• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL KOMUNITAS - UNNES JOURNAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "JURNAL KOMUNITAS - UNNES JOURNAL"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL KOMUNITAS

Research & Learning in Sociology and Anthropology http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunitas

ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM KOMUNITAS DESA:

STUDI KASUS DI KAWASAN PESISIR UTARA PULAU AMBON

Subair1,Lala M. Kolopaking2, Soeryo Adiwibowo2, M. Bambang Pranowo3

1Jurusan Sosiologi Agama Fakultas Dakwah Ushuluddin IAIN Ambon, Indonesia

2Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat IPB

3Jurusan Sosiologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Permalink/DOI: http://dx.doi.org/10.15294/komunitas.v6i1.2943

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis strategi adaptasi komunitas nelayan terhadap dampak perubahan iklim. Lokasi penelitian di desa nelayan Asilulu, ditetapkan secara purposive mewakili karakteristik desa pesisir di kawasan pantai utara pulau Ambon Maluku. Metode yang digunakan adalah ’metode kasus historis’

sebuah metode studi sosiologi yang memadukan dua pendekatan yaitu sosiologi sejarah dan sejarah sosiologis. Pengumpulan data dilakukan dengan metode hermeunetik dan dialektika dalam waktu kurang lebih 2 tahun (April 2010 – Juni 2012) menggunakan teknik pengamatan berperan serta, focus group discussion, wawancara mendalam, dan studi pustaka. Penelitian menunjukkan hasil bahwa komunitas nelayan di desa Asilulu telah merasakan dampak dari perubahan iklim yang menekan sistem penghidupan mereka meliputi kenaikan permukaan laut, intensitas badai dan gelombang tinggi, perubahan fishing ground dan kekacauan musim tangkap. Kerentanan komunitas dikategorikan tingkat sedang dan karenanya masih dalam area coping range komunitas. Nelayan melakukan adaptasi proaktif dan reaktif dalam strategi adaptasi fisik, sosial-ekonomi, dan sumber daya manusia yang sejauh ini mampu meningkatkan lebar selang toleransi sehingga kerentanan dapat dikurangi dan resiliensi sistem meningkat. Kondisi ini membuat komunitas nelayan cukup resilien.

Article History

Received : Desember 2013 Accepted : Januari 2014 Published : Maret 2014

Keywords

climate change; vulner- ability; adaptation; coping range; community resilience

THE ADAPTATION OF VILLAGE COMMUNITY TOWARDS CLIMATE CHANGE: CASE STUDIES IN THE NORTH COAST REGION OF AMBON ISLAND MOLUCCAS

Abstract

The purpose of this study is to identify the adaptation strategies of a fishing community to respond the impact of climate change. Location of the study in the fishing village Asilulu, determined purposively to represent the characteristics of the coastal villages in the north coast of the island of Ambon Maluku. The method used is the ‘method of historical case’ a sociological study method that combines two approaches, historical sociology and sociological history. Data collected between April 2010-June 2012, using the technique of participant observation, focus group discussions, in-depth interviews, and literature. Research shows that the fishing community in the village Asilulu have felt the impact of climate change which suppress their livelihood systems include sea level rise, storm intensity and high waves, changes in fishing grounds and fishing seasons chaos. Community vulnerability and therefore categorized as being still in the area of community coping range. Fishermen proactive adaptation and reactive adaptation strategies in physical, socio-economic, and human resources are so far able to increase the width of the tolerance interval so that vulnerabilities can be reduced and the resilience of the system increases.

© 2014 Universitas Negeri Semarang

Corresponding author :

Address: Jl. Dr. Tarmizi Taher, Kebun Cengkeh Batu ISSN 2086-5465

(2)

PENDAHULUAN

Perubahan iklim adalah fenomena terbaru dan faktor eksternal yang sangat berpengaruh terhadap masyarakat pede- saan saat ini, khususnya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Secara ilmiah, peru- bahan iklim dan dampaknya telah menim- pa banyak wilayah dan berdampak buruk pada sektor pertanian, makanan, air, sosial dan sistem ekologi (IPCC, 2007) Perubahan iklim akan menekan pilihan mata penca- harian yang ada, dan bahkan lebih penting lagi, membuatnya tidak dapat diprediksi ka- rena ketidakstabilan dampak peningkatan iklim (Rosenzweig & Parry, 1994; Yohe & Tol, 2002). Tantangan yang akan dihadapi masy- arakat pesisir akibat perubahan iklim akan lebih mengkhawatirkan mengingat penga- ruhnya yang multi-dimensional melampaui perubahan-perubahan lingkungan dan eko- nomi politik yang selama ini telah membuat masyarakat pesisir dalam keadaan rentan (Howden et al. 2007; IPCC, 2007). Secara kolektif, jutaan rumah tangga di wilayah pe- sisir dapat hancur karena kerusakan infra- struktur, permukiman, dan fasilitas yang di- perlukan untuk hidup dan kehidupan serta kemiskinan dan marginalisasi yang dialami komunitas pesisir sepanjang sejarah mereka diperkirakan akan semakin intensif di masa mendatang di bawah perubahan iklim.

Itu berarti lebih dari 60% penduduk Indonesia yang terkonsentrasi di 10.119 desa pesisir dan di Maluku, penduduk dari 83%

desa yang berada di daerah pantai (DKP Maluku, 2007) akan menghadapi gangguan terhadap sumber mata pencaharian. Masya- rakat pesisir yang memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sumber daya pesisir dan perikanan, akan dihadapkan pada tan- tangan yang tidak seperti yang pernah se- belumnya sebagaimana perubahan iklim yang memberikan pengaruh multi-dimensi (Howden et al., 2007; IPCC, 2007). Dalam situasi tersebut diperkirakan masyarakat pesisir harus berjuang untuk mengatasi tantangan sebesar ini. Kerentanan yang di- akibatkan oleh perubahan iklim menjadi- kan masyarakat pesisir membutuhkan bim- bingan dan dukungan untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim dan menerapkan

strategi adaptasi jika mereka ingin memper- tahankan nafkah dan kualitas hidup mereka di masa yang akan datang (Marshall et al., 2010: 1).

Adaptasi merupakan tindakan yang diambil untuk mengurangi kerentanan dan meningkatkan resiliensi (Smit & Wandel,, 2006). Penekanan pada adaptasi diperlukan karena meskipun skenario dampak peru- bahan iklim begitu mengkhawatirkan, di beberapa tempat di berbagai belahan du- nia dampak perubahan iklim dapat diatasi.

Pada kontes lokal (Indonesia) adaptasi di- perlukan segera untuk mengurangi dampak perubahan iklim yang sudah berlangsung.

Menurut Emil Salim (2010: 11). Apapun yang diperdebatkan di forum Internasional, In- donesia harus sudah melangkah melewati tahap perdebatan itu dan meningkatkan kapasitas anak bangsa menanggapi tanta- ngan perubahan iklim ini. Selain itu, perun- dingan perubahan iklim skala internasional telah menghasilkan keputusan-keputusan tingkat global yang perlu dianalisis secara ilmiah untuk diaplikasikan pada kondisi na- sional suatu negara.

Secara tradisional, analisis sosial atas dampak iklim terhadap sistem sosial ekono- mi ‘belum’ didekati dari perspektif resilien- si, melainkan telah diterapkan dengan cara yang paralel dengan ‘pendekatan kerenta- nan’ (Maguire & Cartwright, 2008). Ana- lisis sosial dengan perspektif kerentanan umumnya berfokus pada aspek-aspek ne- gatif atau kelemahan dari sebuah komuni- tas. Tradisi pendekatan kerentanan terbatas karena tidak mampu sepenuhnya menang- kap, memahami dan mengendalikan semua perubahan dan ancaman yang mungkin di- hadapi masyarakat. Karena realitas sosial yang dinamis, terus berubah dan terdiri dari banyak proses yang saling terkait, sangat sulit untuk menangkap perubahan sosial melalui indikasi berbasis indeks kerenta- nan dan mustahil untuk memprediksi se- mua kemungkinan hasilnya (Kelly & Adger, 2000; Walker et al., 2002). Sebaliknya, pen- dekatan resiliensi seimbang dalam hal yang mencakup kerentanan dalam masyarakat (bukan label seluruh komunitas sebagai

‘rentan’) serta sumber daya dan kapasitas

(3)

adaptif yang memungkinkan masyarakat untuk mengatasi kerentanan dan mengelo- la perubahan dengan cara yang positif. Alih- alih mencoba untuk memprediksi peruba- han spesifik, perspektif resiliensi menerima bahwa perubahan tidak bisa dihindari dan kadang tak terduga (Maguire & Cartwright, 2008; Resilience Alliance, 2007).

Menggunakan pendekatan resiliensi sosial, penelitian ini merupakan kajian lo- kalitas dampak perubahan iklim meliputi pemahaman komunitas pedesaan tentang perubahan iklim, kerentanan, adaptasi iklim, serta dimensi-dimensi kemampuan adaptasi yang menjadi modal komunitas menghadapi perubahan iklim. Kajian loka- litas perubahan iklim penting karena dua hal: (1) masih terdapat “gap” data pada ting- kat global/ regional untuk dapat diimple- mentasikan di Indonesia, dan (2) advokasi perubahan iklim membutuhkan formulasi kebijakan berbasis evidensi pedesaan.

METODE PENELITIAN

Cara umum mengkaji perubahan iklim selama ini adalah melalui pengama- tan meteorologis. Dampak iklim seringkali didasarkan pada simulasi model-kenaikan permukaan air laut yang diarahkan sebagai adaptasi biofisik terhadap intrusi air laut ke daratan. Model simulasi seperti itu sering- kali non-sensitive terhadap faktor-faktor sosial ekonomi yang sering ditemukan pada kasus studi-studi kualitatif. Dengan cara yang relatif baru, penelitian ini merupakan kajian kerentanan dan resiliensi sekaligus yang menggunakan metode kualitatif, di- laksanakan dengan pendekatan eksplorasi (menggali), bukannya mengenalkan. In- formasi yang digali dari masyarakat adalah pandangan masyarakat terhadap kondisi iklim dan perubahannya yang berlaku di lo- kalitas wilayah penelitian, pandangan yang dapat saja berbeda dengan pandangan il- muwan.

Metode yang digunakan adalah ‘me- tode kasus historis’ sebuah metode studi sosiologi yang memadukan dua pendekatan yaitu sosiologi sejarah (sejarah struktural) dan sejarah sosiologis (sejarah prosesual) serta mengandaikan suatu kajian yang ber-

sifat multi-disiplin yang melibatkan disiplin ilmu-ilmu sosiologi, ekologi, antropologi, dan ekonomi. Metode ini merupakan pene- litian kualitatif di bawah payung paradigma konstruktivisme, paradigma yang mene- kankan penelitian harus dilakukan di alam bebas secara sewajarnya untuk menang- kap fenomena alam apa adanya dan secara menyeluruh tanpa campur tangan dan ma- nipulasi peneliti (Denzin & Lincoln, 2000).

Pengumpulan data dilakukan dengan meto- de hermeunetik dan dialektika dalam waktu kurang lebih 2 tahun (April 2010-Juni 2012), menggunakan teknik pengamatan berperan serta, focus group discussion, wawancara mendalam, dan studi pustaka. Informan dipilih secara purposive mewakili informasi sosial-politik-ekonomi-ekologi komunitas dan proses perubahannya dari masa ke masa (10 tahun terakhir) serta keragaman karak- teristik komunitas nelayan.

Metode analisis data yang digunakan ialah metode analisis data kualitatif yang terdiri atas dua tahapan. Pertama analisis data kualitatif yang merupakan hasil pene- lusuran terhadap pernyataan-pernyataan umum tentang hubungan antara berbagai ketegori data untuk membangun pemaha- man konseptual tentang realitas berdasar- kan temuan data empirik. Meliputi analisis terhadap data yang dihasilkan dari penga- matan langsung secara berpartisipasi, FGD dan wawancara mendalam saat penelitian – studi riwayat hidup. Juga analisis terhadap data yang merupakan data sejarah dan teks- teks tentang kejadian masa lampau maupun kontemporer berkaitan dengan gejala sosial yang diteliti. Kedua, merupakan pengkate- gorian data yang dilakukan sesuai dengan rumusan pertanyaan yang diajukan untuk mempermudah interpretasi, seleksi dan penjelasan dalam bentuk deskripsi analisis.

HASIL DAN PEMBAHASAN Pemahaman nelayan lokal

Komunitas nelayan di lokasi penelitian merasakan terjadi perubahan ekologi dalam 10 tahun terakhir, meliputi kenaikan permu- kaan laut, intensitas badai dan gelombang tinggi, perubahan fishing ground dan keka- cauan musim tangkap. Sebelum interaksi

(4)

dengan peneliti, nelayan belum pernah ter- papar secara intens informasi tentang peru- bahan iklim. Sebagian mengaku sudah per- nah mendengar melalui media massa tetapi tidak tertarik atau tidak dijelaskan secara keilmuan. Pemahaman tentang perubahan lingkungan, oleh karenanya, bukan karena pengetahuan keilmuan perubahan iklim.

Pada dasarnya perubahan-perubahan yang terjadi tidak disadari secara langsung me- ngingat prosesnya berlangsung dalam waktu yang cukup lama dan tidak sporadis. Peneli- ti menangkap pemahaman itu berdasarkan perubahan-perubahan adaptasi dalam mata pencaharian nelayan dan menganalisis pili- han-pilihan adaptasi yang tersedia. Berikut deskripsi pemahaman nelayan tentang pe- rubahan ekologi yang diasosiasikan dengan perubahan iklim dalam studi-studi ilmiah terkait.

Nelayan secara umum merasakan ke- naikan permukaan laut setinggi kurang le- bih 3 meter. Di beberapa lokasi, dalam bebe- rapa tahun terakhir nelayan memindahkan tempat penyimpanan perahu ke samping rumah karena tempat penyimpanan perahu yang sebelumnya di belakang rumah kare- na tempat penyimpanan lama saat ini sudah tergenang air laut. Di lokasi yang lain, hala- man rumah penduduk yang dulunya digu- nakan sebagai tempat menaikkan perahu saat ini telah tergenang air laut. Di lokasi lainnya lagi nelayan membuat ‘para-para

sebagai tempat menaikkan perahu agar ter- hindar dari hempasan ombak selama tidak digunakan. Saat ini, hampir seluruh pantai yang dekat dengan pemukiman penduduk sudah dibangun tembok penahan ombak yang dalam bahasa setempat disebut talit.

Nelayan berpendapat bahwa kalau tidak ada talit air laut sekarang ini masuk sampai ke rumah atau ke jalan. Nelayan juga men- ceritakan bagaimana talit yang dibangun oleh pemerintah banyak yang sudah roboh karena tidak kuat menahan hempasan om- bak yang “semakin jahat” menurut mereka.

Di sepanjang jalan desa yang berada di bibir pantai juga banyak aspal yang sudah terke- lupas dan berlubang dengan genangan air laut di tengah-tengahnya.

Nelayan merasakan bahwa angin ken-

cang disertai gelombang pasang beberapa tahun belakangan lebih sering terjadi. Pe- merintah sudah membangun talit untuk menahan hempasan ombak tetapi menurut mereka, terkadang hempasan ombak mele- wati talit yang ada. Di dusun Batu Lubang, posisi talit di depan rumah penduduk yang ke arah pantai sehingga rumah-rumah pen- duduk terletak antara talit dan laut. Hal ini tentu saja berbahaya. Pada tahun 2011 ada 3 rumah warga yang hilang terseret gelom- bang pasang.

Di laut tengah laut, cuaca ekstrim juga semakin sering terjadi dan berbeda dengan pengetahuan nelayan yang sudah eksis, re- latif susah diprediksi. Nelayan mengaku ha- rus lebih berhati-hati dari masa-masa sebe- lumnya karena risiko melaut yang semakin tinggi. Tidak jarang nelayan bahkan memi- lih tidak melaut untuk menghindari risiko bencana. Nelayan menggunakan istilah ‘an- gin tar karuan’, ‘angin seng ada hidup’ atau

‘angin ancur sekali’ untuk menggambarkan arah mata angin yang tidak bisa dipredik- si dan gelombang tinggi dengan ungkapan

ombak su jahat” menggambarkan ombak yang tidak bisa ‘dikuasai’ lagi. Menghadapi cuaca ekstrim seperti digambarkan itu de- ngan ungkapan “mati akal” atau “ka laut be- rarti cari mati”. Nelayan merasakan ombak tidak bisa dikuasai karena arah dan karakte- ristiknya yang relatif baru bagi pengetahuan dan pengalaman lama mereka. Sesungguh- nya nelayan Asilulu selama ini dikenal se- bagai pelaut ulung yang “jago” mengatasi gelombang karena sebagai nelayan tuna, mereka berhadapan dengan karakter pe- nangkapan yang jutru masa panen pada musim berombak dan posisinya cukup jauh ke tengah laut. Jenis ombak di tengah laut menurut nelayan saat ini berbeda, tidak lagi sama dengan jenis gelombang yang selama ini mereka kenal. Ungkapan “katong seng tahu angin itu arah dari mana”, menggam- barkan bahwa pola angin dan gelombang saat ini benar-benar berbeda. Sementara ungkapan “biar ikan makan bagaimana lai, katong seng barani. Itu perahu bisa terba- lik” menggambarkan bahwa perubahan itu melampaui pengetahuan dan keterampilan navigasi mereka.

(5)

Dalam beberapa tahun terakhir nela- yan merasakan pengetahuan dan prediksi pola musim sering meleset. Padahal secara turun temurun nelayan meyakini perhitu- ngan yang didasarkan pada pergerakan benda-benda langit (terutama bulan dan bintang) selalu benar dan menjadi pedo- man dalam melaut. Selama ini nelayan me- ngenal dua musim: barat dan timur dengan musim pancaroba pada masa peralihannya, yang dihitung berdasarkan kalender Mase- hi. Setiap musim dipahami dengan pola angin dan cuaca yang berbeda. Musim ba- rat misalnya identik dengan musim hujan, badai dan ombak. Sebaliknya, musim timur identik dengan keadaan laut yang tenang.

Saat ini, nelayan mengeluhkan sering ter- jadi kekacauan musim yakni gejala musim barat justru terjadi pada musim timur atau sebaliknya. Keadaan cuaca dan badai seperti tidak mengikuti pola itu lagi, melainkan se- perti terjadi secara acak. “Katong sekarang seng bisa memperkirakan musim lai, demi- kian nelayan menyebutnya. Tidak sedikit nelayan yang pergi melaut harus kembali sebelum sempat memancing karena ada ba- dai atau angin kencang yang tidak mereka perkirakan sebelumnya. Nelayan misalnya mepercayai bahwa bulan September adalah musim panen tetapi pada tahun 2010 dan 2011 nelayan belum bisa melaut pada bulan itu karena cuaca ekstrim.

Selain perubahan musim angin, nela- yan juga merasakan dan pergeseran musim panen ikan. Selama ini untuk menentukan waktu melaut dan lokasi fishing ground, ne- layan berpedoman pada ‘kalender musim’

yang dibata oleh ‘orang tua-tua’ yaitu nela- yan tua yang dianggap sangat berpengala- man dan memiliki ilmu tentang laut yang luas. Selain berpedoman pada pergerakan benda-benda langit, orang tua-tua biasanya menyusun kalender musim juga berpedo- man kepada ‘kitab keramat’ yang disebut Buku Taju Moloh. Ada sebuah kepercayaan yang diyakini secara turun temurun oleh nelayan adalah bahwa menangkap ikan di laut sangat tergantung pada waktu yang tepat atau disebut tanoar. Tanoar adalah

“waktu yang tepat” di mana kawanan ikan tertentu muncul dan nelayan dapat mela-

kukan penangkapan. Sekitar 5-7 tahun bela- kangan, tidak jarang prediksi yang ada pada kalender musim itu tidak relevan lagi de- ngan kondisi di tengah laut. Saat ini nelayan lebih percaya kepada pedagang pengumpul.

Informasi cuaca yang dimiliki pedagang pengumpul biasanya bersumber dari penga- matan keadaan laut yang sebenarnya yang diperoleh secara jaringan. Pengetahuan ne- layan setempat bahwa tanoar ikan tuna itu terjadi pada bulan April sampai Mei. Bulan Juni sampai awal September adalah musim paceklik. Sekarang ini tanoar kadang-ka- dang maju atau mundur sampai 1-2 bulan.

Dalam 3 tahun terakhir (2009–2011) bahkan lebih banyak nelayan tidak melaut karena kekacauan musim dan intensitas badai yang terus meningkat.

Hal lain yang mengalami peruba- han menurut nelayan adalah posisi fishing ground yang semakin ke tengah laut. Ka- lau sekitar 7 tahun yang lalu nelayan hanya membutuhkan perjalanan kurang lebih 1 jam untuk menemukan ruaya ikan tuna dan mulai memancing, saat ini mereka ha- rus menghabiskan waktu paling sedikit 3 jam untuk mencapai ruaya ikan. Itu dengan perahu dan mesin yang sama. Nelayan me- mahami karakter ikan tuna sebagai ikan pe- renang cepat tetapi sejak dulu pengetahuan yang mereka miliki mampu memprediksi lokasi ikan secara akurat dan memotong ru- ayanya. Sekarang tidak lagi.

Lokalitas Dampak Perubahan Iklim Identifikasi dampak perubahan iklim dilakukan pada tiga aspek yaitu dampak pada aspek fisik, aspek ekologi dan aspek sosial ekonomi. Dampak fisik dan ekologi diamati langsung pada aspek-aspek fisik yang berubah di lokasi penelitian dan me- nanyakannya kepada nelayan. Kerusakan ja- lan dan tembok penahan ombak sepanjang jalan merupakan pemandangan sepanjang menyusur jalan pesisir pantai dari kota Am- bon ke desa Asilulu. Air laut menggenang di banyak badan jalan, sedang tembok pena- han ombak (talit) banyak yang sudah te- rendam air laut. Dampak kenaikan permu- kaan air laut belum dirasakan oleh nelayan sebagai ancaman atau masalah sejauh ini.

(6)

Kerusakan jalan dan tembok penahan ge- lombang dirasakan hanya mengganggu ke- nyamanan mobilisasi penduduk ke Ambon atau ke daerah lainnya tapi belum sampai memutus akses transportasi. Dampak yang dirasakan sebagai bencana adalah seringnya terjadi angin kencang disertai gelombang pasang yang ‘dahsyat’ dalam setidaknya 5 ta- hun terakhir. Pada tahun 2010, terjadi badai yang disertai terjangan ombak yang mem- buat sedikitnya 3 rumah hancur dan terseret ke tengah lautan. Dampak ekologis lainnya, tanaman pesisir seperti pohon-pohon besar sudah hampir tidak ada lagi karena terbawa air laut.

Dampak sosial-ekonomi yang ditim- bulkan dari perubahan iklim yang diiden- tifikasi dari pemahaman nelayan. Peruba- han iklim menyebabkan menurunnya hasil tangkapan nelayan yang dipicu oleh sulitnya menentukan musim dan wilayah tangkapan ikan, akibatnya biaya melaut membengkak terutama untuk biaya mengejar musim.

Nelayan melaporkan bahwa perubahan cu- aca yang tidak bisa diprediksi ketika mere- ka sedang berada di laut sering memaksa mereka untuk kembali ke daratan bahkan sebelum memperoleh apa-apa. Pada mu- sim ikan mati, apabila cuaca di lautan bisa dikuasai, dahulu nelayan setiap hari (kecu- ali pada hari Jumat) bisa melaut setiap hari sepanjang musim itu (berlangsung sekitar 3 bulan). Dalam sepuluh tahun terakhir, rata- rata nelayan hanya bisa melaut sampai 15 trip perbulan. Bahkan pada ‘musim panen’

tahun 2011, nelayan sama sekali tidak me- laut karena keadaan lautan yang tidak me- mungkinkan.

Dampak gelombang ekstrim serta ba- dai membuat nelayan lebih memilih tidak melaut pada musim-musim untuk mence- gah kemungkinan buruk yang dapat terja- di. Dalam 10 tahun terakhir periode musim gelombang ekstrim serta badai semakin se- ring berakibat pada semakin seringnya nela- yan tidak melaut yang berarti tidak adanya pemasukan untuk kebutuhan hidup rumah tangga sehari-hari. Jarangnya frekuensi me- laut dan semakin membengkaknya biaya operasional berimplikasi kepada semakin tergantungnya nelayan kepada pedagang

pengumpul. Dari aspek struktur sosial, pe- ngumpul berubah menjadi pengusaha lo- kal yang berstatus tinggi dalam masyarakat sedang nelayan semakin terpuruk sebagai klien dengan tingkat ketergantungan yang tinggi.

Perubahan lingkungan diasosiasikan dengan perubahan yang iklim tidak hanya melulu berdampak negatif kepada komu- nitas nelayan, melainkan juga berdam- pak positif pada beberapa aspek. Tekanan lingkungan yang dirasakan semakin berat dalam mata pencaharian secara tidak lang- sung memupuk rasa kebersamaan anggota komunitas karena menyadari bahwa situasi saat ini semakin tidak bisa diatasi sendiri, baik oleh satu unit rumah tangga atau in- dividu. Beberapa kali menghadapi kondisi krisis, terutama krisis ekonomi yang dipicu oleh frekuensi melaut yang tidak menentu, membuat nelayan menyadari bahwa duku- ngan sosial sangat penting sebagai alterna- tif yang akan membantu mereka melewati krisis. Sumber dukungan sosial adalah jari- ngan sosial, sementara jaringan sosial hanya bisa dibangun dan dijaga dengan asas saling percaya (trust). Sebagai akibatnya, nelayan lebih menjaga hubungan dengan sesama komunitas serta dengan pihak luar yang berhubungan dengan mereka.

Perubahan kondisi laut dan perilaku ikan memicu nelayan untuk membuka diri terhadap pengetahuan baru dan mengadop- si teknologi-teknologi baru yang bisa mem- perkaya pengetahuan dan keterampilan me- reka menghadapi tantangan yang semakin beragam. Tantangan melaut yang semakin berat dengan risiko bencana yang semakin tinggi secara tidak langsung membuat ko- munitas nelayan lebih dekat kepada Tuhan.

Nelayan meyakini bahwa rezeki itu keten- tuan Allah sehingga ada atau tidak adanya, sedikit atau banyaknya, dipahami sebagai bagian dari kasih sayang Allah kepada me- reka, sebagian dipahami sebagai ujian un- tuk mereka berusaha dan bekerja lebih giat lagi. Hari Jumat adalah hari libur nelayan melaut, bahkan pada musim panen sekali- pun. Meskipun banyak nelayan yang tidak ke masjid melaksanakan shalat Jumat pada hari itu, mereka tetap tidak pergi ke laut

(7)

untuk menghormati hari Jumat. Beriman kepada Allah menurut nelayan merupakan kunci untuk tetap bertahan dalam mengha- dapi tantangan mata pencaharian yang di- rasa semakin berat.

Aspek Kerentanan Nelayan

Analisis kerentanan pada penelitian ini mengkaji tiga komponen: paparan (ex- posure), kepekaan (sensitivity), dan kemam- puan adaptasi (adaptive capacity). Menggu- nakan konsepsi ‘selang toleransi’ (coping range) dari Jones et al. (2004), kerentanan dipahami sebagai keadaan di mana peru- bahan iklim melewati batas kritis (critical threshold), yang berarti kondisi iklim saat itu melewati batas kemampuan mereka un- tuk mengatasinya (Gambar 2).

Tingkat Paparan

Paparan adalah sejauh mana peru- bahan iklim bersinggungan dengan pola kehidupan dan penghidupan masyarakat maupun ekosistem (IPCC, 2007). Faktor pe- nentu paparan adalah kecenderungan iklim saat ini (musim), kejadian yang diakibatkan iklim, perkiraan iklim, serta data masya- rakat dan ilmuwan.

Masyarakat pada desa Asilulu ini telah mengalami beberapa hal terkait perubahan iklim sebagai berikut:

Masa berlangsungnya angin musim dan musim penghujan berubah: bergeser hingga lebih dari satu bulan, tanda-tanda datangnya musim seluruhnya tidak sama lagi, kemampuan masyarakat untuk men- duga musim tidak lagi dapat diandalkan.

Kejadian cuaca buruk yang merusak harta benda dan mengancam keselamatan jiwa berlangsung hampir setiap tahun.

Luasan wilayah yang tergenang air laut karena pasang tertinggi atau kenaikan per- mukaan laut menunjukkan pertambahan setiap tahunnya dalam 10 tahun terakhir.

Dengan demikian disimpulkan bah- wa tingkat paparan dikategorikan tinggi.

Argumentasi ini dikuatkan oleh kenyataan bahwa sebagian besar atau hampir seluruh sumber daya alam dipengaruhi oleh peruba- han kondisi iklim dan atau hampir seluruh penduduk desa yang sumber penghidupan- nya bergantung pada kondisi iklim. Desa Asilulu terletak pada kawasan pesisir utara Pulau Ambon di mana lebih dari 90 persen penduduknya bekerja sebagai nelayan atau bergantung kepada sumber daya pesisir dan laut (Data Monografi Desa Asilulu 2010). Ini berarti bahwa hampir seluruh sumber peng- hidupan/mata pencaharian masyarakat ber- gantung pada kondisi iklim.

Tingkat Kepekaan

Kepekaan adalah dampak dari peruba- han iklim, meliputi dampak dari perubahan pola musim jangka panjang, kejadian cuaca buruk jangka pendek/singkat, dan bencana terkait perubahan iklim (IPCC, 2007). Hasil analisis kepekaan komunitas di lokasi pene- litian disajikan pada tabel 1.

Hasil penilaian kepekaan komunitas nelayan di lokasi penelitian sebagaimana diuraikan pada tabel 1 disimpulkan tinggi.

Secara umum, penyebab dari tingginya ke- terpaparan ini adalah karakter masyarakat yang bergantung hanya pada satu sumber daya saja yakni sumber daya laut.

Potensi dampak

Potensi dampak adalah dampak ter- pendam yang merupakan gabungan dari paparan dan kepekaan. ‘Potensi dampak’

menggambarkan gabungan luasan, intensi- tas dan frekuensi dampak perubahan kon- disi iklim pada suatu wilayah. Penilaian potensi dampak melihat tingkatan paparan dan kepekaan menggunakan matrik 1.

Hasil analisis disimpulkan bahwa tingkat potensi dampak pada level tinggi.

Gambar 2. Konsep hubungan antara selang toleransi, kerentanan, dan perubahan iklim (Sumber: Jones et al. 2004).

(8)

Kondisi ini menggambarkan keseluruhan kerugian yang mungkin terjadi bila kondisi iklim berubah. Tingginya potensi dampak berdasarkan argumentasi bahwa tingkat paparan meliputi hampir semua komunitas nelayan dan kepekaan nelayan serta sum- ber daya alam terhadap dampak perubahan iklim kategori tinggi.

Kemampuan Adaptasi

Kemampuan adaptasi menunjukkan kemampuan dari suatu sistem untuk me- lakukan penyesuaian (adjust) terhadap pe- rubahan iklim sehingga potensi dampak negatif dapat dikurangi dan dampak positif dapat dimaksimalkan atau dengan kata lain kemampuan untuk mengatasi konsekuensi dari perubahan iklim (to cope with the con- sequences) (Jones et al., 2004). Penilaian kemampuan adalah mengkaji keberadaan sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat yang menunjukkan kemampuan adaptasi yang meliputi kondisi pada aspek sosial- ekonomi, penghidupan dan kelembagaan yang memungkinkan masyarakat untuk

menghadapi dan mengatasi ancaman pe- rubahan iklim. Hasil analisis kemampu- an adaptasi komunitas di lokasi penelitian disajikan pada tabel 2.

Hasil penilaian kemampuan adaptasi komunitas desa nelayan di lokasi penelitian disimpulkan tinggi atau baik dengan ber- bagai argumentasi sebagaimana diuraikan pada tabel 2 di atas.

Setelah mengetahui tingkat paparan, kepekaan dan kemampuan adaptasi sebagai komponen yang menyusun tingkat kerenta- nan, maka selanjutnya dapat dibuat penilai- an terhadap tingkat kerentanan komunitas nelayan di lokasi penelitian. Sistematika penilaiannya berpedoman matrik penilaian kerentanan masyarakat (matrik 2).

Potensi dampak perubahan iklim yang tinggi tetapi diimbangi kemampuan adap- tasi yang juga tinggi menyebabkan tingkat kerentanan sistem komunitas nelayan dika- tegorikan sedang. Dengan kata lain, dam- pak perubahan iklim masih dalam selang toleransi (coping range) sistem komunitas desa yang berarti komunitas masih mam- Tabel 1. Tingkat kepekaan komunitas nelayan di Asilulu

No. Pengaruh perubahan kondisi iklim dan cuaca buruk Rentang tingkat kepekaan 1 Perubahan kondisi iklim dirasakan pengaruhnya pada

kegiatan penghidupan (mata pencaharian) masyarakat Besar 2 Dalam satu musim kegiatan penghidupan masyarakat

terhambat Satu musim atau

lebih 3 Pengaruh perubahan kondisi iklim pada kesehatan dan

ketenangan jiwa masyarakat Cukup besar

4 Pengaruh perubahan kondisi iklim pada sumber daya

alam perikanan Besar

5 Kejadian cuaca buruk yang mengakibatkan kerusakan

harta benda dan kecelakaan dalam sepuluh tahun terakhir Beberapa kali Pengaruh Perubahan Kondisi Iklim Secara Keseluruhan Tinggi

Matrik 1. Penilaian Potensi Dampak

Paparan

Kepekaan

Hampir tidak ada Sedang Parah Kecil hingga tidak ada Kecil Kecil Sedang

Beberapa Kecil Sedang Tinggi

Hampir semuanya Sedang Tinggi Tinggi

(9)

Tabel 2. Tingkat kemampuan serta acuan kondisi umum komunitas nelayan di Asilulu

No Ciri Acuan Tingkatan

1

Masyarakat memiliki kebersamaan, kebiasaan gotong royong, me- miliki pemimpin dan sekelompok orang yang bekerja untuk kepen- tingan desa, kebiasaan bermusyawarah membuat rencana bersama, dan nilai-nilai baik dalam mengelola lingkungan

Tinggi/Baik

2

Masyarakat memiliki keahlian, kemampuan, dan kerjasama serta motivasi kuat untuk mengatasi masalah perubahan kondisi iklim terhadap sumber penghidupan, di antaranya dengan mata penca- rian tambahan atau pilihan lain, dan mengatasi masalah cuaca bu- ruk yang mengakibatkan kerusakan harta benda dan keselamatan jiwa.

Tinggi/Baik

3 Masyarakat memiliki kemampuan membangun hubungan dan ker- jasama yang baik dengan pihak luar (LSM, swasta, pemerintah dae- rah)

Sedang/

Cukup 4 Lingkungan tempat bermukim yang sehat, sumber daya alam yang

beragam, dan sumber air yang sehat dan cukup Tinggi/Baik 5 Memiliki pengetahuan dan pengalaman menghadapi perubahan

lingkungan sebelumnya. Tinggi/Baik

6 Masyarakat memiliki jaringan sosial yang kuat yang menjadi sumber

dukungan sosial Tinggi/Baik

Nilai tingkatan kemampuan adaptasi masyarakat (rata-rata) Tinggi/Baik

Matrik 2. Penilaian kerentanan masyarakat

Potensi Dampak

Kemampuan Adaptasi

Rendah Sedang Tinggi

Tinggi Sekali Tinggi Tinggi Sedang

Tinggi Tinggi Sedang Sedang

Sedang Sedang Sedang Rendah

Rendah Rendah Rendah Rendah

perubahan iklim. Mengacu pada konsep selang toleransi (Gambar 3), adaptasi diper- lukan untuk memperlebar selang toleransi (coping range) mengatasi kerentanan yang semakin tinggi dipicu dampak negatif peru- bahan iklim (Gambar 4). Kondisi pada saat selang toleransi lebih lebar dari kerentanan sistem iklim disebut dapat resilien terhadap perubahan iklim.

Resiliensi dalam studi ini dipahami sebagai kemampuan masyarakat untuk mengatasi gangguan atau perubahan dan mempertahankan perilaku adaptif. Dalam konteks perubahan iklim, resiliensi adalah kemampuan menanggapi dampak peruba- pu mengatasinya dan sebagai dampaknya

nelayan belum mengalami kerugian yang berarti.

Strategi Adaptasi: Mereduksi Kerentan- an, Meningkatkan Resiliensi

Adaptasi merupakan tindakan nya- ta penyesuaian sistem lingkungan fisik dan sosial dengan beberapa prinsip pendekatan untuk menghadapi kemungkinan timbul- nya dampak negatif dari perubahan iklim.

Tingkat kemampuan sistem untuk meng- hadapi konsekuensi dari perubahan iklim dapat digambarkan sebagai selang toleran- si terhadap besar, intensitas dan laju dari

(10)

han iklim sambil terus berfungsi secara te- ratur. Definisi ini merupakan ‘sintesis’ dari konsep resiliensi Folke (2006), Manyena (2006), Resilience Alliance (2009), Carpen- ter et al. (2001), dan Nelson et al. (2007).

Mengantisipasi kenaikan air laut, ter- dapat beberapa strategi adaptasi yang di- lakukan. Pertama, membangun talit yang secara langsung dapat menahan kenaikan permukaan laut, hantaman gelombang pa- sang dan rob. Talit yang ada saat ini selu- ruhnya dibangun oleh pemerintah melalui beberapa proyek. Kedua, nelayan membuat para-para yaitu tempat penyimpanan pe- rahu selama tidak melaut di atas air laut mengantisipasi hempasan gelombang pa- sang yang berpotensi mengantam perahu.

Para-para dibuat antara talit dan bibir pan- tai, dari batang kayu-kayu kecil yang tahan terhadap air laut. Nelayan tidak menanam pohon bakau sebagaimana adaptasi yang umum dilakukan untuk mencegah dampak kenaikan air laut dan gelombang pasang karena menurut mereka pantai di Asilulu berbatu sehingga pohon-pohon tidak bisa tumbuh dengan baik.

Dampak perubahan iklim yang diteri- ma oleh masyarakat nelayan yang meman- cing beberapa adaptasi yang bersifat reaktif, antara lain (1) melakukan strategi adaptasi mengejar musim. Strategi ini merupakan bentuk adaptasi yang dilakukan oleh nela- yan apabila di wilayah perairan sekitar me- ngalami masa paceklik. Sejak zaman da- hulu, nelayan mempercayai bahwa nenek moyang mereka sudah melakukan strategi mengejar musim meskipun hanya meng- gunakan perahu semang tradisional. Yang berbeda dengan saat ini adalah kalau dulu pengetahuan dan perhitungan musim yang diaplikasikan dengan bentuk kalender mu- sim menjadi pedoman yang akurat, saat ini

sudah lebih sering tidak akurat. Perkiraan nelayan tentang musim dan tempat panen ikan tuna semakin sering salah daripada benar. Saat ini nelayan lebih percaya kepa- da pedagang pengumpul. Informasi cuaca yang dimiliki pedagang pengumpul biasa- nya bersumber dari pengamatan keadaan laut yang sebenarnya yang diperoleh secara jaringan. Setiap pengumpul biasanya memi- liki nelayan di setiap daerah di Maluku dan perkembangan teknologi telepon genggam yang sudah sampai di pelosok menfasilitasi penyebaran informasi itu; (2) nelayan mem- bentuk kelompok operasi penangkapan.

Menyadari risiko melaut yang semakin be- sar dan mengantisipasi semakin seringnya prediksi cuaca dan fishing ground meleset, nelayan melakukan operasi penangkapan secara berkelompok yang terdiri dari 4-5 perahu. Keuntungan dari melaut secara berkelompok ini adalah dengan banyak- nya nelayan yang terlibat, berbagai macam pengetahuan dan pengalaman dikombina- sikan untuk menentukan jenis umpan yang sedang disukai ikan tuna, lokasi ikan tuna, dan memprediksi ancaman badai selama di tengah lautan. Kelompok penangkapan juga dimaksudkan sebagai tindakan men- gantisipasi badai yang sering tidak terduga untuk saling menolong di tengah laut; (3) pada kondisi seluruh fishing ground yang mereka ketahui tidak bisa diakses baik ka- rena paceklik atau karena cuaca yang tidak bisa diprediksi, nelayan lebih memilih un- tuk tidak melakukan kegiatan penangka- pan dan beralih mengerjakan kegiatan off fishing. Pilihan adaptasi seperti dimung- kinkan dengan kepemilikan setiap keluarga atas lahan perkebunan yang disebut dengan dusung. Di Petuanan Batu Lubang, tidak menentunya hasil tangkapan dan mening- katnya biaya operasional disikapi dengan Gambar 4. Konsep hubungan antara selang toleransi, kerentanan, perubahan iklim, dan adaptasi (Sumber: Jones et al. 2004).

(11)

tindakan adaptasi beralih menangkap ikan dasar (sebutan untuk ikan di perairan dang- kal) untuk kebutuhan sehari-hari. Nelayan di wilayah ini umumnya memiliki dua jenis perahu penangkap ikan yaitu perahu fiber dilengkapi mesin untuk penangkapan jauh (khusus ikan tuna) dan perahu semang atau kole-kole tanpa mesin untuk penangkapan ikan di perairan dangkal. Pilihan ini diam- bil mengingat masyarakat di Petuanan ini adalah masyarakat pendatang dari etnis Bu- ton yang tidak memiliki lahan sebagaimana penduduk asli Asilulu.

Menghadapi pergeseran fishing ground yang semakin jauh ke tengah laut, sejak tahun 1990an nelayan mengganti pe- rahu tradisional yang selama ini mereka gu- nakan dan buat sendiri dengan perahu ber- bahan fiber yang dibeli di luar desa. Perahu fiber (nelayan menyebutnya bodi) bobotnya ringan dan bentuknya dimodifikasi untuk bergerak cepat memotong pergerakan ru- aya ikan tuna. Sedangkan untuk menye- suaikan kondisi laut yang berombak lebih tinggi dari sebelumnya serta disertai angin kencang, nelayan mengembangkan teknik pemancingan menggunakan layang-layang yang cocok untuk memancing pada kondisi lautan yang berombak disertai angin ken- cang. Layang-layang dibuat sendiri oleh ne- layan, biasanya dari bambu atau rotan dan plastik yang anti air. Prinsip penggunaan layang-layang adalah membuat umpan se- perti ikan umpan hidup yang bermain di air.

Jadi ikan tuna mengejar umpan itu seperti mengejar ikan hidup. Dibutuhkan keahlian khusus menerbangkan layang-layang untuk mengatur umpan menyerupai ikan hidup.

Penggunaan layang-layang menurut nela- yan sangat efektif saat ini apalagi meman- cing dengan cara lama tidak mungkin dila- kukan pada situasi seperti saat ini.

Dampak perubahan iklim beresiko membawa dampak krisis terhadap sistem pencaharian nelayan. Pergantian alat tang- kap tradisional yang sebelumnya bisa me- reka produksi sendiri, biaya melaut yang semakin tinggi sebagai konsekuensi dari modernisasi sarana tangkap dan strate- gi mengejar musim serta frekuensi melaut yang terganggu oleh cuaca yang tidak bisa

diprediksi dan intensitas cuaca ekstrim yang meningkat dari tahun ke tahun membutuh- kan biaya yang sangat besar bagi nelayan.

Untuk itu nelayan memperkuat jaringan sosial sebagai sumber dukungan sosialnya.

Dukungan sosial terutama diperoleh dari lembaga pengumpul. Sampai di sini, dam- pak perubahan iklim masih bisa ditolerir oleh nelayan berkat sokongan modal dan dukungan moda produksi pada penerapan strategi mengejar musim.

Terakhir, nelayan menyerahkan segala ketidakmampuan mereka menghadapi pe- rubahan-perubahan yang mengancam mata pencaharian dan bahkan nyawa mereka ke- pada kekuasaan Allah. Menurut mereka, Al- lah itu Maha Adil sehingga usaha yang me- reka lakukan untuk menghidupi keluarga pasti akan dibalas oleh Allah dalam bentuk kemudahan dan rezeki. Dalam konteks ini, kelembagaan keagamaan berperan besar se- bagai pembina rohani masyarakat, juga me- miliki peranan yang cukup penting dalam memotivasi masyarakat dalam peningkatan kesejahteraan nelayan.

Dari seluruh strategi adaptasi yang di- lakukan sebagaimana diuraikan di atas, da- pat dikatakan bahwa komunitas nelayan di desa Asilulu mampu mengatasi dampak pe- rubahan iklim, terutama melalui modifikasi jaringan dan kelembagaan sosial yang ada di tingkat desa. Nelayan menjadikan jarin- gan dan kelembagaan tersebut, khususnya kelembagaan ‘pengumpul’ sebagai sumber dukungan sosial yang berperan sebagai ‘ca- dangan sosial’ pada saat terjadi krisis yang diakibatkan oleh dampak negatif dari peru- bahan iklim. Dengan kata lain, pada batas ini, adaptasi yang dilakukan mampu me- ningkatkan lebar ‘selang toleransi’ sehingga kerentanan dapat dikurangi dan resiliensi sistem meningkat. Kondisi ini membuat komunitas nelayan di lokasi ini resilien terhadap perubahan iklim. Sejauh ini ma- syarakat mampu mengatasi gangguan atau perubahan dan mempertahankan perilaku adaptifnya.

Jaringan Sosial dan Dukungan Sosial Pengumpul adalah kelembagaan yang muncul relatif baru yakni ketika nelayan

(12)

mengganti orientasi pasar produksinya. Ke- beradaan pedagang pengumpul dan insti- tusi patron-klien yang terbentuk karenanya itu menentukan dampak perubahan iklim terhadap masyarakat nelayan di Asilulu.

Pada saat modal melaut tidak lagi mencu- kupi karena perolehan hasil dari melaut tidak cukup untuk membiayai trip berikut- nya, pedagang pengumpul menjadi penye- lamat yang mempertahankan nelayan tetap melaut. Pada fase ini, dampak perubahan iklim masih bisa ditolerir oleh nelayan ber- kat sokongan modal dan dukungan “pasar bergerak” yang mengikuti lokasi penangka- pan nelayan. Ini berarti bahwa nelayan me- manfaatkan jaringan sosial yang ada seba- gai sumber dukungan sosial. Jaringan sosial yang lebih dekat lebih mudah untuk me- lakukan penyatuan sumber daya komunal.

Pedagang pengumpul yang seluruhnya ada- lah penduduk pribumi (orang negeri) teri- kat lebih kuat dengan nelayan dari golongan masyarakat pribumi juga. Pada keadaan ini, kelembagaan pedagang pengumpul tidak hanya berfungsi sebagai pasar bagi nelayan tetapi juga sebagai “cadangan sosial” yang digunakan terjadi krisis sosial ekonomi se- bagai akibat dari dampak perubahan iklim.

Selain kelembagaan lokal yang telah ada dalam usaha perikanan tuna di Asilu- lu, kelembagaan sosial lainnya yang turut berperan adalah lembaga keagamaan, pi- hak pemerintah desa/negeri dan lembaga kepemudaan. Kelembagaan keagamaan selain melakukan tugas dan fungsi pokok sebagai pembina rohani masyarakat, juga memiliki peranan yang cukup penting dalam memotivasi masyarakat dalam pe- ningkatan kesejahteraan mereka. Semen- tara pemerintah desa/negeri melaksanakan fungsi dan wewenangnya sebagai fasilitator, dinamisator dalam menggerakan potensi sumber daya di desa/negerinya. Begitu pula dengan lembaga kepemudaan berperan da- lam menggerakkan masyarakat desa dalam pelaksanaan dan pemanfaatan sumber daya yang dimiliki oleh desa tersebut. Platform pengelolaan sumber daya di Asilulu dalam istilah setempat dinamakan ”tiga tungku

yang terdiri atas lembaga pemerintah, (raja adalah pemangku adat di desa/negeri), lem-

baga pendidikan dalam hal ini adalah guru dan lembaga agama yakni masjid. Keterkai- tan antara ketiga lembaga yang merupakan paltform pengelolaan sumber daya yang ter- dapat di negeri Asilulu memberikan makna bahwa peran serta menjadi dasar bagi pe- ngembangan masyarakat di negeri Asilulu.

SIMPULAN

Komunitas nelayan di desa Asilulu te- lah merasakan dampak dari perubahan iklim yang menekan sistem penghidupan mereka.

Pemahaman nelayan tentang perubahan iklim didasarkan pada pengalaman belaka dan bukan pada keilmuan perubahan iklim itu sendiri. Hal itu dan tingkat paparan serta kepekaan yang tinggi menempatkan nelayan pada posisi yang sangat beresiko terhadap dampak negatif dari perubahan iklim. Ke- mampuan adaptasi yang tinggi mengurangi tingkat resiko tersebut sehingga kesimpu- lannya: kerentanan komunitas desa nela- yan Asilulu dikategorikan sedang. Meng- optimalkan kemampuan adaptasi yang dimiliki melalui praktek strategi adaptasi dilakukan dengan memodifikasi pilihan- pilihan pengetahuan, pengalaman, kearifan lokal, keterampilan dan jaringan sosial yang tersedia mampu mereduksi kerentanan dan meningkatkan resiliensi komunitas terha- dap dampak negatif perubahan iklim. Sejak rentang 10 tahun terakhir, pembaruan dan modifikasi pengetahuan lokal penghidu- pan serta dukungan eksternal kelembagaan yang menfasilitasi pelaksanaannya terbukti masih mampu menjamin komunitas nela- yan dalam keadaan yang resilien.

Dibutuhkan keterlibatan banyak pi- hak, terutama peran aktif pemerintah pada semua skala mendukung masyarakat dalam usahanya beradaptasi terhadap dampak pe- rubahan iklim. Pada strategi mengejar mu- sim misalnya, pola adaptasi ini sebenarnya akan lebih optimal jika disertai adaptasi yang lebih sistematis berupa penerapan teknologi dalam memprediksi lokasi ikan.

Pengetahuan dan perkiraan musim dan cu- aca oleh nelayan yang mulai sering tidak relevan dalam strategi mengejar musim karena nelayan lebih menggunakan feeling daripada pengetahuan ilmiah. Oleh kare-

(13)

nanya pemerintah perlu menguatkan “seko- lah iklim lapang” yang melayani kebutuhan informasi iklim yang akurat dan lebih dari itu, meminimalisir resiko kegagalan melaut serta resiko bencana di tengah laut. Upaya pemerintah untuk berkonsultasi dengan masyarakat menjadi jalan terbaik sebelum masyarakat bertindak dengan pengetahuan mereka sendiri. Selain itu, pembangunan fasilitas-fasilitas pendukung usaha peri- kanan mutlak diperlukan karena nelayan yang sejahtera relatif mampu beradaptasi lebih luwes dengan banyak pilihan adaptasi yang mampu dilakukannya daripada nela- yan dengan cap tradisional dengan banyak keterbatasan. Tidak ketinggalan, Lembaga Swadaya Masyarakat didorong untuk terus melakukan identifikasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap dampak dari perubahan iklim tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Carpenter, S., Walker, B., Anderies, J. M., & Abel, N., 2001. From Metaphor to Measurement: Resil- ience of What to What? Ecosystems 4(8): 765- Denzin, N.K. & Y.S. Lincoln (eds.). 2000. Handbook of 781.

Qualitative Research (Second Edition), Thou- sand Oaks: Sage Pul. Inc.

Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) Provinsi Ma- luku, 2007. Laporan Tahunan 2006. Ambon.

Folke, C. 2006. Resilience: the emergence of a per- spective for social-ecological systems analyses.

Global Environmental Change 16: 253-67.

Howden, S. M., J. F. Soussana, F. N. Tubiello, et al.

2007. Adapting agriculture to climate change.

Proceedings of the National Academy of Sci- ences 104(50): 19691-96.

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 2007: Climate Change 2007: Impacts, Adapta- tion and Vulnerability. Contribution of Work- ing Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. M.L. Parry, O.F. Canziani, J.P. Palu- tikof, P.J. van der Linden and C.E. Hanson, Eds.

Cambridge: Cambridge University Press.

Jones, R., Boer, R., Mearns, L., and Magezi, S. 2004.

Assessing current climate risks. In Bo Lim, Erika Spanger-Siegfried, Ian Burton, Eizabeth Malone and Saleemul Huq (eds). Adaptation Policy Frameworks for Climate Change: Devel-

oping Strategies, Policies and Measures. Cam- bridge University Press. pp: 91-117. Available on line at http://www.undp.org/gef/05/kmanage- ment/pub_practitioner.html

Kelly, P. M. and W. N. Adger. 2000. Theory and prac- tice in assessing vulnerability to climate change and facilitating adaptation. Global En- vironmental Change 47(4): 325-52.

Maguire, Brigit and S. Cartwright. 2008. Assessing a community’s capacity to manage change: A re- silience approach to social assessment. Austra- lia: Bureau of Rural Sciences.

Manyena, S.B. 2006 ‘The Concept of Resilience Revis- ited’, Disasters 30(4): 433−50

Marshall N.A., Marshall P.A., Tamelander J., Obura D., Malleret-King D. and Cinner J.E. 2010. A Framework for Social Adaptation to Climate Change; Sustaining Tropical Coastal Com- munities and Industries. Gland, Switzerland, Mayunga, J.S. (2007) ‘Understanding and Applying the IUCN

Concept of Community Disaster Resilience: A Capital-Based Approach’, draft working paper prepared for the summer academy, Megacities as Hotspots of Risk: Social Vulnerability and Resilience Building, Munich, Germany, 22–28 July 2007

Nelson, D.R, Adger WN, Brown K. 2007. Adaptation to Environmental Change: Contributions of a Resilience Framework. Annual Review of Envi- ronment and Resources 32: 395-419.

Resilience Alliance. 2007. Assessing and managing resilience in social-ecological systems: A prac- titioners workbook (Version 1.0). www.resal- liance.org:

Resilience Alliance. 2009. Resilience, 25 December, www. resalliance.org/576.php

Rosenzweig, C., and M. Parry. 1994. Potential impact of climate change on world food supply. Na- ture 367: 133–38.

Salim, E. 2010. Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi.

Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Smit, B. and Wandel J. 2006. Adaptation, adaptive ca- pacity and vulnerability. Global Environmental Change, 16: 282-92.

Walker, B., S. Carpenter, J. Anderies, N. Abel, G. Cum- ming, M. Janssen, L. Lebel, J. Norberg, G.

Peterson and R. Pritchard. 2002. Resilience management in socio-ecological systems: A working hypothesis for a participatory ap- proach, Conservation Ecology, 6(1), pp. 14 at http:// www.consecol.org/vol16/iss1/art14.

Yohe, G. and R.S.J. Tol. 2002. Indicators for social and economic coping capacity-moving to ward a working definition of adaptive capacity, Global Environmental Change 12: 25- 40.

Referensi

Dokumen terkait

Menghadapi perubahan pada kondisi pesisir dan laut sebagai kawasan wisata bahari, maka para nelayan sebagai masyarakat setempat yang mata pencaharian hidupnya bersandarkan

Hasil penelitian Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan mata pencaharian, yaitu faktor internal meliputi: kondisi ekologis, kepemilikan lahan semakin

Hilangnya tutupan lahan hutan karena konversi hutan untuk pemukiman, perkebunan, pertanian dan kebutuhan untuk pembangunan di sektor lain, telah menyebabkan perubahan pola

Hasil penelitian menujukkan bahwa (1) problematika dalam proses regenerasi petani di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah perubahan kondisi iklim dan cuaca, sulitnya

Suami perempuan pemecah batu tidak merasa keberatan jika istri bekerja, karena dengan istri bekerja akan menambah penghasilan keluarga dan dapat memenuhi kebutuhan keluarga

Bagaimana keterkaitan antara perubahan mata pencaharian masyarakat dengan kondisi nilai sosial dalam kehidupan masyarakat di Desa Tanjung Selamat pasca alih fungsi lahan

Hal ini tergambar dari kondisi kesejahteraan hidup keluarga nelayan melalui tingkat pendapatan mata pencaharian mereka, kondisi rumah yang ditempati, kurangnya potensi atau keahlian

Tujuan penelitian ini adalah : 1 mengetahui pelaksanaan bimbingan kelompok di SMP Negeri 7 Pemalang; 2 mengetahui kondisi penyesuaian diri siswa SMP Negeri 7 Pemalang; 3 menemukan