HUKUM PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TPPU DAN KORUPSI
OLEH:
Reza Pahlevi Raring
202010110311560
Pembuktian Tindak Pidana Asal (Predicate Offence) dan Pembuktian Terbalik (Reversal Burden of Proof)
• Pasal 69 UU 8/2010 “Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya”.
• Pasal ini membuktikan bahwa sasaran UU TPPU adalah bukan pada perbuatan (kesalahan) terdakwa, melainkan pada harta kekayaan yang diduga berasal dari atau terkait dengan tindak pidana asal (predicate offece), sehingga harta kekayaan diduga berasal dari tindak pidana merupakan subjek tindak pidana PU.
• Bahwa harta kekayaan sebagai subjek TPPU mengandung konsekuensi hukum/ permasalahan hukum yaitu:
UU TPPU memperlakukan harta kekayaan sebagai subjek tindak pidana mengandung beberapa konsekuensi hukum:
1. Pembuktian terbalik atas harta kekayaan terdakwa tidak mutatis mutandis dalam pembuktian kesalahan terdakwa atas perbuatannya (predicate crime/predicate offence), karena tujuan pembuktian terbalik adalah perampasan aset terdakwa secara keperdataan (in rem forfeiture atau civil based forfeiture), dan berbeda dengan pembuktian kesalahan terdakwa atas tindak pidana asal yang tujuannya menemukan kesalahan terdakwa baru kemudian merampas asetnya secara kepidanaan (in personam forfeiture atau criminal based forfeiture)
2. Adanya kekaburan (Ambiguous) ketentuan pasal 69 apabila dikaitkan dengan ketentuan pasal 77 dan 78 UU 8/2010.
Pasal 77 “Untuk kepentingan pemeriksaan disidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaanya bukan merupakan hasil tindak pidana “.
Pasal 78 ayat (1) “dalam pemeriksaan disidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1)”
Pasal 78 ayat (2) “terdakwa membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup”.
Pasal 2 ayat (1) “hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana (korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan migran, dibidang perbankan, dibidang pasar modal, dibidang perasuransian, kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, dibidang perpajakan, dibidang kehutanan, dibidang lingkungan hidup, dibidang kelautan dan perikanan atau tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 tahun atau lebih, yang dilakukan diwilayah NKRI atau diluat wilayah NKRI dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.” Kemudian ayat (2) “harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/ atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana pada ayat (1) huruf n
Alasan tentang adanya kekaburan tersebut karena disatu sisi tindak pidana asal tidak wajib dibuktikan oleh penuntut, namun disisi lain terdakwa wajib membuktikan harta kekayaan yang dimilikinya bukan berasal dari atau terkait tindak pidana asal yang hanya dipersangkakan (probable cause principle), dimana dalam UU 8/2010 ini tidak ada penjelasan memadai mengenai pertentangan substansi terkait pasal-pasal tersebut.
3. Dalam praktek pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi sering dipahami secara keliru olem majelis hakin dan penuntut yaitu dengan mengadopsi konsep “illicit enrichment”, yaitu pembuktian harta kekayaan seorang pejabat publik atau penyelenggara negara yang dihubungkan dengan penghasilannya yang sah, hal mana tidak ada kaitannya dengan pidana yang didakwakan kepada yang bersangkuta.
Hal ini merujuk pada artikel 20 Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 “subject to its constitution and fundamental principles of its legal system, each state party shall consider adopting such legislation and othe measures as may be necessary to establish as a criminal offence, when commintted intentionally, illicit enrichment, that is, a significant increase in the assets of a publict official that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income”.
Definisi illicit enrichment dalam konvensi anti Korupsi 2003 telah termasuk perbuatan yang dikriminalisasi didalam RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 2010
4. Dalam ketentuan pasal 77 dan 78 UU TPPU 2010 sesuai dengan asas lex certa menunjukan bahwa harta kekayaan yang wajib dibuktikan terdakwa adalah harta kekayaan yang hanya terkait dengan tindak pidana atau secara negatif dirumuskan sebagai harta kekayaan yang bukan berasal dari tindak pidana.
Oleh karena itu secara eksplisit mewajibkan penuntut untuk secara selektif menentukan harta kekayaan terdakwa yang mana yang wajib dibuktikan terdakwa dan mana yang tidak perlu dibuktikan, dalam pengertian bahwa hanya harta kekayaan terdakwa terkait tindak pidana yang dicantumkan dalam surat dakwaan penuntut saja (aspek materiel) yang wajib dibuktikan terdakwa dan tidak pada harta kekayaan yang tidak terkait dan tidak dituntut dalam surat tuntutan penuntut.
5. Dalam perkara TPPU terkait tekpus delicti dan locus delicti serta rincian harta kekayaan terdakwa mengandung permasalahan hukum karena dalam UU TPPU 2010 tidak mengatur secara khusus mengenai tempus delicti harta kekayaan yang diduga berasal dari atau terkait tindak pidana tidak mutatis mutandis.
Penentuan perbuatan yang didakwakan terkait tempus delicti dalam TPPU berdasarkan alasan-alasan :
a. Harta kekayaan yang dimaksud khusus bagi seorang penyelenggara negara adalah harta kekayaan yang diperoleh sejak yang bersangkutan diangkat pada jabatannya, selama dan setelah berhenti dari jabatannya.
b. Filosofi tujuan pembentukan UU TPPU 2010 adalah perampasan harta kekayaan terdakwa yang diduga dari atau terkait tindak pidana asal, bukan untuk tujuan untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
Dalam pembuktian kesalahan terdakwa tidak mutatis mutandis tidak sahnya perolehan harta kekayaan terdakwa yang tidak terkait tinda pidana asal
6. Ketentuan pasal 77 dan 78 jo pasal 79 UU TPPU dalam perspektif substansi historicalnya telah mengadopsi secara diam-diam atau terselubung sistem perampasan aset keperdataan (civil based forfeiture/ in rem forfeiture), hal mana dalam UU TPPU no 8 tahun 2010 tidak ada satupun ketentuan yang mengatur hal tersebut, bahkan dalam praktek
Para penegak hukum dalam pemeriksaan oleh para penyidik dan penuntut umum menggunakan hukum acara pidana yaitu KUHAP sebagai payung hukum dimana dalam KUHAP tidak ada ketentuan yang memberi wewenang kepada penegak hukum untuk melakukan perampasan aset keperdataan kecuali secara kepiidanaan dalam bentuk penitaan.
7. Dalam UU TPPU no 8 2010 terkait dengan pasal 77 dan78 tersebut secara hukum menggunakan dua standar atau multipel standar yaitu civil standar dan criminal standar yang tentunta bertentangan dengan yang dianut dalam konvensi internasional mengenai anti narjotika 1988, mengenai konvensi Internasional tentang Pencucian uang (1990) maupun komnvensi PBB anti korupsi 2003 dan bertentangan dengan prinsi praduga tak bersalah yang dianut dalam sistem kekuasaan kehakiman.
8. Penerapan dua standar pasal 77 dan 78 dalam pembuktian tersebuy (probable cause) dan dari perspektif asas legalitas
Hukum pembuktian mengandung persoalan hukum karena asas legalitas yang dengan tegas adanya larangan retroaktif dan mensyaratkan bahwa undang-undang harus pasti dan jelas (bestimmtheitsgebot), namun dalam pasal 77 dan 78 tersebut justru mengenyampingkan persyaratan bahwa terdakwa harus mengetahui asal-usul harta kekayaanya yang diduga berasal dari tindak pidana (foreseebility).
Bahwa pembuktian terbalik idealnya menerapkan prinsip pembuktian (balanced probabiliti principle) yaitu prinsip keseimbangan antara hak dan kewajiban negara untuk menuntut dan terdakwa untuk melakukan pembelaan., sebagaimana diterapkan dinegara Belanda, Belgia dan Hong Kong