• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Al-Risalah, Volume 17, Nomor 1, Januari Juni 2021

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Jurnal Al-Risalah, Volume 17, Nomor 1, Januari Juni 2021"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

31 KONSEP MANUSIA SEBAGAI KHALIFATULLAH DALAM HUKUM

(AL-HAKIM)

Muhammad Raihan Suwandi Abstrak:

The role of human in this world has been stated by Allah in al- Qur’an which is as leader or khalifah. Being khilafah brings important function to keep life in harmony with Allah’s guidance.

Human as khilafah should follow Allah’s direction in order to bring the safe in life and in hereafter. Then, this paper aims to explore the meaning of khilafah that can handle this world with all of his potential and also the meaning of ‘abd which human is created by Allah to obey Him. The literature review from several Islamic sources is used to gather information related to this issue based on law or al-Hikam. In short, being khilafah means keep the goodness in this world and not against Allah’s rules. Human should be facilitated with education, teaching, experience, skill, technology and other supports to maximize his role as khilafah.

Kata kunci:

Human, Khalifah, and al-Hikam.

A. Pendahuluan

Agama Islam, agama yang kita anut dan dianut oleh ratusan juta kaum muslimin diseluruh dunia, merupakan way of life yang menjamin kebahagiaan hidup pemeluknya di dunia dan di akhirat kelak. Ia mempunyai satu sendi utama yang esensial berfungsi memberi petunjuk kejalan yang sebaik-baiknya.

Al-Qur’an memberi petunjuk dalam persoalan-persoalan akidah, syariah dan akhlak, dengan jalan meletakkan dasar-dasar prinsip

Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana UIN Antasari Banjarmasin Prodi Hukum Keluarga, email: reyhanmocca@gmail.com

(2)

32

mengenai persoalan-persoalan tersebut. Al-Qur’an menempuh berbagai cara guna mengantar manusia kepada kesempurnaan kemanusiaannya antara lain dengan mengemukakan kisah faktual atau simbolik. Kitab Suci al-Qur’an tidak segan mengisahkan "kelemahan manusiawi", namun itu digambarkannya dengan kalimat indah lagi sopan tanpa mengundang tepuk tangan, atau membangkitkan potensi negatif, tetapi untuk menggaris bawahi akibat buruk kelemahan itu, atau menggambarkan saat kesadaran manusia menghadapi godaan nafsu dan setan.

Keberadaan manusia sebagai salah satu mahkluk ciptaan Tuhan di muka bumi ini mempunyai peranan penting dalam menjalankan fungsinya sebagai khalifah dimuka bumi ini. Allah swt tidak hanya mengatur tentang kehidupan yang berkaitan dengan ibadah kepada Tuhan, tetapi Allah juga mengatur bagaimana manusia menjalankan perannya diatas muka bumi ini sebagai khalifah yang bertujuan untuk dapat keselamatan dunia dan akhirat.

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk mengetahui dan memahami maksud konsep manusia sebagai khalifatullah dalam Hukum (Al-Hakim).

B. Pembahasan

1. Manusia sebagai Khalifah

Dalam al-Qur’an sudah dijelaskan bahwa kedudukan manusia adalah sebagai khalifah Allah di muka bumu ini. Kata ‘khalifah’

dalam al-Qur’an telah disebutkan sebanyak 10 kali1. Berdasarkan sebuah hasil penelitian bahwa dalam al-Qur’an terdapat kata khalifah, dalam bentuk tunggal sebanyak dua kali, yaitu surat al- Baqarah ayat 30 dan Shad ayat 26; dan dalam bentuk plural (jamak), yaitu Khala’if dan khulafa’ yang masing-masing diulang sebanyak 4 kali dan 3 kali2. Keseluruhan kata tersebut menurutnya

1 Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalitas Pendidikan Islam, (Yogyakarta:

Tiara Wacana, cet. 1, 2006).

2Lihat QS. al-An’am: 165, Yunus: 14, 73, Fathir: 39, Al-A’raf: 69, 74 dan al-Naml: 62.

(3)

33 berakar pada kata ‘khulafa’ yang pada mulanya berarti di belakang.

Dari sini, kata khalifah menurutnya sering kali diartikan sebagai

pengganti” (karena yang menggantikan selalu berada atau datang di belakang sesudah yang digantikannya3 selain diartikan sebagai pengganti.

Ada beberapa pengertian yang dimaksud oleh al-Qur’an dengan kata khalifah, diantaranya: dalam hal kedudukan manusia, makna dari khalifah adalah sebagai pengganti. Jadi, seorang khalifah Allah berarti pengganti Allah4. Menurut pendapatnya Dawam Rahardjo kata khalifah mempunyai tiga makna. Pertama, khalifah Allah yaitu Adam. Adam merupakan simbol untuk seluruh manusia, oleh karena itu, manusia termasuk dari khalifah. Kedua, khalifah Allah merupakan suatu generasi penerus. Dalam arti kedudukan khalifah diemban oleh suatu generasi. Ketiga, khalifah Allah sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan5. Dari ketiga makna tersebut, makna yang pertama lebih sesuai untuk predikat seorang manusia sebagai khalifah Allah.

Menurut Hasan Langgulung6, manusia sebagai khalifah di bumi mempunyai beberapa karakteristik yaitu sebagai berikut:

a. Dari awal penciptaan, manusia secara fitrah memiliki sifat baik.

Manusia tidak mewarisi dosa sekalipun Adam harus meninggalkan surga atas dosanya.

3 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet. 1, 1997), hlm. 36.

4 Berkenaan dengan pertanyaan “siapa mengganti siapa” Hasan Langgulung seperti yang dikutip Abdullah Idi, mengemukakan tiga pendapat 1.

Manusia sebagai makhluk menggantikan makhluk lain, yaitu jin, 2. Manusia menggantikan manusia lain, 3. Manusia adalah pengganti Allah di bumi, sehingga manusia bertindak sesuai perintah Allah, Ibid., hal. 57.

5 Ibid, hlm. 57-58

6 Ibid.

(4)

34

b. Hubungan antara badan dengan ruh menghasilkan khalifah.

Karakteristik tersebut membedakan manusia dengan makhluk lainnya.

c. Manusia sebagai khalifah mempunyai kebebasan berkehendak (free will) yaitu suatu kebebasan yang menyebabkan manusia dapat menentukan tingkah lakunya sendiri.

d. Manusia diberi akal yang dapat membedakan perbuatan antara yang benar dan yang salah.

Sebagaimana telah dijelaskan dalam al-Qur’an Surah Al- An’am ayat 165 tentang fungsi kekhalifahan manusia di muka bumi ini, yaitu “Dan dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Kemudian Surah Fathir ayat 39 “Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi, barangsiapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri.” Juga Surah Al-A’raf ayat 69 “Ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu).”

Ayat-ayat diatas selain menjelaskan tentang kedudukan manusia sebagai khalifah dalam arti luas, juga memberi isyarat tentang pentingnya sikap moral yang harus ditegakkan dalam melaksanakan tugas kekhalifahan tersebut7. Sebagaimana pendapatnya Quraish Shihab, bahwa hubungan antara manusia dengan alam semesta atau hubungan manusia dengan sesamanya, bukan merupakan hubungan antara penaklukdengan yang ditaklukkan, atau antara tuan dengan hamba, melainkan hubungan kebersamaan dalam ketaatannyaterhadap Allah SWT, walaupun manusia mempunyai kemampuan untuk mengelola (menguasai),

7 Abuddin Nata, Op. Cit, hal. 38.

(5)

35 namun hal tersebut bukanlahakibat kekuatan yang dimilikinya, akan tetapi akibat Tuhan menundukkannya untuk manusia8.

Hal ini sependapat dengan pendapatnya Musa Asy’ari, menurutnya; bahwa tugas seorang khalifah dalam memegang kepemimpinan dan kekuasaan, pada dasarnya mengandung tentang implikasi moral9. Karena sifat kepemimpinan dan kekuasaan yang dimiliki oleh seorang khalifah dapat menyalahgunakan kewenangannya hanya untuk kepentingan hawa nafsunya, atau sebaliknya kekuasaan seorang khalifah untuk menciptakan kesejahteraan dan kemaslahatan bagi manusia. Dengan demikian, kepemimpinan dan kekuasaan manusia harus sesuaidengan kerangka eksistensi manusia yang bersifat sementara, sehingga dapat dihindari kecenderungan pemutlakan kepemimpinan atau kekuasaan, yang akibatnya dapat merusak tatanan dan harmoni kehidupan10.

Kemudian dengan tujuan hidup untuk beribadah dan berkedudukan sebagai khalifah, apakah yang selanjutnya harus dikerjakan oleh manusia? Pertanyaan itu menyangkut tugas manusia di bumi. Dalam perspektif Islam, kewajiban manusia dimuka bumi ini ialah memakmurkan bumi dengan jalan memberikan potensi Tuhan terhadap dirinya11. Dalam bahasa Agama, sifat-sifat Tuhan biasa disebut al-asma al-husna, yang berjumlah sembilan puluh sembilan.Sebagai contoh, oleh karena Tuhan adalah Maha Pengasih (al-Rahman), maka manusia sesungguhnya diperintahkan untuk bersifat asih terhadap dirinya dan makhluk lainnya.

Namun harus kita sadari bahwa sifat-sifat Tuhan hanya dapat dimanifestasikan manusia dalam bentuk dan cara yang terbatas. Hal itu, selain karena watak keterbatasan manusia, juga dimaksudkan agar manusia tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan. Sebaiknya manusia menganggap proses perwujudan sifat-sifat Tuhan sebagai

8 Ibid

9 Ibid

10 Ibid.,hal. 38-39.

11 Abdullah Idi dan Toto Soharto, Op. Cit, hal. 58-59.

(6)

36

suatu amanah yang harus dijalankan. Tujuannya agar manusia mempunyai tanggung jawab dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang hamba.

Eksistensi lain dari manusia di alam ini adalah sebagai hamba Allah yang taat beribadah kepada-Nya. Sebagaimana telah dijelaskan dalam al-Qur’an QS.al-Dzariat, yang artinya: “Tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah (ibadah) kepada-Ku”. Pengertian ibadah dalam ayat tersebut menurut Langgulung merupakan pengembangan darifitrah, yang oleh aliran kemanusiaan disebut perwujudan diri (self actualization)12.

Sedangkan menurut Musa Asy’arie, bahwa essensi ‘abd adalah ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan terhadap Tuhan13. Ketundukan dan ketaatan merupakan sebuah kodrat alamiah yang berlaku bagi kehidupan manusia.Ia terikat oleh Sunnatullah atau hukum Tuhan yang diberlakukan di alam semesta.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kedudukan manusia di alam semesta ini disamping sebagai khalifah yang mampu untuk mengolah alam dengan menggunakan segenap potensi yang dimilikinya, juga sebagai ‘abd yaitu seluruh usaha dan aktivitasnya itu harus dilaksanakan dalam rangka mengabdi kepada Allah SWT, jadi essensi seorang khalifah adalah kebebasan dan kreativitas, sedangkan seorang ‘abd adalah ketaatan dan kepatuhan14. Dengan pandangan yang saling keterkaitan ini, maka konsekwensi bagi seorang khalifah tidak akan berbuat sesuatu yang berhubungan dengan kemungkaran danyang bertentangan dengan aturan hukum Tuhan. Agar manusia bisa melaksanakan fungsi kekhalifahan dengan baik, maka manusia perlu diberikan pendidikan, pengajaran, pengalaman, ketrampilan, teknologi, dan sarana pendukung yang lainnya.

12 Abuddin Nata, Op. Cit, hal. 40.

13 Ibid

14 Ibid., hal. 41

(7)

37 2. Al-Hakim sebagai Unsur Hukum Islam

Hukum secara bahasa bermakna keputusan15. Dan secara istilah yaitu Apa-apa yang ditetapkan oleh (khitab Allah) seruan syari'at yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (orang yang dibebani syari'at) dari tuntutan atau pilihan atau peletakan16. Mayoritas ulama ushul mendefenisikan hukum sebagai “Kalam Allah yang mneyangkut perbuatan orang dewasa dan berakal sehat, baik bersifat imperative, fakultatif atau menempatkan sesuatu sebagai sebab, syarat dan penghalang.”17

Yang dimaksud dengan khitab Allah dalam defenisi tersebut adalah semua bentuk dalil, baik al-Quran, al-Hadits, maupun lainnya sepeti ijma’ dan qiyas. Namun, para ulama ushul kontemporer, seperti Ali Hasaballah dan Abdul Wahab Khallaf berpendapat bahwa yang dimaksud dalil disini hanya al-Quran dan Sunnah. Adapun ijma’ dan qiyas hanya sebagai metode menyingkapkan hukum dari al-Quran dan Sunnah tersebut. Dengan demikian, sesuatu yang disandarkan pada kedua dalil tersebut tidak semestinya disebut sebagai sumber hukum18.

Dalam masalah hakim ini seluruh ulama menyepakati bahwa hakikatnya hakim adalah Allah SWT semata, tidak ada yang lain.

Terbukti, mereka juga sepakat memaknai hukum sebagai khitabullah bukan khitab ar-Rusul atau khitab al-Mujtahidin. Perbedaan ulama dalam hal ini hanya berkisar tentang hukum Allah yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, apakah akal dengan sendirinya

15 Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Jakarta: PT.

Hadikarya, 1990), hlm. 107

16 Muhammad bin Sholeh al-'Utsaimin, Prinsip Ilmu Ushul Fiqih, alih bahasa Abu Shilah & Ummu Shilah, (http://tholib.wordpress.com, 2007), hlm.

6.

17 Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 295

18 Ibid

(8)

38

mampu mengetahui hukum-hukum tersebut ataukah perlu perantara para rasul untuk dapat mengetahuinya.

Terkait perbedaan ini, Abdul Wahab khallaf membagi menjadi tiga kelompok:

a. Mazhab Asy’ariyah, pengikut Abu Hasan al-Asy’ari yang menyatakan bahwa akal dengan sendirinya tidak akan mampu mengetahui hukum-hukum allah tanpa mediasi para rasul dan kitab-kitabnya. Kelompok ini berargumen bahwa yang disebut dengan kebaikan adalah sesuatu yang telah ditunjukkan oleh syari’ bahwa hal itu memang baik. Sementara kejelekan adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh syari’ bahwa hal itu memang jelek.

Kebaikan dan keburukan tidak dapat ditentukan oleh penalaran akal semata.

b. Mazhab Mu’tazilah, yakni para pengikut Washil bin Atha’ yang menyatakan bahwa dengan sendirinya akal mampu mengetahui hukum-hukum Allah tanpa melalui perantara rasul atau kitab.

Mereka berhujjah bahwa sesuatu itu dikatakan baik ketika akal memandang hal itu baik. Sebaliknya sesuatu itu dipandang jelek ketika akal memang menganggap jelek.

c. Mazhab Maturidiyah, pengikut Abu Mansur al-Maturidi, mazhab ini menurut Khallaf adalah mazhab penengah dan dianggap sebagai pendapat yang lebih kuat. Mazhab ini menyatakan bahwa memang akal sehat itu mampu menilai mana yang baik dan mana yang dianggap buruk. Namun, tidak secara otomatis akal mampu menentukan hukum-hukum Allah, sebab kerja akal itu terbatas dan terkadang kerja akal itu berbeda satu sama lain dalam menilai suatu perbuatan. Oleh karena itulah, dalam menentukan hukum-hukum Allah tetap diperlukan adanya perantara utusan dan kitab-kitabnya19. Pada akhirnya apa yang dipegangi oleh mazhab ini sama dengan pendapat mazhab

19 Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh. (Cairo: Daar al-Qalam, 1978). hlm. 97-98

(9)

39 Asy’ariyah yang tetap menyatakan bahwa untuk mengetahui hukum Allah diperlukan adanya perantara.

Terkait perbedaan para ulama di atas, pendapat yang dipegangi oleh kelompok kedualah yang sebenarnya terasa lebih relevan. Sebab, dalam pendapat kedua ini tersimpan keadilan Tuhan yang begitu luar biasa. Betapa tidak, menurut pendapat ini seorang yang belum sampai dakwah Islam kepadanya, akan tetap dituntut sebagai seorang mukallaf berdasar akal yang dianugerahkan padanya. Hal ini logis, sebab salah satu syarat utama seorang mukallaf haruslah ia memiliki akal sehat. Ia dituntut untuk melaksanakan perbuatan yang dianggap baik oleh akal sehatnya dan dituntut meninggalkan perbuatan yang dianggap buruk menurut akal sehatnya pula. Ini merupakan apresiasi yang luar biasa besar terhadap anugerah akal yang diberikan oleh Tuhan.

3. Manusia sebagai Al-Hakim

Secara hakikat, tidak dapat dipungkiri bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Al-Hakim atau pembuat hukum. Hal ini ini dapat kita ketahui sepanjang kita mengetahui dari ayat-ayat Al- Qur’an. Al-Qur’an yang merupakan firman Allah SWT kemudian diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk dijadikan pedoman bagi kehidupan manusia20.

Guna membawa dan menyampaikan hukum atau syariat kepada manusia, Hakim, yaitu Allah menciptakan utusan-utusanNya di muka bumi. Khususnya Nabi Muhammad SAW, yang berperan menentukan suatu hukum atau memperjelas hukum melalui hadits maupun sunnahnya. Oleh karena itu, maka sudah sepatutnya bahwa Nabi Muhammad SAW disebut sebagai Al-Hakim, bukan dalam arti pembuat hukum, namun sebagai khalifah (perwakilan) dari Allah SWT untuk menjelaskan hukum.

20 Mudhofir Abdullah, Allah sebagai Pembuat Hukum (Al-Hakim), Diakses Pada 17 Maret 2018.

(10)

40

Selain itu, sebagai agama samawi terakhir yang hadir di muka bumi, Islam mempunyai misi rahmatan lil'alamin, yakni menebar rahmat bagi sekalian alam. Kehadiran Islam bukan untuk suku maupun komunitas tertentu, melainkan untuk segenap alam dan isinya. Sebagai agama universal, muatan Islam didesain oleh Tuhan untuk mencakup beragam lini dan sektor kehidupan ummat manusia.

Hukum Islam dengan segala keunggulannya, merupakan aturan Tuhan yang bertujuan memberikan kebaikan dan kemudahan kepada umat manusia. Dengan demikian, Hukum Islam mempunyai beberapa kekhasan yang tidak dimiliki oleh hukum manapun di dunia. Kekhasan tersebut diantaranya adalah sifatnya yang fleksibel.

Adanya sifat fleksibel tersebut, selain untuk kemudahan umat dalam mengaktualisasikan titah Tuhan, juga merupakan bentuk konkret dari humanitas hukum ”langit’. Sebab, hukum Tuhan tidak sama sekali hanya pengisi ruang idealisme yang melangit, namun ditempa untuk kemaslahatan umat dalam mengarahkan kehidupan yang ideal yang tidak terserabut dari area kekinian dan kedisinian. Oleh karena itu, pembahasan hukum Tuhan yang mengatur hak-hak manusia, melindungi dan menjamin hak tersebut jauh lebih banyak daripada pembahasan hak-hak Tuhan itu sendiri.

Masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Perbedaannya hanya terdapat pada sifat atau tingkat perubahan itu. Perubahan dapat menyangkut soal-soal yang fundamental bagi masyarakat atau hanya perubahan yang kecil saja. Namun bagaimanapun sifat atau tingkat perubahan itu masyarakat senantiasa melayaninya. Sampai pada waktu dan tempat tertentu, masyarakat dengan berbagai dinamika yang ada menuntut adanya perubahan sosial, dan setiap perubahan sosial pada umumnya meniscayakan adanya perubahan sistem nilai dan hukum. Oleh karena itu, Hukum Islam yang menghadapi perubahan sosial dengan karakteristik yang dimilikinya mampu eksis meskipun berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat.

(11)

41 Pengaruh-pengaruh unsur perubahan dapat menimbulkan perubahan-perubahan sosial dalam sistem pemikiran Islam, termasuk di dalamnya pembaruan hukum Islam. Pada dasarnya pembaruan pemikiran hukum Islam hanya mengangkat aspek lokalitas dan temporalitas ajaran Islam, tanpa mengabaikan aspek universalitas dan keabadian hukum Islam itu sendiri. Tanpa adanya upaya pembaruan hukum Islam akan menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam memasyarakatkan hukum Islam khususnya dan ajaran Islam pada umumnya.

Untuk mengawal Hukum Islam tetap dinamis, responsif dan punya adaptabilitas yang tinggi terhadap tuntutan perubahan, adalah dengan cara menghidupkan dan menggairahkan kembali semangat berijtihad di kalangan umat Islam. Pada posisi ini, ijtihad merupakan inner dynamic bagi lahirnya perubahan untuk mengawal cita-cita universalitas Islam sebagai sistem ajaran yang shalihun li kulli zaman wal makan. Umat Islam menyadari sepenuhnya bahwa sumber- sumber hukum normatif–tekstual sangatlah terbatas jumlahnya, sementara kasus-kasus baru di bidang hukum tidak terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayat al- Mujtahid menyatakan bahwa:

"Persoalan- persoalan kehidupan masyarakat tidak terbatas jumlahnya, sementara jumlah nash (baik Al-Qur’an dan Al-Hadis), jumlahnya terbatas. Oleh karena itu, mustahil sesuatu yang terbatas jumlahnya bisa menghadapi sesuatu yang tidak terbatas".21

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa peran manusia sebagai pengawal Hukum Islam agar ia tetap dinamis pasca era kenabian tentu sangat dibutuhkan. Di hadapan Hukum Islam, manusia mukallaf bukan hanya berperan sebatas menjadi subjek hukum (Mahkum ‘alaihi) yang perbuatannya menjadi tempat berlakunya hukum Allah SWT. Akan tetapi, di saat-saat tertentu manusia juga perlu menjadi khalifah (perwakilan) Allah untuk

21 Moh. Ahsanuddin Jauhari, S.Fil., M.Hum, Filsafat Hukum Islam, (Bandung:PT. Liventurindo, 2020) h. 175-181

(12)

42

mempertahankan kekhasan Hukum Islam itu sendiri, yaitu fleksibilitas dan adaptabilitas yang tinggi terhadap tuntutan zaman dengan salah satu caranya adalah ijtihad.

C. Penutup

Manusia sebagai khalifatullah dalam hukum bukan dalam arti pembuat hukum, namun sebagai khalifah (perwakilan) dari Allah SWT untuk menjelaskan hukum. Nabi Muhammad SAW disebut sebagai Al- Hakim karena telah berperan menentukan atau memperjelas hukum- hukum dari Allah SWT melalui hadits maupun sunnahnya. Selain itu, manusia mukallaf juga bisa berperan sebagai Al-Hakim, yaitu (perwakilan) Allah mempertahankan fleksibilitas dan adaptabilitas Hukum Islam yang tinggi terhadap tuntutan zaman.

(13)

43 DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalitas Pendidikan Islam, Yogyakarta:

Tiara Wacana, cet. 1, 2006

Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Cairo: Daar al-Qalam, 1978 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,

Cet. 1, 1997

Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, Jakarta: PT. Hadikarya, 1990

Moh. Ahsanuddin Jauhari, Filsafat Hukum Islam, Bandung: PT.

Liventurindo, 2020

Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2010 Mudhofir Abdullah, Allah sebagai Pembuat Hukum (Al-Hakim), Diakses

Pada 17 Maret 2018

Muhammad bin Sholeh al-'Utsaimin, Prinsip Ilmu Ushul Fiqih, alih bahasa Abu Shilah & Ummu Shilah, http://tholib.wordpress.com, 2007

Referensi

Dokumen terkait

Iqbal and Murtanto in his research entitled Analysis of the Influence of Fraud Triangle Factors Against Financial Financial Fraud on Property and Real Estate Companies that are on