• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Dinamika Pantai pada Metode Pengelolaan Vegetatif dalam Upaya Pengurangan Bahaya Abrasi di Sebagian Sempadan Pantai Sumatera Barat

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Kajian Dinamika Pantai pada Metode Pengelolaan Vegetatif dalam Upaya Pengurangan Bahaya Abrasi di Sebagian Sempadan Pantai Sumatera Barat"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Vol. 9 No. 2, 2022 https://ppjp.ulm.ac.id/journal/index.php/jpg

Kajian Dinamika Pantai pada Metode Pengelolaan Vegetatif dalam Upaya Pengurangan Bahaya Abrasi di Sebagian Sempadan Pantai Sumatera Barat

Dian Adhetya Arif1*, Sri Kandi Putri1, Indah Fultriasantri2

1Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang

2Program Studi D3 Teknologi Penginderaan Jauh

*dianadhetyaarif@fis.unp.ac.id Abstract

Climate change increases the frequency of occurrence of extreme natural phenomena which leads to increased risks to coastal communities and ecosystems. Shoreline change is considered to be of crucial importance in coastal areas. Coastal communities need to be aware of changing coastal dynamics in preparation for future impacts.

Coastal protection methods as an effort to reduce coastal disaster risk are applied to protect coastal city infrastructure resources. The purpose of this study was to determine the dynamics of the coastline with vegetation protection. The research was conducted based on Remote Sensing and GIS. The main data are Landsat images with a temporal resolution of 20 years. The data is processed by utilizing ArcGIS using the tools of the Digital Shoreline Analysis System. Changes in the coastline in 2000-2020 saw the occurrence of abrasion and accretion in the coastal area which caused changes in the coastline. The land area decreases with an average distance of 141.50 m/year.

Meanwhile, the land area increases with an average distance of 285.69 m/year. This shows that the changes that occur in general are the increase in the area of the shoreline due to the management of the vegetation that lives along the coast has an effect on reducing the rate of abrasion.

Keywords: DSAS, Vegetative Management, Management Effectiveness

Abstrak

Perubahan iklim meningkatkan frekuensi kejadian fenomena alam ekstrim yang berujung pada meningkatnya risiko masyarakat dan ekosistem pesisir. Perubahan garis pantai dianggap sebagai hal krusial yang penting di wilayah pesisir. Masyarakat pesisir perlu mengetahui mengenai perubahan dinamika pantai untuk persiapan untuk dampak di masa depan. Metode-metode perlindungan pantai sebagai upaya pengurangan risiko bencana pesisir diterapkan untuk melindungi sumberdaya infrastruktur kota pesisir.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dinamika garis pantai dengan pelindung vegetasi. Penelitian dilaksanakan berbasis Remote Sensing dan GIS. Data utama adalah citra Landsat dengan resolusi temporal 20 tahun. Data diolah dengan memanfaatkan ArcGIS menggunakan tools Digital Shoreline Analysis System.

Perubahan garis pantai pada tahun 2000-2020 terlihat terjadinya abrasi dan akresi di wilayah pantai yang menyebabkan perubahan garis pantai. Luas daratan berkurang dengan jarak rerata 141,50 m/tahun. Sedangkan luas lahan bertambah dengan jarak rerata 285,69 m/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi pada umumnya adalah penambahan luas bibir pantai karena adanya pengelolaan itu vegetasi yang hidup di sepanjang pantai berpengaruh untuk mengurangi laju abrasi.

Kata kunci: DSAS, Pengelolaan Vegetatif, Efektifitas Pengelolaan

(2)

Arif, Putri, & Fultriasantri/ Jurnal Pendidikan Geografi 9 (2) 2022

Received: 25 Agustus 2022; Accepted: 15 September 2022; Published: 18 September 2022

How to cite: Arif, D. A., Putri, S. K., & Fultriasantri, I. (2022). Kajian Dinamika Pantai pada Metode Pengelolaan Vegetatif dalam Upaya Pengurangan Bahaya Abrasi di Sebagian Sempadan Pantai Sumatera Barat. JPG (Jurnal Pendidikan Geografi), Vol. 9 No. 2. http://dx.doi.org/10.20527/jpg.v9i2.14227

© 2022 JPG (Jurnal Pendidikan Geografi)

*Corresponding Author

1. Pendahuluan

Zona pesisir adalah salah satu ekosistem sumber daya tak hidup dan hayati yang paling kompleks; oleh karena itu, wilayah pesisir memiliki kepentingan sosial ekonomi yang besar di seluruh dunia (Kuleli, 2010). Perubahan garis pantai dianggap sebagai hal krusial yang penting di wilayah pesisir (Chenthamil Selvan, Kankara, Markose, Rajan,

& Prabhu, 2016). Perubahan ini didominasi oleh interaksi kompleks proses alam dan antropogenik. Proses alami tersebut terdiri dari kenaikan muka air laut, perubahan geo- tektonik, bencana alam, penggenangan pantai, erosi-akresi pantai, dan pergeseran alur serta dampak lain yang disebabkan oleh manusia (Matin & Hasan, 2021). Dampak ini diproyeksikan meningkat dalam beberapa dekade ke depan, bergantung pada jumlah emisi gas rumah kaca yang dilepaskan (IPCC 2018, 2018). Resiko ini makin meningkat setelah wilayah ini dimanfaatkan secara intensif untuk kegiatan ekonomi.

Erosi dan banjir rob di lingkungan pesisir dalam banyak literatur merupakan risiko bagi sumberdaya infrastruktur terbangun di wilayah tersebut yang sekaligus menjadi paradigma bahwa infrastruktur dibangun di wilayah bahaya bencana (Cooper, O’Connor, & McIvor, 2020). Kondisi ini tidak dapat dihindari dan cenderung diterima sebagai risiko operasional serta hanya dapat diminimalisir melalui manajemen tertentu manajemen secara vegetatif (Shabir, Ali, Siyal, Siyal, & Panhwar, 2022)). Dalam banyak kasus ketika suatu wilayah memiliki level tinggi dan kejadian ekstrim yang terjadi dalam interval tertentu, maka merupakan sebuah risiko nyata bagi sumberdaya infrastruktur lingkungan pesisir. Pemecahan masalah terkait perlunya perlindungan sumberdaya infrastruktur tersebut bergantung pada ruang, waktu, materi, teknologi dan sumberdaya Kerentanan pantai dapat diukur melalui perubahan posisi garis pantai dan morfologi, serta terjadinya erosi dan akresi (Odériz et al., 2020).

Dengan sekitar 17.500 pulau dengan garis pantai sepanjang 108.000 km, Indonesia merupakan negara dengan garis pantai terpanjang ketiga di dunia (Muskananfola, Supriharyono, & Febrianto, 2020). Sebagian besar ibu kota dan kota- kota besar terletak di wilayah pesisir (Muskananfola, Supriharyono, & Febrianto, 2020).

Seperti halnya peradaban yang berkembang di lingkungan pesisir, Kabupaten Pariaman mengalami peningkatan signifikan dari sisi perkembangan industri mencapai 372%

pada periode 2013 – 2019 (BPS, 2019). Masyarakat pesisir tersebut perlu mengetahui mengenai perubahan dinamika pantai untuk persiapan untuk dampak di masa depan melalui seperangkat perencanaan seperti tata guna lahan, tanggap darurat, mitigasi bahaya, dan investasi bangunan pelindung (Heidrich, Dawson, Reckien, & Walsh, 2013). Data penunjang untuk penyusunan model pengelolaan yang tepat guna dalam kombinasi pelindung pantai berbasis vegetasi dilakukan sebagai solusi untuk upaya perlindungan infrastruktur dengan model yang sesuai (Schoonees et al., 2019).

Kerentanan pantai dapat diukur melalui perubahan posisi garis pantai dan morfologi, serta terjadinya erosi dan akresi (Mufriadi, Sandhyavitri, & Fatnanta, 2019).

(3)

Arif, Putri, & Fultriasantri/ Jurnal Pendidikan Geografi 9 (2) 2022

Deteksi perubahan dengan teknik penginderaan jauh merupakan suatu cara untuk memantau keadaan suatu wilayah dalam beberapa periode untuk mengetahui perubahan yang muncul pada zona tersebut (Abou Samra & Ali, 2021). Banyak peneliti menerapkan data satelit untuk merekam perubahan di daerah pesisir menggunakan citra dengan Digital Shoreline Analysis System untuk mendeteksi perubahan garis pantai.

Perolehan informasi melalui analisis periodik dinamika garis pantai sebagai salah satu indikator dasar keberhasilan perlindungan lingkungan pesisir sangat diperlukan sebagai bagian dari tahap monitoring dari pengelolaan yang telah dilaksanakan (Rajasree, Deo,

& Sheela Nair, 2016). Penelitian ini akan menghasilkan data perubahan dinamika garis pantai dan dinamika garis pantai pada pengelolaan secara vegetatif di Kawasan Pantai Tiku.

2. Metode

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan objek penelitian dilaksanakan di Sempadan Pantai Tiku yang terletak pada kawasan pesisir barat Pulau Sumatera dengan letak secara administratif pada Kecamatan Tanjung Mutiara, Nagari Tiku Selatan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra landsat dari USGS dengan Resolusi temporal 20 tahun (2000-2020). Data lapangan diperoleh melalui survey terestris di lingkungan pesisir. Efektifitas manajemen vegetasi pelindung pantai diukur melalui respon perubahan garis pantai di Sempadan Pantai Tiku. Data yang dibutuhkan untuk pengukuran ini adalah perubahan garis pantai yang diekstraksi dari citra landsat. Tahun pengamatan dipilih atas dasar kebutuhan untuk menilai dinamika garis pantai pada saat sebelum dan sesudah dilakukannya pengelolaan vegetatif pesisir.

Pengolahan data citra dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu pre processing, processing, dan post processing. Tahap pre processing adalah tahap mempersiapkan citra melalui pemotongan citra, koreksi radiometrik dan koreksi geometrik. Citra yang diperoleh memiliki wilayah cakupan yang luas dan ada beberapa bagian citra yang tidak dibutuhkan, sehingga perlu dilakukan pemotongan (resize/clip). Selanjutnya dilakukan koreksi atmosferik dengan Teknik FLAASH (Fast Line of Sight Atmospheric Analysis of Spectral Hypercubes) yang bertujuan untuk menghilangkan noise atau mempertajam citra dari gangguan atmosfer. Tahap processing dilakukan dengan ekstraksi data garis pantai pada setiap tahun pengamatan. Metode yang digunakan untuk ekstraksi data Garis Pantai Tiku pada setiap citra adalah supervised image classification.

Selanjutnya dilakukan overlay pada garis pantai pada saat sebelum dan setelah dilakukannya pengelolaan untuk mengetahui apakah sempadan Pantai Tiku mengalami akresi atau abrasi pada setiap segmennya. Analisis ini dilakukan dengan memanfaatkan DSAS (Digital Shoreline Analysis System) dalam ArcGIS. Analisis tersebut diantaranya adalah net shoreline movement (NSM) untuk mengetahui dinamika garis pantai temporer dalam waktu pengamatan dan analisis end point rate (EPR) untuk mengetahui laju dinamika garis pantai dengan membandingkan perbedaan jarak antara garis pantai sebelum dan setelah dilakukannya pengelolaan manajemen vegetasi. Analisis tersebut membutuhkan garis pantai dasar (baseline) sebagai patokan dinamika garis pantai yang diperoleh dari peta topografi bersumber dari Badan Informasi Geospasial (BIG). NSM bernilai (+) menandakan kecenderungan pantai mengalami akresi sedangkan nilai (-) menandakan pantai mengalami abrasi. Untuk lebih ringkasnya, dapat dilihat pada diagram alir pada Gambar 1.

(4)

Arif, Putri, & Fultriasantri/ Jurnal Pendidikan Geografi 9 (2) 2022

Gambar 1. Diagram Alir Penelitian

3. Hasil Dan Pembahasan A. Hasil Pengolahan Data

Hasil pengolahan awal image procesing yaitu diperoleh hasil citra landsat resolusi 30 meter yang telah dikoreksi dari hasil pengkoreksian radiometrik dan atmosferik untuk memperbaiki piksel citra yang rusak sekaligus mempertajam citra yang disebabkan akibat perolehan citra yang tidak bersih dari hasil perekaman satelit.

Penelitian ini diawali dengan pengumpulan data citra landsat 4-5 tm dari tahun 1990 – 2011 dan citra landsat 8 oli/tirs tahun 2015 dan 2020, setelah mengumpulkan citra tahap selanjutnya melalukan koreksi radiometrik pada citra yang ditujukan untuk memperbaiki nilai piksel supaya sesuai dengan yang seharusnya yang biasanya mempertimbangkan faktor gangguan atmosfer sebagai sumber kesalahan utama. koreksi radiometrik adalah koreksi dasar citra yang dilakukan untuk menghilangkan noise yang terdapat pada citra sebagai akibat dari adanya distorsi oleh posisi cahaya matahari, Hasil koreksi citra terdapat pada Gambar 2.

Tahun 2000 Tahun 2005 Tahun 2011

(5)

Arif, Putri, & Fultriasantri/ Jurnal Pendidikan Geografi 9 (2) 2022

Gambar 2. Hasil Koreksi Radiometrik Citra

Dalam penelitian ini melalui 3 tahapan dimana diawali tahap pre-procecing dengan melakukan komposit band untuk Citra Landsat 4-5 TM dan Citra Landsat 8 OLI/TIRS menggunakan kombinasi Band Natural Colour yaitu Band 4 (Red), Band 3 (Green) dan Band 2 (Blue). Tahap selanjutnya yaitu processing, dalam tahapan ini melakukan pemotongan citra daerah penelitian selanjutnya melakukan deliniasi garis pantai menggunakan metode analisis Supervised Image Clasification. Hasil klasifikasi citra menggunkan metode klasifikasi supervised image classification untuk mengindentifikasi garis pantai. Klasifikasi ini telah diverifikasi dengan baik untuk klasifikasi gambar resolusi tinggi atau menengah (Ma et al., 2017). Hasil metode klasifikasi supervised image classification pada daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.

Tahun 2015 Tahun 2021 Tahun 2011

(6)

Arif, Putri, & Fultriasantri/ Jurnal Pendidikan Geografi 9 (2) 2022

Gambar 3. Hasil Klasifikasi Supervised Image Classification

Selanjutnya data tersebut akan dianalisis di Software ArcGIS dengan menggunaakn tools Digital Sheroline Analysis System (DSAS) yang merupakan perangkat lunak dapat digunakan untuk menghitung laju perubahan garis pantai dari waktu ke waktu (Myers et al., 2019). Parameter yang diperlukan dalam DSAS terdiri dari dan menggunakan parameter DSAS yaitu: baseline dan sheroline. Baseline merupakan garis acuan titik nol yang digunakan sebagai garis acuan untuk mengukur perubahan garis pantai dan garis ini tidak termasuk dalam garis pantai dan shorelines yaitu garis pantai yang akan diukur perubahannya, transects yaitu garis tegak lurus dengan baseline yang membagi pias-pias pada garis pantai teknik analisis ini berguna untuk melihat dinamika perubahan garis pantai dalam periode waktu yang telah ditentukan di daerah penelitian. Tahapan terakhir yaitu post procecing berguna untuk mengetahui segemntasi luas abrasi dan akresi di kawasan pantai. Setelah melalui pengolahan data selanjutnya mengidentifikasi pola perubahan abrasi dan akreasi di kawasan pantai

(7)

Arif, Putri, & Fultriasantri/ Jurnal Pendidikan Geografi 9 (2) 2022

B. Dinamika Garis Pantai

Dalam menentukan perubahan garis pantai dan untuk menilai laju perubahan garis pantai pada saat sebelum dan sesudah dilakukannya pengelolaan dilakukan tahap eliminasi data vektor yang sebelumnya dikonversikan dahulu data raster ke polygon.

Kemudian dilakukan eliminasi berdasarkan luasan yang di hitung dari resolusi citra dan skala yang diperoleh. Tahap selanjutnya dilakukan smooth polygon untuk mempertajam tampilan penggunaan lahan agar mudah dilakukan identifikasi garis pantai. Berikutnya dilakukan analisis perhitungan perubahan garis pantai dengan menggunakan DSAS (Digital Shoreline Analysis System) sehingga diperoleh perubahan garis pantai dari tahun 2000 - 2020. Dari hasil anlisis perubahan garis pantai tersebut fokus perubahan pada kawasan garis pantai bervegetasi dapat dilihat bahwa pada tahun 2020 terjadi penambahan baseline dari time series dapat dilihat pada Gambar 4.

(8)

Arif, Putri, & Fultriasantri/ Jurnal Pendidikan Geografi 9 (2) 2022

Gambar 4. Peta Perubahan Garis Pantai

Pengukuran yang dilakukan adalah menggunakan nilai NSM dan EPR tahun 2000, 2005, 2011, 2015, dan 2020. Pola perubahan garis pantai pada Pantai Tiku secara dominan mengalami terjadinya pola abrasi. Beberapa baseline terjadi pola akresi dengan jarak rata-rata 285.69 m dengan laju rata-rata perubahan garis pantai sebesar 23.81 m/tahun. Sedangkan beberapa baseline lainnya berkurang dengan jarak rata-rata 141,50 m dengan kecepatan 11,79 m/tahun. Nilai perubahan garis pantai tahun 2000-2020 ditunjukkan pada Tabel 1.

(9)

Arif, Putri, & Fultriasantri/ Jurnal Pendidikan Geografi 9 (2) 2022

Tabel 1. Nilai Perubahan Garis Pantai Tahun 2000 - 2020 Segment

Net Shoreline Movement (m)

End Point Rate

(m/yr) Process

(+) (-) (+) (-)

1-2 3.10 - 0.26 - Accretion

3-4 - -13.55 - -1.13 Abrasion

5-7 65.17 - 5.43 - Accretion

8-9 - -16.01 - -1.13 Abrasion

10-13 74.92 - 6.24 - Accretion

14 0.78 - 0.07 - Accretion

15-18 28.03 - 2.34 - Accretion

19-20 - -24.44 - -2.04 Abrasion

21-22 113.69 - 9.47 - Accretion

23 - -87.49 - -7.29 Abrasion

Total 285.69 -141.50 23.81 -11.79 Accretion Sumber: Hasil Penelitian, 2020

Perubahan garis pantai di Pantai Tiku antara tahun 2000-2020 dapat terlihat terjadinya abrasi dan akresi di wilayah pantai yang menyebabkan perubahan garis pantai. Perubahan yang terjadi pada umumnya adalah penambahan luas pantai karena dipengaruhi oleh struktur vegetasi (mangrove). Diagram perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 5. Diagram Perubahan Garis Pantai

Berdasarkan diagram pada Gambar 5 terlihat segmen 23 terjadi abrasi cukup besar dengan perubahan sepanjang 87.49 m dan laju abrasi 7.29 m/tahun. Sedangkan akresi tertinggi berada di segmen 21-22 dengan akresi sepanjang 113,69 m dan laju 9,47 m/tahun berada di Kawasan Pantai Tiku. Secara keseluruhan, garis pantai pada tahun Dominan mengalami akresi. Tahun 1990 – 2020 merupakan era dimana aktivitas manajemen Secara Vegetatif yaitu mangrove. Dinamika garis pantai pada dasarnya dipengaruhi oleh kondisi manajemen pengelolaan pada kawasan pesisir. Hasil yang didapatkan untuk dinamika garis pantai dari tahun 2000 – 2020 pada Kawasan Sempadan Pantai Tiku didominasi oleh pola akresi. Penambahan jumlah akresi terjadi pada tahun 2011 – 2020. Perubahan tersebut juga di pengaruhi oleh struktur vegetasi di sepanjang kawasan Pantai Tiku tersebut. Vegetasi yang terdapat pada kawasan tersebut adalah vegetasi mangrove yang mana sangat berfungsi sebagai penahan air yang

(10)

Arif, Putri, & Fultriasantri/ Jurnal Pendidikan Geografi 9 (2) 2022

Gambar 6. Peta Abrasi dan Akresi Pantai Tiku

Pada umumnya perubahan garis pantai di sepanjang pantai yang memiliki vegetasi itu terjadi penambahan luas garis pantai yang di sebut dengan akresi (Muskananfola et al., 2020). Hal ini terjadi akibat aktivitas gelombang laut yang membawa hasil sedimentasi terjadi penumpukan bahan endepan tersebut di bibir pantai dan membentuk struktur baru. Vegetasi dilihat sebagai faktor penting yang mempengaruhi proses akresi di bukit daerah pantai karena memiliki sifat menahan dan mengurangi terjadinya abrasi (Odériz et al., 2020). Tingkat pertambahan luas di daerah pantai bervegetasi jauh melampaui daerah-daerah yang tidak ditanami (Baustian, Mendelssohn, & Hester, 2012).

(11)

Arif, Putri, & Fultriasantri/ Jurnal Pendidikan Geografi 9 (2) 2022

4. Kesimpulan

Pada Pantai tiku dominan terjadi pola akresi dengan penambahan seluas 285,69 m dan laku rata-rata 23,81 m/tahun, sedangkan pola abrasi yang terjadi di Pantai Tiku yaitu seluas 141,50 m dengan laju rata-rata sebesar 11,79 m/tahun. Proses akresi dan sedimentasi merupakan bagian dari dinamika pantai yang menarik untuk dikaji guna mengetahui faktor dominan yang mempengaruhi proses pantai sehingga dapat memberikan informasi kepada pemerintah setempat dalam menentukan kebijakan pengelolaan dan perencanaan wilayah pesisir. Pengelolaan kawasan pesisir harus dilakukan secara terpadu agar perubahan garis pantai akibat abrasi tidak terus terjadi secara besar-besaran. Bentuk pengelolaan yang dapat dilakukan yaitu dengan cara membangun bangunan pelindung pantai, pemecah ombak, membuat move seaward dan juga pengelolaan dengan memanfaatkan ekosistem sekitar pantai (nature) serta menjaga kelestarian vegetasi kawasan pantai tersebut.

5. Referensi

Abou Samra, R. M., & Ali, R. R. (2021). Applying DSAS tool to detect coastal changes along Nile Delta, Egypt. Egyptian Journal of Remote Sensing and Space Science, 24(3), 463–470.

https://doi.org/10.1016/j.ejrs.2020.11.002

Baustian, J. J., Mendelssohn, I. A., & Hester, M. W. (2012). Vegetation’s importance in regulating surface elevation in a coastal salt marsh facing elevated rates of sea level rise.

Global Change Biology, 18(11), 3377–3382. https://doi.org/10.1111/j.1365- 2486.2012.02792.x

BPS. (2019). Kota Pariaman dalam Angka 2019.

Chenthamil Selvan, S., Kankara, R. S., Markose, V. J., Rajan, B., & Prabhu, K. (2016).

Shoreline change and impacts of coastal protection structures on Puducherry, SE coast of India. Natural Hazards, 83(1), 293–308. https://doi.org/10.1007/s11069-016-2332-y

Cooper, J. A. G., O’Connor, M. C., & McIvor, S. (2020). Coastal defences versus coastal ecosystems: A regional appraisal. Marine Policy, 111, 1–12.

https://doi.org/10.1016/j.marpol.2016.02.021

Heidrich, O., Dawson, R. J., Reckien, D., & Walsh, C. L. (2013). Assessment of the climate preparedness of 30 urban areas in the UK. Climatic Change, 120(4), 771–784.

https://doi.org/10.1007/s10584-013-0846-9

IPCC 2018. (2018). IPCC report Global warming of 1.5°C. Global Warming of 1.5°C. An IPCC Special Report on the Impacts of Global Warming of 1.5°C above Pre-Industrial Levels and Related Global Greenhouse Gas Emission Pathways, in the Context of Strengthening the Global Response to the Threat of Climate Change, (October), 630. Retrieved from www.environmentalgraphiti.org

Kuleli, T. (2010). Quantitative analysis of shoreline changes at the mediterranean coast in Turkey. Environmental Monitoring and Assessment, 167(1–4), 387–397.

https://doi.org/10.1007/s10661-009-1057-8

Matin, N., & Hasan, G. M. J. (2021). A quantitative analysis of shoreline changes along the coast of Bangladesh using remote sensing and GIS techniques. Catena, 201(September 2020), 105185. https://doi.org/10.1016/j.catena.2021.105185

Mufriadi, Sandhyavitri, A., & Fatnanta, F. (2019). Analisis pengambilan keputusan dan mitigasi terhadap kerentanan pantai (studi kasus : pantai pulau rangsang, kabupaten kepulauan meranti). Aptek, 11(1), 31–41.

Muskananfola, M. R., Supriharyono, & Febrianto, S. (2020). Spatio-temporal analysis of shoreline change along the coast of Sayung Demak, Indonesia using Digital Shoreline

(12)

Arif, Putri, & Fultriasantri/ Jurnal Pendidikan Geografi 9 (2) 2022

(2019). A multidisciplinary coastal vulnerability assessment for local government focused on ecosystems, Santa Barbara area, California. Ocean and Coastal Management, 182(April), 104921. https://doi.org/10.1016/j.ocecoaman.2019.104921

Nyman, J. A., Walters, R. J., Delaune, R. D., & Patrick, W. H. (2006). Marsh vertical accretion via vegetative growth. Estuarine, Coastal and Shelf Science, 69(3–4), 370–380.

https://doi.org/10.1016/j.ecss.2006.05.041

Odériz, I., Knöchelmann, N., Silva, R., Feagin, R. A., Martínez, M. L., & Mendoza, E. (2020).

Reinforcement of vegetated and unvegetated dunes by a rocky core: A viable alternative for dissipating waves and providing protection? Coastal Engineering, 158(February 2019).

https://doi.org/10.1016/j.coastaleng.2020.103675

Rajasree, B. R., Deo, M. C., & Sheela Nair, L. (2016). Effect of climate change on shoreline shifts at a straight and continuous coast. Estuarine, Coastal and Shelf Science, 183, 221–

234. https://doi.org/10.1016/j.ecss.2016.10.034

Schoonees, T., Gijón Mancheño, A., Scheres, B., Bouma, T. J., Silva, R., Schlurmann, T., &

Schüttrumpf, H. (2019). Hard Structures for Coastal Protection, Towards Greener Designs.

Estuaries and Coasts, 42(7), 1709–1729. https://doi.org/10.1007/s12237-019-00551-z Shabir, G., Ali, A., Siyal, Z., Siyal, P., & Panhwar, S. (2022). Social and ecological climate

change vulnerability assessment in the Indus delta , Pakistan. 17(8), 1666–1678.

https://doi.org/10.2166/wpt.2022.087

Referensi

Dokumen terkait

yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah/skripsi dengan judul “Studi Akresi dan Abrasi Berdasarkan Perubahan Garis Pantai di