• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ideologi Nyai Walidah dan Pendidikan Perempuan - SIMAKIP

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Ideologi Nyai Walidah dan Pendidikan Perempuan - SIMAKIP"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

Ideologi Nyai Walidah dan Pendidikan Perempuan Ai Fatimah Nur Fuad

Diantara perempuan Muslim, ada yang sengaja memilih hanya aktif di ranah domestic, ada juga yang memilih aktif di dua ranah sekaligus yaitu domestic dan public. Seperti halnya sebagian perempuan Muslim yang memilih untuk hanya aktif di ranah domestic karena didorong oleh ideology keagamaan yang diyakininya, maka perempuan yang berperan aktif di ruang public (tanpa meninggalkan tugas domestiknya) juga dimotivasi oleh ideology keagamaan yang dipercayainya. Saat ini kita sudah bisa melihat banyak perempuan yang aktif bekerja di ruang public diberbagai sector, termasuk di sector-sektor yang dulunya didominasi oleh laki-laki. Banyak juga perempuan yang menjadi pakar diberbagai bidang keilmuan, padahal dulunya tidak atau belum banyak perempuan yang mendalami ‘bidang ilmunya laki-laki’.

Dalam lintasan sejarah, selalu ada perempuan yang berjuang memperjuangkan hak-hak kaumnya agar maju dan terdidik, tidak mengalami diskriminasi, tidak tertindas/ditindas, serta tidak terbelakang karena kebodohannya dan kemiskinannya. Salahsatu perempuan yang pernah ada dalam sejarah Islam Indonesia adalah Nyai Walidah. Dalam beberapa literatur, ia disebut sebagai salahsatu pelopor gerakan Indonesia (Anis, 1968; Darban, 2010), pelopor gerakan perempuan (Nur’aini, 2013), srikandi Indonesia (Setyowati dan Mu’arif, 2014), salahsatu ulama perempuan Indonesia (Burhanuddin, Jarot 2002), tokoh emansipasi Perempuan (kompas, wikipedia), dan tokoh penggerak pendidikan Indonesia (Kemendikbud). Ia juga mendapatkan anugerah gelar pahlawan nasional pada tanggal 22 September 1971 (Suratmin, 1977). Nyai Walidah meninggalkan banyak legacy terkait dengan peran dan kontribusinya bagi kemajuan perempuan Indonesia. Motivasi apa yang mendorongnya melakukan peran tersebut ditengah kendala kultural yang sangat kuat?

Nyai Walidah yang lahir pada tahun 1872 di Kauman Yogyakarta adalah seorang perempuan yang tidak bisa berdiam diri melihat kondisi kaum perempuan pada masanya. Kondisi yang menurutnya kurang baik, karena banyak perempuan yang tua ataupun muda, yang tidak bisa sekolah, tidak belajar agama, dan tidak juga belajar keterampilan-keterampilan yang dapat membekali hidupnya.

Sehingga ia berfikir, kondisi ini harus diperbaiki dan dirubah.

Menurutnya, perjuangan untuk memperbaiki keadaan perempuan harus diawali dengan pendidikan. Maka, pada tahun 1914 ia membentuk kelompok pengajian yang dinamai Sopo Tresno (siapa suka/siapa cinta) yang tujuannya agar perempuan yang tinggal disekitar tempat tinggalnya bisa mendapatkan pendidikan, terutama pendidikan agama. Kelompok Pengajian itu kemudian semakin berkembang menjadi sebuah organisasi pada tahun 1917 dan berganti nama menjadi

‘Aisyiyah.

Lewat upaya pendidikan yang digagasnya, ia ingin perempuan mendapatkan pendidikan yang baik, seperti halnya laki-laki pada masa itu. Ia mendirikan ‘al Ashri dan Maghribi Schools karena saat itu pendidikan masih menjadi monopoli laki-laki. Ia juga mendirikan asrama khusus perempuan pada tahun 1918, karena asrama pada masanya hanya diperuntukkan bagi laki-laki atau masih sangat didominasi oleh laki-laki.

(2)

Nyai Walidah percaya bahwa dengan pendidikan, secara berangsur akan bisa memutus mata rantai kebodohan, keterbelakangan, irasionalitas, kemiskinan, dan ketidakmandirian perempuan. Ia juga percaya bahwa budaya yang sangat patriarkis dan cara pandang masyarakatnya yang diskriminatif terhadap perempuan pada saat itu paling efektif direspon dengan pendidikan. Ia memiliki gagasan

“Catur Pusat”, yaitu empat komponen penting dalam pendidikan yang terdiri dari pendidikan dalam keluarga, Pendidikan di lingkungan sekolah, pendidikan dalam masyarakat, dan pendidikan di lingkungan tempat ibadah. Dengan keempat komponen ini, Nyai Walidah, memiliki keyakinan seorang perempuan atau manusia pada umumnya akan memiliki kepribadian yang baik.

Perjuangan Nyai Walidah ini tidak lain dimotivasi agar perempuan bisa berkembang menjadi manusia yang terdidik, maju dan merdeka.

Kuatnya motivasi Nyai Walidah dalam memperbaiki kondisi perempuan dan memperjuangkan hak-haknya lewat pendidikan, bukan hanya dilatari oleh kondisi sosiologis masyarakat saat itu, yang masih memiliki budaya dan stigma yang merugikan perempuan. Tetapi, lebih kuat dari itu ada motivasi internal dari dasar pemikirannya sendiri, yaitu motivasi ideologis.

Nyai Walidah, yang merupakan istri dari seorang Kyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, seringkali mengikuti kegiatan pendidikan, dakwah dan sosial Muhammadiyah. Ia kerap menyimak dan mencerna isi pengajian Muhammadiyah dan nasehat-nasehat keagamaan dari Kyai Dahlan dan kyai-kyai Muhammadiyah lainnya.

Dari kegiatan yang diikutinya ini, tumbuh kesadaran bahwa dalam Islam perempuan dan laki-laki setara sebagai hamba Allah swt, ibadah dan kerja kerasnya perempuan dinilai sama dengan laki- laki, begitupun tanggungjawabnya dalam memajukan masyarakat dan peranananya dalam negara juga tidak dibedakan dari laki-laki. Motivasi ideologis yang muncul dari pemahaman dan penafsiran terhadap ajaran Qur’an ini, membuat Nyai Walidah semakin yakin dan konsisten untuk membawa perempuan kearah kemajuan melalui Aisyiyah.

Aisyiyah sejak berdirinya sampai saat ini telah memainkan peran penting dalam penguatan kemampuan perempuan Indonesia. Aisyiyah tidak hanya memotivasi perempuan untuk aktif dalam kegiatan pendidikan, dakwah, dan sosial saja, tetapi mendorong untuk aktif memberikan kontribusi kepada negara lewat berbagai peran publiknya. Perempuan didorong oleh Aisyiyah untuk tidak hanya bertanggung jawab dalam ranah domestic, tetapi juga ikut memikirkan dan bertanggung jawab dalam persoalan publik.

Perempuan didorong oleh Aisyyah untuk tidak hanya aktif dalam kegiatan terkait perempuan, tetapi berbagai kegiatan kemanusiaan dan kebangsaan. Perempuan juga didorong tidak hanya faham dan fasih bicara tentang topik perempuan, tetapi topik apapun yang terkait dengan kemaslahatan ummat. Selain itu, perempuan melalui Aisyiyah dilatih untuk tidak hanya terlibat dalam aktifisme yang melibatkan sesama perempuan, baik dengan internal Aisyiyah ataupun organisasi perempuan lain diluar Aisyiyah, tetapi melebur secara inklusif dengan masyarakat umum untuk memberi manfaat yang lebih luas. Nyai Walidah dikenal sebagai perempuan yang memiliki lingkungan pergaulan yang luas dan aktif terlibat langsung dalam banyak kegiatan publik.

(3)

Inilah sebagian peran public perempuan yang lahir dan diperkuat oleh ideology keagamaan yang progresif. Motivasi ideologis yang mendorong perempuan untuk memikul tanggung jawab public.

Landasan ideology keagamaan yang otentik dan inheren dalam diri organisasi Aisyiyah akan mendorong aktifisme perempuan di ruang public yang semakin kuat, konsisten, dan tentu semakin menebar manfaat yang lebih luas untuk bangsa.

Ideologi, seperti yang dikatakan oleh Martin Selinger dalam karyanya ideology and politics (1976), adalah orientasi tindakan yang berisi kepercayaan yang diorganisir dalam satu sistem yang koheren. Definisi Seliger ini dapat dipahami bahwa ideologi tidak hanya memberikan pandangan dan ajaran terkait dengan sistem ekonomi dan politik. Ideologi juga memberikan sebuah sistem kepercayaan. Mirip dengan agama, ideologi menanamkan sistem kepercayaan yang mendorong seseorang untuk memperjuangkan apa yang dipercayainya. Proses dan mekanisme ideologisasi melibatkan ‘aparatus ideologis’—meminjam istilah Louis Althusser (1969). Sekolah, organisasi, kelompok pengajian, kultur, tradisi, agama dan lain sebagainya merupakan elemen dari ‘aparatus ideologis’ itu. Dalam masyarakat, peran aparatus ideologis sangat signifikan dalam menanamkan ideologi tertentu yang diyakininya kepada masyarakat.

Anggota kelompok suatu organisasi, termasuk tentu saja organisasi keagamaan seperti Aisyiyah tidak hanya menjadi pengikut yang mendengarkan dan membenarkan nilai- nilai ideologis yang diajarkan oleh organisasinya. Melainkan juga, aktif terlibat dalam memperjuangkan nilai-nilai tersebut ditengah masyarakat, termasuk ideologi pendidikan berkemajuan bagi perempuan, seperti yang diwariskan oleh Nyai Walidah.

Referensi

Dokumen terkait

microstructure, mechanical, and physical properties of coconut shell nanoparticles with epoxy resin has not been reported yet. The effect of ball milling times to the properties