Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka perkawinan beda agama menjadi tidak sah dan batal. Lebih lanjut, Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur perkawinan campuran antara dua orang yang diatur oleh dua undang-undang yang berbeda.
Rumusan Masalah
Untuk mengetahui lebih jauh mengenai hal tersebut, penulis akan melakukan pembahasan mengenai pembagian harta waris bagi pasangan suami istri yang berbeda agama dari sudut pandang fiqih dalam skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Pembagian Hak Waris Anak yang Lahir dalam Perkawinan Beda Agama. dari sudut pandang penyusunan hukum Islam”. Bagaimana penyelesaian pembagian waris bagi pasangan suami istri yang berbeda agama dalam perspektif KOMPILASI HUKUM ISLAM.
Tujuan Penelitian
ManfaatPenelitian
Oleh karena itu, keabsahan suatu perkawinan ditentukan oleh hukum yang berlaku. hukum positif), berdasarkan pada ketentuan undang-undang tentang perkawinan yang berbunyi: “Suatu perkawinan sah apabila dilangsungkan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya”. Perkawinan menurut hukum Islam adalah perkawinan yang merupakan akad yang sangat tegas atau miitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah.15 Keabsahan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 diatur dalam Pasal 2 ayat (1). ), yang mengatur bahwa; “Perkawinan sah apabila dilangsungkan sesuai dengan hukum setiap agama dan kepercayaan.”
Tinjauan Umum Tentang Waris
Macam- macamAnak
Anak yang sah mempunyai kedudukan yang paling tinggi dan paling sempurna di mata hukum dibandingkan dengan anak golongan yang lain, karena anak yang sah mempunyai segala hak yang diberikan oleh undang-undang, termasuk hak waris yang kedudukannya paling tinggi di antara kelompok ahli waris, hak-hak sosial lainnya yang mana ia akan mendapat kedudukan terhormat dalam masyarakat, tunjangan, hak mencantumkan nama ayah pada akta kelahiran dan hak-hak lainnya. Pasal 250 KUH Perdata menyatakan bahwa “anak-anak yang dilahirkan atau dibesarkan dalam perkawinan memperoleh suami sebagai bapaknya”. Menurut pandangan Islam, segala persetubuhan di luar nikah merupakan salah satu bentuk perzinahan, sedangkan berdasarkan ketentuan Pasal 284 KUHP “seorang laki-laki yang sudah menikah melakukan perzinahan (zina), meskipun ia mengetahui Pasal 27 KUH Perdata tersebut. berlaku padanya." Anak zina adalah anak dalam kelompok atau kelas yang mempunyai kedudukan paling rendah dibandingkan dengan kelompok atau kelas anak lainnya.
Menurut ketentuan KUH Perdata, bahwa orang tua kandung tidak dapat mengakui anak hasil zina bersama-sama dengan anak hasil perzinahan, maka secara hukum anak hasil perzinahan tidak akan mempunyai bapak atau ibu, oleh karena itu anak hasil perzinahan tidak mempunyai hak keperdataan apapun dari anak kandungnya. orang tua, kecuali sebagaimana ditentukan dalam alinea kedua Pasal 867 KUH Perdata, dibatasi pada hak nafkah jika diperlukan menurut kesanggupan orang tua kandungnya, dengan memperhatikan jumlah dan keadaan ahli waris yang sah menurut hukum. . Anak luar nikah adalah anak yang dilahirkan di luar nikah yang mempunyai hubungan perdata hanya dengan ibu dan keluarga ibu. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, alinea pertama Pasal 43 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berbunyi: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai bapaknya, yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain sesuai dengan hukum perkawinan.” menurut hukum, ia mempunyai hubungan darah, termasuk perkawinan sipil dengan keluarga ayahnya.
Dengan adanya pengakuan yang dilakukan terhadap anak di luar nikah, maka timbullah hubungan keperdataan antara anak tersebut dengan ayah atau ibunya. Yang dimaksud dengan anak tiri adalah anak yang dibawa dari orang tuanya ke dalam perkawinan yang baru, dimana anak yang dibawa tersebut merupakan hasil perkawinan yang terdahulu. Anak tiri mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan anak sah pada umumnya dengan adanya orang tua kandungnya, hak mewaris anak tiri hanya sebelah mata yaitu hanya dari ayah atau ibunya saja.
Tipe Penelitian
Ketika melakukan penelitian berdasarkan objek yang diteliti, penulis memilih lokasi penelitian di Pengadilan Agama Makassar. Adapun yang menjadi dasar pertimbangan dalam pemilihan lokasi penelitian, karena tempat tersebut mempunyai sumber data yang mungkin penulis perlukan dalam penelitian ini, sehingga dapat diperoleh dengan mudah untuk mempercepat proses pengumpulan data.
Jenis dan Sumber Data
Teknik Pengumpulan Data
Studi Kepustakaan, yaitu penulis mengumpulkan data dengan cara membaca berbagai buku, peraturan perundang-undangan, artikel, jurnal, hasil penelitian ilmiah, media elektronik dan bahan lain yang sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti. Dokumen yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan metode pengambilan dokumen sesuai dengan permasalahan yang diteliti.
Analisis Data
Pada uraian latar belakang kitab suci tersebut terdapat penjelasan singkat mengenai apa yang dimaksud dengan pernikahan beda agama. Secara umum menurut penulis perkawinan beda agama berpotensi menimbulkan permasalahan hukum tersendiri, baik bagi suami istri sendiri maupun bagi pihak luar/pihak ketiga. Menurut penulis, jika persoalan waris dilihat dari segi keadilan, maka pelarangan perkawinan beda agama jelas melindungi hak waris masing-masing.
Hal ini karena menimbulkan permasalahan keadilan yaitu anak yang seagama akan mendapatkan hak waris sedangkan saudaranya yang berbeda agama tidak mendapatkan hak waris. Hal serupa juga dinyatakan dalam Undang-undang Perkawinan mengenai hubungan hukum antara anak di luar nikah dengan ibunya sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) yang berbunyi: “Anak yang. Hal ini karena menurut penulis, perkawinan beda agama adalah perkawinan yang tidak sah. Oleh karena itu status anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut adalah tidak sah sehingga dapat disamakan dengan anak di luar nikah, maka ia juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya sehingga ia hanya berhak menerima warisan dari ibunya.
Menurut penulis, berdasarkan pengertian ahli waris menurut Pasal 832 KUH Perdata dan Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam (KHI), terdapat persamaan dan perbedaan antara keduanya. Hukum waris Islam tidak mengatur adanya hak waris timbal balik antara orang yang berbeda agama (antara Islam dan non-Muslim); Oleh karena itu, menurut penulis, dari sudut pandang waris Islam, anak yang lahir dari perkawinan beda agama tidak berhak mewarisi harta benda jika tidak seagama dengan ahli warisnya, dalam hal ini ahli warisnya beragama Islam.
Penyelesaian Pembagian Harta Warisan Pasangan Suami Istri Yang Beda Agama
Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Islam
Anak-anak (walad) dan keturunan orang yang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan dalam derajat yang tidak terhingga ke bawah. Menurut ajaran waris, ada tiga golongan ahli waris, yaitu: 1) Dzul faraa-idh, yaitu ahli waris yang turut serta. sejumlah tertentu, antara lain: anak perempuan tidak disertai anak laki-laki, ibu, bapak, anak, janda, janda, saudara laki-laki dalam kalabah, saudara perempuan dalam kalalah dan saudara laki-laki dalam kalalah. Yaitu anak laki-laki, anak perempuan yang didampingi anak laki-laki, ayah, saudara laki-laki jika kehilangan, saudara perempuan yang didampingi saudara laki-laki jika kehilangan.
2/3 dua orang atau lebih, bukan anak mahupun bapa. selebihnya, bersama-sama dengan seorang abang tiri, dengan syarat dia mengambil separuh daripada bahagian abang. kiri, kerana terdapat anak atau cucu perempuan dalam barisan lelaki. seorang, tiada anak dan tiada bapa. selebihnya, dengan abang-abang ayah saya. 1/6 sendi atau kakak tiri. berbaki, kerana ada cucu perempuan dari garis lelaki. baki, tanpa anak atau cucu -1/6 + baki, dengan hanya anak atau cucu. Ashabah Bil Ghoiri (Perempuan), mereka ialah: a.) Anak perempuan, jika mereka mempunyai saudara lelaki. b.) Anak perempuan anak lelaki, jika dia mempunyai saudara lelaki c.) Kakak kandung, jika dia mempunyai saudara lelaki d.) Kakak tiri, jika dia mempunyai saudara lelaki.
Perlu diketahui bahwa sejak diadopsinya Kompendium Hukum Islam, ashabah ma'al ghair dihilangkan dari kosakata bahasa Indonesia tentang hukum waris Islam, hal ini disebabkan karena Pasal 181 dan Pasal 182 Ringkasan Hukum Islam mendasarkan ketentuannya pada ketentuan. . Al-Qur'an, Surat An-Nisa (4); 12 dan 176 yang mensyaratkan bahwa: “selama masih ada anak laki-laki dan perempuan, maka kamu dilarang untuk mewarisi”. Dengan kata lain segala macam saudara laki-laki dan perempuan (saudara laki-laki, ayah tiri, dan saudara tiri, baik saudara laki-laki maupun perempuan. Begitu pula dengan tafsir Rangkuman Hukum Islam pada Al-Qur'an surat an-Nisa (4): 12 dan ayat 176 yang intinya selama masih ada anak, baik laki-laki maupun perempuan dilarang mewarisi dengan hijab hirman atau dilarang sama sekali.
Status Hak Waris Pasangan Suami Istri Yang Beda Agama
Jadi, setelah keluar, dia kena hukum perdata, kalau nanti ada sengketa soal warisan, diajukan ke pengadilan negeri kalau dia Muslim-non-Muslim.”14 Padahal dalam kitab fiqih disebutkan bahwa beda agama menjadi kendala. terhadap warisan, namun Pasal 173 KUHP mengatur bahwa: Seseorang tidak dapat menjadi ahli waris apabila suatu putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap menghukum karena: a. Kumpulan hukum Islam yang disepakati oleh hakim pengadilan agama dan pengadilan syar’iyah sebagai hukum yang berlaku (hukum substantif) di pengadilan agama dan pengadilan syar’iyah tidak secara tegas menyatakan bahwa perbedaan agama menjadi alasan pencabutan hak waris. dari satu sama lain. Namun Pasal 171(b) dan (c) Kompendium Hukum Islam menyatakan bahwa baik ahli waris maupun ahli waris harus beragama Islam.
Dari ketentuan pasal tersebut dapat dipahami bahwa jika salah satu dari mereka bukan Islam, maka keduanya tidak dapat mewarisi. Namun dalam hukum Islam, ahli waris yang berbeda agama tidak berhak mendapatkan warisan karena perkawinan pun dilarang. Bila ditinjau dari Hukum Waris Islam, anak yang lahir dari perkawinan beda agama tidak mempunyai hak mewaris apabila tidak seagama dengan ahli warisnya, dalam hal ini ahli warisnya beragama Islam.
Namun apabila ahli warisnya bukan seorang muslim (non-Muslim), sedangkan ahli warisnya tidak seagama dengan ahli waris (non-Muslim), maka ia tetap mempunyai hak mewaris. Hal ini didasarkan pada adanya hubungan darah antara ahli waris dengan ahli waris sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 171 huruf c Kompendium Hukum Islam (KHI). Dalam pembagian harta warisan, menurut hukum waris Islam, menganut sistem pewarisan perseorangan yang artinya sejak dibukanya harta warisan (meninggalnya ahli waris) harta warisan tersebut dapat dibagi di antara para ahli waris. .
Saran
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019), Jakarta.