INCLUSIVE SCHOOL MANAGEMENT (A CASE STUDY RESEARCH IN SMPIT DARUL ABIDIN DEPOK AND SMPN 2 DEPOK WEST JAVA INDONESIA)
YESSY YANITA SARI Sekolah Pascasarjana UHAMKA
Jalan Warung Buncit Raya No.17, Pancoran Jakarta Selatan, 12790 [email protected]
ABSTRACT
The aim of the research to find out the management of educational inclusive concept in the school. The research is qualitatively by using case study in 2 (two) junior high school, there are SMPIT Darul Abidin Depok and SMPN 2 Depok, West Java Indonesia.
The data of the research was gained from the observation of the researcher based on the result of observation, interview, study of literatures, documents, and recordings. Based on the data analysis and the interpretation got from the field of research such as: the management of curriculum and the management of students.
SMPIT Darul Abidin has use flexible curriculum and enroll special needs students for all categories. SMPN 2 Depok is still use regular curriculum and enroll some special needs students.
The result of the research gives the recommendation for the leaders and managers from SMPIT Darul Abidin Depok and SMPN 2 Depok to share they knowledge and experiences as an inclusive school and always improve their management capacity, especially in the management of educational inclusive concept and it needs to continue the next research connected to how to manage inclusive educational at schools.
Keywords: management of education, inclusive school
PENDAHULUAN
Pendidikan diyakini memiliki peran penting dalam menghantarkan sebuah bangsa mencapai kesejahteraannya. Tilaar (2008: 80) menyatakan bahwa pendidikan merupakan bagian dari kehidupan dan dinamisator serta tiang sanggah kesinambungan masyarakat. Namun, sangat disayangkan, tidak semua anak dapat menikmati pendidikan di bumi tercinta ini disebabkan beberapa faktor, yaitu; faktor ekonomi, tempat tinggal yang terpencil jauh dari lokasi lembaga pendidikan, anak-anak korban bencana alam dan anak berkebutuhan khusus (ABK). Secara lebih luas, anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Anak dengan kebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan mengalami kelainan/ penyimpangan (fisik, mental-intelektual, sosial, dan emosional)
dalam proses tumbuh kembangnya dibandingkan dengan anak-anak lain yang seusia sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus (Agustyawati, 2009: 4).
Konsep pendidikan inklusif, menawarkan sebuah pemahaman mendasar tentang hakikat pendidikan adalah hak setiap anak, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan. Paradigma ini juga selaras dengan Deklarasi Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa pendidikan adalah hak asasi manusia yang paling dasar (basic human right). Begitu pula yang disepakati dalam Convention on The Rights of The Child yang diselenggarakan oleh PBB (1989) dan telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.
Pada tahun 1994, The Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education menjadi ajang yang fonemenal bagi berkembangnya pemahaman pendidikan inklusif. Pada dasarnya pendidikan inklusif berlandaskan pemahaman education for all, yang dimaknai bahwa pendidikan itu untuk semua orang tanpa terkecuali (Dellors, 1998: 57). Bangsa Indonesia, melalui Filsafat Bhineka Tunggal Ika telah memberi pengakuan akan adanya keaneka ragaman di masyarakat namun tetap dalam satu kesatuan. Keragaman dalam etnik, dialek, adat istiadat, keyakinan, tradisi, dan budaya hingga potensi setiap individu dianggap sebagai kekayaan dan aset bangsa inilah sebagai filosofi inklusif (Suyanto dan Mudjito, 2012:
29). Melalui model pendidikan inklusif diharapkan setiap anak selain mendapatkan haknya atas layanan pendidikan, juga dapat mengoptimalkan potensi dirinya, sehingga tidak menjadi beban masyarakat dan sebaliknya mampu memberi manfaat bagi masyarakat dan bangsanya.
Kebijakan sekolah inklusif secara resmi dikeluarkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.
Sejak dicanangkannya pendidikan inklusif di Indonesia, sekolah-sekolah reguler/umum mulai beralih menjadi sekolah inklusif. Kekhasan manajemen pendidikan inklusif yang berbeda dengan manajemen sekolah umum di antaranya: (1) membangun kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima keanekaragaman dan keunikan setiap peserta didik serta menghargai perbedaan, (2) kesiapan mengelola kelas yang heterogen dengan menerapkan kurikulum dan pembelajaran yang bersifat individual, (3) guru berupaya menerapkan pembelajaran yang interaktif, (4) guru diharapkan mampu melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumber daya lain dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi, dan (5) guru pada sekolah penyelenggara pendidikan inklusif diminta melibatkan orangtua secara aktif dan bermakna dalam proses pendidikan (Departemen Pendidikan Nasional, 2007).
Penelitian ini diharapkan dapat mengungkap model penyelenggaraan pendidikan di sekolah inklusif khususnya di bidang manajemen. Penelitian dilaksanakan di dua sekolah yakni; SMPIT Darul Abidin dan SMPN 2 Depok. Keunikan dari SMPIT Darbi di antaranya: (1) kelulusan 100%, (2) program-program pembelajaran yang ditawarkan bervariasi dan inovatif, dan (3) menerima PDBK dengan berbagai kategori; seperti autis, AD/D, Retardasi mental, indigo, CIBI dan tuna rungu. (4) memiliki lebaga khusus yaitu Learning Support Development,
Keunikan dari SMPN 2 Depok, di antaranya: (1) SMPN 2 Depok telah berhasil melakukan reformasi paradigma dari RSBI menjadi inklusif, (2) program: tutor sebaya,
klinik belajar dan remedial, dan (3) saat ini terdapat kategori; Autis, Albino, CIBI dan slow learner. (4) memiliki lembaga Bimbingan Konseling
KAJIAN TEORITIK
Penerapan manajemen pendidikan inllusif, pada dasarnya mengacu pada model manajemen pendidikan pada umumnya, yakni :
Manajemen Kurikulum Pendidikan Inklusif
Manajemen kurikulum yang tidak sesuai yang diterapkan di sekolah inklusif, menjadi penghambat yang paling signifikan dalam pencapaian keberhasilan proses pembelajaran bagi PDBK (D.Hindle, 2009: 15). Prinsipnya, dalam pendidikan inklusif, kurikulum dirancang dan dikembangkan secara fleksibel melalui modifikasi kurikulum nasional. Kurikulum fleksibel yaitu adanya penyesuain-penyesuaian dengan model akskalasi (ditingkatkan), duplikasi (sama/meniru/menggandakan), modifikasi (mengubah untuk disesuaikan), substitusi (mengganti), dan omisi (menghilangkan) (Kustawan, 2012: 59). Manajemen kurikulum di sekolah inklusif meliputi; perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan.
Perencanaan kurikulum inklusif mengacu pada kurikulum reguler yang kemudian disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. Secara lebih khusus, sekolah inklusif dapat memilih kurikulum model mana yang akan digunakan dalam proses pembelajaran. Berikut model kurikulum pendidikan inklusif menurut Direktorat Pendidikan Dasar Nasional yang terdiri dari model kurikulum regular, reguler dengan modifikasi dan program pembelajaran individual (PPI).
Dalam pelaksanaannya, proses pembelajaran pun harus memperhatikan karakteristik masing-masing murid.. Guru melaksanakan pembelajaran dengan berbagai model pendekatan dan metode yang disesuaikan dengan karekteristik peserta didik sesuai buku pedoman pembelajaran bagi PDBK. Inilah yang disebut dengan kurikulum fleksibel, yaitu kurikulum yang disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan keunikan peserta didik (Hindle, 2009:12).
Evaluasi dan pengawasan perlu dilakukan oleh berbagai pihak. Pengawasan dalam proses pembelajaran ditujukan untuk dapat menjaminkan berjalannya proses pembelajaran dengan baik dan sesuai dengan kaidah pendidikan inklusif. Tugas pengawasan ini dapat dilakukan secara internal oleh, kepala sekolah atau pimpinan lainnya, komite sekolah atau orang tua murid. Kolaborasi antar semua stakeholders termasuk orangtua dari PDBK, dalam mengevaluasi proses tumbuh kembang peserta didik, akan sangat membantu menentukan keberhasilan pendidikan peserta didik, khususnya PDBK (Salisbury, 2005: 1).
Manajemen Peserta Didik Pendidikan Inklusif
Manajemen peserta didik, menjadi hal penting dipehatikan pengelolaannya setelah manajemen kurikulum. Pada sekolah inklusif, peserta didik yang bergabung lebih majemuk dengan berbagai karakteristiknya, dibandingkan sekolah reguler.
Merujuk pada Panduan pendidikan Inklusif dalam Education White Paper 6, secara garis besar, hal yang terkait dengan pengelolaan peserta didik di sekolah inklusif, di antaranya: (1) penerimaan murid baru, (2) identifikasi murid, (3) layanan yang fleksibel, (4) dukungan tenaga profesional dan tenaga bantu, dan (5) sistem asesmen yang baik (Hindle, 2009: 25).
Tahapan awal manajemen peserta didik adalah proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang dikelola oleh panitian khusus PPDB. Salah satu tugas penting
panitia adalah menyusun panduan dan pedoman penerimaan peserta didik baru yang menyertakan atau mengakomodasi peserta didik baru yang memiliki kebutuhan khusus (Kustawan, 2012: 53-54).
Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif menerima peserta didik dan mengalokasikan kursi/quota untuk peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK), minimal satu PDBK di tiap kelasnya. Namun, apabila sekolah dinilai memiliki sumber daya yang memadai, disarankan untuk dapat menerima 3-4 PDBK pada setiap rombongan belajar.
Selanjutnya ditetapkan, penempatan PDBK tersebut. Tiap kelas, ditempatkan PDBK secara merata dari sisi kategori maupun tingkatannya (berat/ringan).
Setelah PPDB dilakukan dan tahun ajaran berjalan, sekolah berkewajiban memberikan berbagai layanan bagi peserta didik termasuk PDBK yang bertujuan mengakomodir keunikan peserta didik dan mengembangkan potensi mereka. Layanan yang paling khusus yang ada di sekolah inklusif adalah layanan Bimbingan Konseling atau Layanan unit khusus. Unit layanan khusus ini terdiri dari tenaga-tenaga pendidik dan kependidikan khusus. Mereka bekerjasama untuk merancang program pembinaan yang sesuai bagi tiap-tipa PDBK. Ada beberapa contoh program yang dapat diberikan kepada peserta didik, sebagai bentuk layanan pembinaan khusus, yakni; tutor sebaya, pembelajaran kooperatif, contoh, pembelajaran lintas kurikulum dan pengajaran berjenjang.
Evaluasi perkembangan peserta didik diawali dengan kegiatan asesmen atau penilaian. Penilaian menjadi hal yang sangat diperhatikan dalam pendidikan inklusif.
Penilaian di sekolah inklusif tidak hanya pada sisi akademik. Penilaian perlu multi- dimensi atau sistemik, yang disesuaikan dengan hambatan peserta didik dan maupun pendidik, kurikulum, lembaga, keluarga dan masyarakat. Proses penilaian juga dilakukan semua unsur, yakni; pendidik atau sekolah, peserta didik dan orang tuanya.
Penilaian dalam pendidikan inklusif dilakukan sesuai dengan kemampuan dan kecenderungan masing-masing peserta didik.
Manajemen Tenaga Pendidik dan Kependidikan Pendidikan Inklusif
Manajemen pendidik dan tenaga kependidikan sekolah inklusif mengacu pada manajamen pendidikan dan tenaga kependidikan reguler. Perencanaan kebutuhan sumber daya manusia, rekrutmen, pembinaan, kompensasi, adalah bagian dari manajemen tenaga pendidik dan kependidikan. Hal yang berbeda terletak pada rekrutmen tenaga khusus seperti GPK.
Perencanaan yang dilakukan untuk menentukan, kebutuhan tenaga khusus baik dari sisi jumlah maupun kapasitas. Selain unsur pendidik dan tenaga kependidikan yang ada di sekolah reguler, di sekolah inklusif dikenal istilah GPK atau Guru Pembimbing Khusus. GPK adalah pendidik yang memiliki latar belakang pendidikan khusus atau biasa disebut pendidikan luar biasa (PLB), atau guru yang telah mendapatkan pelatihan tentang penanganan PDBK. Kompetensi Guru Pendidikan Khusus yang termaktub dalam panduan sekolah inklusif, selain dilandasi oleh empat kompetensi utama (pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial), secara khusus juga berorientasi pada tiga kemampuan utama, yaitu: (1) kemampuan umum (general ability), (2) kemampuan dasar (basic ability), dan (3) kemampuan khusus (specific ability). Tenaga-tenaga ahli khusus atau profesional yang dapat diminta kerjasama dan bantuannya, di antaranya; (a) Paediatrician,(b) Education aides, (c) Guidance
consellors,(d) Occupational therapists,(e) Speech pathologists, (f) Community workers, dan (g) Shadower teacher(Hindle, 2009: 25-26).
Sumber daya manusia yang telah direkrut membutuhkan pembinaan secara profesional. Pembinaan profesi, dibedakan atas pembinaan profesi yang bersifat umum dan pembinaan yang bersifat khusus. Pembinaan yang bersifat umum berorientasi pada empat kompetensi (pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial), dan secara substansial profesional lebih diarahkan pada kajian mengenai pengenalan dan pemahaman anak-anak berkebutuhan khusus secara komprehensif. Peningkatan profesi selain dilakukan secara formal dalam bentuk penyetaraan, sertifikasi, pelatihan ataupun penataran, dapat juga dilakukan secara nonfornal melalui organisasi profesi ataupun kelompok-kelompok kerja yang relevan. Sedangkan pembinaan yang bersifat khusus lebih ditekankan pada keterampilan khusus, seperti keterampilan berbahasa, berkomunikasi dan mengelola perilaku PDBK.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus dengan pendekatan penelitian kualitatif, dimana prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata- kata tertulis atau lisan dari hasil wawancara dengan orang dan perilaku orang yang diamati. Metode yang digunakan berupa penelitian langsung mengamati objek yang dijadikan sasaran penelitian.
Proses Penelitian ini meliputi beberapa fase yaitu: (1) peneliti sebagai subjek, (2) paradigma dan sudut pandang teoritis, (3) strategi penelitian, yaitu studi kasus manajemen pendidikan inklusif di SMPIT Darbi dan SMPN 2 Depok, (4) Metode pengumpulan data dan analisis, melalui wawancara, observasi, artefak, dokumen, catatan, visual, pengalaman pribadi, pengolahan data, dan analisis tekstual, (5) Seni interpretasi dan penyajian, meliputi kriteria untuk menilai kecukupan, seni dan strategi interpretasi dan menulis sebagai interpretasi.
HASIL PENELITIAN
Penelitian dilakukan di dua sekolah yakni, SMPIT Darul Abidin yang berlokasi di Jl.Karet Hijau No. 52, Beji, Depok dan SMPN 2 Depok yang berlokasi di Jl. Bango Raya, No. 6 Pancoranmas, Depok. Berikut ini adalah hasil penelitian mengenai manajemen kurikulum sekolah inklusif di SMPIT Darul Abidin dan SMPN 2 Depok.
SMPIT Darul Abidin, secara umum telah menerapkan konsep pendidikan inklusif sesuai dengan standar kebijakan pendidikan nasional. Sekolah ini pun, mencoba melakukan berbagai inovasi agar konsep pendidikan inklusif secara optimal dapat terlaksana. Pada bidang kurikulum dilakukan modifikasi-modifikasi, hingga adanya PPI (Program Pembelajaran Individual) bagi PDBK. Di bidang manajemen peserta didik terdapat beberapa program khas seperti; kelas pilihan, komunitas, mentoring, magang kerja. Pengelolaan dan pengembangan pendidik dan tenaga kependidikan yang termenej dengan baik tampak mulai dari rekrutmen, pembinaan hingga pemberhentian.
SMPN 2 Depok yang mulai tahun ini memantapkan diri menjadi sekolah inklusif, masih terus berupaya melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan konsep yang relatif baru dan berbeda dengan konsep sebelumnya. Namun, kesamaan pemahaman tentang manfaat konsep ini telah dirasakan oleh warga sekolah, baik pendidik maupun peserta didik. Walaupun di bidang kurikulum belum ada modifikasi, namun sudah coba dilakukan perubahan di beberapa sisi, seperti, model asesmen dan penulisan rapor.
Sekolah juga mengembangkan berbagai program khas dan ekstra kurikuler dalam
rangka pengembangan bakat minat peserta didik. Pengadaan dan pengelolaan pendidik dan tenaga kependidikan sangat tergantung dari kebijakan pemerintah, namun pembinaan dan pelatihan yang bersifat internal terus diupayakan dan mencoba memulai melakukan kerjasama dengan berbagi instansi terkait
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 1. Perencanaan kurikulum
Sebagai sekolah inklusif, SMPIT Darul Abidin melakukan modiikasi kurikulum, berdasarkan kurikulum acuan yaitu; kurikulm nasional, JSIT dan Internasional.
Modifikasi pada bidang materi pembelajaran disesuaikan dengan kondisi tiap-tiap peserta didik, khususnya peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK). Di awal penerimaan murid, selalu dilakukan rangkaian asesmen dengan tujuan mendapatkan data murid sehingga dapat dilakukan identifikasi kategorinya, khususnya bagi PDBK.
SMPN 2 Depok masih mengacu pada kurikulum nasional yang ada dan belum melakukan modifikasi kurikulum. Perencanaan pembelajaran yang dilakukan sama seperti perencanaan pembelajaran di sekolah regular yang merujuk pada indikator yang telah ditetapkan pemerintah. Pada umumnya sudah ada dalam buku paket yang dikirimkan pemerintah ke sekolah-sekolah.
Pada dasarnya, sekolah inklusif menggunakan kurikulum Diknas sebagai standar dasar kemudian mengalami penyesuaian atau yang dikenal dengan istilah kurikulum fleksibel pada sekolah inklusif. Kurikulum fleksibel yang dimaksud adalah; adanya penyesuaian-penyesuaian dengan model akskalasi (ditingkatkan), duplikasi (sama/meniru/menggandakan), modifikasi (mengubah untuk disesuaikan), substitusi (mengganti) dan omisi (menghilangkan)(Kustawan, 2012: 59). Dalam acuan perencanan pengembangan kurikulum bagi PDBK juga menyebutkan adanya program pembelajaran individual atau PPI atau Program Pembelajaran Individual yang harus dibuat sekolah bagi PDBK.
2. Pelaksanaan Kurikulum
Pembelajaran di SMPIT Darbi telah menggunakan berbagai pendekatan, metode dan teknik pembelajaran yang berbeda. Proses pembelajaran yang khusus juga diberikan bagi PDBK melalui program pembelajaran individual (PPI). PPI yang dirancang oleh tim LSD, dilaksanakan secara bersama antara tim LSD, guru di kelas maupun orang tua.
SMPN 2 Depok yang belum menerapkan kurikulum fleksibel, tidak tampak perbedaan yang mencolok pada proses pembelajaran. Secara umum, dari sisi pendekatan pembelajaran masih diberlakukan pendekatan yang sama untuk semua peserta didik. Tidak ada penanganan khusus bagi PDBK yang dilakukan oleh guru di dalam kelas.
Penerapan kurikulum fleksibel berimplikasi pada pelaksanaan pembelajaran di kelas sekolah inklusif. Pendidik harus melakukan pendekatan yang berbeda-beda pada setiap anak. Kegiatan pembelajaran di inklusif harus mencakup beberapa hal, di antaranya: lingkungan belajar yang ramah, di mana peserta didik dan guru belajar bersama sebagai sebuah komunitas belajar, peserta didik sebagai pusat pembelajaran, mendorong peserta didik terlibat aktif, penggunaan media pembelajaran yang adaptif dan yang paling utama adalah pendidik memiliki passion untuk memberikan layanan yang terbaik (Kustawan, 2012: 63).
3. Evaluasi Kurikulum
Model evaluasi yang diterapkan di SMPIT Darul Abidin telah mengacu model evaluasi autentik. Bagi PDBK, ada modifikasi pada proses evaluasi belajar seperti dalam bentuk soal tertulis, tiap PDBK mendapat soal yang berbeda, baik dari jumlah soal maupun bobotnya. Hasil evaluasi belajar peserta didik, dilaporkan dua kali dalam satu semester. Bagi PDBK, konsultasi dilakukan juga dengan kepala LSD. Laporan akhir semester dibuat dalam beberapa bentuk. Pertama rapor regular, rapor dan laporan naratif khusus PDBK.
Model evaluasi belajar yang diterapkan di SMPN 2 Depok sama dengan sekolah negeri lain pada umumnya. Secara umum, evaluasi yang berjalan masih terfokus pada evaluasi pada sisi perkembangan kognitif. Namun sejak tahun ajaran 2013/2014, saat konsep pendidikan inklusif diselenggarakan di SMPN 2 Depok, model evaluasi mulai terdapat pengembangan. Laporan perkembangan peserta didik diberikan dua kali dalam satu semester. Sama seperti SMPIT Darbi, ada laporan pertengahan semester dan akhir semester.
Evaluasi kurikulum di sekolah inklusif disesuaikan dengan tingkat flesibilitas kurikulum, sistem yang dibangun, partisipasi aktif peserta didik dan orang tua, tenaga pendidik yang mumpuni dan pendekatan belajar yang ditetapkan (Clementina, 2011:
93). Evaluasi kurikulum harus secara komperhensif dilakukan. Selain sekolah, orang tua dan murid sendiri melakukan evaluasi, hal ini akan membantu keberhasilan pendidikan peserta didik khususnya PDBK (Salisbury, 2005: 1).
4. Pengawasan kurikulum
SMPIT Darul Abidin dan SMPN 2 Depok, sebagai sekolah inklusif yang telah terdaftar diawasi pelaksanaanya secara langsung dari dinas pendidikan kota Depok.
Bentuk pengawasannya saat ini, baru berupa laporan secara berkala yang harus disampaikan pihak sekolah. Format laporan telah diberikan langsung dari Dinas.
Laporan masih seputar tentang hal-hal administratif, seperti; jumlah PDBK, data tentang PDBK dan beberapa pendapat penerapan konsep PDBK. Laporan yang bersifat perkembangan tiap PDBK belum ada. Pengawasan langsung ke lapangan selama ini juga belum berjalan. Dinas pendidikan masih fokus pada sosialisasi konsep pendidikan inklusif ke sekolah-sekolah.
Manajemen Peserta Didik
1. Penerimaan Peserta Didik Baru
SMPIT Darul Abidin maupun SMPN 2 Depok memiliki standar umum Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang sama, yaitu adanya pembentukan panitia PPDB. Perbedaannya yakni, di SMPIT Darbi sudah ada tim khusus yaitu tim LSD yang bertugas menjaring PDBK, Sedangkan di SMPN 2 Depok, belum ada. Panitia PPDB inil bertugas melakukan asesmen awal. Kebutuhan akan asesmen ini ditegaskan dalam makalah pelatihan pendidikan inklusif yang diselenggarakan provinsi Jawa Barat, yaitu: (1) penyaringan (screening), (2) pengalihtaganan (referral), (3) klasifikasi (classification), (4) perencanaan pembelajaran (instructional planning), (5) pemantauan kemajuan belajar peserta didik (monitoring pupil progress).
2. Pengelompokan belajar
SMPIT Darul Abidin telah menerima beberapa kategori PDBK seperti: autis, AD/D, AD/HD, slow learner, reterdasi mental ringan (RM ringan), CIBI dan tahun ini sudah menerima tuna rungu. PDBK di SMPN 2 Depok untuk level 7 didominasi PDBK kategori slow learner dari PDBK non permanen kategori ekonomi kurang. Di level 8 dan
9 terdapat seorang anak low vison dan anak autis namun dengan kemampuan intelektual di atas rata-rata, sisanya adalah CIBI. Sesuai kuota yang distandarkan dari Diknas, SMPIT Darul Abidin dan SMPN 2 Depok telah menerima PDBK rata-rata 3-4 di tiap rombongan belajar. Untuk SMPIT Darul Abidin 3-4 PDBK dengan kategori hanya 1 PDBK yang membutuhkan tenaga bantu seperti shadow teacher. Sementara ini, di SMPN 2 Depok hanya terdapat PDBK dengan kategori slow learner yang tidak membutuhkan tenaga khusus. Di masa mendatang, selaras dengan peningkatan kemampuan penanganan PDBK, sekolah harus mengupayakan kuota maksimal dipenuhi oleh PDBK dengan berbagai kategori termasuk yang membutuhkan tenaga khusus.
Ke dua sekolah tersebut, menempatkan PDBK berdasar kategori masing-masing secara proposional di tiap kelasnya. Tiap kelas dipastikan terdapat PDBK dengan kategori ringan, sedang dan berat jika ada. Penempatan PDBK di tiap kelas, dapat dilihat dari kekhasan hambatan yang dimilliki peserta didik sebagaimana yang dijabarkan sebagai berikut: (1) learning difficulties yaitu anak dengan kesulitan belajar, (2) physical difficulties yaitu anak yang memiliki kesulitan bergerak secara fisik, (3) intellectual disabilities yakni anak yang memiliki kesulitan belajar yang disebabkan banyak faktor seperti; masalah kelahiran, kelaianan bawaan, autis, down sindrome dan lain sebagainya, (4) Sensory disabilities, anak yang memiliki masalah sensori umumnya mempunyai masalah pada penglihatan dan pendengaran (5) Language impairment yakni adanya kesulitan berbahasa pada anak, (6) psycho-emotional-disorder yakni penyimpangan emosi yang terjadi pada anak, (7) giftednes atau anak berbakat atau yang saat ini lebih dikenal dengan istilah CIBI, cerdas istimewa berbakat istimewa, (8) psychiatric disorder, adalah penyimpangan psikologis atau perilaku yang bisa disebabkan genetika atau pengaruh lingkungan, (9) cultural background ,latar belakang budaya perlu diperhatikan, khususnya di sekolah internasional, (10) family issues , latar belakang keluarga pun dapat dijadikan pertimbangan pengelompokan peserta didik, sehingga setiap kelas memiliki beragam latar, (11) educational background, demikian pula latar belakang pendidikan, dan (12) socio-cultural disadvantage, anak-anak dengan pengalaman sosial budaya yang kurang baik, perlu menjadi perhatian pula dalam pengelolaan peserta didik (Team Polytechnic West, 2009: 8).
3. Program pembinaan dan layanan peserta didik
SMPIT Darul Abidin maupun SMPN 2 Depok, memiliki unit khusus yang menjadi pusat layanan PDBK selain layanan umum di kelas. Keberadaan unit ini, dianggap akan membantu memberikan pelayanan peserta didik secara optimal, khususnya PDBK. Unit ini terdiri dari sumber daya yang memiliki kapasitas lebih untuk menangani PDBK dan memiliki tugas khusus yang terkait. Di SMPIT Darul Abidin dikenal LSD, sedang di SMPN 2 Depok memanfaatkan lembaga BK yang selama ini menangani permasalahan psikologi peserta didik.
Unit atau tim khusus di SMPIT Darbi maupun SMPN 2 Depok, membuat berbagai program layanan bagi PDBK. Beberapa program di fokuskan pada pembimbingan lebih khusus untuk permasalahan akademik PDBK. Program tersebut yaitu : kelas remedial dan kelas individual di SMPIT Darbi, sedang program kelas remedial, klinik belajar dan tutor sebaya di SMPN 2 Depok. Jika di SMPN 2 Depok semua program dimaksudkan untuk membantu kemampuan akademik PDBK agar bisa
mencapai KKM yang ditetapkan sekolah, di SMPIT Darbi terdapat program layanan khusus PDBK yang bersifat non akademis, yaitu; kelas pilihan dan art class.
Dalam Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan inklusif, tidak disebutkan bentuk layanan khusus melalui lembaga atau unit khusus. Namun dalam karakteristik satuan pendidikan yang melakukan kurikulum fleksibel dinyatakan pada poin 9: memiliki tim pengembang kurikulum yang komperhensif, yang terdiri dari guru pembimbing khusus, guru sekolah umum, kepala sekolah, orang tua, dan ahli. Tim inilah yang terdiri dari sumber daya manusia yang kompeten di bidang manajemen inklusif yang akan merancang program pembinaan dan layanan yang sesuai dengan PDBK (Hindle, 2009: 21).
3. Capaian peserta didik
Semenjak awal berdiri 5 tahun lalu SMPIT Darbi telah meluluskan 4 angkatan dengan 100% kelulusan termasuk PDBK. Hasil UN PDBK pun di atas rata-rata 6.
Begitu pula SMPN 2 Depok, kelulusan mencapai 100% dari sejak lulusan pertama.
Namun, sebagai sekolah inklusif baru menerima PDBK yang memiliki hambatan di bidang akademik baru tahun ajaran ini, sehingga belum dapat dilihat hasil kelulusannya.
Prestasi secara khusus yang dimiliki PDBK, baik SMPIT Darbi maupun SMPN 2 Depok belum banyak, karena kegiatan lomba atau kompetisi untuk PDBK memang belum banyak diselenggarakan oleh pemerintah maupun lembaga pendidikan. Prestasi yang diraih PDBK, umumnya adalah prestasi yang diraih PDBK dengan kategori CIBI (Cerdas Istimewa Berbakat Istimewa), yang memang memang memiliki kapasitas intelektual jauh di atas rata-rata. Dibandingkan SMPIT Darbi, SMPN 2 Depok, lebih banyak mencatat prestasi peserta didiknya, baik di tingkat provinsi, nasional maupun internasional, di bidang akademik maupun non akademik.
• Manajemen Pendidik dan Tenaga Kependidikan 1. Perencanaan tenaga pendidik dan kependidikan
Seluruh penerimaan sumber daya manusia di SMPIT Darul Abidin melalui kepala SDM. Kepala SDM ini yang mengatur prosedur rekrutment. Diawali dari permintaan kepala sekolah atas kebutuhan pendidik atau tenaga kependidikan, kemudian Kepala SDM melakukan proses rekrutmen. Membuat iklan, seleksi berkas, wawancara awal, psikotest, micro teaching, wawancara lanjutan dan akad kerja, merupakan rangkaian rekrutment. Rekrutmen tenaga khusus ada beberapa model. Untuk guru pendamping atau shadow teacher diserahkan kepada pihak orang tua berdasarkan rekomendasi kebutuhan PDBK yang diberikan tim LSD. Untuk aid teacher, direkrut secara khusus oleh tim LSD dan diketahui kepala SDM sekolah.
Di SMPN 2 Depok, tidak ada proses penerimaan SDM, kecuali tenaga honorer atau sukarelawan. Seluruh pendidik dan tenaga kependidikan direkrut oleh pemerintah pusat dan dikirim ke sekolah-sekolah negeri. Jika sekolah membutuhkan tenaga baru, maka mengajukan langsung ke dinas pendidikan. Jika belum terpenuhi, dengan kemampuan yang ada, kepala sekolah mencari sukarelawan atau tenaga honorer.
Demikian pula, belum pernah ada rekrutmen tenaga khusus untuk sekolah inklusif seperti; shadow, aid teacher atau psikolog klinis.
Secara umum, inklusif atau pun belum inklusif, setiap sekolah harus memiliki sumber daya yang memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi yang disyaratkan. Kepala sekolah, wakil kepala sekolah, pendidik, tenaga administrasi, tenaga kebersihan dan tenaga keamanan sekolah merupakan sumber daya yang
umumnya ada di sekolah. Sekolah dengan seting pendidikan inklusif, tentu harus memiliki sumber daya yang memenuhi kualifikasi standar akademik dan kompetensi khusus pula. Dalam buku Pendidikan Inklusif dan Upaya Implementasinya, terdapat standar tenaga khusus yaitu: guru pendidikan khusus adalah guru yang memiliki kualifikasi akademik minimum D-IV atau S-1 yang berlatar belakang pendidikan luar baiasa atau program pendidikan khusus (www.bsnp-indonesia.org/id/).
2. Pembinaan dan pengembangan tenaga pendidik dan kependidikan
Pembinaan SDM diberikan secara bertahap dan berlapis. Dari sisi ruhiyah, pendidik dan tenaga kependidikan diwajibkan mengikuti program kajian keIslaman yang diselenggarakan pihak sekolah. Dari sisi kependidikan, ada beberapa program pembinaan yaitu; coaching, konsultasi dan magang. Pelatihan SDM dilakukan secara terprogram dan berkala. Secara internal ada beberapa jenis, yaitu : pelatihan untuk pendidik baru, pelatihan lanjutan, pelatihan untuk pimpinan, pelatihan untuk kaderisasi.
Dari eksternal, dengan mengirimkan pendidik ke berbagai pelatihan yang dilakukan di dalam maupun luar negeri atau mengundang nara sumber melakukan in house training, nara sumber yang pernah diundang baik dari jabodetabek, luar daerah hingga luar negeri. Pelatihan bertema konsep pendidikan inklusif termasuk dalam daftar tema pelatihan yang dijadwalkan secara berkala.
Di SMPN 2 Depok, pembinaan internal, dilakukan oleh kepala sekolah dengan melalukan sosialisasi, briefing atau pun membuat pertemuan-pertemuan dengan pimpinan maupun guru-guru dalam rangka memberikan informasi, pengetahuan maupun pemahaman tentang berbagai konsep maupun kebijakan baru. Pelatihan secara rutin tidak ada. Pelatihan umumnya didapatkan dari dinas pendidikan yang member kesempatan sekolah untuk mengirimkan gurunya. Dinas Pendidikan Propinsi dan atau Kabupaten/Kota merupakan lembaga yang berwenang melakukan pembinaan bagi sekolah-sekolah inklusif yang disesuaikan dengan mekanisme masing-masing daerah. Secara teknis operasional pembinaan sekolah inklusif dilakukan oleh pengawas sekolah masing-masing daerah. Pembinaan sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dapat dilakukan secara berkala maupun insidental sesuai kebutuhan. Bentuk-bentuk pembinaan yang selama ini dilakukan dalam bentuk seminar, pelatihan dan pendampingan. Seminar dan pelatihan diberikan kepada kepala sekolah atau pun tenaga khusus bidang inklusif, setiap sekolah biasanya dapat mengirim beberapa perwakilannya. Pendampingan umumnya dilakukan di sekolah masing-masing. Dinas pendidikan setempat akan mengirimkan konsultan pendidikan inklusif yang membimbing sekolah-sekolah inklusif. Selain itu, pembinaan juga dapat dilakukan secara mandiri. Tiap sekolah mendapat dana khusus untuk mengadakan pelatihan di sekolahnya masing-masing atau mengikuti seminar yang terkait.
Melalui hasil penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya. Peneliti menawarkan sebuah model penyelenggaraan konsep pendidikan inklusif yaitu model pendidikan inklusif yang adaptable. Pendidikan inklusif yang adaptable maksudnya adalah:
• Pendidikan inklusif yang disesuaikan dengan kondisi peserta didik yang ada di sekolah tersebut dan kemampuan sekolah pada saat itu.
• Filosofinya tetap pendidikan inklusif, yakni memberikan kesempatan kepada setiap individu peserta didik untuk dapat menikmati proses pendidikan di sekolah tersebut.
• Setiap peserta didik difasilitasi untuk dapat mengembangkan potensi, minat dan bakatnya dengan berbagai program yang variatif.
• Kurikulum dirancang fleksibel sesuai dengan keunikannya, terlebih bagi PDBK.
Walau pun belum dapat secara individual menyesuaikan dengan tiap peserta didik yang ada, paling tidak sekolah sudah mampu mengelompokkan kebutuhan peserta didik berdasarkan potensi, minat dan bakatnya.
• Dalam prakteknya peserta didik berkebutuhan khusus disediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Sekolah dapat memberikan layanan optimal kepada seluruh peserta didik termasuk PDBK.
• Khusus bagi penanganan PDBK, sekolah berupaya melakukan berbagai hal; bagi sekolah yang belum mampu membuat lembaga khusus yang menangani PDBK, dapat menjalin kerjasama dengan lembaga di luar sekolah seperti; Pusat Sumber Belajar, Klinik Tumbuh Kembang atau lembaga lainnya. Selanjutnya sekolah berupaya membentuk lembaga khusus tersebut secara mandiri dengan memberdayakan dan meng’up grade’ sumber daya yang ada.
• Model pelayanan PDBK di sekolah dapat didisain dalam beberapa model berdasarkan kemampuan sekolah, yakni: (1) full in class (kelas penuh), jika PDBK tidak memiliki masalah akademik, tapi hanya butuh sarpras atau media bantu belajar khusus seperti, tuna rungu dan tuna netra dapat bergabung penuh dalam kelas reguler (2) in class with shadow teacher (kelas dengan pendampingan), ditujukan bagi PDBK yang membutuhkan pendampingan khusus di kelas, umumnya PDBK yang masih memiliki masalah behaviour (3) individual class (kelas individu), diberikan kepada PDBK yang tidak membutuhkan pendampingan khusus di kelas namun masih membutuhkan penguatan atau program pembelajaran individual yang dilakukan di luar kelas secara individual oleh aid teacher atau guru khusus, (4) in- out class (dalam-luar kelas), model ini dapat diterapkan bagi PDBK yang dinilai hanya membutuhkan kegiatan klasikal dalam kelas sebagai bagian perkembangan sosialisasi bermasyarakat, ia dapat diikutsertakan pada mata pelajaran yang tidak didominasi kompetensi kognitif, selebihnya ia mengikuti kelas khusus dengan PDBK lainnya yang berfokus pada program kemandirian dan life skill sebagai bekal hidupnya kelak dibimbing tenaga khusus, terapis atau psikolog.
Model konsep ini, memungkinkan PDBK tetap mendapat kesempatan bersekolah bersama-sama peserta didik lainnya. Model ini pun, memberi keleluasaan bagi manajemen sekolah untuk memilih menjadi sekolah inklusif yang sesuai dengan kemampuan mereka pada saat ini, dan selanjutnya berupaya untuk berkembang menjadi lebih baik.
KESIMPULAN
Berdasarkan paparan yang telah disampaikan di atas, maka dapat disimpulkan, bahwa; Manajemen kurikulum pendidikan inklusif disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi peserta didik yang ada di sebuah sekolah. SMPIT Darul Abidin sebagai sekolah inklusif telah menerapkan kurikulum fleksibel. Kurikulum dirancang sesuai kebutuhan peserta didik, khususnya PDBK. Sedangkan SMPN 2 Depok, saat ini belum menerapkan kurikulum fleksibel, namun mulai menggunakan kurikulum 2013, khusus di level 7. Manajemen peserta didik pendidikan inklusif di awali dengan manajemen rekrutmen peserta didik. SMPIT Darul Abidin melalui unit Learning Support Development (LSD) bekerjasama dengan tim PPDB yang dibentuk, melakukan rangkaian asesmen tersebut. Selanjutnya, sekolah memberikan berbagai layanan pendidikan yang membantu peserta didik untuk mengembangkan berbagai potensi dan
bakat yang dimilikinya. SMPIT Darul Abidin telah meluluskan 100% termasuk PDBK. Di SMPN 2 Depok, PPDB ditangani oleh panitia khusus yang dikoordinatori wakil kepala sekolah bidang kesiswaan. Pada tahun ajaran ini, belum ada model asesmen sebagaimana yang distandarkan bagi sekolah inklusif. Saat ini, layanan yang khusus didapatkan PDBK di SMPN 2 Depok, diberikan oleh tim Bimbingan Konseling (BK).
Untuk hasil UN, belum dapat dilihat, karena baru diterapkan tahun ini, namun semua tetap akan diikutsertakan UN.
SARAN DAN REKOMENDASI
Secara khusus, bagi SMPIT Darul Abidin; program kegiatan kelas pilihan dan komunitas dipertahankan dan dikembangkan, meningkatkan program kemandirian dan ketrampilan serta pengembangan bakat dan berbagi pengalaman dengan sekolah inklusif lainnya. Bagi SMPN 2 Depok: program tutor sebaya, menerima PDBK dengan berbagai karakterisktik, meningkatkan kemampuan sumber daya internal, dan merancang kurikulum fleksibel.
Secara umum peneliti memberikan rekomendasi atas penyelenggaraan konsep pendidikan inklusif. Sekolah-sekolah inklusif, direkomendasikan untuk menggunakan model pendidikan inklusif yang adaptable. Pendidikan inklusif yang adaptable maksudnya adalah:
• Pendidikan inklusif yang disesuaikan dengan kondisi peserta didik yang ada di sekolah tersebut dan kemampuan sekolah pada saat itu.
• Filosofinya tetap pendidikan inklusif, yakni memberikan kesempatan kepada setiap individu peserta didik untuk dapat menikmati proses pendidikan di sekolah tersebut.
• Setiap peserta didik difasilitasi untuk dapat mengembangkan potensi, minat dan bakatnya dengan berbagai program yang variatif.
• Kurikulum dirancang fleksibel sesuai dengan keunikannya, terlebih bagi PDBK.
• Dalam prakteknya peserta didik berkebutuhan khusus disediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.
• Menjalin kerjasama dengan lembaga di luar sekolah seperti; Pusat Sumber Belajar, Klinik Tumbuh Kembang atau lembaga lainnya. Selanjutnya sekolah berupaya membentuk lembaga khusus tersebut secara mandiri dengan memberdayakan dan meng’up grade’ sumber daya yang ada.
• Model pelayanan PDBK di sekolah dapat didisain dalam beberapa model berdasarkan kemampuan sekolah, yakni: (1)full in class (kelas penuh), jika PDBK tidak memiliki masalah akademik (2) in class with shadow teacher, ditujukan bagi PDBK yang membutuhkan pendampingan khusus di kelas, umumnya PDBK yang masih memiliki masalah behaviour (3) individual class (kelas individu), (4) in-out class (dalam-luar kelas), model ini dapat diterapkan bagi PDBK yang dinilai hanya membutuhkan kegiatan klasikal dalam kelas sebagai bagian perkembangan sosialisasi bermasyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Agustyawati & Solicha. Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta:
Universitas Islam Negeri, 2009.
Cresswell, Jhon W. Qualitative Inquiry & Research Design. California: SAGE Publications, 2007.
Delphie, Bandi. Pembelajaran Anak Tuna Grahita: Suatu Pengantar dalam Pendidikan Inklusi. Bandung: PT.Refika Aditama, 2006.
Handoko, T.Hani. Manajemen. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM, 2012.
Kustawan, Dedy. Pendidikan Inklusif dan Upaya Implementasinya. Jakarta: Luxima, 2012.
Salisbury, Principals of Inclusive Schools, Chicago: Univ. of Illionis, 2005
Suyanto dan Mudjito. Masa Depan Pendidikan Inklusif. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Dasar, 2012.
Syahrul, Fitriani F. Menggali Potensi di Sekolah Inklusif, Depok: Lentera Insan, 2012.
Suharsaputra, Uhar. Administrasi Pendidikan. Bandung: Refika Aditama, 2012.
Tilaar, H. A. R. Pendidikan Nasional: Arah ke Mana?., Jakarta: Kompas, 2012.
Bersumber dari situs World Wide Web Sites:
www.bsnp-indonesia.org/id/
Bersumber dari Jurnal:
Zimba, Zondani, Managing an Inclusive School. Peritoria: Rhodes University, 2011.
Bersumber dari buku panduan, laporan dan pedoman:
Acedo, Clementina and Leane Duncombe. Open File Inclusive Education. Paris:
International Bureu of Education, 2011.
Delors, Jacques. Learning: The Treasure Within: Report to UNESCO of the International Commission on Education for the Twenty-First Century. Paris:
Unesco Publishing, 1998.
Depdiknas, Pedoman Umum Pemyelenggaraan Pendidikan Inklusif, Dirjen Mandikdasmen, 2007
Hindle,D, et.al, Education White Paper 6, Special Needs Education, Department Basic Education Of South Africa, 2009.
Widodo, Sri, Makalah Pelatihan Layanan Pendidikan Inklusif, Jawa Barat, 2011