SALAT GERHANA KETIKA TIDAK TAMPAK MENURUT PANDANGAN TUAN GURU NAHDLATUL ULAMA DI LOMBOK
Oleh:
Lalu Iswandi Yanwari NIM: 180204014
PROGRAM STUDI ILMU FALAK FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM MATARAM
2022
ii
SALAT GERHANA KETIKA TIDAK TAMPAK MENURUT PANDANGAN TUAN GURU NAHDLATUL ULAMA DI LOMBOK
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Mataram Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Lalu Iswandi Yanwari NIM: 180204014
PROGRAM STUDI ILMU FALAK FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM MATARAM
2022
iv
v
vii
viii MOTTO
ِس َم َقْلِل َلََو ِضْم َّشلِل اْوُدُج ْسَج َلَ ُُۗسَمَقْلاَو ُضْم َّشلاَو ُزاَهَّنلاَو ُلْيَّلا ِهِحًٰٰا ْنِمَو ْي ِر َّلا ِ ه ِلِلّ اْوُدُج ْساَو ن ْو ُدُبْعَج ُهاًَّ ِا ْمُحْى ُك ْنِا َّنُه َق َلَخ
Artinya, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, Matahari dan Bulan. janganlah sembah Matahari maupun Bulan, tapi sembahlah Allah yang menciptakannya, jika ialah yang kamu hendak sembah”. (QS. Fushilat [41]: 37)
ix
PERSEMBAHAN
“Kupersembahkan skripsi ini untuk Ibuku Baiq Nurmaini dan Nur, untuk Bapakku Lalu Tohri, untuk almarhumah Nenekku Baiq Deran, almamaterku, semua guru dan dosenku.”
x
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad, juga kepada keluarga, sahabat, dan semua pengikutnya.
Amin.
Penulis menyadari bahwa proses menyelesaikan skripsi ini tidak akan sukses tanpa bantuan dan keterlibatan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis memberikan penghargaan setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu sebagai berikut.
1. Dr. Arino Bemi Sado, S.Ag, M.H. sebagai pembimbing I dan Muhamad Saleh Sofyan, M.H. sebagai pembimbing II yang memberikan bimbingan, motivasi, dan koreksi mendetail, terus- menerus, dan tanpan bosan di tengah kesibukannya dalam suasan keakraban menjadikan skripsi ini lebih matang dan cepat selesai;
2. Hj. Ani Wafiroh, M.Ag dan Siti Rabiatul Adawiyah, M.SI sebagai penguji yang telah memberikan saran konstruktif bagi penyempurnaan skripsi ini;
3. Para Tuan Guru, selaku narasumber yang telah memberikan informasi dalm penyusunan skripsi ini;
4. Dr. Arino Bemi Sado, S.Ag, M.H. sebagai ketua Program Studi;
5. Ma’shum Ahmad, M.H. sebagai wali dosen;
6. Dr. Asyiq Amrulloh, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syariah;
7. Prof. Dr. H. Masnun, M.Ag. selaku Rektor UIN Mataram yang telah memberi tempat bagi penulis untuk menuntut ilmu dan memberi bimbingan dan peringatan untuk tidak berlama-lama di kampus tanpa pernah selesai;
8. Kepada orang tuaku (Lalu Tohri, Baiq Nurmaini, dan Nur) beserta saudara-saudariku tercinta (Lalu Hendri Nuriskandar, Baiq Sabatari, Mas Marga Tunggal Trasna Kahyun, dan Baiq Fitri Handayani) yang telah memberikan do’a dan motivasi dengan tulus dan ikhlas sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi;
9. Teman-teman seperjuangan di kampus yang selalu memberikan motivasi dan spirit dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini;
xi
10. Kepada semua pihak yang terlibat dalam penulisan skripsi ini, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Semoga amal kebaikan dari berbagai pihak tersebut mendapatkan pahala yang berlipat-ganda dari Allah swt. dan semoga karya ilmiah bermanfaat bagi semesta. Amin.
Mataram, 3 Mei 2022 Penulis,
Lalu Iswandi Yanwari
xii DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ... i
HALAMAN JUDUL ... ii
HALAMAN LOGO ... iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv
NOTA DINAS PEMBIMBING ... v
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... vi
PENGESAHAN DEWAN PENGUJI ... vii
HALAMAN MOTTO ... viii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
ABSTRAK ... xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan dan Manfaat ... 5
D. Ruang Lingkup dan Setting Penelitian ... 6
E. Telaah Pustaka ... 6
F. Kerangka Teori ... 9
G. Metode Penelitian ... 12
H. Sistematika Pembahasan ... 14
BAB II PANDANGAN TUAN GURU NAHDLATUL ULAMA DI LOMBOK TERKAIT SALAT GERHANA KETIKA TIDAK TAMPAK ... 16
A. Pengertian Gerhana... 16
B. Macam- Macam Gerhana ... 18
C. Fiqih Salat Gerhana ... 24
D. Pandangan Tuan Guru Nahdlatul Ulama di Lombok Terkait Salat Gerhana Ketika Tidak Tampak ... 32
E. Pandangan Tuan Guru Nahdlatul Ulama di Lombok Terkait Makna Lafadz Ra‟aitum Dalam Hadis Tentang Gerhana ... 36
xiii
BAB III ANALISIS PANDANGAN TUAN GURU
NAHDLATUL ULAMA DI LOMBOK TENTANG SALAT GERHANA KETIKA TIDAK TAMPAK ...
... 38
A. Analisis Pandangan Tuan Guru Nahdlatul Ulama di Lombok Terkait Salat Gerhana Ketika Tidak Tampak38 B. Analisis Pandangan Tuan Guru Nahdlatul Ulama di Lombok Terkait Makna Lafadz Ra‟aitum Dalam Hadis Tentang Gerhana ... 57
BAB IV PENUTUP ... 61
A. Kesimpulan ... 61
B. Saran ... 62
DAFTAR PUSTAKA ... 63
LAMPIRAN ... 69 DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Ilustrasi Gerhana Bulan Penumbra Gambar 2.2 Ilustrasi Gerhana Bulan Sebagian Gambar 2.3 Ilustrasi Gerhana Bulan Total Gambar 2.4 Ilustrasi Gerhana Matahari Total Gambar 2.5 Ilustrasi Gerhana Matahari Sebagian Gambar 2.6 Ilustrasi Gerhana Matahari Cincin
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Data Ephemeris Hisab Rukyat tanggal 26 Mei 2021 Lampiran 2 Data Ephemeris Hisab Rukyat tanggal 04 Desember 2021 Lampiran 3 Foto pada saat Wawancara
Lampiran 4 Panduan Wawancara Lampiran 5 Kartu Konsul
xvi
SALAT GERHANA KETIKA TIDAK TAMPAK MENURUT PANDANGAN TUAN GURU NAHDLATUL ULAMA DI LOMBOK
Oleh:
Lalu Iswandi Yanwari NIM 180204014
ABSTRAK
Pada saat terjadinya gerhana Bulan dan Matahari, maka umat Islam disunnahkan untuk melakukan salat gerhana. Dalam hadis menyatakan bahwa “apabila engkau melihat (ra‟aitum) gerhana maka salatlah”.
Makna ra‟aitum dalam hadis tersebut apakah harus secara langsung atau cukup hanya mengetahui sedang terjadi gerhana. Lalu bagaimana ketika menurut perhitungan bahwa sedang terjadi gerhana, namun tidak terlihat disebabkan oleh faktor cuaca dan lainnya. Maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pandangan Tuan Guru Nahdlatul Ulama di Lombok terkait salat gerhana ketika tidak tampak dan makna lafadz ra‟aitum dalam hadis tentang gerhana.
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, dengan menjadikan pandangan para Tuan Guru Nahdlatul Ulama sebagai sumber data primer.
Sumber data sekunder adalah literatur-literatur dan manuscript yang sesuai dengan tema penelitian. Adapun analisis data yang digunakan adalah, reduksi data, display data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi.
Hasil dari penelitian ini adalah, menurut para Tuan Guru Nahdlatul Ulama di Lombok makna lafadz ra‟aitum dalam hadis tentang gerhana adalah melihat secara langsung dengan mata kepala atau dibantu dengan alat seperti teleskop dan lainnya. Apabila gerhana tidak terlihat secara langsung maka tidak disunnahkan untuk melaksanakan salat gerhana.
Adapun penyebab tidak terlihatnya gerhana ada tiga faktor. Pertama, karena memang suatu wilayah tidak dilewati oleh gerhana dan salat gerhana hanya dibebankan kepada orang yang wilayahnya dilalui oleh gerhana. Kedua, gerhana yang terjadi adalah gerhana Bulan penumbra, yang dalam astronomi gerhana Bulan penumbra terhitung sebagai gerhana, namun tidak dalam fiqih. Ketiga adalah dikarenakan cuaca yang buruk.
Apabila melihat gerhana sebelum tertutupi oleh cuaca buruk, maka boleh melaksanakn salat gerhana. Namun apabila belum pernah melihat gerhana tersebut dan terjadi cuaca yang buruk maka tidak disunnahkan melaksanakan salat gerhana.
Kata Kunci: Salat Gerhana, Tidak Tampak, Tuan Guru Nahdlatul Ulama
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gerhana adalah salah satu fenomena yang terjadi di alam, baik itu pada Matahari maupun Bulan. Dalam bahasa Arab gerhana disebutkan dengan istilah “kusuf“ untuk Matahari, sedangkan untuk gerhana Bulan disebut dengan istilah “khusuf”.1 Secara astronomi, gerhana bisa terjadi akibat terhalangnya cahaya sebuah benda yang bersumber dari benda lainnya.2 Dalam konteks gerhana ini, baik gerhana Bulan maupun Matahari, gerhana Bulan terjadi karena terhalang oleh Matahari sehingga cahanya tidak tampak, begitu sebaliknya. Gerhana Matahari terjadi karena terhalangi cahanya oleh Bulan.
Gerhana dapat terjadi setiap tahun, baik gerhana Bulan maupun Matahari. Gerhana Matahari dapat terjadi hingga 2-5 kali dalam kurun waktu satu tahun.3 Berbeda dengan gerhana Bulan yang dalam satu tahun dapat terjadi hingga 2-3 kali.4 Dalam sejarah Islam, seperti yang diketahui bahwa pada zaman Rasulullah sendiri pernah terjadi gerhana Matahari, bertepatan dengan kematian putra beliau yakni Ibrahim. Pada saat itu, banyak sekali orang-orang yang mengaitkan kejadian gerhana tersebut dengan kematian putra Rasulullah. Rasulullah telah menjelaskan bahwa, gerhana terjadi bukan disebabkan oleh kematian ataupun kelahiran seseorang.
Terjadinya gerhana sebagai bukti dari tanda kebesaran Allah swt, sebagaimana firman Allah swt sebagai berikut:
1Muhammad Hadi Bashori, Pengantar Ilmu Falak (Jakarta: Pustaka Al- Kautsar, 2015), hlm. 225. Lihat juga Ahmad Izzudin, Ilmu Falak Praktis, hlm.
105. Lihat juga Arief Wahyudi dkk, Syarah Hadis Hukum Bukhari Muslim, (Surabaya: Pustaka As-Sunnah Jakarta, 2010), hlm. 380.
2Ibid., hlm. 226.
3Ibid., hlm. 229. Lihat juga Salamun Ibrahim, Ilmu Falak: Cara Mengetahui Awal Bulan, Awal Tahun, Musim, Kiblat dan Perbedaan Waktu, hlm.
85.
4Ibid., hlm. 234. Lihat juga Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyat, hlm. 43.
2
َ لََو ِض ْم َّشلِل اْوُدُج ْسَج َلَ ُُۗسَمَقْلاَو ُضْم َّشلاَو ُزاَهَّنلاَو ُلْيَّلا ِهِحًٰٰا ْنِمَو ِس َم َقْلِل ْو ُدُبْعَج ُهاًَِّا ْمُحْى ُك ْنِا َّنُه َق َلَخ ْيِرَّلا ِ ه ِلِلّ اْوُدُج ْساَو ن
Artinya: “Dan sebagian dari tanda kebesaran-Nya ialah malam, siang, Matahari dan Bulan. Janganlah bersujud kepada Matahari dan jangan (pula) kepada Bulan. Tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.”5
Ayat di atas menerangkan bahwa, pergantian siang dan malam merupakan tanda-tanda dari kebesaran Allah swt. Bersujud kepada Bulan dan Matahari dilarang oleh Allah swt. Kita diperintahkan untuk bersujud hanya kepada-Nya.
Salah satu tanda dari kebesaran Allah swt. yaitu ketika terjadi gerhana Bulan maupun gerhana Matahari. Dalam Islam, saat terjadi gerhana Matahari ataupun Bulan maka diperintahkan untuk melaksanakan salat gerhana. Sebagaimana hal ini telah diajarkan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari sebagai berikut:
ِدهَع ى َلَع ُضمشلا ِتَف َصَخ : ْتَلاَق اَهْنَع الله ي ضَز َةشِئاَع ْنَع َلا طأَف َما َقَف ساَّىلاب صلى الله عليه وسلم الله ُلى ُشَز ى َّل َصَف َما َقَف .صلى الله عليه وسلم الله لى ُشَز َ
ا َلا َ
طأَف َع َكَز َّمُث ،ماَي ِقلا َنو ُد ىه َو َماَيقلا َلا طأَف َماَق َّمُث ، َعىُكُّسل َ
مُث ، ِلَّوالأ ِعى ُكُّسلا َنوُد َىُهو َعىكُّسلا َلاَطأَف َعَكَز مث ، ِلَّوالأ ماَيِقلا لَعَف ا َم لْث ِم يَس ْخالأ ِةَعكسلا يف َلَع َف مث ،َدىُج ُّسلا َلاَطأَف َدَج َس ها ْدَق َو َفَسصها َّمُث ،ىلوالأ ِةَع ْكسلا يف َبط َخ َف ، ُض ْم َّشلا ِتل َج
َلاق مث ِهيلَع ىَنثأو الله َدِم َح َف َساىلا ِناحًآ س َم َقلا و ضم َّشلا نئ :
كلذ ْمحًأَز ا َذاَف . ِهِثاَي َح ِل َلََو .دحأ ِتىَ ِلِ ِناَف ِصَخْىث َلَ الله ِتاًَآ ْنِم :لاق مثاىق َّد َصَث َو اىُّل َص َو اوربكَو الله اىُعداَف ”
د َّمح ُم َةمأ اًَ
” :
. ُهُح َمأ يوزَث ْوأ ُه ُدْب َع يَوْزًَ نأ نم ُهَها َحْب ُش الله َن ِم ُرَي ْغأ دَحأ ْنِم اَم
5QS. Fushilat [41]: 37. Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemah (Bandung: Jabal Raudatul Jannah, 2010), hlm. 480.
3
ْمُح ْكح َضل واريِثك محي َكَبَل ملعأ اَم َنىُملْعَج ىل اللهَو ،دمَحُم َةمأ اًَ
اليل َق
6
Artinya: Diriwayatkan dari Aisyah Radiyallahu „anha, dia telah berkata: “Pada zaman Rasulullah SAW pernah terjadi gerhana Matahari, lalu beliau berdiri melakukan salat dan berdiri dalam waktu yang panjang. Kemudian beliau ruku‟
dan juga memanjangkan ruku‟. Sesudah itu beliau mengangkat kepala lalu berdiri pula dalam waktu yang lama, tetapi tidak lama sebagimana berdiri yang pertama. Kemudian beliau ruku‟ pula sekali lagi dalam waktu yang panjang, tetapi tidak sepanjang ruku‟ yang pertama. Setelah itu beliau sujud.
Kemudian beliau bangkit dan berdiri pula dalam waktu yang lama, tetapi tidak selama yang pertama tadi. Kemudian beliau ruku‟ cukup lama, tetapi lebih pendek dari ruku‟ yang pertama. Selanjutnya beliau mengankat kepala lalu berdiri lama, tetapi lebih pendek waktunya dari berdiri yang pertama.
Kemudian ruku‟ pula cukup lama, tetapi tidak selama yang pertama tadi. Setelah itu beliau sujud dan setelah selesai salat beliaupun pergi, sementara Matahari mulai kelihatan. Lalu beliau mulai berkhutbah di hadapan kaum muslimin. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya. Kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya Matahari dan Bulan itu termasuk tanda-tanda kebesaran Allah. Kedua-duanya tidak tidak menjadi gerhana disebabkan karena hidup atau matinya seseorang. Karena itu, seandainya kamu melihat keduanya gerhana, maka bertakbir dan berdoalah kepada Allah, dirikanlah salat, dan bersedekahlah, wahai umat Muhammad.
Tidak ada seorangpun yang paling prihatin selain daripada Allah apabila hamba-Nya, baik lelaki maupun perempuan melakukan perzinaan. Wahai umat Muhammad, demi Allah.
Seandainya kamu tahu apa yang telah aku ketahui, tentu kamu
6Al-Imam Abi Abdillah Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari (Riyadh: Bait Al-Ikfar Ad-Dauliyah Lil An-Nasyri, 1998), hlm. 207.
4
lebih banyak menangis dan sedikit tertawa.” (Hadis Riwayat Imam Bukhari)7
Dalam hadis di atas, Rasulullah SAW memerintahkan kepada kaum muslimin untuk melaksanakan salat ketika melihat gerhana serta diberikan tata cara pelaksanaanya. Pelaksanaan salat gerhana adalah ketika dimulainya gerhana sampai dengan selesainya gerhana.8 Namun dalam pelaksanaanya, ketika kita tidak melihat secara langsung terjadinya gerhana Bulan maupun Matahari karena terhalang oleh awan ataupun benda lainnya, maka lafadz
“ra‟aitum” (melihat) dalam hadis Rasulullah tersebut di atas terkait dengan pelaksanaan salat gerhana, apakah dapat dimaknai melihat gerhana dengan mata secara langsung atau hanya cukup dengan mengetahui bahwa gerhana sedang berlangsung. Ketika gerhana tersebut tidak tampak, apakah hukum pelaksanaan salat gerhana.
Menurut Muhammadiyah, lafadz “ra‟aitum” (melihat) dalam hadis yang berkaitan dengan salat gerhana dimaknai bahwa, ada perintah tersirat yang terkandung di dalamnya. Makna tersirat tersebut adalah, tidak lagi dengan menggunakan mata telanjang melainkan mengetahui terjadinya gerhana dengan menggunakan ilmu pengetahuan, yang dalam hal ini adalah dengan menggunakan hisab kontemporer.9
Pandangan Muhammadiyah terkait makna “ra‟aitum”
(melihat) dalam hadis tentang salat gerhana di atas tentunya akan dijadikan sebagai rujukan oleh masyarakat. Terkhusus yang berlatar belakang organisasi yang Muhammadiyah. Selain itu juga, pandangan ulama lainnya misalkan seperti Nahdlatul Ulama, tentu akan dijadikan sebagai rujukan juga oleh masyarakat.
Terkait dengan makna “ra‟aitum” (melihat), Tuan Guru Nahdlatul Ulama yang ada di Lombok merupakan rujukan bagi masyarakat dalam berfikih, termasuk juga dalam memaknai lafadz
“ra‟aitum” (melihat) dalam hadis tentang salat gerhana. Di Lombok
7Ahmad Mudjab Mahalli, Hadis-Hadis Muttafaq „Alaih, Bagian Ibadat (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 432.
8Muhammad Hadi Bashori, Pengantar…, hlm. 242.
9Maulidina Nur Rokhmah, “Shalat Gerhana Ketika Tidak Tampak Dalam Perspektif Muhammadiyah”, (Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2019), hlm. xv.
5
sendiri, terdapat banyak para Tuan Guru yang berlatar belakang organisasi Nahdlatul Ulama. Para Tuan Guru Nahdlatul Ulama hampir tersebar di seluruh wilayah yang ada di Lombok, terutama di Kabupaten Lombok Tengah. Sehingga pandangan mereka sudah barang tentu dibutuhkan.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih dalam terkait dengan pelaksanaan salat gerhana ketika tidak tampak dengan judul penelitian Salat Gerhana Ketika Tidak Tampak Menurut Pandangan Tuan Guru Nahdlatul Ulama di Lombok.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan Tuan Guru Nahdlatul Ulama di Lombok mengenai salat gerhana ketika tidak tampak?
2. Bagaimana para Tuan Guru Nahdlatul Ulama di Lombok memaknai lafadz “ra‟aitum” (melihat) dalam hadis tentang gerhana?
C. Tujuan dan Manfaat 1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pandangan Tuan Guru Nahdlatul Ulama di Lombok mengenai salat gerhana ketika tidak tampak dan makna lafadz “ra‟aitum” (melihat) dalam hadis tentang gerhana.
2. Manfaat Penelitian a. Secara Teroritis
Peneliti berharap, dengan adanya hasil penelitian ini, maka akan dapat memberikan sumbangsih serta wawasan baru bagi khalayak umum dalam kajian Ilmu Falak terkait dengan salat gerhana ketika tidak tampak.
b. Secara Praktis
Diharapkan dengan adanya hasil penelitian ini, bisa menambah ilmu, informasi, maupun referensi bagi para pembaca tentunya mengenai salat gerhana ketika tidak tampak.
6
D. Ruang Lingkup dan Setting Penelitian 1. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah, terkait dengan pelaksanaan salat gerhana ketika tidak tampak dalam pandangan Tuan Guru Nahdlatul Ulama di Lombok.
2. Setting Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Peneliti memilih tempat ini dengan alasan bahwa banyak para Tuan Guru yang memiliki latar belakang Nahdlatul Ulama tersebar di seluruh Lombok, terutama di Lombok Tengah.
E. Telaah Pustaka
Selain penelitian yang dilakukan oleh peneliti ini, ada beberapa hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh orang-orang sebelumnya, yang berkaitan dengan salat gerhana ketika tidak tampak. Sebagai pembeda antara penelitian yang peneliti lakukan, berikut beberapa hasil penelitian yang terkait dengan salat gerhana ketika tidak tampak.
1. Skripsi yang ditulis oleh Maulidina Nur Rokhmah, UIN Walisongo Semarang tahun 2019 yang berjudul Shalat Gerhana Ketika Tidak Tampak Dalam Perspektif Muhammadiyah. Dalam penelitian Maulidina Nur Rohkmah dihasilkan bahwa, hukum melaksanakan salat gerhana ketika tidak tampak menurut Muhammadiyah adalah tetap melaksanakannya. Dengan alasan bahwa salat gerhana dilaksanakan ketika waktu gerhana sedang berlangsung. Dan juga memaknai lafadz “ra‟aitum” (melihat) dengan makna mengetahui terjadinya gerhana dengan menggunakan hisab kontemporer.10
10Maulidina Nur Rokhmah, Shalat…, hlm. xv. Lihat juga, Pedoman Hisab Muhammadiyah, Yogyakarta: Majlis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muahmmadiyah, 2019, hlm. 95.
7
Persamaan antara penelitian yang dilakukan oleh Maulidina Nur Rohkmah ini dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah, sama-sama meneliti tentang salat gerhana ketika tidak tampak. Sedangkan perbedaan penelitian Maulidina Nur Rokhmah dengan penelitian yang peneliti lakukan yaitu, bahwa penelitian Mulidina Nur Rokhmah terfokus pada salat gerhana ketika tidak tampak menurut pandangan Muhammadiyah. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti terfokus pada salat gerhana ketika tidak tampak menurut pandangan Tuan Guru Nahdlatul Ulama di Lombok.
2. Skripsi yang ditulis oleh Abu Zar Bin Adin, UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi tahun 2018 dengan judul Shalat Gerhana Matahari dan Bulan (Studi Komperatif Menurut Hanafiyah dan Syafi‟iyyah). Dalam skripsi ini, fokus pembahasannya adalah mengenai bagaimana tatacara pelaksanaan salat gerhana menurut Hanafiyah dan Syafi‟iyyah, serta bagaimana hukum pelaksanaannya. Hasil dari penelitian ini adalah, ulama Hanafiyah dan Syafi‟iyyah melakukan ijtihad dengan mengqiyaskan salat gerhana sama seperti salat idul fitri, idul adha dan salat sunah istisqa, dengan menggunakan dalil dari Al-Quran dan Hadis.11 Menurut pandangan Hanafiyah bahwa pelaksanaan salat gerhana itu wajib, berdasarkan dalil hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. Sedangkan menurut pandangan Syafi‟iyyah, dengan menggunakan dalil hadis riwayat Ibnu Abbas ra. bahwa hukum salat gerhana adalah sunah muakkad.
Persamaan antara penelitian Abu Zar Bin Adin dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah, sama-sama membahas tentang hukum pelaksanaan salat gerhana. Dan perbedaanya adalah pada fokus kajiannya. Penelitian Abu Zar Bin Adin terfokus pada salat gerhana Matahari dan Bulan, studi komperatif menurut Hanafiyah dan Syafi‟iyyah.
11Abu Zar Bin Adi, “Shalat Gerhana Matahari dan Bulan (Studi Komperatif Menurut Hanafiyah dan Syafi’iyyah)”, (Skripsi, Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, 2018).
8
Sedangkan penelitian yang peneliti lakukan terfokus pada salat gerhana ketika tidak tampak menurut pandangan Tuan Guru Nahdlatul Ulama di Lombok.
3. Skripsi yang ditulis oleh M Bagus Mansur, UIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2019, yang berjudul Perspektif Empat Mazhab Tentang Shalat Kusuf Saat Terjadi Gerhana Matahari Tahun 2031. Dalam penelitian ini memiliki 2 pokok pembahasan yakni mengenai bagaimana proses terjadinya gerhana Matahari pada tahun 2031, ditinjau dari perspektif Ilmu Falak. Dan juga pendapat empat mazhab mengenai waktu pelaksanaan salat kusuf ketika terjadi di waktu terlarang. Dengan hasil penelitian, bahwa pada tanggal 21 Mei tahun 2031 akan terjadi gerhana Matahari, dan juga pendapat dari keempat ulama mazhab mengenai hukum salat kusuf ketika bertepatan dengan waktu terlarang.12 Menurut Imam Hanafi dan Imam Malik, hukum pelaksanaa salat gerhana di waktu terlarang adalah makruh tahrim, dengan alasan larangan melaksanakan salat pada waktu terlarang. Sedangkan menurut Imam Syafi’i dan Imam Hambali, bahwa salat gerhana boleh dilakukan sekalipun pada waktu terlarang, dengan alasan bahwa salat gerhana merupakan salat yang dilakukan karena adanya sebab, yakni terjadinya gerhana.
Persamaan antara hasil penelitian Bagus ini dengan peneliti adalah, sama-sama membahas tentang salat gerhana.
Perbedaannya adalah, penelitian Bagus lebih ke arah proses terjadinya gerhana dan hukum salat gerhana pada waktu terlarang menurut empat mazhab, sedangkan peneliti terfokus pada pendapat Tuan Guru Nahdlatul Ulama tentang salat gerhana ketika tidak tampak.
4. Skripsi oleh Moh. Arif Mustofa, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang tahun 2017 dengan judul Relevansi Gerhana Bulan Penumbra Terhadap Pelaksanaan Shalat Khusuful Qamar Perspektif Fiqih Kontemporer. Hasil dari penelitian ini adalah,
12M Bagus Mansur, “Perspektif Empat Mazhab Tentang Shalat Kusuf Saat Terjadi Gerhana Matahari Tahun 2031”, (Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya: 2019).
9
diketahui bahwa metode perhitungan yang digunakan dalam gerhana Bulan penumbra sama dengan metode gerhana Bulan pada biasanya, akan tetapi berbeda pada perumusan dan waktu terjadinya. Dari segi astronomi dan Ilmu Falak menunjukkan bahwa gerhana Bulan penumbra termasuk dalam fenomena gerhana Bulan. Akan tetapi relevansinya dengan pelaksanaan salat gerhana Bulan adalah menunjukkan 2 kesimpulan.
Pertama bahwa makna “melihat” dalam beberapa hadis yakni harus terlihat jelas. Kedua bahwa makna “khusuf” adalah terpotong atau hilang sebagiannya. Apabila 2 hal tersebut tidak terpenuhi maka tidak disunnahkan melaksanakan salat.13
Persamaan penelitian Arif ini dengan penelitian yang dilakukan peneliti adalah, sama-sama membahas tentang shalat gerhana. Perbedaannya adalah, penelitian Arif terfokus pada metode gerhana Bulan penumbra, sedangkan peneliti terfokus pada pandangan Tuan Guru terkait salat gerhana ketika tidak tampak.
Dari hasil penelusuran di atas terkait dengan hasil penelitian terdahulu. Menunjukkan bahwa tidak ada yang secara mendetail dan secara konkrit membahas mengenai salat gerhana ketika tidak tampak menurut pandangan Tuan Guru Nahdlatul Ulama di Lombok. Penelitian yang peneliti lakukan memiliki perbedaan dengan hasil penelitian yang sebelumnya sudah ada.
F. Kerangka Teori
1. Waktu Terjadinya Gerhana
Gerhana terbagi menjadi 2, yakni gerhana Bulan dan gerhana Matahari. Gerhana Bulan terjadi pada saat cahaya Bulan terhalang oleh Bumi yang berada dalam satu garis lurus di antara Bulan dan Matahari, sehingga Bulan tidak dapat
13Moh. Arif Mustofa, “Relevansi Gerhana Bulan Penumbra Terhadap Pelaksanaan Shalat Khusuful Qamar Perspektif Fiqih Kontemporer”, (Skripsi, Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2017).
10
memantulkan cahaya Matahari.14 Sama halnya dengan gerhana Bulan, gerhana Matahari juga terjadi pada saat Bulan menutupi sebagian atau seluruh cahaya Matahari, dan posisinya sejajar dengan Bumi.15
Secara umum, ada tiga tahapan dalam proses terjadinya gerhana, baik gerhana Bulan maupun gerhana Matahari, yakni awal gerhana, puncak gerhana, dan berakhirnya gerhana.
Salat gerhana dilaksanakan pada saat mulai terjadinya gerhana sampai Bulan dan Matahari terang kembali atau sampai berakhirnya gerhana.16 Menurut pandangan Imam Malik bahwa salat gerhana Matahari hanya boleh dilaksanakan pada waktu nafilah, begitu juga dengan riwayat Ibnu Hasim bahwa salat gerhana sunah dilakukan pada waktu salat dhuha sampai Matahari condong.17 Sedangkan menurut Imam Syafi’i salat gerhana boleh dilaksanakaan kapan saja ketika gerhana sudah dimulai.18 Waktu mulai dan berakhirnya gerhana di setiap daerah juga berbeda-beda. Hal ini dikarenakan peredaran benda langit itu sendiri. Teori ini peneliti gunakan untuk mengnalisis waktu pelaksanaan salat gerhana.
2. Ketampakan Gerhana
Gerhana Bulan dan gerhana Matahari mempunyai macam- macam. Gerhana Bulan ada dua macam yaitu gerhana Bulan umbra (total dan sebagian dan Gerhana Bulan penumbra (semu).19 Sedangkan gerhana Matahari terbagi menjadi empat macam, yakni gerhana Matahari total, gerhana Matahari
14T. Djamaluddin, Semesta Pun Berthawaf (Astronomi Untuk Memahami Al-Quran), (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2018), hlm. 78. Lihat juga Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementrian Agama RI, Almanak Hisab Rukyat, hlm. 28.
15Ibid., hlm. 80.
16Waladatun Nahar, “Studi Komparatif Pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i Tentang Waktu dimulainya Shalat Gerhana”, (Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2018), hlm. vii.
17Ibid., hlm. viii.
18Ibid.
19Kementrian Agama RI, Ilmu Falak Praktik, (Jakarta: Kementrian Agama RI, 2013), hlm. 112.
11
sebagian, gerhana Matahari cincin, dan gerhana Matahari hibrida.20
Gerhana yang terjadi namun tidak terlihat bisa saja disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: pertama bahwa gerhana yang memang sedang terjadi tidak terlihat dikarenakan terhalang oleh awan atau cuaca yang tidak mendukung. Kedua gerhana sedang terjadi namun tidak terlihat dikarenakan wilayah yang kita tempati memang tidak dilewati oleh gerhana dikarena perbedaan wilayah. Dan yang ketiga adalah karena tipe dari gerhana itu sendiri.
Salat gerhana yang disunnahkan adalah ketika terjadi gerhana Matahari total, gerhana Matahari sebagian, gerhana Matahari cincin, gerhana Bulan umbra (total dan sebagian), sedangkan gerhana Bulan penumbra tidak disunahkan untuk melaksanakan salat gerhana.21 Saat terjadinya gerhana Bulan penumbra tidak disunahkan untuk melaksanakn salat gerhana dengan alasan bahwa gerhana penumbra merupakan gerhana yang bisa dihisab ataupun dipredikisi, namun tidak bisa diamati.22 Sebab dilaksanakannya salat khusuf adalah jika benda langit mengalami perubahan saat terjadinya gerhana, sedangkan perubahan cahaya pada gerhana Bulan penumbra tidak bisa dikatakan sebagai sebab dilaksanakannya salat gerhana.23. Teori ini peneliti gunakan untuk menganalisis hukum salat gerhana ketika tidak tampak.
20T. Djamaluddin, Semesta..., hlm. 80.
21Maulidina Nur Rohkmah, Shalat…, hlm. xv.
22Isnatun Muna, “Analisis Terhadap Pendapat Ulama Ponorogo Tentang Gerhana Bulan (Studi Komparatif Ulama NU dan Muhammadiyah Tentang Gerhana Bulan Penumbra)”, (Skripsi, Jurusan Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri Ponorogo, 2020), hlm. 2.
23Ibid.
12 G. Metode Penelitian
Rangkaian metode penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang peneliti gunakan adalah menggunakan pendekatan kualitatif. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif ini, karena peneliti ingin mengungkap pandangan Tuan Guru Nahdlatul Ulama di Lombok terhadap salat gerhana ketika tidak tampak, sehingga mendapatkan ketetapan hukum yang jelas.
2. Kehadiran Peneliti
Peneliti merupakan instrumen utama dalam penelitian, dan juga sebagai pengumpul data. Kehadiran peneliti di lokasi penelitian sangat penting guna mendapatkan data-data yang hendak diteliti.24 Sebelum melakukan penelitian di lokasi, maka peneliti menjelaskan maksud dan tujuan peneliti, sehingga subjek atau informan mengetahui kehadiran dan tujuan peneliti yakni sebagai peneliti.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian yang dilaksanakan bertempat di Lombok. Alasan memilih lokasi ini sebagai tempat penelitian, karena di Lombok terdapat banyak ulama atau Tuan Guru Nahdlatul Ulama yang tersebar di setiap Kabupaten, terutama di Kabupaten Lombok Tengah, sehingga dapat menghasilkan status hukum salat gerhana ketika tidak tampak.
4. Sumber Data
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer merupakan sumber data utama.25 Sumber data primer peneliti peroleh dari wawancara langsung dengan para responden yaitu: Drs. TGH.
Samsul Rijal, TGH. Daud Muhsin, Lc., TGH. Masriadi Faisal, TGH. Lalu Agus Satriawan.
24Sandu Siyoto, dan M. Ali Sodik, Dasar Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Literasi Media Publishing, 2015), hlm. 28.
25Saifudin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2004), hlm. 36.
13 b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder merupakan sumber data pendukung.26 Sumber data sekunder peneliti peroleh dari literatur-literatur, buku-buku, artikel, jurnal ilmiah dan sumber lainnya yang sesuai dengan tema penelitian.
5. Teknik Pengumpulan Data a. Observasi
Observasi yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan melakukan pengamatan terhadap keadaan atau peristiwa yang berkaitan dengan tema penelitian di Lombok.
b. Wawancara
Wawancara yang peneliti gunakan dalam menggali data penelitian ini adalah wawancara yang tidak terstruktur.
Wawancara tidak terstruktur peneliti gunakan supaya menciptakan suasana yang harmonis antara peneliti dengan para informan, sehingga bisa mendapatkan data yang valid dan mendalam.
c. Dokumentasi
Dokumentasi yang dilakukan oleh peneliti adalah, dengan mengumpulkan dokumen-dokumen atau catatan- catatan yang relevan dengan judul penelitian.
6. Teknik Analisis Data a. Reduksi Data
Reduksi data yang peneliti lakukan dalam menganalisis data penelitian ini adalah, dengan menyederhanakan dan membuang data yang tidak diperlukan, supaya data yang didapatkan oleh peneliti relevan, sehingga data tersebut dapat menghasilkan informasi yang bermakna dan mempermudah dalam menarik kesimpulan.
b. Display Data / Penyajian Data
Display data yang peneliti lakukan yaitu, dengan cara menyusun data yang didapatkan secara sistematis sesuai
26Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006), hlm. 124.
14
dengan fokusnya masing-masing, sehingga data-data tersebut mudah dipahami.
c. Verifikasi / Kesimpulan
Verifikasi data yang peneliti lakukan yaitu dengan cara melihat hasil reduksi data yang mengacu pada tujuan analisis yang hendak dicapai, dengan dukungan bukti- bukti valid, sehingga dapat ditarik kesimpulan yang kredibel dan obyektif sebagai jawaban dari permasalahan yang ada.
7. Pengecekan Keabsahan Data a. Triangulasi
Triangulasi yang peneliti lakukan yaitu dengan cara menyesuaikan antara data-data yang telah diperoleh melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi, sehingga data tersebut sesuai dan valid.
b. Perpanjangan Waktu
Perpanjangan waktu merupakan tahapan apabila data yang peneliti peroleh masih kurang ataupun tidak sesuai dengan hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi, maka peneliti terjun kembali ke lapangan untuk menyesuaikan data penelitian.
H. Sistematika Pembahasan
Dalam penelitian ini, ada beberapa bab yang dibahas oleh peneliti, yakni:
BAB I: PENDAHULUAN
Pada bab ini memuat tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, ruang lingkup dan setting penelitian, telaah pustaka, kerangka teori, metodologi penelitian serta sistematika pembahasan.
BAB II: PANDANGAN TUAN GURU
NAHDLATUL ULAMA DI LOMBOK TERKAIT SALAT GERHANA KETIKA TIDAK TAMPAK
15
Dalam bab ini memuat tentang: pengertian gerhana, macam-macam gerhana, fikih salat gerhana, pandangan Tuan Guru Nahdlatul Ulama di Lombok terkait salat gerhana ketika tidak tampak dan pandangan Tuan Guru Nahdlatul Ulama di Lombok terkait makna lafadz ra‟aitum dalam hadis tentang gerhana.
BAB III: ANALISIS PANDANGAN TUAN GURU NAHDLATUL ULAMA DI LOMBOK TENTANG SALAT GERHANA KETIKA TIDAK TAMPAK
Pada bab ini memuat tentang analisis pandangan Tuan Guru Nahdlatul Ulama di Lombok terkait salat gerhana ketika tidak tampak dan analisis pandangan Tuan Guru Nahdlatul Ulama di Lombok terkait makna lafadz ra‟aitum dalam hadis tentang gerhana.
BAB IV: PENUTUP
Bab ini memuat tentang kesimpulan dan saran- saran.
16 BAB II
PANDANGAN TUAN GURU NAHDLATUL ULAMA DI LOMBOK TERKAIT SALAT GERHANA KETIKA TIDAK
TAMPAK
A. Pengertian Gerhana
Gerhana adalah salah satu fenomena yang terjadi di alam.
Dalam bahasa Inggris gerhana diistilahkan dengan kata “eclipse”
sedangkan dalam bahasa Yunani diistilahkan dengan kata
“ekleipsis” yang mana kedua istilah tersebut berarti gerhana.
Gerhana dalam bahasa keseharian sering dipergunakan untuk mendeskripsikan seduah keadaan yang berkaitan dengan kehilangan atau kemerosotan. Kehilangan dan kemerosotan tersebut, baik sebagian ataupun keseluruhan dalam hal kekuasaan ataupun kesuksesan.27
Secara astronomi gerhana adalah salah satu fenomena yang terjadi di alam baik itu pada Bulan maupun Matahari. Atau gerhana adalah sebuah fenomena yang terjadi pada benda angkasa, yakni bergeraknya sebuah benda angkasa ke dalam bayangan benda angkasa lainnya.28 Pada saat terjadinya gerhana Bulan maka cahaya yang ada pada Matahari terhalangi oleh Bumi sehingga Bulan tidak dapat memantulkan cahayanya. Begitu sebaliknya, pada saat terjadi gerhana Matahari, cahaya Matahari terhalangi oleh Bulan itu sendiri.
Dalam bahasa Arab, gerhana diistilahkan dengan kata “kusuf”
untuk gerhana Matahari dan “khusuf” untuk gerhana Bulan.
Perbedaan penyebutan istilah ini juga memiliki perbedaan makna.29
27Kementerian Agama RI, Ilmu Falak…, hlm. 109.
28Dulsukmi Kasim, “Fikih Gerhana: Menyorot Fenomena Gerhana Perspektif Hukum Islam”, Al-Mizan, Vol. 14, Nomor 1, 2018, hlm. 41. Lihat juga Ehsan Hidayat, “Analisis Pola Gerhana Matahari Ditinjau Dari Kriteria Nilai Argumen Lintang Bulan (F), Gamma (y), dan Magnitudo (u), Skripsi, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, Semarang, 2017, hlm. 1.
29Muhammad Hadi Bashori, Pengantar …, hlm. 225. Lihat juga Ehsan Hidayat, “Penentuan Jumlah Gerhana Matahari Dengan Argumen Lintang Bulan dan Teori Aritmatika, Miyah, Vol. 15, Nomor 1, Januari 2019, hlm. 12. Agus Setyo Muntohar, “Gerhana Matahari Dalam Islam dan Sains”, Khutbah Salat Gerhana Cincin 26 Desember 2019, hlm. 1. Muhammad Jayusman, “Fenomena
17
Makna kusuf adalah menutupi yang berarti bahwa Bulan menutupi Matahari sehingga terjadilah gerhana Matahari. Sedangkan khusuf memiliki pengertian memasuki yakni pada saat terjadinya gerhana, Bulan memasuki bayangan Matahari sehingga terjadilah gerhana Bulan.30 Secara umum terdapat beberapa fase dalam gerhana. Pada setiap fase juga memiliki beberapa kontak atau tahapan ketika terjadinya gerhana. Pada gerhana Matahari, total dan cincin akan mengalami empat kali kontak yakni31:
1. Kontak pertama, pada saat dimulainya gerhana yakni apabila piringan Bulan menyentuh piringan Matahari, maka pada saat inilah mulai disunnahkan untuk melaksanakan salat gerhana.
2. Kontak kedua, apabila piringan Bulan sudah menutupi keseluruhan piringan Matahari. Maka pada sat inilah disebut dengan waktu mulai total.
3. Kontak ketiga, pada saat piringan Matahari sudah tidak ditutupi lagi keseluruhannya oleh piringan Bulan, atau piringan Bulan sudah menyentuh untuk keluar. Pada waktu ini disebut dengan akhir total.
4. Kontak keempat, adalah pada saat gerhana telah berakhir, di mana seluruh piringan Bulan sudah tidak lagi menutupi piringan Matahari. Salat gerhana pada saat ini sudah berakhir waktu pelaksanaannya ditandai dengan berakhirnya gerhana itu sendiri.
Berbeda dengan gerhana Matahari total. Gerhana Matahari sebagian hanya terjadi dua kontak saja yaitu:
1. Kontak pertama adalah pada sat piringan Bulan menyentuh piringan Matahari. Saat ini adalah awal terjadinya gerhana dan mulainya disunnahkan untuk melaksanakan salat gerhana.
Gerhana dalam Wacana Hukum Islam dan Astronomi”, Al-„Adalah, Vol. 10, Nomor 2, Juli 2011, hlm. 238. Ahmad Ainul Yaqin dan Fahmi Fatwa Rosyadi Satria Hamdani, “Hadis Gerhana dan Wafatnya Ibrahim Ibn Muhammad”, Tahkim, Vol. 1, Nomor 1, Maret 2018, hlm. 55. Muhammad Farid Azmi dkk,
“Prediksi Pergerakan Bayangan Bumi saat Terjadi Gerhana Bulan Menggunakan Ephemeris Hisab Rukyat”, Al-Marshad, Desember 2018, hlm. 188. Mursyid Fikri,
“Telaah Kritis Gerhana Flat Earth Dalam Perspektif Terori Kebenaran Pragmatis”, Al-Afaq, Desember 2019, hlm. 159.
30Ibid. hlm. 226.
31Syaiful Mujab, Gerhana…, hlm. 92.
18
2. Kontak kedua terjadi pada saat piringan Bulan sudah menjauh dan keluar dari piringan Matahari, maka pada saat ini adalah akhir gerhana dan sudah tidak disunnahkan untuk melaksanakan salat gerhana.
Sama halnya dengan gerhana Matahari, gerhana Bulan juga pada saat terjadi maka mengalamai gerhana maka pada gerhana Bulan total terjadi empat kontak dan pada gerhana Bulan sebagian terjadi dua kontak gerhana. Letak perbedaannya adalah pada saat gerhana Matahari piringan Bulan memasuki Matahari sedangkan pada gerhana Bulan, piringan Bulan memasuki piringan Matahari.
B. Macam- Macam Gerhana 1. Gerhana Bulan
Gerhana Bulan adalah peristiwa tertutupnya Bulan oleh bayangan Bumi.32 Bulan tidak dapat memantulkan cahaya Matahari dikarenakan terhalang oleh Bumi yang berada dalam satu garis lurus di antara Bulan dan Matahari.33 Gerhana Bulan adalah fenomena piringan Bulan memasuki kerucut bayangan Bumi, sehingga mengakibatkan penggelapan pada piringan Bulan. fenomena gerhana ini hanya bisa terjadi di saat Bulan purnama dan Bulan sedang berada dekat dengan salah satu dari 2 titik simpul yakni titik simpul naik (ascending node) atau titik simpul turun (descending node)34
Proses terjadinya gerhana Bulan tentunya tidak akan terlepas dari pergerakan Bumi, Bulan dan Matahari, terkhusus antara revolusi Bulan dengan Bumi. Kemungkinan akan terjadinya gerhana Bulan adalah ketika posisi Bulan berada pada 12 derajat atau kurang dari titik simpul. Secara lebih terperincinya yakni ketika pusat bayangan Bumi terletak pada 10,9 derajat dari titik simpul. Ketika bayangan Bumi terletak pada 5,2 derajat dari titik simpul, maka dipastikan akan
32T. Djamaluddin, Semesta Pun…, hlm. 78.
33Ibid.
34Muhammad Faris Azmi dkk, “Prediksi Pergerakan Bayangan Bumi Saat Terjadi Gerhana Bulan Menggunakan Ephemeris Hisab Rukyat”, Al-Marshad, Desember 2018, hlm. 189.
19
terjadinya gerhana Bulan total, zona gerhana adalah daerah 10,9 derajat ke arah Timur dan arah Barat dari titik simpul.35
Sedangkan yang dinamakan dengan titik simpul adalah titik perpotongan antara bidang peredaran lintasan Bumi dan Bulan, dalam kenyataannya terdapat dua titik simpul yang ada di garis edar keduanya, maka garis simpul ialah ketika dua titik tersebut diberi garis khayal. Garis ini tidak tetap, namun selalu berputar seiring dengan berputarnya titik simpul dengan laju 19 derajat ke arah Barat dan Timur, dan kira-kira 18 tahun 11 hari kemudian, garis tersebut kembali pada posisi semula, maka ketika itulah terjadi gerhana yang mirip dari gerhana sebelumnya. Pergeseran titik simpul inilah yang mengakibatkan musim gerhana terjadi dalam interval yang lebih pendek dari 6 Bulan yaitu 173,3 hari, dua musim gerhana menyusun sebuah tahun gerhana yang lamanya 346,6 hari.
Bentuk bayangan yang dimiliki oleh Bumi ada 2 macam bagian, yaitu bagian yang paling luar dengan warna abu abu.
Bayangan abu-abu inilah yang disebut dengan penumbra.
Sedangkan umbra adalah bagian inti yang berwarna gelap.
Gerhana penumbra akan terjadi apabila Bulan hanya melewati bayangan penumbra tersebut, namun gerhana Bulan penumbra ini sangat sulit sekali untuk terlihat karena hanya sedikit bagian saja, dan hanya bisa terhitung namun tidak bisa terlihat.
Sedangkan gerhana Bulan umbra adalah ketika Bulan memasuki bayangan umbra, sehingga intensitas cahaya Bulan berkurang atau menggelap, sehingga bisa disaksikan dengan mata. Maka secara umum gerhana Bulan terbagi menjadi dua, yakni gerhana Bulan penumbra dan gerhana Bulan umbra (gerhana Bulan total dan sebagian).36
a. Gerhana Bulan Penumbra
Gerhana Bulan penumbra adalah gerhana yang terjadi pada saat Bulan masuk ke dalam kerucut penumbra, akan tetapi yang masuk ke dalam kerucut umra Bumi tidak ada,
35Ibid.
36Kementerian Agama RI, Ilmu…, hlm. 112.
20
sehingga gerhana Bulan penumbra ini seakan tidak terlihat karena hanya melewati bayangan penumbra Bumi.
Langit Selatan b. Gerhana Bulan Total
Gerhana Bulan total terjadi saat kedudukan Matahari, Bumi, dan Bulan berada pada satu garis lurus dan sejajar yang mengakibatkan terhalangnya cahaya Matahari oleh Bumi, sehingga seluruh piringan Bulan berada dalam bayangan inti Bumi.
Aktual.com c. Gerhana Bulan Sebagian
Gerhana Bulan sebagian adalah gerhana yang terjadi pada saat kedudukan Matahari, Bumi, dan Bulan tidak dalam satu garis sejajar yang sempurna, sehingga tidak secara keseluruh bagian Bulan terhalangi dari Matahari oleh Bumi.
Gambar 2.1
Ilustrasi Gerhana Bulan Penumbra
Gambar 2.2
Ilustrasi Gerhana Bulan Total
21
Langit Selatan 2. Gerhana Matahari
Apabila Bulan dan Matahari berdekatan dengan titik simpul yaitu titik node dan nodal yang sama maka akan terjadi gerhana Matahari. Waktu yang dibutuhkan dalam satu siklus Matahari dari satu titik simpul ke titik simpul yag sama pada periode berikutnya yaitu rata-rata 346,62 hari. Siklus ini disebut dengan satu tahu gerhana.37 Gerhana Matahari dapat terjadi pada fase Bulan baru atau terjadinya konjungsi. Periode konjungsi Bulan dari dari satu ke berikutnya disebut dengan istilah sinodis. Periode saros sama dengan 223 lunasi Bulan.
223 x 29,53 hari= 6585, 32 hari. Periode ini kira-kira sama dengan 19 tahun gerhana 19 x 346,62 hari = 6585, 78 hari (18 tahun 11 1/3 hari).38 Selisih antara siklus terjadinya gerhana Matahari dengan periode saros sebesar 0,46 hari. Dalam peredaran semu hariannya, Matahari bergeser 360 / 365, 2425
= 60’ ke arah Timur. Jadi 0,46 x 60’ = -28’/saros. Gerhana Matahari dengan nomor seri saros yang sama terjadi 28’
sebelah Barat dari kejadian gerhana Matahari pada seri saros yang sama dengan sebelumnya. Supaya terjadi gerhana maka batas rata-rata jarak Matahari adalah (15,35 + 18,51)/2 = 16
26’ Dan bila batas tempat terjadinya gerhana Matahari di
37Qamaruzzaman, “Gerhana Dalam Perspektif Hukum Islam dan Astronomi”, Empirisma, Vol. 25, Nomor 2, Juli 2016, hlm. 167.
38Ibid.
Gambar 2.3
Ilustrasi Gerhana Bulan Sebagian
22
sekitar titik simpul tersebut adalah 2 kali batas rata-rata 2 x 16
26’ maka satu seri peroide saros bisa terjadi (2 x 16 26’)/28 = 70 gerhana Matahari. Perhitungan yang lebih cermat -73 kali gerhana atau satu seri saros rata-rata adalah 73 x 18,03 tahun = 1315 tahun.39 Tidak semua dapat mengamati gerhana dari tempat yang sama. Seri saros dimulai dengan gerhana Matahari sebagian pada daerah lintang tinggi, kemudian dilanjutkan dengan gerhana Matahari total atau cincin pada lintang menengah, dan kemudian diakhiri dengan gerhana Matahari sebagian pada lintang tinggi pada arah kutub yang berlawanan dengan ketika saros dimulaiseri saros ganjil adalah lawanan dari seri saros genap, yaitu dimulai dengan gerhana Matahari sebagain di kawasan kutub Utara dan berakhir di kutub Selatan. Mulai dari tahun 1207 SM – 2161 M terdapat 8000 gerhana Matahari dan 5200 gerhana Bulan atau gerhana Matahari terjadi 238/abad atau (238 – 42 seri gerhana Matahari dalam siklus saros (223 periode sinodis Bulan atau 18 tahun lebih).40
Pada peristiwa gerhana Matahari, jikalau dilihat dan diperhatikan dari piringan Bulan yang menutupinya dari suatu tempat di permukaan bumi, maka secara umum gerhana Matahari dapat terbagi menjadi 3 bagian, yakni gerhana Matahari total, gerhana Matahari parsial atau sebagian, dan gerhana Matahari cincin.41
a. Gerhana Matahari Total
Gerhana Matahari total terjadi pada saat kedudukan Bulan dan Bumi berada Pada jarak yang dekat, bayangan umbra Bulan memanjang dan menyentuh permukaan Bumi dan Bumi-Bulan-Matahari berada dalam satu garis yang lurus dan sejajar, sehingga dalam situasi tersebut
39Soecipto dkk, Islam dan Ilmu Pengetahuan Tentang Gerhana (Menghadapi Gerhana Matahari Total 1983), (Yogyakarta: LPPM IAIN Sunan Kalijaga, 1983), hlm.22.
40Ibid.
41Sayful Mujab, “Gerhana; Antara Mitos, Sains, dan Islam”, Yudisia, Vol.
5, Nomor 1, Juni 2014, hlm. 88.
23
piringan Matahari ditutup sepenuhnya oleh piringan Bulan.42
b. Gerhana Matahari Sebagian
Gerhana Matahari sebagian adalah peristiwa saat kedudukan Bulan dan Bumi pada jarak yang dekat, bayangan umbra Bulan menyentuh permukaan Bumi, Bumi-Bulan-Matahari tidak berada tepat pada satu garis lurus, sehingga dalam keadaan tersebut piringan Bulan hanya menutup sebagian dari piringan Matahari.43
Gambar 2.5
Ilustrasi Gerhana Matahari Sebagian Ilmu Geografi.com
42Muhammad Hadi Bashori, Pengantar…, hlm. 229. Lihat juga Rusydi Sulaiman, “Gerhana dan Keharusan Kosmologis Manusia: Tinjauan Filsafat Wujud”, Edugama, Vol. 3, Nomor 2, Desember 2017, hlm. 106.
43Ibid., hlm. 230.
Gambar 2.4
Ilustrasi Gerhana Matahari Total Pos Sore.com
gg
24 c. Gerhana Matahari Cincin
Gerhana ini terjadi ketika kedudukan Bulan dan Bumi pada jarak yang jauh, bayangan umbra Bulan memendek dan tidak dapat menyentuh permukaan Bumi dalam keadaan Bumi-Bulan-Matahari berada pada satu garis lurus dan sejajar, sehingga piringan Bulan hanya menutupi sebagian dari piringan Matahari.44 Gerhana cincin terjadi karena piringan Bulan lebih kecil daripada piringan Matahari, piringan Bulan yang berada di depan piringan Matahari tidak dapat sepenuhnya menutupi seluruh piringan Matahari.
Bagian piringan Matahari yang tidak tertutup oleh piringan Bulan, berada di sekeliling piringan Bulan dan terlihat seperti cincin yang bercahaya.
Gambar 2.6
Ilustrasi Gerhana Matahari Cincin Good News From Indonesia C. Fikih Salat Gerhana
Dalam agama Islam, gerhana merupakan salah satu dari bentuk kebesaran Allah swt. Baik gerhana Bulan maupun gerhana Matahari, keduanya terjadi tidak disebabkan oleh kelahiran ataupun kematian manusia. Gerhana merupakan salah satu ketetapan Allah swt dan semata-mata bagian dari sunnah kauniyah yang merupakan ayat-ayat Allah swt di alam semesta.45 Ada beberapa sebab terjadinya gerhana yang biasa dan dapat diindera, diketahui dengan mengetahui
44Ibid., hlm. 231.
45Muhammad Hadi Bashori, Pengantar…, hlm. 238.
25
perjalanan Matahari dan Bulan, ada juga sebab-sebab maknawi yang tersembunyi. Namun sebab maknawi ataupun indrawi seluruhnya bersumber dari Allah swt yang menjadi kekuasaan-Nya.
Fenomena gerhana merupakan tanda-tanda dari Allah swt untuk memberikan peringatan kepada hambanya, sehingga apabila melihat gerhana umat islam diajarkan untuk merasa takut dan segera berdzikir dan memohon ampun kepada Allah swt atas segala khilaf dan dosa. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkomentar mengenai gerhana, yang ringkasnya bahwa terjadinya gerhana Bulan maupun Matahari telah ditentukan, sebagaimana terbitnya hilal pada waktu tertentu pula. Hal ini merupakan ketentuan yang telah Allah berlakukan kepada siang dan malam, musim panas dan dingin, serta segala sesuatu yang mengikuti peredaran Matahari dan Bulan. itu semua merupakan tanda dari kekuasaan Allah swt. 46
Sejarah menunjukkan bahwa, gerhana pernah terjadi pada zaman Rasulullah SAW, akan tetapi tidak dijelaskan secara rinci kapan terjadinya dikarenakan terfokus pada pelaksanaan ibadahnya.47 Bertepatan dengan kematian putra Rasulullah SAW yakni Ibrahim gerhana Matahari terjadi. Masyarakat beramai-ramai menyebutkan bahwa gerhana yang terjadi tersebut diakibatkan oleh kematian putra Rasulullah tersebut. Namun Rasulullah SAW membantah hal tersebut dengan menjelaskan bahwa gerhana bukan disebabkan oleh kematian atau kelahiran seseorang melainkan sebagai bukti dari kebesaran Allah swt. Sabda Rasulullah SAW yakni:
ٍد َح َ أ ِت ْى َ
ِلِ ِنا َف ِصَخْىًَ َلَ ، ِ َّاللَّ ِتاًَآ ْنِم ِناَحًَآ َسَمَقْلاَو َضْم َّشلا َّنِئ اىُّل َص َو ، او ُرِّب َكَو َ َّاللَّ اىُعْداَف َكِلَذ ْمُحًَْأَز اَذِاَف ، ِهِثاَيَح ِل َلََو اىُق َّد َصَث َو
48
Artinya: “Sesungguhnya Matahari dan Bulan merupakan tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah swt. Gerhana ini
46Arief Wahyudi dkk, Syarah…, hlm. 381.
47Alimuddin, Gerhana…, hlm. 75.
48Al-Imam Abi Abdillah Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari, Shahih..., hlm.
26
tidak akan terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Maka jika kamu melihat hal tersebut, berdoalah kepada Allah swt, bertakbirlah, dirikanlah salat, dan bersedekahlah.”
Mengaitkan gerhana dengan kematian ataupun kelahiran seseorang adalah hal yang keliru. Dengan tegas Rasulullah menyampaikan dalam hadis di atas. Selain sebagai tanda kebesaran Allah swt, ada perintah yang lain juga ketika kita melihat gerhana, yakni bertakbir, bersedekah dan mengerjakan salat. Di berbagai negara non muslim sampai sekarang ini masih mempercayai mitos- mitos seputar gerhana dengan berbagai macam kepercayaan seperti negara China, Thailand, dan India. Dengan segala keterbatasannya masyarakat manusia zaman primitif memandang gerhana sebagai sesuatu yang ghaib dan memperhitungkan terjadinya gerhana juga merupakan hal yang ghaib sehingga untuk mengidentifikasinya memerlukan kekuatan supranatural. Mereka meyakini bahwa hanya orang-orang tertentu saja yang bisa memperhitungkan fenomena terjadinya gerhana, yakni orang-orang sakti yang berbekal kekuatan supranatural yang luar biasa, seperti dukun dan paranormal.
Pensyariatan beribadah kepada Allah swt saat terjadi gerhana dimulai pada zaman Rasulullah SAW termasuk juga pelaksanaan ibadah salat gerhana.49 Dasar hukum dari penetapan ibadah tersebut tercantum dalam Al-Quran, Allah swt berfirman sebagai berikut:
َ لََو ِض ْم َّشلِل اْوُدُج ْسَج َلَ ُُۗسَمَقْلاَو ُضْم َّشلاَو ُزاَهَّنلاَو ُلْيَّلا ِهِحًٰٰا ْنِمَو ِس َم َقْلِل ن ْو ُدُبْعَج ُهاًَِّا ْمُحْى ُك ْنِا َّنُه َق َلَخ ْيِرَّلا ِ ه ِلِلّ اْوُدُج ْساَو
Artinya: “Dan sebagian dari tanda kebesaran-Nya ialah malam, siang, Matahari dan Bulan. Janganlah bersujud kepada Matahari dan jangan (pula) kepada Bulan. Tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.50
Allah swt berfirman mengingatkan hamba-hamba-Nya atas kekuasaan besar-Nya dengan menunjuk kepada penciptaan malam
49Muhammad Shofa Mughtanim, Rekonstruksi…, hlm. 57.
50QS. Fussilat [41]: 37. Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemah (Bandung: Jabal Raudatul Jannah, 2010), hlm. 480.
27
dan siang, malam dengan gelapnya dan siang dengan terangnya yang datang silih berganti dengan tiada jemu-jemunya. Penciptaan Matahari dan Bulan yang beredar dalam orbitnya secara teratur dan oleh Allah swt manusia diingatkan bahwa kedua benda tersebut juga makhluk Tuhan yang tidak patut disembah. Dan jika hamba-hamba- Nya di muka bumi enggan bersujud kepada-Nya, maka para malaikat yang berada di sisi-Nya siang dan malam bertasbih dan bertahmid serta bersujud kepada-Nya tiada jemu-jemunya.51
Maksud dari ayat di atas bersujud kepada sang pencipta Matahari dan Bulan adalah untuk mengerjakan salat ketika terjadi gerhana, baik gerhana Bulan ataupun gerhana Matahari. Empat mazhab telah sepakat menyatakan bahwa hukum pelaksanaan salat gerhana baik Bulan maupun Matahari adalah sunnah muakkad.52 Salat gerhana disyariatkan kepada siapa saja, baik yang dalam perjalanan musafir ataupun sedang berada di tempat tinggal, baik laki-laki maupun perempuan.
Banyak hadis yang memerintahkan ketika terjadi gerhana maka kita disunnahkan untuk melaksanakan salat gerhana.
Terjadinya gerhana dalam hal ini adalah ketika kita menyaksikan gerhana itu sendiri. Dalam beberapa riwayat banyak yang menjelaskan tentang fenomena gerhana yang terjadi pada zaman Rasulullah termasuk juga perintah untuk salat gerhana. Beberapa kitab hadis, terdapat hadis tentang salat gerhana seperti dalam kitab Sunan Abu Daud dan kitab hadis lainnya.
Waktu pelaksanaan salat gerhana adalah pada saat terjadinya gerhana sampai berakhirnya gerhana itu sendiri. Apabila belum terjadi atau terlihat gerhana, maka kita tidak disunnahkan untuk melaksanakan salat gerhana. Begitu juga pada saat gerhana telah selesai atau Bulan dan Matahari telah kembali pada sinarnya semula,
51Anggota IKAPI, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2004), hlm. 184. Lihat juga, Bahrun Abubakar, Anggota IKAPI, Terjemah Tafsir Jalalain Berikut Asbanu Nuzul (Surabaya: Sinar Baru Algensindo, 2008), jilid 4, hlm. 2069. Bahrun Abu Bakar, Anggota IKAPI, Terjemah Taajut Tafasir (Mahkota Tafsir) (Bandung, Sinar Baru Algensindo, 2009), hlm. 2816-2817.
52Masykur dkk, Terjemah Al-Fiqh Ala Al-Mazhabi Al-Khamsah, (Jakarta:
Penerbit Lentera, 2010), hlm. 128.
28
maka kita tidak disunnahkan untuk melaksanakan salat gerhana.
Karena salat gerhana disunnahkan pada saat sedang berlangsungnya gerhana.
Ada perbedaan pendapat ulama terkait salat gerhana jika dilakukan pada waktu nafilah atau waktu yang dilarang untuk mengerjakan salat, seperti setelah salat ashar dan setelah salat subuh.
Jumhur ulama seperti uama Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah melarang mengerjakan salat gerhana pada saat waktu nafilah. Ulama Syafi’iyyah saja yang membolehkan, dengan dalil bahwa pada hadis Nabi SAW tentang perintah melaksanakan salat gerhana tersebut tidak dilarang kapan melaksanakannya. Hal ini dikarenakan makna ra‟aitum atau melihat gerhana tidak menentu. Kapanpun terjadinya gerhana maka kita disunnahkan melaksanakan salat gerhana, karena dalam hal ini adalah kita melihat gerhana itu sendiri.
Dalam hadis Rasulullah SAW bersabda:
َلَ َس َم َقْلا َو َض ْم َّشلا َّنِئ صلى الله عليه وسلم يبىلا لاق لاق ٍدىُع ْص َم يبأ نع اذاف ِ َّاللَّ ِتاًَآ نم ِناَحًَآ ا َمُهَّن ِك َ
ل َو ساىلا نم ٍد َح َ أ ِتْى َ
ِلِ ِنا َف ِصَكْىًَ
اىُّل َصَف اى ُمى ُقَف ا َم ُهى ُمُحًْ َ أَز
Artinya: “Abu Mas‟ud r.a berkata: Rasulullah SAW bersabda, sesungguhnya Matahari dan Bulan tidak gerhana karena matinya seseorang, tetapi keduanya adalah bukti kebesaran Allah swt, maka jika kamu melihat gerhana berdirilah untuk salat”53
Jikalau kita melihat secara makna, maka lafadz ra‟aitum dalam hadis di atas masih menyisakan tanda tanya, apakah melihat gerhana dalam hal ini secara langsung dengan mata kepala ataukah melihat gerhana juga bisa dengan ilmu pengetahaun atau teknologi. Ketika gerhana bisa terlihat, maka kita disunnahkan untuk melaksanakan salat gerhana, namun jika gerhana tersebut tidak terlihat, maka kita tidak disunnahkan untuk melaksanakan salat gerhana.
Dari keterangan beberapa hadis, maka ada tiga cara pelaksanaan salat gerhana. Pertama dilakukan sebagai salat biasa,
53Muhammad Ahsan bin Usman, Terjemah shahih Bukhari Muslim, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2017), hlm 299.