• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Indikator Ketakwaan Menurut Ali bin Abi Thalib dan Relevansinya dengan Fenomena Korupsi di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "View of Indikator Ketakwaan Menurut Ali bin Abi Thalib dan Relevansinya dengan Fenomena Korupsi di Indonesia"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Indikator Ketakwaan Menurut Ali bin Abi Thalib dan Relevansinya dengan Fenomena Korupsi

di Indonesia

Moh. Ali Qorror Al-Khasy

Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Sumenep ali.alkhasy@gmail.com

Abstraks

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap indikator ketakwaan menurut Ali Bin Abi Thalib dengan contoh kasus pada perilaku korupsi yang dilakukan tokoh agama di Indonesia. Ada tiga perkataan Ali bin Thalib sebagai cerminan dari kebahasaan yang mengarah pada ketakwaan, yaitu sujud, sujud, dan dirham. Tiga kata ini dikaji dengan pendekatan kebahasaan yang membahas fenomena tanda dalam ujaran, yaitu semiotika. Untuk mengkaji permasalahan korupsi kaum beragama dengan indikator ketakwaan, peneliti menggunakan teori semiotika Charles Sanders Peirce. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa surban manjadi simbol ketakwaan yang menjadi aksesoris kalangan agamawan dalam menunjukkan eksistensinya. Sedangkan sujud berada dalam kategori tanda indeks karena menjadi wujud representasi dari salat sebagai prosesi penghambaan dan penghormatan kepada Tuhan. Adapun dirham masuk dalam kategori tanda ikon sebagai gambaran dari mata uang, harta benda, dan bentuk kekayaan lainnya.

Kata Kunci: Ketakwaan, Semiotika, Korupsi

Pendahuluan

Berawal dari pemberitaan yang disajikan dalam surat kabar online, merdeka.com, pada tanggal 3 Desember 2014 silam yang berjudul “Empat Ahli Agama ini Berurusan dengan KPK1, peneliti mendapatkan ide untuk menguak hakikat takwa sebagai

1 telusuri di www.merdeka.com/perisiwa/4-ahli-agama-ini-berurusan- dengan-kpk.html, diakses pada tanggal 16/04/2015

(2)

pusaka dalam beragama. Berita ini jelas menimbulkan kesan negatif di kalangan umat beragama sehingga muncul pertanyaan bagaimana seorang tokoh agama yang dikenal expert dalam pengetahuan ilmu dan nilai agama melakukan tindakan korupsi sebagai salah satu tindakan kriminal yang amat massif di Indonesia?

Korupsi merupakan tindakan yang jelas-jelas mengambil harta yang bukan miliknya dan perbuatan itu dikecam oleh agama.

Tidak diragukan lagi bahwa Islam sebagai salah satu agama yang menekankan moralitas, menganggap tindakan korupsi harus diperangi baik secara individu maupun kolektif.2 Pada berita tersebut dipaparkan empat tokoh yang tersandung kasus korupsi dan menjadi buronan KPK. KPK merupakan singkatan dari Komisi Pemberantasan Korupsi, dan salah satu tugasnya adalah melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana korupsi.3

Mereka yang tercatat dalam burnonan KPK dalam berita tersebut adalah Suryadharma Ali (Mantan Mentri Agama 2009- 2014), Luthfi Hasan Ishaq (Prsiden PKS 2009-2014), Ahmad Fathanah (Putra pendiri Pondok Pesantren Ikatan Masjid Musala Indonesia), dan yang terakhir adalah tokoh agama dari pulau Madura, Fuad Amin. Dia adalah mantan Bupati Bangkalan yang masih keterunan dari Ulama kondang Madura, Syaikhana Khalil

2 Yunahar Ilyas, dkk., Korupsi dalam Perspektif Agama-Agama, (Yogyakarta: Kutub, 2004) hlm. 3

3 Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, (Jakarta:

Sinar Grafika, 2010), hlm. 261

(3)

Bangkalan. Berita terakhir ini sontak mengejutkan tanah Madura yang notabene penduduknya dari kalangan santri. Pasalnya, sosok Fuad Amin telah dinobatkan sebagai tokoh nasional dari Madura.4

Keahlian beragama menjadikan sosok tersebut disegani banyak orang dan menjadikannya pribadi yang mulia dikalangan umat dengan sucinya aura dan sejuta kharisma. Entah bagaimana, keempat sosok yang telah disebut sejatinya merupakan tokoh pemuka bahkan ahli dalam agama namun mereka masih “mata duitan”, sebagai istilah lain dari cinta dunia yang berlebihan.

Sehingga kemudian, fenomena tersebut bisa dikaitkan dengan perkataan yang bernuansa hikmah dari Ali bin Abi Thalib dengan bunyi “jangan mengukur ketakwaan seseorang dari panjang pendeknya surban dan lama tidaknya sujud, tapi berilah mereka dirham, maka kamu akan tau kadar ketakwaaanya”. Qoul Imam Ali ini seringkali dijadikan hujjah untuk tidak memandang sisi ketakwaan dari penampilan luar belaka, yang terkadang menyisakan tanda tanya.

Sebagaimana dikatakan, bahwa takwa merupakan hal esensial dalam beragama, sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang dengan kadar ketakwaan yang berkualitas tinggi dipastikan memiliki kesalehan beragama yang sesuai dengan tuntunan ilahi. Pembahasan, lebih-lebih justifikasi, tentang kadar ketakwaan seseorang merupakan hal yang dilematis. Pasalnya,

4 M. Anis Fathoni, Tatar Madura; Profil dan Kiat Sukses, (Surabaya:

Cahaya Intan, 2007), hlm. 57

(4)

takwa merupakan hal yang abstrak dan bersifat non materi, sehingga menimbulkan kesulitan yang tinggi dalam menakarnya.

Meski pembahasan takwa tergolong hal yang abstrak dan cenderung dilematis, namun perkataan Imam Ali tersebut tidak menjadi materi yang sia-sia untuk dibahas dan dikaji. Di dalam qoul tersebut terdapat beberapa kata yang menjadi key word yang mengarah pada ketakwaan, yang kemudian kata-kata tersebut menjelma sebagai tanda kabahasaan yang mampu meberikan penjelasan tentang sejatinya takwa. yaitu surban, sujud, dan Dirham. Ketiganya memiliki keterikatan dengan hakikat takwa.

Dalam studi kebahasaan, terdapat satu disiplin kajian yang khusus mengkaji tentang fenomena tanda dalam suatu ujaran, baik secara lisan, tulisan maupun suatu gambaran tertentu. Kajian ini dikenal dengan sebutan Semiotika. Sebagaimana Saussure menyatakan bahwa bahasa merupakan sistem tanda guna mengekspresikan suatu ide atau gagasan. Sehingga dapat dikatakan bahwa semiotika adalah ilmu yang mebahas tentang`

tanda dan penggunaanya dalam representasi. Pada pendekatan ini, penulis menggunakan teori semiotika Charles Sanders peirce yang digadang-gadang sebagai tokoh pendiri teori dan praktik semiotika kontemporer, layaknya Ferdinand de Saussure. Salah satu gagasannya adalah membentuk keranga dasar untukn mendeskripsikan dan mengklasifikasi tanda. Selain itu, dia juga

(5)

memberlakukan penerapan semiotik pada studi sistem pengetahuan dan budaya.5

Berdasarkan sebuah ungkapan yang berbunnyi “kata-kata merupakan jenis tanda yang terpenting6”, dengan demikian, penulis beranggapan bahwa qoul bernuansakan hikmah yang disampaikan oleh Imam Ali dapat dianalisa dengan menggunakan pendekatan semiotika guna mengungkap ketiga kata yang telah disebut sebagai bahasa yang mencerminkan sistem tanda yang merujuk pada konsep ketakwaan. Kemudian pada tahap selanjutnya konsep takwa yang dimaksud dalam qoul tersebut dihubungkan dengan fenomena korupsi yang dilakoni oleh tokoh agama sebagai sosok yang “bertakwa”.

Konsep Semiotika Charles Sanders Peirce

Kata semiotika berasal dari bahasa Yunani, semion yang berarti tanda atau penafsir tanda. Teori tanda pertma kali diutarakan oleh Santo Agustinus, meski menggunakan istilah berbeda dalam identifikasinya. Tanda pada prinsipnya merupakan sesuatu yang dapat digunakan untuk sesuatu yang lain, oleh karenanya hubungan antara tanda dan penanda menjadi sangat penting dalam memahami realitas tanda. Dalam teori semiotika

5 Marcel Danesi, Pesan, Tanda, dan makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi, terj. Evi Setyarini dan Lusi Lian Piantari, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), hlm. 11, 378 & 29

6 Selengkapnya lihat di Mohammad A. Syuropati dan Agustina Soebachman, 7 Teori Sastra Kontemporer & 17 Tokohnya, (Yogyakarta: In Azna Books, 2012), hlm. 68

(6)

kekinian, tanda diklasifikasi menjadi dua macam yaitu tanda verbal dan non verbal. Tanda verbal adalah tanda yang berwujud kata dan struktur linguistiknya seperti frase dan kalimat sedangkan conntoh dari tanda non verbal berupa gambar dan isyarat.7

Semiotika sebagai ilmu tanda akan berurusan dengan sistem tanda dan proses yang berlaku bagi sang pengguna. Dalam tradisi keilmuan semiotika terdapat tokoh yang menjadi salah satu tokoh penggagas ilmu ini, yaitu Charles Sanders Peirce8. Tokoh kelahiran Cambridge ini menganggap bahwa semiotika merupakan doktrin tentang inti hakiki terdalam dari semiosis yang ada, yaitu suatu tindakan (action) dan pengaruh (influence) yang terlibat dalam suatu kerja sama subjek yaitu antara tanda (sign) atau representamen, objek, dan interpretan.9 Subjek dari semiosis

7 Marcel Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi., hlm. 10

8 C. S. Peirce adalah seorang bapak semiotika yang lahir pada tahun 1839 dan meninggal pada tahun 1914. Pria yang dilahirkan di kalangan keluarga intelekualis ini disebut-sebut sebagai filsuf pragmatic Amerika yang paling orisinil dan multidimensial. Gelar B.A., M.A., dan B.Sc. berhasil diraihnya secara berturut-turut pada tahun 1859, 1862, dan 1863. Selain terkenal sebagai pakar filsafat di zamannya, Peirce juga disebut sebagai sosok yang ahli dalam bidang logika. Dengan cikal bakal tersebut, dia mengusulkan Semiotika sebagai sinonim dari “logika” karena baginya sesaeorang yang belajar logika sejatinya juga memepelajari bagaimana orang bernalar, dan penalaran tersebut dilakukan melalui tanda-tanda. Baginya, tanda adalah saran pikiran sebagai artikulasi bentuk-bentuk logika. Dikutip dari Mohammad A.

Syuropati dan Agustina Soebachman, 7 Teori Sastra Kontemporer & 17 Tokohnya., hlm. 70-71

9 Umberto Eco, Teori Semiotika: Signifikansi Komunikasi, Teori Kode, serta Teori Produksi – Tanda, terj. Inyiak Ridwan Muzir, (Yogyakarta:

Kreasi Wacana, 2009), hlm. 20

(7)

dalam pandangannya tidak disyaratkan sebagai sosok manusia, namun entitas semioatika yang abstrak.

Secara khusus dia mendefinisakan tanda sebagai sesuatu yang bagi seseorang menunjukkan fungsi sebagai wakil daari sesuatu yang lain dalam hal atau kapasitasnya (a sign or representament something which stands to somebody for something in some respect or capacity).10 Dalam hal objek, peirce menekannkan keharusan adanya keterkaitan antara tanda dan objek yang menyerupainya. Adapun interpretan dianggap sebagai peristiwa psikologis yang berlangsung di dalam jiwa penafsir.11

Secara jelas Peirce menyebutkan bahwa tanda merupakan kategori dari repsentamen, sedangkan konsep, benda, gagasan, dan lainnya merupakan objek. Adapaun interpretan merupakan makna yang diperoleh dari sebuah tanda. Ketiga dimensi tersebut merupakan hal yang signifikan dalam konsep semiotika yang dibangun oeleh Peirce.12

Masih dalam pemikirannya, sebuah tanda bisa meaningfull jika tanda tersebut memiliki fungsi esensial, yaitu terwujudnya sebuah relasi yang tidak efesien menjadi efesien, mialnya dalam

10 Charles Sanders Pierce, Philosophy of Sign; Essays In Comparative Semiotics (Bloomington: Indiana University Press), hlm. 72.

11 Umberto Eco, Teori Semiotika: Signifikansi Komunikasi, Teori Kode, serta Teori Produksi – Tanda., hlm. 21

12 Marcel Danesi, Pesan, Tanda, dan makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi., hlm. 32

(8)

hal komunikasi.13 Contoh sederhananya adalah lampu merah dalam traffic lights sebagai tanda berhenti untuk pengendara dalam arus berlalulintas. Sehingga lampu merah tersebut memiliki fungsi menuntut tindakan berhenti bagi sang pengguna jalan. Hal itu lebih efesien dibandingkan dengan menggunakan ujaran verbal misalnya dengan berkata “wajib berhenti bagi pengguana jalan”, karena tersebut sudah cukup ampuh untuk menggantikan ujaran verbal tersebut.

Tanda sebagaiaman Peirce mengatakan berfungsi untuk menghubungkan dengan tanda lainnya. Dalam hal ini dia membaginya dalam tiga kelompok. Pertama sintaksis berupa pencarian peraturan-peraturan dasar antar tanda. Kedua semantik yaitu sebuah relasi antara tanda dengan denotatum dan interpretasinya. Yang ketiga adalah pragmatik yang merupakan hubungan antara tanda dan pemakainya.14 Senada dengan Peirce, terdapat teori sastra yang menyatakan bahwa simbol merupakan objek yang mengacu pada objek lain.15

Karakteristik Semiotika Peirce

Peirce, sebagai salah satu dari deretan tokoh semiotika, memiliki pandangan tersendiri tentang semiotika yang

13 Mohammad A. Syuropati dan Agustina Soebachman, 7 Teori Sastra Kontemporer & 17 Tokohnya., hlm. 71

14 Ibid., hlm.73

15 Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bnadung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 44

(9)

kemungkinan bisa berbeda dengan para ahli lainnnya. Tidak dipungkiri, adanya perbedaan pemikiran mampu melahirkan konsep yang berbeda, dan menjadikan perbedaan tersebut sebagai karakteristik sang penemu perbedaan. Bukan bermaksud untuk memecah belah, karakteristik dimaksudkan untuk labeling dan pembentukan identitas diri yang berkarakter.

Salah satu karakteristik dari semiotika peirce adalah konsep trikotomi tanda, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon atau ikonisitas merupaka tanda yang dirancang untuk memprsentasikan sumber acuan melalui persamaan, misalnya foto, potret, gambar, yang ketiganya ditemukan dalam wilayah representasi non verbal. Dalam bahasa, simbolisme bunyi merupakan contoh ikonitas dalam representasi verbal, layaknya onomatopoeia. Sebelum digunakannya ikon oleh Peirce yang mengarah pada jenis tanda yang spesifik, ikon digunakan dalam seni untuk menunjukkan imajinasi tokoh dan sebuah peristiwa bernuansa religi yang bersifat sakral.

Adapun indeks merupakan tanda yang dirancang sebagai indikator sumber acuan. Sederhananya adalah, point kedua ini merupakan indikasi dari adanya hukum kausalitas misalnya adalah menunjuknya jari yang semua orang tahu kalau hal itu digunakan untuk menunjukkan atau mencari sesuatu. Contoh lain misalnya adanya api yang nantinya akan diikuti dengan adanya asap. Indeksikalitas biasanya terwujud dalam perilaku yang representatif. Terdapat tiga jenis dasar indeks yaitu indeks yang

(10)

mengacu pada lokasi spesial sebuah benda, mahluk dan peristiwa dalam hubungannya dengan pengguna tanda. Indeks yang kedua adalah upaya menghubungkan benda-benda dari segi waktu, dalam istilah lain dikenal dengan sebutan indeks temporal. Indeks yang terakhir adalah upaya saling menghubungkan pihak-pihak yang terkait dan ikut andil dalam sebuah situasi.

Simbol merupakan tanda yang dirancang guna menyediakan sumber acuan konvensioanal, yaitu memlaui sebuah kesepakatan atau persetujuan. Perkataan secara umum merupakan simbol sebagaimana variasi penanda yang cenderung simbolik.

Contohnya adalah bentuk salib yang dapat mewakili dari konsep agama Kristen, atau bentuk ‘V’ yang tercipta dari jari teluncuk dan tengang dapat mewakili “perdamain” yang seringkali bentuk ini dibarengi dengan pengucapan kata “peace”.16

Ketiga jenis tanda (indeks, indeks, dan simbol seringkali berbaur dalam penciptaan sebuah tanda. Peirce menganggap bahwa trikotomi ini merupakan pembagian tanda yang paling fundamental.17 Pada akhirnya, esensi dari analisa tentang tanda mengarah pada pandangan bahwa setiap tanda ditentukan oleh objeknya.

16 Marcel Danesi, Pesan, Tanda, dan makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi., hlm. 34-38

17 Lebih lengkapnya baca Kris Budiman, Semiotika Visual Konsep, Isu, dan Problematika Ikonisitas, (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), hlm 78

(11)

Trikotomi Tanda Peirce

Ikon indeks Simbol Tanda Sebuah

persamaan

Hubungan kausalitas

Konvensi

Gambar Api asap Kata isyarat

Perbedaan Semiotika Peirce dengan Tokoh Lainnya

Sebagaimana telah dijlaskan dalam pembahasan sebelumnya bahwa perbedaan merupakan implikasi dari sebuah karakteristik yang hal tersebut wajar-wajar terjadi daalam dunia keilmuan. Dalam buadaya semiotika, terdepat beberapa perbedaan pandangan atau pemikiran Peirce dengan tokoh semiotik lainnya, yang kemudian perbedaan tersebut bukan dimaksudkna untuk membuat perpecahan, melainkan sebuah fenomena akan luasnya khazanah ilmu dan kreatifitas perilaku ilmiah sang “penggila”

ilmu.

Perbedaan semiotika yang pertama adalah tentang syarat sahnya tanda dalam semiotika. Dalam definisinya, peirce tidak mengharuskan sebuah tanda harus bersifat intentional, dalam artian tanda harus selalu memiliki maksud, dan dia juga tidak mensyaratatkan sebuah tanda bersifat buatan (artificial). Hal tersebut bersebarangan dengan yang disampaikan Saussure tentang sebuah tanda 18 Peirce dalam defenisinya hanya

18 Umberto Eco, Teori Semiotika: Signifikansi Komunikasi, Teori Kode, serta Teori Produksi – Tanda., hlm. 21

(12)

menggambarkan tentang tanda yang meaningfull, dia tidak menyatakan pengertian tanda harus meaningfull.

Perbedaan yang kedua dengan tokoh yang sama adalah terkait tentang wujud tanda. Saussure menyerukan bahwa tanda sejatinya berbentuk fisik yang bisa dilihat dan didengar yang mengacu pada sebuah objek realistis (referent), sedangkan bagi Pierce tidak demikian. Hal tersebut dapat dilihat dengan trikotominya yang merupakan sebuah kunci analisa semiotika.

Sehingga kemudian, Peirce disebut sebagai bapak semiotika non- positivisme dan Saussure dinobatkan sebagai bapak semiotika positivistis.19

Pandangan Ali bin Abi Thalib tentang Takwa dan Fenomena Korupsi di Indonesia

Pada bagian ini penulis akan menghadirkan kembali qoul imam Ali yang dijadikan sasran bedah dengan menggunakan semiotika Peirce. Berikut perkataan imam Ali yang penulis maksud: “jangan mengukur ketakwaan seseorang dari panjang pendeknya surban dan lama tidaknya sujud, tapi berilah mereka dirham, maka kamu akan tau kadar ketakwaaanya”. Telah disebutkan pada pembahasan yang telah berlalu, bahwa terdapat tiga kata kunci dalam perkataan tersebut yaitu surban, sujud, dan Dirham. Ketiga kata itu akan penulis analisa dengan bantuan

19 Mohammad A. Syuropati dan Agustina Soebachman, 7 Teori Sastra Kontemporer & 17 Tokohnya., hlm. 74

(13)

semiotika dengan menjadikan ketiganya sebagai tanda yang terstruktur dalam bahasa.

Semiotika Surban

Surban, yang dalam bahasa Arab dikenal dengan kata al-

‘imamah, merupakan salahs satu aksesoris berbahan kain yang digunakan oleh umat Islam. Biasanya pengguna surban ini didominasi oleh orang-orang yang telah melakukan haji. Selain itu, surban juga digunakan oleh sosok agamawan yang dijadikan sebagai identitas diri seperti sosok kiai, penceramah, ustadz dan tokoh masyarakat lainnya. Sehingga, surban yang kemudian menjadi simbol agama, manjadi tolak ukur masyarakat terhadap spiritual personal. Misalnya pandangan masyarakat terhadap da’i, apabila ia sedang melakukan aktifitas ceramah dengan menanggalkan surban yang seharusnya menajdi aksesoris pribadi, maka seakan-akan posisi ke-da’i-annya kurang sempurna. Jadi tidak heran jika mayoritas para da’I yang sering tampil di TV nyaris tidak melupakan surbannya sebut saja Ustad maulana dan masih banyak lainnya.

Surban adalah sebuah kain panjang dan lebar yang diikatkan di atas kepala. Umumnya digunakan oleh masyarakat timur tengah dan India.20 Dalam pemakainnya di konteks keindonesiaan, terdapat beberapa model atau gaya yang sering

20 http://id.wikipedia.org/wiki/sorban. Diakses pada tanggal 18/04/2015

(14)

digunakan oleh sang pengguna. Ada yang digunakan di kepala seraya dilingkarkan pada bagian atas kepala, pun dilingkarkan sebagai lapisan luar dari peci. Sebagian yang lain ada juga yang menggunakan dengan cara dikalungkan di leher yang disambung hingga kebelakang atau dibiarkan jatuh ke bawah tanpa mempertemukan dua ujung surban. Terdapat pula surban yang dikenakan layaknya wanita yang sedang menggunakan kerudung.

Sesekali juga ditemukan penggunaan surban yang hanya diletakkan di salah satu bahu, bahu bagian kanan atau kiri. Berikut beberapa foto pemakain surban:

Dalam hal keagamaan, orang yang menggunakan surban acap kali dinisbatkan kepada sosok yang expert dalam urusan agama dan menduduki stratifikasi agama yang cukup tinggi, misalnya sosok kiai dengan sejuta karisma yang dimiliki. Di

(15)

Indonesia terkadang ada beberapa sosok yang memanfaatkan stratifikasi yang ia duduki, misalnya dalam mempengaruhi rakyat di sebuah pemilihan umum. Contoh kasus seperti yang dilakukan oleh Fuad Amin yang masih ketururnan sosok yang bersurban (baca: syaikhana Khalil) dalam meraup suara rakyatnya di Bangkalan.

Berdasarka teori tanda yang diberikan Peirce, surban dapat dikategorikan sebagai tanda yang berwujud simbol. Senada dengan yang telah disebutkan bahwa simbol merupakan konveksi masyarakat, maka konstruk surban dalam masyarakat Indonesia layak dijadikan sebagai simbol yang bernuansa keagamaan, khususnya agama Islam.

Kemudian muncul pertanyaan, mengapa Ali bin Abi Thali menggunakan kata surban dalam frase “panjang pendeknya surban”? Tentunya kata surban tersebut tidak bisa dimaknai dengan “mata telanjang”, karena hal tersebut disinyalir berupa sebuah tanda. Setelah melalui kajian semiotika ala Peirce ini, maka penulis menganggap bahwa Ali dalam menggunakan kata

“surban” ingin mengindikasikan kepada sosok yang ahli dalam agama dengan menggunakan salah satu simbol agama yang telah terkonveksi.

Semiotika Sujud

Sujud merupakan bahasa yang diadopsi dari Arab yaitu dari kata sajada yasjudu suju>dan, dan juga sebagai salah satu

(16)

bentuk seremonial wajib dalam sholat. Sujud –dalam pandangan penulis– merupakan “hati” dari ibadah sholat kaum muslim, sehingga dapat dikatakan bahwa esensi dari sholat sebagai bentuk penghambaan terhadap Tuhan terletak dalam sujud. Mengapa demikian? Hal itu dibuktikan dengan bacaan yang sering terdengungkan ketika prosesi sujud, yaitu dengan ucapan:

subh}a>na rabbiya al-a’la> wa bi h}amdihi (maha suci Allah dzat yang maha agung dan (aku) memujinya).21 Sujud dalam sholat juga merupakan isyarat pada akhir tingkatan tauhid.22

Berdasarkan ucapan ketika sujud sebagaimana telah disebutkan, sujud merupakan upaya pentasbihan diri seraya mengakui akan sifat Allah yang maha a’la> dan mengakui akan lemahnya diri tanpa daya. Bentuk pentasbihan dalam sholat tidak hanya berwujud dalam kalimat sujud tersebut, melainkan juga bisa dilihat dari gerak dan cara bersujud.

Tampaknya sujud merupakan bagian sholat yang paling mencerminkan penyerahan diri kepada Allah yang dibuktikan dengan gerakannya. Gerakannya adalah dengan menaruh dahi ke bawah sebagai tempat paling rendah. Dahi dan bagian wajah pada umumnya merupakan bagian tubuh paling mulia yang memiliki

21 Ahmad Nawawi Sadili, Panduan Praktis dan Lengkap Shalat Fardhu dan Sunnah, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 126

22 \Imam Rahullah al-Musawi al-Khumaini, Shalat Ahli Makrifat:

Seputar makna Batiniah Gerakan dan Bacaan dalam Shalat, terj. Irwan Kurniawan, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2006), hlm. 237

(17)

nilai kehormatan tinggi dan sebuah prestise23, misalnya dalam contoh “mau ditaruh di mana muka saya kalau sampai gagal”.

Posisi sujud dapat digambarkan dalam foto di bawah ini:

Dalam analisa semiotika yang didasarkan atas pandangan Peirce tentang tanda, maka sujud dalam perkataan Ali (lama tidaknya sujud) masuk dalam kategori tanda yang bersifat indeks.

Pasalanya, Indeksikalitas merupakan tanda yang dirancang sebagai indikator sumber acuan yang terwujud dalam perilaku yang representatif. Jelasnya, sujud merupakan tindakan representatif dari bentuk penghormatan dan penghambaan mahluk kepada sang pencipta. Dalam hukum kausalitas, sujud merupakan “konsekuensi” dari sholat. Sederhananya, di dalam sholat pasti ada sujud.

Kata sujud kemudian dianggap mampu mewakili, mengarahkan, dan merangkul makna sholat secara umum. Hal tersebut sah saja diujarkan, karena sebagaimana telah tercantum

23 Asep Muhyiddin dan Asep Salahuddin, Salat Bukan Sekedar Ritual, (bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 59

(18)

dalam ayat al-Qur’an ketika menyebut kata ruku’ yang mengacu atau dimaksdukan pada tindakan sholat secara utuh. Ayat tersebut berbunyi “wa irka’u> ma’a ar-raki’i>n (dan ruku’lah [sholatlah] bersama orang-orang yang ruku’ [Sholat]”.24

Semiotika Dirham

Dirham merupakan salah satu mata uang yang berlaku di beberapa Negara Arab. Ia berupa koin perak murni dengan berat 2.975 gram. Dirham merupakan mata uang yang digunakan oleh umat bislam pada masa khalifah Umar bin Khattab.25 Berikut ini contoh Dirham:

Uang secara umum merupakan salah satu sarana kehidupan yang amat penting, karena dengannya kebutuhan hidup manusia bisa terpenuhi. Kemudian terdapat meme yang bermunculan seperti “ada uang abang disayang, tak ada uang

24 Al-Qur’an Q.S. al-Baqarah: 43

25 Telusuri di www.lantakenaemas.com/pengertian-dinar-dan- dirham.html?m=1, diakses pada 18/04/2015

(19)

abang ditendang”. Tidak bisa dipungkiri, bahwa di era ini urgensi uang juga mempengaruhi life style seseorang.

Tidak sedikit dari manusia yang memburu uang untuk menaikkan strata sosial di tengah masyarakat, karena orang yang memeiliki uang dengan harta yang bergelimang akan dinilai lebih di mata masyarakat. Uang (termasuk juga Dirham) merupakan sarana awal untuk menambah koleksi harta baik berupa rumah, mobil, perhiasan, hingga sosok wanita 26 . Ironisnya, uang menjelma menjadi tuhan baru bagi para pencarinya.

Dalam perkataan imam Ali “berilah mereka dirham, maka kamu akan tau kadar ketakwaaanya” dapat diketahui bahwa Dirham dan uang pada umunya merupakan salah satu penentu ketakwaan seseorang. Hal itu selaras dengan konteks kekinian yang marak terjadi di Indonesia, yaitu dengan menjamurnya kasus korupsi yang dilakukan oleh agamawan. Analogi sederhananya, jika dihadapkan di depan seseorang uang di depan mata yang memungkinkan untuk diambil walau jelas-jelas bukan haknya, maka orang yang memiliki kadar ketakwaan yang tinggi tidak akan tergoda untuk meraupnya.

26 Tidak sedikit dari seorang suami yang sudah bergelimang harta dan ditambah dengan kedudukan tinggi akan mencari sosok wanita lain sebagai koleksi pribadi. Hal itu terbukti maraknya pejabat di tataran pemerintahan Indonesia yang sudah terkuak skandalnya dengan seorang wanita, baik yang telah dijadikan istri sirri-nya maupun yang masih sebatas simpanan saja.

Sehingga, wanita bia dikategorikan sebagai harta bagi orang yang mengoleksinya. (penulis).

(20)

Kata Dirham jika dipandang secara semiotika Peirce, termasuk tanda pada ketegori ikon, yaitu jelmaan dari tumpukan harta yang tak jarang “menyilaukan” mata. Dirham yang telah dijadikan ikon dari harta di konteks arab disejajarkan dengan Rupiah dalam konteks Indonesia. Sehingga, perktaan Ali tersbut tidak hanya diperuntukkan di duniaArab, tetapi juga bisa diaplikasikan dalam konteks Indonesia.

Dengan demikian, kata Dirham bisa diganti dengan aneka mata uang yang ada di dunia, sehingga perkataan ini menjadi universal, tidak terbatas di daerah Arab atau pengguna mata uang Dirham. Selain bisa mewakili mata uang pada umunya, Dirham dalam perkataan Ali tersebut bisa dimaknai dengan kekayaan dan harta benda lainnya.

Dari ketiga kata mainstream yang telah dijelaskan dan dianalisa dengan pisau semiotika, dapat diketahui bahwa sejatinya makna dari ketiganya tidak cukup hanya dengan pemaknaan

“telanjang” mata (apa adanya). Dengan demikian diperolehlah makna-makna semiotik sebagaimana yang tercantum dalam tabel di bawah ini:

(21)

Representamen/Tanda (x)

Objek (y) Interpretan (x=y)

Simbol Surban Aksesoris keagamaan

yang digunakan oleh agamawan

Indeks Sujud Representasi dari

sholat sebagai prosesi penghambaan dan penghormatan

kepada Tuhan

Ikon Dirham Mata uang, harta

benda, dan bentuk kekayaan lainnya

Dimensi Takwa kepada Ilahi Versus Korupsi

Bersentuhan dengan tema kadar ketakwaan yang tercantum dalam perkataan Ali tersebut tidak bisa dipisahkan dengan penjelasan hakikat takwa itu sendiri. Takwa bisa dipahami sebagai kondisi pisikis seseorang dengan kepatuhan penuh terhadap perintah Tuhan dan manjauhi apa yang telah dilarang.

Takwa merupakan kondisi kesadaran personal terhadap posisinya sebagai hamba dari dzat yang maha esa dalam kehidupan beragama. Takwa tidak cukup hanya dengan pengakuan lisan dan aplikasinya dalam sebuah tindakan, melainkan takwa juga perlu dadasari dengan pengukuhan hati dan jiwa dengan penuh

(22)

penghayatan. Sejatinya orang yang bertakwa adalah para pemilik akidah yang lurus dan amal shalih.27

Meski ketakwaan erat kaitannya dengan sisi keagamaan personal, tapi tidak bisa dijadikan sebagai tolak ukur bahwa seorang agamawan memliki sisi ketakwaan yang sejati. Hal tersbut senada dengan perkataan Ali tentang kadar ketakwaan yang tidak bisa dinilai dari panjang pendeknya surban (sosok agamawan) dan lama tidaknya sujud (aktifitas sholat). Tidak sedikit penampilan yang ujung-ujung hanya menipu, dan tidak sedikit aktifitas ibadah didasarkan pada niat dan tujuan yang lemah.

Ali bin Abi Thalib memberikan opsi di akhir kalimatnya dengan cara menghadirkan godaan harta yang pada masanya digambarkan dengan dirham guna mengetahui hakikat takwa seseorang. Kata menghadrikan tidak mesti diartikan dengan bentuk pemberian harta di depan mata, melainkan bisa diartikan sebagai kondisi seseorang yang dengan mudah dan berkesempatan mengambil harta yang bukan miliknya. Pada kondisi yang bernama “adanya kesempatan” itulah hati dan jiwa dipermainkan oleh nafsu. Simpelnya, jika seeorang yang berada dalam kondisi tersebut memiliki kuatnya takwa, siapapun itu, maka ia senantiasa menepis godaan tersebut. Jika konsisi ketakwaannya lemah maka yang akan terjadi sebaliknya. Dikaitkan dengan kasus. Hilangnya

27 Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi, 40 Karakteristik Mereka yang Dicintai Allah, terj. Endang Saiful Azizi, (Jakarta: Darul Haq, 2012), hlm. 103

(23)

amanah dan keringnya iman dalam kepribadian seorang Muslim merupakan salah satu penyebeb terjadinya korupsi yang merajalela. Kondiri tersebut menggambarkan krisis ketakwaan dalam diri.28

Fakta mengatakan, beberapa sosok yang dianggap memiliki kemahiran beragama sebagaimana yang tercantum dalam merdeka.com tersandung kasus korupsi beruapa pundi- pundi Rupiah dalam jumlah yang besar. Fakta tersebut mengindikasikan gugurnya konsep bahwa aktifitas beragama mencerminkan hakikat takwa. Nampaknya, uang dan harta pada umunya menjadi godaan terdahsyat dalam memorak-porandakan ketakwaan yang selama ini dibina, dan berujung pada takwa yang dibinasakan.

Begitulah kiranya, warning dari Imam Ali terkait dahsyatnya godaan harta yang melemahkan jiwa beragama. Di Indonesia orang yang paham tentang agama kian hari kian menjamur yang bersamaan dengan pelanggaran agama yang kian hari kian tidak terukur. Hal tersebut menggambarkan kondisi beberapa agamawan di Indonesia yang hanya to have a religion but not to be a religious.

28 Yunahar Ilyas, dkk., Korupsi dalam Perspektif Agama-Agama., hlm. 5

(24)

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan pada beberapa point sebelumnya, maka dapat dihasilkan sebuah kesimpulan terkait tentang teori semiotika Peirce yang diaplikasikan pada perkataan Ali bin Abi Thalib tentang takwa, selanjutnya dikaitkan fenomena korupsi di Indonesia. semiotika merupakan kajian tentang tanda, tanda apapun. Dalam teorinya, dia membagi tanda pada tiga kata kunci yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ciri analisa semiotika Peirce adalah menghubungkan tanda dengan objeknya yang kemudian menghasilkan sebuah interpretasi (makna).

Dari untaian kata Ali yang bernuansakan hikmah dapat diambil tiga kata kunci dan mainstream yang penulis anggap sebagai sebuah tanda. Tiga kata tersebut adalah surban, sujud, dan Dirham. Setelah melakukan sebuah analisa, ketiga kata tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tanda sebagaimana yang diutarakan Peirce. Surban manjadi tanda dalam kategori simbol karena menjadi Aksesoris keagamaan yang digunakan oleh agamawan, sedangkan sujud berada dalam kategori tanda indeks karena wujud representasi dari sholat sebagai prosesi penghambaan dan penghormatan kepada Tuhan. Adapun Dirham masuk dalam kategori tanda ikon sebagai gambaran dari Mata uang, harta benda, dan bentuk kekayaan lainnya.

Perkataan Ali yang berbunyi “jangan mengukur ketakwaan seseorang dari panjang pendeknya surban dan lama tidaknya sujud, tapi berilah mereka dirham, maka kamu akan tau

(25)

kadar ketakwaaanya” dapat dijadikan sebuah indikasi bahwa sejatinya ketakwaan tidak bisa dilihat dari penampilan seseorang yang mencerminkan sosok agamawan dengan berbagai aksesoris yang dikenakan, pun juga tidak bisa dilihat dari bagiamana dia melakukan prosesi ibadah sebagai penghambaan terhadap Tuhan.

Dirham sebagai salah satu dari bentuk harta dan kekayaan rupanya mampu dijadikan umpan untuk menguji sejauh mana seseorang memiliki ketakwaan. Tidak sedikit orang yang memiliki pengetahuan keagamaan yang tergelincir dalam kasus korupsi yang sangat memalukan. Pada akhirnya mampu menghasilkan sebuah kesimpulan, bahwa terdapat beberapa agamawan yang cenderung “mata duitan” sebagai penisbatan bagi seseorang yang cinta dunia secara berlebihan.

Daftar Pustaka

Al-Khalafi, Abdul Azhim bin Badawi, 2012, 40 Karakteristik Mereka yang Dicintai Allah, terj. Endang Saiful Azizi, Jakarta: Darul Haq.

Al-Khumaini, Imam Rahullah al-Musawi, 2006, Shalat Ahli Makrifat: Seputar makna Batiniah Gerakan dan Bacaan dalam Shalat, terj. Irwan Kurniawan, Bandung: Pustaka Hidayah.

Budiman, Kris, 2011, Semiotika Visual Konsep, Isu, dan Problematika Ikonisitas, Yogyakarta: Jalasutra.

(26)

Danesi, Marcel, 2010, Pesan, Tanda, dan makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi, terj.

Evi Setyarini dan Lusi Lian Piantari, Yogyakarta:

Jalasutra.

Djaja, Ermansjah, 2010, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Jakarta: Sinar Grafika.

Eco, Umberto, 2009, Teori Semiotika: Signifikansi Komunikasi, Teori Kode, serta Teori Produksi – Tanda, terj. Inyiak Ridwan Muzir, Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Fathoni, M. Anis, 2007, Tatar Madura; Profil dan Kiat Sukses, Surabaya: Cahaya Intan.

Ilyas, Yunahar, dkk., 2004, Korupsi dalam Perspektif Agama- Agama, Yogyakarta: Kutub.

Muhyiddin, Asep dan Asep Salahuddin, 2006, Salat Bukan Sekedar Ritual, bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Sadili, Ahmad Nawawi, 2010, Panduan Praktis dan Lengkap Shalat Fardhu dan Sunnah, Jakarta: Amzah.

Sobur, Alex, 2001, Analisis Teks Media, Bnadung: PT.

Remaja Rosdakarya.

Syuropati, Mohammad A. dan Agustina Soebachman, 2012, 7 Teori Sastra Kontemporer & 17 Tokohnya, Yogyakarta: In Azna Books.

Referensi

Dokumen terkait

4: %Hash function phase 5: { source node broadcast RREQ with Key Disable all RREP } 6: %Route discovery phase { if Source starts broadcasting RREQ then Do route

Paper 163 – Enhancing seismic performance of existing buildings using viscous dampers… NZSEE 2021 Annual Conference 3 MODELLING OF VISCOUSLY-DAMPED STRUCTURES The equation of