumpul data berupa angket. Angket pola asuh otoriter orangtua dan kemampuan interaksi sosial siswa yang disusun berdasarkan ciri-ciri pola asuh otoriter orangtua yang dikemukakan oleh Baumrind, yaitu: 1) tingginya kontrol dari orangtua terhadap anak;
2) tuntutan kedewasaan terhadap anak; 3) kurang seimbangnya komunikasi orangtua dengan anak; 4) pendidikan bersifat kaku. Sebelum digunakan, angket terlebih dahulu dilakukan uji validitas dan reliabilitas untuk mendapatkan butir soal yang valid dan reliabel.
Analisis data dilakukan secara deskriptif dan inferensial. Analisis deskriptif dikumpulkan disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi untuk mendeskripsikan pola asuh otoriter orangtua dan kemampuan interaksi sosial siswa. Analisis statistik inferensial digunakan untuk menguji hipotesis penelitian. Sugiyono (2013: 148) mengemukakan bahwa analisis statistik inferensial adalah teknik statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis penelitian. Analisis statistik yang digunakan adalah analisis regresi. Analisis regresi dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh variabel pola asuh otoriter orangtua (X) terhadap variabel kemampuan interaksi sosial siswa (Y). analisis regresi dilakukan dengan bantuan program aplikasi SPSS Version 17.0.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Hasil Penelitian
Analisis deskriptif
Data pola asuh otoriter orangtua diukur menggunakan angket yang terdiri dari 78 butir pernyataan dengan menggunakan skala 1 sampai dengan 4. Adapun distribusi frekuensi data pola asuh otoriter orangtua dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1
Distribusi Frekuensi Pola Asuh Otoriter Orangtua Kategori Interval Frekuensi Persentase
Sangat Tinggi 255 – 314 0 0,00%
Tinggi 196 – 254 7 18,92%
Rendah 137 – 195 28 75,68%
Sangat Rendah 78 - 136 2 5,41%
Jumlah 37 100
Berdasarkan tabel 1 tersebut menunjukkan bahwa frekuensi data pola asuh otoriter orangtua terdapat pada interval 78–136 sebanyak 2 (5,41%) siswa berkategori sangat rendah, interval 137–195 sebanyak 28 (75,68%) siswa berkategori rendah, interval 196–254 sebanyak 7 (18,92%) siswa berkategori tinggi dan interval 255 – 314 sebanyak 0 (0%) yang berkategori sangat tinggi. Persentase rata-rata nilai pola asuh otoriter orangtua adalah 175,2 atau berada pada kategori rendah. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan jika pola asuh otoriter orangtua berada dalam kategori rendah.
Data kemampuan interaksi sosial siswa diukur menggunakan angket yang terdiri dari 39 butir pernyataan dengan menggunakan skala 1 sampai dengan 4. Adapun distribusi frekuensi data kemampuan interaksi sosial siswa yang dianalisis secara manual dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2
Distribusi Frekuensi Data Kemampuan Interaksi Sosial Siswa Kategori Interval Frekuensi Persentase
Sangat Tinggi 126 – 156 0 0,00%
Tinggi 97 – 125 20 54,05%
Rendah 68 – 96 16 43,24%
Sangat Rendah 39 - 67 1 2,70%
Jumlah 37 100%
Berdasarkan tabel 2 tersebut menunjukkan bahwa frekuensi data kemampuan interaksi sosial yang terdapat pada interval 39 – 67 sebanyak 1 (2,70%) siswa berkategori sangat rendah, interval 68 – 96 sebanyak 16 (43,24%) siswa berkategori rendah, interval 97 – 125 sebanyak 20 (54,05%) siswa berkategori tinggi dan interval 126 – 156 sebanyak 0 (0%) yang berkategori sangat tinggi. Sedangkan persentase rata-rata nilai kemampuan interaksi sosial siswa adalah 97,11 atau berada pada kategori tinggi. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan jika kemampuan interaksi sosial siswa berada dalam kategori rendah.
Analisis inferensial
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara pola asuh otoriter orangtua dengan kemampuan interaksi sosial pada siswa Kelas VIII SMP Negeri 9 Kendari. Pengujian hipotesis ini menggunakan rumus analisis regresi linear sederhana dengan menggunakan aplikasi SPSS Version 17.0 seperti pada tabel berikut.
Tabel 3
Analisis Korelasi Pearson Correlations Pola Asuh
otoriter
Kemampuan sosial Pola asuh
otoriter
Pearson Correlation 1 -.243
Sig. (2-tailed) .148
N 37 37
Kemampuan Interaksi Sosial
Pearson Correlation -.243 1
Sig. (2-tailed) .148
N 37 37
Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi data nilai angket pola asuh otoriter orangtua dan kemampuan interaksi sosial siswa -0,243, jika dibandingkan dengan rtabel pada α = 0,05 dan n = 37 sebesar 0,275, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang kuat pola asuh otoriter orangtua dan kemampuan interaksi sosial siswa. Dengan demikian, maka hipotesis penelitian (Ha) diterima bahwa ada hubungan positif pola asuh otoriter orangtua dengan kemampuan interaksi sosial siswa pada siswa kelas VIII SMP Negeri 9 Kendari.
Nilai koefisien korelasi (Pearson Correlation) dengan tanda (-0,243) memiliki arti bahwa korelasi memiliki arah negatif antara pola asuh otoriter orangtua terhadap kemampuan interaksi sosial siswa. Artinya bahwa semakin tinggi pola asuh otoriter orangtua maka semakin rendah kemampuan interaksi sosial siswa dan sebaliknya semakin rendah pola asuh otoriter orangtua maka semakin tinggi kemampuan interaksi sosial siswa.
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang kuat dengan arah negatif antara pola asuh otoriter orangtua dengan kemampuan interaksi sosial siswa. Pola asuh otoriter yang diterapkan oleh orangtua pada siswa kelas VIII SMP Negeri 9 Kendari berada pada kategori rendah atau dapat dikatakan cenderung pada pola asuh selain otoriter. Pola asuh otoriter yang diterapkan oleh orangtua terhadap anak di samping memiliki sisi positif juga memiliki sisi negatif, hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Edwards (2006: 80) bahwa pola asuh otoriter orangtua biasanya diterapkan dalam keluarga yang berdisiplin tinggi. Orangtua cenderung menentukan peraturan tanpa berdiskusi dengan anak-anak mereka terlebih dahulu. Mereka tidak mempertimbangkan harapan dan kehendak anak.
Mereka juga menggunakan hukuman sebagai penegakan kedisiplinan dan dengan mudah mengumbar kemarahan dan ketidaksenangan kepada anak. Anak-anak dari orangtua otoriter dapat menjadi pemalu, penuh ketakutan, menarik diri, beresiko terkena depresi, sulit membuat keputusan, dan cenderung sulit untuk mandiri.
Saat mendidik anak, ada kalanya orangtua perlu menunjukkan ketegasan terhadap perilaku yang tidak disukai dan salah di mata anak-anak. Jika ketegasan itu sudah melampaui batas dan membuat anak menjadi depresi, menarik diri, kurang mandiri, dan sulit mengambil keputusan, maka orangtua sudah termasuk otoriter. Anak bersikap demikian karena anak tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya, anak terus dituntut untuk mematuhi peraturan dari orangtua. Inisiatif dan keberanian anak menjadi terpendam karena anak takut mendapat hukuman dari orangtuanya.
Orangtua yang menghukum anak dengan cara berteriak, menjerit atau memukul, justru memberikan contoh yang tidak baik kepada anak. Anak dapat meniru perilaku yang agresif dan kehilangan kendali (Santrock, 2012: 293).
Kemampuan interaksi sosial dipengaruhi oleh banyak faktor seperti situasi sosial, kekuatan norma kelompok, tujuan pribadi masing-masing individu, penafsiran situasi (Mahmudah, 2010: 54).
Situasi sosial, tujuan pribadi masing-masing individu dan penafsiran terhadap situasi yang berbeda- beda ini turut dipengaruhi oleh pola asuh yang diterapkan orangtua salah satunya yaitu pola asuh otoriter. Keberhasilan yang diperoleh seseorang, tidak terlepas dari pola asuh orangtua yang diberikan
dan dengan pola asuh orangtua menyebabkan individu terdorong untuk mencapai hasil yang lebih baik dari kondisi sebelumnya.
Hasil penelitian ini menguatkan penelitian yang dilakukan oleh Rohmatun (2014) dengan judul Hubungan Antara Pola Asuh Otoriter Dengan Self-Efficacy Pada Mahasiswa Yang Sedang Menyelesaikan Studi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara pola asuh otoriter dengan self-efficacy, ini berarti hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini diterima. Variabel pola asuh otoriter memberikan sumbangan efektif sebesar 11,6% terhadap variabel efikasi diri, 88,4% sisanya dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diikutsertakan dalam penelitian ini.
Keluarga merupakan lingkungan primer yang dikenal oleh anak dari lahir hingga melepaskan diri dari lingkungan keluarga untuk membangun sebuah keluarga baru. Hubungan antara orangtua dan anak dalam keluarga sangat ditentukan oleh sikap orangtua dalam mengasuh anak, komunikasi antara anak dan orangtua, dan apa yang dilakukan orangtua. Setiap orangtua menerapkan pola pengasuhan yang berbeda kepada anaknya. Pola asuh merupakan segala perilaku orangtua kepada anak melalui sistem aturan, reward, dan komunikasi yang diterapkan di rumah.
Orangtua harus mengetahui tumbuh kembang anak yang normal sesuai dengan usia anak.
Kemudian orangtua harus memberikan kesempatan, dukungan dan dorongan. Oleh karena itu, peran orangtua dan pola pengasuhan yang baik akan menjadikan anak yang mandiri. Bagi orangtua diharapkan mulai mengubah cara pola asuh yang otoriter ke pola asuh demokratis, karena dengan pola asuh demokratis dapat membantu meningkatkan kemampuan interaksi sosial yang baik bagi anak karena anak memiliki keberanian dan kemampuan mengontrol diri yang lebih matang.
Tipe pengasuhan yang menekankan otoritas, membatasi, adanya kendali yang penuh terhadap kehidupan anak, tidak memberi peluang anak untuk berdialog secara verbal, dan pemberian hukuman fisik maupun verbal sebagai bentuk pembelajaran atas kesalahan adalah pola pengasuhan otoritarian (otoriter). Pengasuhan secara otoriter yang membatasi anak dan memberikan hukuman berupa hukuman fisik ketika tidak mampu memenuhi standar yang orangtua tetapkan akan membuat anak menjadi pendiam, menarik diri, malas berkomunikasi, marah dan kesal kepada orangtua tetapi tidak berani mengungkapkan dan menyampaikan pendapatnya kepada orang lain sehingga anak menjadi tidak terampil dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain.
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data pembahasan penelitian, diketahui hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa pola asuh otoriter orangtua berada pada kategori rendah, kemampuan interaksi sosial siswa berada pada kategori tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa adanya tuntutan orangtua yang tinggi tetapi kemampuan interaksi sosial siswa rendah.
Hasil analisis inferensial menunjukkan ada hubungan signifikan antara pola asuh otoriter orangtua dengan kemampuan interaksi sosial siswa pada siswa kelas VIII SMP Negeri 9 Kendari. Hal ini ditunjukkan nilai koefisien korelasi data nilai angket pola asuh otoriter orangtua dan kemampuan interaksi sosial siswa -0,243, jika dibandingkan dengan rtabel pada α = 0,05 dan n = 37 sebesar 0,275, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang kuat pola asuh otoriter orangtua dan kemampuan interaksi sosial siswa. Dengan demikian, maka hipotesis penelitian diterima bahwa ada hubungan positif pola asuh otoriter orangtua dengan kemampuan interaksi sosial siswa pada siswa kelas VIII SMP Negeri 9 Kendari.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, penulis mengajukan saran-saran sebagai berikut: 1) bagi orangtua, penerapan pola asuh otoriter memiliki dampak yang buruk salah satunya rasa percaya diri dan keberanian anak menjadi tertahan, sehingga disarankan agar menerapkan pola asuh demokratis bagi anak karena dengan penerapan pola asuh demokratis dapat meningkatkan rasa percaya diri dan keberanian anak sesuai tahap perkembangannya sehingga anak dapat mengembangkan kemampuan interaksi sosial dengan baik, 2) bagi sekolah, sekolah memiliki peran kolaboratif dengan orangtua
siswa, sehingga hendaknya dapat menjalin komunikasi yang baik dengan orangtua sehingga dapat memberikan masukan pada orangtua siswa tentang pola asuh yang tepat bagi perkembangan anak seperti penerapan pola asuh demokratis sehingga anak dapat mengembangkan kemampuan interaksi sosial dengan optimal, 3) bagi guru, hendaknya guru dapat melatih dan mengembangkan kemampuan interaksi sosial siswa salah satunya dengan melatihnya saat kegiatan anak di sekolah seperti saat kegiatan kelompok ataupun saat mengikuti kegiatan-kegiatan di sekolah sehingga kemampuan interaksi sosial anak menjadi lebih baik.
Daftar Pustaka
Arikunto, S. (2016). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Dayakisni, Tri & Hudaniah. (2009). Psikologi Sosial. Malang: UMM Press.
Edwards, C. Drew. (2006). Ketika Anak Sulit Diatur: Panduan Bagi Para Orangtua untuk Mengubah Masalah Perilaku Anak. Bandung: PT Mizan Pustaka.
Fatnar, Virgia Ningrum dan Anam, Choirul. (2014). Kemampuan Interaksi Sosial Antara Remaja yang Tinggal di Pondok Pesantren dengan yang Tinggal Bersama Keluarga. Jurnal Emphaty, 2(2), 71-75.
Gerungan, W. A. (1996). Psikologi Sosial. Bandung: Eresco.
Helmawati. (2014). Pendidikan Keluarga. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mahmudah, Siti. (2010). Psikologi Sosial. Malang: UIN Maliki Press.
Ningrum, Savi Dia dan Soeharto, Triana Noor Edwina Dewayani. (2015). Hubungan Pola Asuh Otoriter Orangtua dengan Bullying di Sekolah Pada Siswa SMP. Indigenous Jurnal Ilmiah Psikologi, 13(1). 29-38.
Parinduri, Hamdi Wijaya., Zubaidah, Siti & Wijaya, Chandra. (2017). Hubungan Antara Pola Asuh Orangtua dan Interaksi Sosial Terhadap Kemandirian Anak Muslim di Kelurahan Silalas Lingkungan VII Kecamatan Medan Barat Kota Medan. Edu Riligia, 1(4), 532-547.
Parulian, Tina Shinta & Yulianti, Agnes Roma. (2019). Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Interaksi Teman Sebaya Pada Remaja. Jurnal Keperawatan Jiwa, 7(2), 173-178.
Rohmatun. (2014). Hubungan Antara Pola Asuh Otoriter dengan Self-Efficacy Pada Mahasiswa yang Sedang Menyelesaikan. Jurnal Psikologi Proyeksi, 9 (2), 1-14.
Santrock J.W. (2017). Psikologi Pendidikan Edisi Kedua. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Santrock, J. W. (2012). Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup Jilid I. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Santoso, Slamet. (2010). Dinamika Kelompok Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.
Soekanto, Soerjono. (2012). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
Steinberg, Laurence. (1998). Adolescence: Third Edition. Temple University: McGraw Hill.
Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,. Kualitatif, dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Syamaun, Nusmasyithah. (2012). Dampak Pola Asuh Orangtua & Guru Terhadap Kecenderungan Perilaku Agresif Siswa. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Walgito, Bimo. (2003). Psikologi Sosial. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.
Merdeka. (2019). Kronologi Lengkap Kasus Siswa Tantang Guru Honorer Karena Ditegur Saat
Merokok. Diakses tanggal 19 Februari 2020 dari
https://www.merdeka.com/peristiwa/kronologi-lengkap-kasus-siswa-tantang-guru-honorer- karena-ditegur-saat-merokok.html.