• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository Universitas Islam Sumatera Utara: PENERAPAN KEBIJAKAN HUKUMAN MATI TERHADAP KORUPTOR DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Institutional Repository Universitas Islam Sumatera Utara: PENERAPAN KEBIJAKAN HUKUMAN MATI TERHADAP KORUPTOR DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

Untuk mengetahui sejauh mana penerapan dan pengaturan hukuman mati dalam UU Pemberantasan Tipikor. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan hukuman mati dalam tindak pidana korupsi. Untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan hukum pidana dalam penerapan ancaman hukuman mati pada tindak pidana korupsi.

Kerangka Konsep

20 Tahun 2001 yaitu “Barangsiapa secara melawan hukum melakukan suatu perbuatan yang memperkaya dirinya sendiri atau orang lain atau suatu perusahaan, sehingga dapat merugikan keuangan negara”. Kemudian Pasal 3 yaitu “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu perseroan, menyalahgunakan wewenang, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. ." 55.

Asumsi

Tindak pidana korupsi adalah apabila seorang pejabat menerima suatu hadiah yang ditawarkan oleh seseorang dengan maksud untuk mempengaruhinya agar memberikan perhatian khusus terhadap kepentingan si pemberi. Pengaturan pidana mati dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur dalam Pasal 2 ayat dalam kondisi tertentu.

Keaslian Penelitian

Penggunaan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan, karena kata-kata yang dapat menjatuhkan pidana mati memberikan kesempatan kepada hakim untuk menjatuhkan alternatif pidana lain yang berat dan tidak mengakibatkan hilangnya kesempatan untuk hidup. Kebijakan hukum pidana dalam penerapan hukuman mati terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini masih mempunyai banyak kelemahan, seperti alasan teknis hukum, sehingga masih sangat sulit untuk diterapkan saat ini. Tesis Kiki Marise, Program Magister Pascasarjana NIM, Fakultas Hukum, Universitas Andalas Padang, 2017 berjudul: Ancaman hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi dari perspektif hak asasi manusia (HAM) dengan rumusan masalah sebagai berikut.

Bagaimana hukuman mati bagi pelaku korupsi diatur berdasarkan undang-undang dalam sistem pidana Indonesia? Tesis Yan Aswari NIM Fakultas Hukum Universitas Airlangga Tahun 2018 yang berjudul: Menjatuhkan Sanksi Hukuman Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Terkait Hak Asasi Manusia, dengan rumusan masalah sebagai berikut. Bagaimana hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam UU Pemberantasan Korupsi?

Bagaimana penerapan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi dari sudut pandang hak asasi manusia? Tesis Salomo Tarigan, NIM, Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, 2015 berjudul: Analisis Yuridis Kebijakan Rumusan Hukuman Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, dengan rumusan masalah sebagai berikut.

Metode Penelitian

  • Sifat Penelitian
  • Metode Pendekatan
  • Alat Pengumpulan Data
  • Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data
  • Analisis Data

Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, maka jenis penelitian yang digunakan adalah hukum normatif. 59 Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan cara mengkaji bahan pustaka atau bahan data sekunder, yang meliputi buku-buku dan norma-norma hukum yang terkandung dalam hukum. peraturan. peraturan, asas hukum, kaidah hukum dan sistematika hukum, serta mengkaji ketentuan hukum, putusan pengadilan dan bahan hukum lainnya yang penting bagi rancangan penelitian.60. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.61 Kajian bahan pustaka atau data sekunder, yang meliputi asas-asas hukum sistematika hukum, tingkat sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum.62 . Data dalam penelitian ini diperoleh dengan bantuan data sekunder yaitu data yang dikumpulkan melalui studi bahan pustaka.

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang berkaitan dan mengikat yaitu KUHP dan UU No. 31 Tahun 1999 jo UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang berasal dari buku teks yang memuat pokok-pokok fikih dan pandangan-pandangan klasik para ulama yang berkualifikasi tinggi. 66 Bahan hukum sekunder terdiri atas segala terbitan tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi yang memberikan penjelasan. mengenai bahan hukum primer sebagaimana dimuat. dalam kumpulan literatur pendukung bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder ini dapat berasal dari buku, hasil penelitian dan karya ilmiah dari kalangan hukum.

Analisis bahan hukum dalam penelitian ini akan dilakukan secara kualitatif, artinya bahan hukum diuraikan secara berkualitas dengan bentuk kalimat yang teratur, runtut, logis, tidak tumpang tindih dan efektif, sehingga memudahkan dalam menafsirkan bahan hukum dan maknanya. memahami isinya. hasil analisis. Analisis bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik deskriptif, konstruksi hukum dan argumentasi, yang kemudian dinilai berdasarkan alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum, yaitu dengan merumuskan doktrin dan asas-asas yang berkaitan dengan permasalahan tersebut.

Unsur Memperkaya Dalam Tindak Pidana Korupsi

Ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, Tindak pidana korupsi dibedakan menjadi dua aspek yaitu aktif dan pasif. Dalam pengertian aktif, yang dimaksud dengan pelaku tindak pidana korupsi secara langsung melakukan perbuatan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau cara. Sedangkan tindak pidana korupsi pasif adalah mereka yang menerima hadiah atau janji karena melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya59.

Selain ketentuan di atas, juga terdapat dalam UU No. 20 Tahun 2001 untuk tindak pidana pasif korupsi berupa Pembedaan tersebut harus dihadirkan oleh hakim dalam putusannya, sehingga dapat dibedakan antara tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (terjadi kerugian negara yang nyata atau keuangan negara berkurang). jelas (negara bagian). dan tindak pidana korupsi yang merugikan negara (belum terjadi kerugian negara atau keuangan negara masih sama seperti semula, tidak berkurang). Menurut tindak pidana korupsi, pengertian memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi harus dikaitkan dengan pasal 37 ayat (3) dan (4) undang-undang no. 31 Tahun 1999 dan Pasal 37A ayat (1) dan (2). Undang-Undang - Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Hukuman tambahan berupa uang kompensasi khusus hanya berlaku terhadap pelanggaran-pelanggaran yang disebutkan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor. Namun secara teoritis, unsur “pengayaan diri” dapat dibuktikan dengan membuktikan bahwa pelaku tindak pidana korupsi menjalani gaya hidup mewah dalam kesehariannya. Dengan demikian, penerapan sanksi pidana dengan ancaman minimum dan maksimum, seharusnya bersifat wajib dalam perspektif Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pendapat hukum yang dijadikan acuan unsur “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi” dalam tindak pidana korupsi adalah “berapa kerugian negara”.

Faktor-Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Tindak Pidana Korupsi

Adanya suatu perbuatan yang secara langsung maupun tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pada saat yang sama, isu kriminalisasi berbagai penanganan tindak pidana, termasuk korupsi, yang dilakukan oleh aparat penegak hukum juga semakin marak sehingga semakin menyulut pemberitaan korupsi di berbagai media cetak dan media. Pada umumnya perkumpulan ini fokus pada pejabat publik yang melakukan tindak pidana korupsi, karena menurut masyarakat, hanya pejabat publik saja yang bisa melakukan tindak pidana korupsi.

Namun jika dicermati rumusan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik dan bukan pejabat, maka dapat ditarik kesimpulan dari perkataan: Barangsiapa secara melawan hukum melakukan perbuatan yang memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan, yang menimbulkan kerugian baik langsung maupun tidak langsung. . atau ia mengetahui atau patut menduga bahwa perbuatan itu merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Tindak pidana korupsi telah melahirkan sejumlah pelaku utama korupsi, seperti kepala daerah, pejabat di lingkungan pemerintah daerah, serta anggota dan pimpinan DPRD. Uang yang idealnya digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi masyarakat, dan lain-lain menjadi terhambat karena anggarannya dikorupsi oleh aparat. Selain itu, akibat korupsi lainnya juga meningkatkan tindak pidana pencucian uang.

Tindak pidana korupsi bukanlah suatu peristiwa yang berdiri sendiri. Faktor penyebabnya bisa saja berasal dari internal pejabat yang korup, namun bisa juga berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi. Perilaku konsumsi yang tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai menimbulkan peluang bagi seseorang untuk melakukan tindakan korupsi.88.

Ancaman Pidana Mati dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Sebagaimana asas pembuktian terbalik enggan diterapkan dalam persidangan tindak pidana korupsi, hakim tindak pidana korupsi juga enggan menerapkan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana, padahal sudah jelas negara dirugikan. miliaran, bahkan triliunan rupiah, dan banyak anggota masyarakat yang kehilangan kesempatan menikmati kesejahteraan yang berasal dari tindak pidana tersebut. Undang-undang tentang tindak pidana korupsi hanya terdapat satu (satu) pasal yang mengatur tentang pidana mati, yaitu pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi sebagai berikut: Apa Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah keadaan yang dapat dijadikan dasar sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana yang dimaksudkan untuk mengatasi keadaan bahaya, bencana alam nasional, mengatasi akibat kerusuhan sosial yang meluas, mengatasi krisis ekonomi dan moneter, serta mengatasi tindak pidana korupsi.”

Penafsiran umum terhadap UU No. 31 Tahun 1999 juga dijelaskan sebagai berikut: “Dalam undang-undang ini, tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. “Dengan rumusan formil yang dianut dalam undang-undang ini, para pelaku tindak pidana korupsi tetap dibawa ke pengadilan dan dihukum, meskipun keuntungan harta benda yang diperoleh melalui tindak pidana korupsi dikembalikan kepada negara.” Dengan menjadikan tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana formil, maka tidak perlu adanya kerugian terhadap negara atau perekonomian negara, karena arti formilnya adalah tindak pidana yang dianggap telah dilakukan dengan dilakukannya suatu perbuatan.

Karena dapat dikenakan pidana yang memberatkan, maka pelaku tindak pidana korupsi tidak perlu membuktikan bahwa pelakunya mengetahui adanya keadaan tertentu dengan rincian sebagaimana disebutkan di atas pada saat dilakukannya tindak pidana tersebut. korupsi. . Artinya, sekalipun tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), pelaku korupsi sebagai berikut.

Referensi

Dokumen terkait

Urgensi Pidana Mati terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi dalam upaya pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, dianggap masih sangat penting penjatuhannya terhadap

20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak

mati bagi pelaku tindak pidana korupsi adalah dalam penjatuhan putusan hakim itu apakah harus dijatuhkan pidana mati atau dijatuhkan sanksi pidana lain, karena hakim dalam

Di dalam reformulasi kebijakan formulasi pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia di masa yang akan datang, haruslah mencantumkan kualitas dan

(1) Bagaimana pengaturan hukuman mati di Indonesia dalam perspektif Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Hak Asasi Manusia?; (2) Apa faktor–faktor yang melatarbelakangi

Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih aktif dan pasif terhadap terpidana korupsi adalah bahwa apabila terpidana seorang

Selain hukuman mati tidak pernah dikenakan kepada pelaku korupsi di Indonesia, tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan sanksi pidana mati dalam UU PTPK sangat terbatas

Hasil penelitian dan pembahasan mengemukakan : 1) Pengaturan pidana pemiskinan terhadap koruptor sebagai salah satu hukuman alternatif dalam tindak pidana korupsi